Rabu, 3 November 2010

Amalan hati ke arah hati yang bersih...(jom cuci...bukan tgok filem cuci ye tp jom cuci hati dgn istiqfar) selamat banyakkan amal...استغفر الله

Imam Ibnu Al Qayyim mengklasifikasikan ibadah dalam 3 (tiga) bahagian, yaitu :

1. Amalan Hati, seperti : Tawakkal kepada Allah SWT., mahabatullah, tawadhu`, khusyû`, niat ikhlash, raja` dan lain sebagainya.

2.Amalan Lisan, seperti : Mengucapkan dua kalimat syahadatain, tasbîh, istighfar, bersumpah atas nama Allah SWT. , berdo`a dan lain sebagainya.

3. Amalan Anggota Badan, seperti : Shalat, puasa, jihad, menuntut ilmu, berdagang, berladang, dan lain sebagainya.

Amalan yang paling afdhal di antara 3 (tiga) jenis amalan tersebut adalah amalan hati yang dilakukan oleh hati manusia beriman. Ada beberapa alasan asasi (dasar) yang menjadi dasar dari keutamaan ini:

1. Amalan hati merupakan penentu sah atau tidaknya suatu amalan

Sesungguhnya amalan lahiriyah yang dilakukan oleh lisan dan anggota tubuh lainnya tidak akan diterima oleh Allah SWT., selama tidak disertai dengan amalan hati (niat) yang merupakan dasar bagi diterimanya suatu amal lahiriah. Sabda Rasûlullah SAW:

"Sesungguhnya seluruh amalan harus disertai dengan niat." (Muttafaqun `Alaihi dari Umar bin al-Khaththab ra.)

Karena itu suatu amal atau pekerjaan atau aktiviti(apapun bentuknya) sangat bergantung dan terkait dengan niatnya. Suatu amal tanpa disertai dengan suatu niat yang benar, seperti halnya badan tanpa ruh atau seperti pohon tanpa buah, tidak berfungsi, dan tidak menguntungkan sedikitpun.

Hatilah yang dinilai oleh Allah SWT, karena bila bersih niatnya, maka Allah SWT. akan menerima amalannya dan apabila kotor hatinya (niatnya tidak benar atau berbau syirik atau tidak ikhlash), maka dengan sendirinya amal tersebut akan ditolak, sabda Rasûlullah SAW:

"Sesungguhnya Allah SWT tidak melihat kepada bentuk tubuh dan rupamu, tetapi Dia melihat kepada hatimu sambil Beliau mengarahkan jari-jariNya ke dadanya" (H.R. Muslim dari Abû Hurairah ra ).

2. Hati merupakan cerminan hakikat pemiliknya

Dalam shahîh Bukhari dan Muslim disebutkan bahwa Nabî SAW bersabda:

"Ketahuilah sesungguhnya di dalam tubuh manusia ada segumpal darah, apabila dia baik maka baiklah seluruh tubuhnya, dan apabila dia rusak, maka rusaklah seluruh tubuhnya. Ketahuilah bahwa segumpal darah itu ialah hati." (Muttafaqun `Alaihi, dari Nu`man bin Basyîr).

Untuk lebih memperjelas pemahaman hadîts di atas marilah kita mengingat kembali firman Allah SWT yang termuat dalam surat Asy-Syams, ayat 8 - 10 :

"Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaan, (QS. 91:8) sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, (QS. 91:9) dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. (QS. 91:10)."

Dalam hati manusia terdapat dua jenis "bibit penentu", yang satu kita sebut saja sebagai "bibit kebaikan" yang merangsang dan mendorong manusia untuk melakukan amal kebaikan atau perbuatan yang mendekatkan dirinya kepada Allah SWT., sedang yang lainnya kita sebut dengan "bibit kejahatan" yang merangsang manusia untuk melakukan melakukan perbuatan fahsya (keji) atau kemungkaran kepada Allah SWT.

Al-Fujûr merupakan "benih kejahatan" yang dengan istilah lainnya dikenal sebagai nafsu syahwat syaithaniyah yang senantiasa membisiki dan menghembusi manusia untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan tercela lagi berdosa yang akan mengantarkannya ke jalan kefasikan dan berhilir di neraka. Sedang at-Taqwa merupakan "benih kebaikan" yang senantiasa memotifasi dan memobilisasi manusia untuk melakukan amal kebajikan dan pekerjaan yang mendekatkan dirinya kepada Allah SWT.

Dari sini kita dapat mengetahui bahwa pada hati manusia terdapat 2 (dua) kekuatan yaitu kekuatan "Fujur" dan "Taqwa" (sebagaimana yang dipaparkan dalam surat Asy-Syams di atas) yang selalu bertempur untuk saling mengalahkan satu dengan yang lainnya sehingga salah satu dari keduanya menjadi pemenang atau lebih mempunyai pengaruh dalam menentukan perilaku kehidupan "tuannya".

Apabila setiap rangsangan "benih kebaikan (At-Taqwa)" ini yang timbul dalam diri manusia selalu direspon dalam bentuk amal shalih secara benar dan kontinue (berkesinambungan) maka dengan sendirinya "benih kebaikan" akan semakin berkembang dan akan mendominasi atau mengusai hati "tuannya".

Sehingga idea, pola fikir, keperibadian dan seluruh anggota tubuhnya akan menjadi baik karena mengikuti arahan2 yang datang dari hati yang dipenuhi dengan "benih kebaikan". Maka jadilah "tuannya" ini termasuk orang-orang beruntung yang mampu membersihkan jiwanya dari nafsu syahwat syaithaniyah karena ia hanya mau merespon bisikan dan panggilan kebaikan (taqwa) saja. Sebagaimana firman Allah SWT:

"Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, (QS. 91:9)


 Dan sebaliknya bagi manusia yang lebih sering merespon tuntutan nafsu syahwat syaithaniyahnya maka tindakan tercela lagi berdosa itu dengan otomatik memberikan ruang dan mempercepat pertumbuhan serta peluasan "benih-benih kejahatan (fujûr)" sehingga benih ini akan mendominasi hatinya. Dari Abû Hurairah ra bahwa Rasûlullah SAW bersabda:

"Sesungguhnya orang mukmin, ketika ia berbuat dosa maka (saat itu juga) akan menempel titik hitam di hatinya, jika ia bertaubat dan mencabut (dirinya dari perbuatan dosa tersebut) dan memohon ampunan maka hatinya (kembali) bersih, jika ia menambahinya (dengan perbuatan dosa lagi) maka titik hitam itu bertambah pula di dalam hatinya.

Selanjutnya itulah "ran" yang disebutkan dalam firman Allah SWT:

"(Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka)."

Hadits hasan, dikeluarkan oleh Ibnu Majah dalam "Kitab Az-Zuhd, bab Dzikru Adz-Dzunûb.

Pada saat hati manusia dikuasai oleh "benih-benih kejahatan (fujûr)" maka idea, pola fikir, keperibadian dan seluruh anggota tubuhnya akan menjadi buruk karena mengikuti instruksi-instruksi yang datang dari hati yang dipenuhi dengan "benih kejahatan", sehingga jadilah ia termasuk orang-orang yang merugi karena ia telah mengotori dan mencemari jiwanya dengan selalu menuruti nafsu syahwat syaithani,

sebagaimana firman Allah SWT

"Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. (QS. 91:10)."

Dalam kitab Minhajul Qashidîn dikatakan:

Bahwa sesuatu yang paling berharga, paling bernilai dan paling mulia pada diri manusia adalah hatinya. Sedang anggota tubuh hanya sekedar mengikuti dan menjadi pelayan hati, sebagaimana seorang tuan yang memerintahkan hamba sahayanya sebagai pelayannya.
daripada (http://halaqah.net) sharing for  us...

Selasa, 2 November 2010

Couple...ingin Berpasang-pasangan...jom baca KISAH nie,,,


Mari K.I.T.A dengar dulu kisah lembu dan anjing dan bersama-samalah K.I.T.A ambil iktibar daripadanya...
KISAH LEMBU & ANJING
Lembu : Hai anjing,apa kabar? Macam ada yang tak kena ja?
Anjing : Aku tengah tension ni.Mau ja aku gigit manusia tadi.
Lembu :eh,kenapa ?
Anjing : Aku lalu tepi dua orang manusia lelaki & perempuan yang sedang berkepit.Tetiba si lelaki
Terperanjat dan terus melompat dan berkata “hoi anjing!!!Pergi jauh-jauh!!!Najis!!!”
Lembu : Iya lah.Kau kan haram.Najis tahap berat bagi manusia .Biasalah tu.
Anjing : Kalau aku najis sekali pun,kalau dya tersentuh aku,boleh disamak kan.Yang dya sentuh & raba
-raba awek dya tu apa?Boleh ka nak samak dosa?
Lembu : Betul tu.Memegang wanita yang bukan mahram tanpa ikatan sah lebih dasyat kenajisannya dp
Memegang kau anjing,malah tak boleh suci sekalipun di samak.
Anjing : Wah…Ayat ko memang power la.

“Bergerombolan dengan babi (khinzir) itu adalah lebih baik berbanding dengan bersentuhan(secara sengaja) dengan wanita yang bukan mahramnya.” Riwayat Ibnu Majah
Keharaman bercouple lebih jelas dari matahari di siang hari.Namun begitu masih ada yang berusaha menolaknya walaupun dengan dalil yang sangat rapuh,antaranya :

Tidak boleh dikatakan semua cara bercouple itu haram,kerana mungkin ada orang yang bercouple mengikut landasan Islam,tanpa melanggar syariat!

Jawabnya: Istilah bercouple berlandaskan Islam itu Cuma ada dalam khayalan,dan tidak pernah ada wujudnya.Anggap sajalah mereka boleh menghindari khalwat,menyentuh serta menutup aurat.Tetapi tetap tidak akan boleh menghindari dari saling memandang atau saling membayangkan kekasihnya dari masa ke masa,yang mana hal itu jelas haram berdasarkan dalil yang kukuh.

Biasanya sebelum memasuki alam perkahwinan,perlu untuk mengenal terlebih dahulu calon pasangan hidupnya,fizikal,karakter,yang mana hal itu tidak akan boleh dilakukan tanpa bercouple.

Jawabnya: Memang,mengenal fizikal dan karakter calon isteri mahupun suami merupakan satu hal yang diperlukan sebelum memasuki alam pernikahan,agar tidak ada penyesalan di kemudian hari.Namun,tujuan ini tidak boleh digunakan untuk menghalalkan sesuatu yang telah sedia haramnya.Ditambah lagi,bahawa orang yang sedang jatuh cinta akan berusaha untuk bertanyakan segala yang baik dengan menutupi kekurangannya di hadapan kekasihnya.Juga orang yang sedang jatuh cinta akan menjadi buta dan tuli terhadap perbuatan kekasihnya,sebagaimana diriwayatkan dari Abu darda:cintamu pada sesuatu membuatmu buta & tuli.
Marilah kita sama-sama menjauhi perkara yang seumpama itu dan menjauhi hal-hal yang telah dilarang.Tegakkan lah yang benar dan katakanlah  salah kepada yang batil.janganlah berhujah untuk membenarkan perkara yang telah terang haramnya di sisi Allah.
 Seterusnya...jom ikuti lagi sebuah cerpen berunsur tazkirah tentang C.I.N.T.A...

Tiada cinta sebelum nikah.
No love before akad.
Cinta hanya selepas kahwin.
Dan bla bla bla bla bla….
Ayat yang seringkali aku baca, dan sering kali aku dengar.
Tetapi, aku tak pernah sama sekali setuju dengannya.
Kerana pada aku, cinta sebelum nikah itu ada.
Aku kira, yang patut tiada sebelum nikah adalah hubungan intim seperti suami isteri. Cinta, pada aku, sebelum nikah lagi memang sepatutnya perlu diwujudkan.
Oh, lainlah kalau definisi cinta kamu, telah kamu rendahkan dengan menganggap ‘bercinta’ itu adalah ‘bercouple, pegang-pegang tangan, berhubungan tanpa batas’ dan sekutu-sekutunya.
Maaf. Cinta aku mahal, dan tidak serendah itu.
Sebab itu cinta aku yang mahal itu, wujud sebelum bernikah lagi.

Cinta yang sebenar
Couple itu maknanya cinta? Hubungan intim lelaki perempuan yang bukan mahram tanpa batasan itu cinta?
Maaf. Jika kamu panggil itu sebagai ‘bercinta’, tandanya kamu telah menjatuhkan harga cinta. Untuk aku, itu semua bukan cinta. Cinta adalah suci. Bersih. Dan ianya membawa ke syurga.
Cinta mestilah dibina dari keimanan, dan dicari berlandaskan petunjuk Allah SWT.
Cinta adalah perasaan, yang wujud di dalam jiwa dan diterjemahkan dalam bentuk amal.
Menolak sahabat ke dalam api, itu bukan namanya akung sahabat, walaupun sebelum menolak sahabat itu ke dalam api, sudah 1000 kali diucapkan: Ana saynag enta, sahabat ana.
Melempar pasangan ke dalam neraka, dengan melanggar arahan-arahan Allah, itu bukan namanya bercinta. Walaupun kamu sering gunakan perkataan ‘cinta’ dalam hubungan kamu.
Cinta lebih suci dari apa yang kamu jangka.
Dan ‘cinta’ yang asli ini, tidak sepatutnya diharamkan sebelum bernikah.


Cinta sebelum kahwin
Kalau benar cinta kepada pasangan kamu, maka kamu akan menjaga diri kamu dari laranganNya. Kamu tidak akan melempar pasangan kamu ke neraka dengan mengajaknya bermaksiat kepada Allah SWT.
Kalau kamu benar cinta, kamu akan meminta petunjuk Allah dan berkira-kira. Kamu akan list pro dan kontra serta muhasabah kembali perasaan yang hadir di dalam diri kamu. Kemudian bila benar-benar sudah tetap hatinya, lanjutkan dengan lamaran tanda kamu benar-benar serius. Yang lelaki boleh terus kepada keluarganya, yang perempuan boleh menghantar wakil untuk bertanyakan lelakinya.
Tapi pastikan kamu benar-benar siap. Bukan istikharah semata-mata. Tetapi ada perancangannya juga. Perancangan dunia kamu, dan perancangan akhirat kamu. Ini kalau kamu benar-benar cinta.
Kamu berhubungan atas perkara yang sangat-sangat-sangat penting sahaja dan kamu tidak berlengah-lengah dalam meninggalkannya ketika urusan selesai.
Untuk lelaki, kamu bina hubungan yang erat dengan kedua ibu bapanya, dan adik beradik lelakinya, untuk berta’aruf dengannya.
Untuk perempuan, kamu bina hubungan yang erat dengan ibunya dan adik beradik perempuanya, serta saudara mara perempuan yang dia ada untuk berta’aruf dengannya.
Kamu siapkan diri kamu untuk menjadi suami@isteri yang baik untuk pasangan kamu. Kamu tekankan pada diri kamu untuk lakukan perubahan dengan memandang bahawa kamu mesti hendak membahagiakan pasangan kamu sebahagia-bahagianya. Dan apakah yang lebih bahagia dari mendapat keredhaan Allah dan masuk ke syurga bersama-sama?
Dan pantaskan urusan perkahwinan kamu. Jatuhkan dengan segera perkara-perkara yang menghalang perkahwinan kamu dari berlangsung dengan cepat. Itu satu tanda cinta.
Kalau kamu tanya akan cinta aku.
Maka cinta aku begitulah.

Kamu yang syok sendiri tanpa memahami cinta
Kamu-kamu yang bercouple dan memusnahkan erti cinta yang sebenar, aku terkilan dengan kamu.
Kamu-kamu yang bercinta dengan cara yang salah, aku terkilan dengan kamu.
Hal ini kerana, wujudnya kamu dan kesalahan kamu, membawa kepada orang-orang tertentu mengharamkan terus cinta sebelum wujudnya pernikahan.
Kamu-kamu yang mengharamkan terus segala jenis cinta sebelum nikah, aku juga terkilan dengan kamu.
Islam datang mengajar kita mengawal perasaan. Bukan menghapuskannya.
Jadi yang halal diharamkan hanya kerana ada yang salah menggunakannya.
Maka sepatutnya dididik bagaimana untuk bercinta dengan sebenarnya.
Apakah jika ada orang belajar untuk membuat nuklear dan mengebom sesebuah tempat, maka ‘belajar’ itu diharamkan dan matapelajaran ‘nuklear’ itu patut diharamkan?
Semestinya tidak.
Apakah apabila Allah menimbulkan rasa cinta di dalam jiwa seseorang, kamu hendak menyalahkan Allah atas perasaan cinta yang Dia munculkan?
Maka sepatutnya kamu, membina satu garis yang jelas. Antara cinta, dan ‘cinta’.
Bukan hanya syok sendiri dengan ‘cinta suci’ buat ‘golongan kamu’ sahaja.

Aku tidak menghalalkan yang haram, juga tidak mengharamkan yang halal
Aku di sini bukan hendak menghalalkan yang haram. Aku nyatakan di sini, couple dan segala apa yang Allah larang, untuk aku itu semua bukannya cinta. Justeru apabila aku katakan cinta, couple tiada kaitan dengannya. Keluar berdua-duaan tiada kaitan dengannya, bergayut dalam telefon tiada kaitan dengannya. Sms-sms tak ada makna, atau sms-sms ‘tazkirah bohong’ tak ada kena mengena. Salut-salut nama ‘dakwah’ untuk meng’halal’kan perhubungan juga tak ada kena mengena.
Cinta yang aku kata ini, bebas dari semua itu.
Aku juga tidak akan sesekali mengharamkan yang halal. Sebab itu aku berdiri di sini dengan pegangan ini.
Untuk aku, yang halal bila disalah guna, benar ia menjadi haram.
Maka masalah di sini bukanlah yang halal itu.
Masalah di sini adalah ‘pengawalan’ itu.
Sekelompok manusia yang gagal mengawal, itu bukan bermakna ia haram untuk semua manusia. Lainlah perkara itu jelasnya haram secara qat’i, sebagaimana arak. Walaupun mungkin sekelompok sahaja yang mabuk, tetapi ia tetap haram kepada semua.
Cinta yang hakiki, bukannya arak!

Lihatlah dia, lihatlah kesederhanaannya
Guruku, mudirku, Ustaz Dahlan Mohd Zain, pernah satu hari membicarakan hal perkahwinan dan hubungan sebelum kahwin di dalam kelas. Keluar dari pelajaran kami yang sebenarnya, Fiqh Sirah Nabawi pada hari itu.
Lihatlah antara soalan yang muncul, dan bagaimana sederhananya jawapan dia.
“Ustaz, boleh ke kata cinta pada tunang kita?”
“Boleh, tapi kena benar-benar dengan cinta yang betul la. Bukan main-main”
Maka aku terjemahkan ‘benar-benar dengan cinta yang betul,’ itu, adalah apabila ia dipandu keimanan, di atas syara’, dan kena pada keadaan serta keperluan pengucapan itu. Bukan diucap atas dasar nafsu, atau semata-mata kerana rindu, atau kerana ingin bermanja-manjaan.
“Ustaz, boleh ke nak jumpa tunang?”
“Boleh, tapi kenalah bawa keluarga sekali. Ajak mak ayahnya makan bersama ke. Masa tu jumpa la.”
Bukannya tidak dibenarkan berjumpa langsung.
Tetapi ada caranya. Ada ketikanya. Ada adabnya.
Ustaz Dahlan mengajar aku, untuk tidak mengharamkan sesuatu yang halal, tetapi melihat apakah yang membawa kepadanya menjadi haram, dan membasmikan masalah itu.
Dan jawapan-jawapannya adalah jawapan yang menyenangkan jiwa. Lihatlah uslubnya.
“Boleh…” Mendengar jawapan ini terlebih dahulu, jiwa jadi lapang. Oh, Islam ini tidak berat ya…
“Tapi kenalah…” Dan syarat selepas itu menjadi ringan untuk dilakukan kerana hendak mencapai ‘boleh’ tadi.
Ustaz Dahlan, secara tidak langsung, menundukkan nafsu pada kawalan syara’ hanya dengan jawapannya yang mudah itu. Dan jawapannya sesuai untuk umum. Bukan hanya untuk orang dakwah sahaja, bukan hanya untuk yang tidak belajar agama sahaja. Jawapannya betul untuk semua.
Dan aku hidup dengannya, menyerap segala didikannya, jadilah aku sebagai aku.
Dan jadilah cinta aku seperti ini.

Penutup: Kamu, jangan murahkan cinta, dan memandang rendah kepadanya
Kamu, jangan murahkan cinta dan memandang rendah kepadanya.
Jangan kamu salahkan cinta kerana kesalahan-kesalahan kamu atau orang lain.
Kalau kamu lemah hendak mengangkat cinta pada pundakmu, maka kuatkanlah dirimu itu. Bukan memandang rendah orang lain, atau meyalahkan orang lain, yang bercinta dengan cintanya yang betul.
Aku tidak mewajibkan cinta sebelum nikah. Tetapi yang aku ingin jelaskan di sini adalah, jika ia wujud, maka itu bukan satu kesalahan. Yang perlu adalah pengawalan agar ia tidak keluar dari definisi cinta yang sebenar.
Definisi cinta aku adalah = ingin masuk syurga bersama.
Apakah cinta kalau melempar pasangan ke neraka?
Untuk aku, inilah dia kefahaman aku. Inilah dia cinta aku.
Oh ya, dan aku belum bernikah.

oppss sat!!sat!! (terkeluar pula loghat kedah)...baca lagi...confirm tak rugi...ada lagi sebuah KISAH yang menarik,tertarik dan memang BEST laa...
Pada suatu hari, Saya bertanya kepada emak, "Maa satu pilihan hati, orang yang sayangkan kita atau yang kita sayang? "Mak jawab, "dua-dua bukan.." Saya tercengang..Mak mengukir senyuman.

"Pilihan hati mak adalah yang sayangkan kita kerana Allah.." Saya menarik nafas dalam-dalam."Macam mana nak tau orang tu sayang kita kerana apa?" Mak diam sekejap berfikir dan kemudian tersenyum.

Rasanya mak dapat menduga apa yang sedang bermain dalam hati anak perempuannya. Mana mungkin saya mampu menyorokkan rahsia hati dari mak sedangkan sekilas saya pun mak mampu membacanya."Yang paling tahu hanya Allah.." mak merenung dalam-dalam wajah anaknya.

"Kerana hanya Allah mampu membaca hati hambaNya.. " mak menyusun ayat-ayatnya."Dan keikhlasan kerana Allah itu akan terserlah keberkatannya tanpa perlu sengaja ditonjolkan oleh seseorang tu.."

Saya memintas, "Tak faham.."Mak menyambung "Cinta di dalam jalan Allah.. Bertemu kerana sama-sama mencari redha Allah.." Mak menyambung lagi,"begini, setiap insan yang bergelar manusia telah Allah ciptakan berpasang-pasangan. Rasa ingin dikasihi antara seorang suami dan isteri suatu fitrah. Automatik boleh ada daya tarikan magnet tu.."

Wajah saya merah, sedikit cemas jika mak dapat mengesan gelora jiwa muda ini.. Mak menyambung "Setiap manusia telah Allah tetapkan rezeki,jodoh dan maut sejak azali lagi..

Persoalannya ialah.. Siapakah jodohnya itu?" mak berhenti seketika.Saya tunduk malu, cuba menyorokkan rasa panas di pipi.Emak buat-buat tidak nampak.

Secret Admire

"Kakak, mak dulu masa remaja ada secret admire.. Rajin betul dia hantar surat ..Masa tu mak dah tahu yang bercinta sebelum kahwin ni tak halal..Dan masa tu mak tekad tak mahu layan sebab mak takut arwah tokwan kena seksa dalam kubur.. Mak sedar mak anak yatim, anak orang miskin, adik beradik ramai.. Mak nak belajar sungguh-sungguh. .lama budak tu tunggu mak..Akhirnya mak bagi kata putus, mak hanya akan membalas cinta dia jika dia sah suami mak..

Dan dia memang bukan jodoh mak, maka tak pernah dia menerima balasan cinta tu." Mak merenung jauh.Saya merapatkan badan kepada emak, semakin berminat dengan kisah lama mak..

"Mak memang tak ada perasaan langsung pada dia ke?" saya menyoal sambil memandang tajam wajah mak. Emak ketawa kecil."Walaupun mungkin ada, mak tak pernah bagi peluang pada diri mak untuk mengisytiharkan perasaan tu..Mak takut pada Allah.

Mak bukan seperti rakan sebaya mak yang lain.."Mak, seperti kakak.." mak memandang saya sambil memegang pipi dan dagu saya.kemudian tangannya mengusap rambut di kepala saya.

"Mak anak ustaz ustazah.. Tapi zaman tu ustaz ustazah nya masih berkebaya pendek dan ketat. Tok wan mak kiyai. Mungkin berkat doa keturunan sebelum ni yang soleh-soleh, hati mak tertarik sangat pada agama walaupun tiada sesiapa yang mendorong.. Bila di sekolah, mak pelajar pertama yang bertudung.. Mak membawa imej agama. Kawan-kawan dan cikgu-cikgu panggil mak dengan gelaran mak Aji.. Sebab zaman tu hujung 70an dan awal 80an tak ramai lagi yang bertudung betul menutup auratnya..Zaman tudung nipis dan nampak jambul. Kemudian kawan-kawan mak sikit-sikit ikut bertudung.

Akhirnya kami semua dipanggil di perhimpunan. Kami dimarah guru besar kerana bertudung sedangkan ustazah kami bertudung tapi nampak jambulnya.."emak melemparkan pandangan ke lantai. "Selepas tu ustazah jumpa kami secara persendirian. Ustazah kata dia tak mampu nak pakai seperti kami. Dia suruh kami teruskan.." sambung emak.

Ada getar di hujung suara emak. Kisah silam perjuangan emak di sekolah dahulu sikit-sikit emak ceritakan pada saya. Itulah juga salah satu inspirasi kepada saya untuk bangkit semula setiap kali terjatuh ketika berjuang di sekolah dulu.

"Mungkin kerana personaliti mak, mak menjadi tempat rujukan kawan-kawan mak.. Jadi, bila mak nak ambil sesuatu tindakan, mak kena fikir betul-betul sama da tindakan mak  tu akan menyebabkan Allah marah atau tidak. Mak ayah berdosa tak? Dan maruah pembawa agama terjejas tak? Kalau mak membalas cinta si lelaki tadi, bermakna mak sedang menconteng arang di muka-muka pembawa-pembawa agama. Orang akan pandang serong terhadap orang yang bertudung sedangkan kesilapan tu hanya seorang dua yang buat. Besar fitnah akan timbul apabila orang-orang agama mengambil ringan batas syariat duhai anak.." mak menelan air liurnya. Saya diam.

Fikiran saya sedang cuba memahami maksud mak saya.


Adakah ia suatu diskriminasi?


"Kakak.. Jatuh cinta perkara biasa. Apabila kita 

jatuh cinta pada seseorang, itu tandanya ada 

sesuatu keistimewaan pada seseorang tu.

Apatah lagi orang yang kita jatuh cinta tu di atas 

jalan dakwah ni..Tetapi kita kena ingat.. Kita tak 

akan dikahwinkan dengan seseorang atas sebab jatuh 

cinta atau saling cinta mencintai.. Bercouple 

mungkin.. Tetapi bukan berkahwin... Kerana kita 

berkahwin dengan jodoh kita, jodoh yang Allah dah 

tetapkan sejak azali.. Dan tak mustahil orang yang 

kita paling benci itulah jodoh kita yang kita akan 

dikahwinkan dengannya.."


Tiba-tiba air mata saya mengalir. Argh! Ego saya

kalah bila mendengar hujah emak. Emak meneruskan,


"Allah itu Maha Adil.. Dia tak pernah menzalimi 

hambaNya..Sesungguh nya, yang selalu menzalimi 

hambaNya ialah diri hamba tu sendiri.. Sebabnya 

hamba tu degil. Dia mahukan yang bukan haknya, yang 

bukan milik dia.


Mencintai seseorang tidak semestinya memilikinya.


Dalam Islam, kita dah diajar untuk saling mencintai 

antara satu sama lain seperti diri sendiri.. Jadi 

apabila kita mencintai saudara perempuan, kita 

bebas peluk dia. Tetapi bila dengan lelaki, kita 

ada batas-batasnya.


Orang kafir kata batas-batas ini suatu 

diskriminasi, tetapi sebenarnya batas-batas syariat 

itulah yang memelihara kehormatan seorang lelaki 

dan seorang perempuan. Cuba kakak renungkan, kita 

mengenali seorang insan yang amat baik, sempurna 

agamanya dan rajin. Lalu kita jatuh hati padanya. 

Ditakdirkan jodohnya dengan insan lain, kita pula 

dengan yang lain..


Tetapi itu tidak bermakna ukhwah antara kita dan 

dia terputus.. Kita dan dia sama-sama mencari redha 

Allah.. Kita dan dia masih boleh sama-sama 

bekerjasama untuk mencari redha Allah.. 

Perbezaannya, dia halal untuk isterinya sedangkan 

untuk kita, dia tetap lelaki ajnabi seperti yang 

awalnya." emak berhenti seketika.. Bukan luar

biasa...


Tentu kering tekak emak menerangkan kepada saya

persoalan hati ini.


"Kakak.. jadi di sini mak nak kakak faham, jatuh 

cinta bukan perkara luar biasa..Dan berkahwin pun 

bukan suatu jaminan untuk tak jatuh cinta pada 

lelaki lain.. Kerana itulah ramai isteri yang 

curang, suami yang curang..


Ada orang tukar pasangan macam tukar baju. Apa yang 

penting ialah kita kena perjelaskan pada diri kita 

supaya setiap kali kita jatuh cinta, jatuh cinta 

itu kerana kita jatuh cinta kepada Pencipta dia. 

Kita bagi tau pada diri kita berulang kali yang 

kita mencintai Allah, kerana itu kita mencintai si 

dia. Letakkan Allah sebagai sempadan hati kita, 

segala perkara yang kita cintai dan sayangi 

termasuk mak abah adalah kerana mencintai Allah.. 

Dan apabila kita membenci seseorang atau sesuatu, 

beri tahu pada diri sendiri berulangkali yang kita 

benci sekian-sekian hal kerana Allah semata-mata.

."


"Kakak.. Hati kita ni walaupun dalam dada kita 

sendiri, ia tetap bukan milik kita. Kita tak mampu 

untuk mengawalnya. . Hanya Allah yang boleh 

memegangnya. . Sebab tu kita kena dekatkan diri 

dengan Allah.. Sebab kita nak dia pegang kukuh-

kukuh hati kita. Bila dia pelihara dan masuk dalam 

hati kita, itulah nikmat lazatnnya bercinta. Masa 

tu biarpun satu dunia menyakiti kita, kita tak rasa 

sakit sebab kita asyik dengan nikmat bercinta 

dengan Allah..Bercinta dengan Allah sangat berbeza 

dari bercinta dengan manusia. Kerana tentulah 

pegalaman bercinta dengan lelaki kaya,rupawan, 

sempurna dan bijaksana tak sama rasanya bercinta 

dengan lelaki miskin, hodoh,cacat dan dungu.. 

Betapa nikmatnya cinta Allah, hanya mereka yang 

pernah merasai sahaja yang mampu mengerti. "


Redha


"Kakak.. Walau siapapun jodoh yang Allah hantarkan 

untuk kakak, terimalah dengan hati yang redha.. Tak 

mustahil dia adalah orang yang kita benci. Kalau 

yang kakak sayang, tak jadi hal lah.. Tapi kalau 

dapat yang kakak tak nak, lantaran kelemahan yang 

ada pada dia, ingatlah bahawa dalam diri setiap 

insan telah Allah ciptakan dengan kelebihan masing

-masing. Dan mungkin kakak ada kekuatan yang dapat 

mengubah si lelaki tadi supaya hidup dia bermakna 

dan mungkin kakak sahaja yang mampu mencungkil 

kelebihan yang ada pada dia.. Mungkin juga si 

lelaki ini ada sesuatu kelebihan yang kakak sangat-sangat perlukan yang satu dunia tak mampu bagi pada kakak..

Alangkah bertuahnya kakak kalau kakak mengerti setiap pemberian Allah dan belajar untuk bersyukur.. "

Sekali lagi berjuraian air mata saya turun. Terasa lemah lutut hendak berdiri. Emak menarik tubuh saya dan memeluk erat. Pelukan emak sangat-sangat kuat.

"Emak dah didik anak emak dari belum lahir untuk mencintai Allah.. Sekarang emak serahkan anak emak yang mak sayang sangat ni pada Allah untuk Dia pelihara.."

Emak mengakhiri kata-katanya dengan suara sebak dan air mata yang mengalir ke bahu saya...


-amekla pengajaran dari citer ini okay(',)-

Aku ingin K.I.T.A...



Aku ingin KITA…
Aku ingin kita seperti Abu Bakar al-Siddiq
 persahabatan terjalin kerana al khaliq…
harta dikorban bukan sedikit …
cintakan kebenaran, sanggup bersakit…
Aku ingin kita seperti tawakal ibrahim a.s…
 mulia ketika meninggalkan insan tercinta…
 di bumi tandus tanpa bicara…
 menyakini Allah sebagai penjaga…
Aku impikan antara kita seorang umar…
 berdiri tatkala tunduknya manusia…
Bersuara tatkala diamnya mereka …
menggerunkan musuh durjana…
Aku rindukan senyuman syed al-Qutb …
ketika berhadapan dengan tali maut…
 akidah mantap tidak terenggut…
 roh dakwahnya tidak surut…
Aku ingin kita seteguh ibn zubbair …
menahan panahan Hajjaj …
dengan rela bersama si ibu tua…
 lantas Syahid rohnya diangkat…
 ke syurga…
Marilah kita menyemai benih mujahid Hassan al banna…
fikrahnya jernih mengegar dunia…
merelakan tubuhnya dimamah peluru…
 demi menegakkan kalam Allah dan Rasul…
Aku cintakan pemuda Ghiffari…
 menentang kezaliman walaupun diancam…
 moga kan lahir lagi di abad ini…
 jiwa jitu pemuda yang tak pernah sulam…
Aku ingin kita sepemaaaf yusuf a.s…
 tetap mencintai dan menolong saudaranya …
walaupun pernah dihumban keperigi tua…
 terpisah dari ayahanda bertahun lamanya…
Aku ingin pusara kita harum mewangi …
bagai harumnya pusara Masyitah  semerbak kasturi…
 kerana hebatnya iman mempertahan syahadah…
 ketika di keliling kekufuran …
Duhai teman sejatiku….
 aku ingin persahabatan indah ini…
 bolah menjadi syafaat di mahkamah mahsyar nanti …
ketika semua umat manusia  gusar…
 mencari perlindungan …
Ya Allah….
 tatkala bahan Mahsyar MU menjilat tubuh…
izinkan kami sama-sama berteduh…
 tatkala mizan Mu teliti mengira…
 beratkan neracanya atas setiap jasa…
 naungi kami di sana…
berkat kasih keranamu semata-mata…
  Andai kulayak ke syurga ku pinta dia bersama…

Jika sepasang KEKASIH...


Jika sepasang kekasih….
Berdating di taman …
KITA pula tidak sabar-sabar berdating…
 dalam majlis ilmu penuh keberkatan..
Jika sepasang kekasih….
bercumbuan dalam sembunyi di bawah cahaya rembulan…
Berdua-duan jauh dari orang …
KITA pula berkasih sayang dalam sembunyi dan terang…
 tanpa takut dan bimbang…
 penuh kesucian….
JIka sepasang kekasih….
 sering bermain madah berhelah…
 KITA pula berhibur dengan madah kalamullah…
JIka sepasang kekasih sering memadu rindu…
Atas rangsangan nafsu…
 KITA pula berkasih atas landasan ukhwahfillah…
 bebas dari dorongan nafsu semata dinaungi kasih pencipta…
Jika sepasang kekasih….
 menunaikan apa sahaja kemahuan buah hatinya…
Kita pula berusaha sedaya upaya…
 menunaikan apa sahaja kemahuan pencipta kita…
Jika sepasang kekasih memejam mata pada aib pasangannya…
 kerana saling menjaga hati…
 KITA pula sentiasa menjaga akhlak dan pekerti dan saling nasihat-menasihati…
 agar peribadi makin berkualiti…
Jika sepasang kekasih….
 merasakan dunia ini mereka yang punya…
 KITA pula sentiasa menyedari hakikat dunia ini Allah yang punya…
Jika sepasang kekasih….
 sanggup berkorban harta,keluarga dan maruah demi cinta…
 KITA pula sanggup korbankan segala-galanya demi cinta agungNya…
 dalam masa yang sama mencintai keluarga dan memelihara maruah setingginya…
Indah kalam rasul junjungan…
 mengajar erti perjuangan …
perlukan keteguhan azam, istiqamah dan  tetap pendirian…
jangan mudah terhalang…
 janji Allah pasti akan datang.
Rasuh bermadah lagi satu janji…
satu inspirasi Islam takkan ditandingi…
 Islam itu tinggi…
 dan tiada yang lebih tinggi daripadanya…
Cuma belum pasti adakah kita tinggi peribadi…?
Untuk memikul amanah suci…
 bagi merebut pandangan  illahi…
 sebagai Jiilul Quran yang tersendiri….
Duhai sahabat sejatiku…
Ketinggian seseorang kerana iman…
Oleh itu hilangkan kesedihan dan ambil pengajaran daripada surah ali Imran…
Pujuklah jiwamu dengan janji  ar- Rahman..
Janganlah kamu bersikap lemah…
Dan janganlah pula kamu bersedih hati…
Padahal kamulah oaring-orang yang paling tinggi darjatnya…
Jika kamu seorang yang beriman…

Isnin, 1 November 2010

Pejuang Islam : Syeikh Ahmad Yassin


Seorang tokoh ikhwan yang menubuhkan HAMAS di Palestin

Jom Menjejaki Mutiara Berharga Di Bumi Palestin

Nama Syeikh Ahmad Yassin bukanlah asing kepada umat islam seluruh dunia, apatah lagi yang sering mengikuti perkembangan mutakhir di bumi Anbiya’ (Palestin), ia merupakan satu nama besar yang digeruni oleh bangsa Yahudi yang berusaha untuk menghapuskannya walaupun dalam keadaan fizikalnya yang tidak normal seperti manusia lain. Pemikirannya yang matang dalam isu yang membebaskan bumi Palestin daripada penjajahan yahudi amat jelas, hingga dianggap sebagai seorang yang memiliki kepakaran dalam menghadapi rejim Yahudi yang rakus, kemampuannya dalam membaca strategi musuh menarik minat beberapa individu atau tokoh di kalangan ilmuan Islam menyertai (HAMAS) seperti As-Syahid Dr. Abdul Aziz Rantisi, Ismail Haniyeh, Khaled Masyal dan lain-lain. Semoga Allah merahmati mereka…

Biografi Kehidupan Awal Syeikh Ahmad Yassin

Syeikh Ahmad Yassin telah dilahirkan di sebuah kampung bernama al-Jora, daerah Majdal di dalam wilayah Asqalan pada tahun 1938, dia telah dibesarkan di sana sehingga tahun 1948 ketika pendudukan pengganas yahudi ke atas bumi palestin, dia dan keluarga terpaksa berhijrah ke semenanjung Gaza.

Beliau membesar sebagai seorang pelajar yang cemerlang di dalam pelajarannya dan beliau amat disayangi oleh guru-gurunya ketika berada di sekolah. Beliau juga merupakan seorang ahli sukan yang aktif pada zaman persekolahannya. Di zaman mudanya beliau telah ditimpa kemalangan, di mana beliau mengalami lumpuh pada bahagian kakinya. Keadaannya yang lumpuh itu tidak menghalang beliau untuk meneruskan kecemerlangan di dalam bidang pelajaran dan juga aktivi-aktiviti islam.

Pada tahun 1964 beliau telah melanjutkan pelajaran di Universiti Ain Shams di Kaherah. Pengajiannya di Universiti tersebut walaubagaimanapun tidak sampai ke hujungnya apabila beliau telah dipenjarakan selama sebulan oleh pihak berkuasa Mesir kerana penglibatannya dengan pertubuhan IKHWAN MUSLIMIN pada tahun 1966.

Lebih dahsyat lagi beliau telah dihantar pulang ke Gaza oleh pihak berkuasa Mesir tanpa sempat menamatkan pengajiannya. Ujian yang getir ini tidak sedikit pun membunuh semangatnya untuk terus bergerak aktif dalam pertubuhan tersebut untuk memperjuangkan Islam dan dakwah Islamiyyah. Kepulangannya ke Gaza telah menyaksikan bagaimana beliau bergerak aktif memperjuangkan Islam sebagai guru bahasa arab dan juga Khatib di Masjid Gaza. Dalam tempoh yang singkat sahaja beliau telah menjadi terkenal di kalangan penduduk Gaza dengan khutbah-khutbahnya yang sangat memikat hati pendengar terutamanya selepas pendudukan rejim Zionis ke atas Gaza pada tahun 1967.

Selain daripada dua tugas utama tersebut, masyarakat palestin di semenanjung Gaza juga telah menyaksikan jasa Syeikh Ahmad Yassin sebagai pertugas kebajikan dan juga pendakwah yang gigih mendidik anak-anak remaja dan para pemuda dengan didikan Islam.

Hasil dari usaha tersebut sekitar tahun 1969 dan 1970 beliau menubuhkan Gerakan Ikhwan Muslimin di Gaza yang semakin berkembang pesat dan diterima oleh masyarakat di situ. Kemudian, nama gerakan ini semakin harum di palestin dalam dekad 1940an semasa Ikhwanul Muslimin menyandang senjata menentang tentera Yahudi dan British.

Hasilnya pada tahun 1973 dengan bantuan anggota pertubuhan tersebut, Syeikh Ahmad Yassin telah berjaya menubuhkan sebuah pertubuhan kebajikan yang menjaga kebajikan pelarian-pelarian Palestin yang diberikan nama Mujamma al-Islam. Sebuah NGO berwajah kebajikan ini telah menyantuni ibu-ibu tunggal, anak-anak yatim, orang-orang tua dan pelbagai gerak kerja kebajikan yang lain sehingga meletakkan Syeikh Ahmad Yassin dekat di hati masyarakat Palestin.

Cita-Cita Untuk Melihat Islam Didaulatkan Tidak Pernah Lentur Dihatinya

Usahanya tidak terhenti setakat itu sahaja, memandangkan keadaan di Palestin lebih memaksa umat islam di sana untuk berjihad. Beliau dan beberapa anggota Ikhwan Muslimin yang lain telah menubuhkan sebuah gerakan jihad yang dinamakan sebagai al-Mujahidin al-Filastiniyun pada tahun 1982 sebagai kesinambungan perjuangan “ Kataib Syuyukh “ yang mengambil wasilah jihad sebagai landasan perjuangan mereka.

Bagi Syeikh Ahmad Yassin kelumpuhan dirinya tidak menghalang dirinya daripada usaha mendidik dan membina generasi mujahidin palestin untuk berhadapan dengan penjajahan Zionis yang telah menjajah bumi mereka dan juga Masjid al-Aqsa. Pada tahun 1983, ketika beliau menjawat jawatan sebagai pengarah Pusat Islam di Gaza, beliau telah ditangkap dan dipenjarakan oleh pihak rejim Zionis atas tuduhan memiliki senjata api dan cuba mengugat kerajaan Zionis Israel.

Dia telah dijatuhkan hukuman penjara selama 13 tahun melalui mahkamah tentera Israel, namun pada tahun 1985 hasil daripada proses pertukaran tawanan di antara pihak Pertubuhan Pembebasan Palestin (PLO) dengan rejim Zionis,beliau telah dibebaskan setelah menjalani hukuman penjara selama 11 bulan.

HAMAS: Saat Langit Palestin Berwarna Merah Saga

Penentangan berdarah terhadap Negara haram Israel tidak berhenti kerana rejim ini sentiasa dahagakan darah orang yang beriman seperti kes pembunuhan di Syabra dan Syatila, pembunuh di Masjid Ibrahimi Hebron dan ratusan lagi kes pembunuh kejam yang menawarkan bumi ini dengan warna merah darah penindasan.

Dalam tahunan 60an dan 70an perjuangan Israel lebih terarah kepada kelompak Sosialis dan kebangsaan Arab yang sempit. Ternyata ideologi Barat ini tidak mampu untuk mengerunkan Israel yang hanya mampu memahami bahasa bom dan senapang. Kini sudah tiba masanya mereka kembali kepada nuansa Perjuangan yang berteraskan kepada Islam, berpandukan al-Quran dan as-Sunah Rasulullah S.A.W. Oleh itu, pada bulan disember tahun1987 Syeikh Ahmad Yassin bersama beberapa orang tokoh masyarakat (pendokong-pendokong Ikhwanul Muslimin di Gaza) mengasaskan pergerakan Kebangkitan Islam (HAMAS) atau di dalam bahasa arab disebut Harakatul Muqawwamatil Islamiyyah. Pertubuhan ini secara langsung membawa fikrah Ikhwanul Muslimin dan menyeru rakyat Palestin berjuang atas nama Islam menentang penjajahan Yahudi di Palestin. Syeikh Ahmad Yassin sendiri terpilih sebagai pemimpin tertinggi dan beliau merupakan ideologue gerakan ini terkenal dengan sifat warak, berani, lantang berpidato, sedia berkorban dan mempunyai aura kepimpinan.

Ideologi HAMAS dinyatakan dalam perlembagaannya yang diistiharkan pada 18 Ogos 1988. Antaranya ialah:

Dasar dan Manhaj HAMAS ialah Islam yang lengkap.

HAMAS adalah gerakan kemanusiaan yang mengambil kira toleransi Islam yang membenarkan penganut-penganut agama lain tinggal bersama masyarakat Islam.

Palestin adalah tanah Islam sejak turun-temurun hinggalah Hari Qiamat. Ia tidak boleh dibelah bahagi atau diserahkan pada pihak lain. Ia bukan milik mana-mana individu, pertubuhan ataupun raja dan presiden Negara-Negara Arab. Ia adalah milik Islam yang mesti dipertahankan.

Jihad menentang kezaliman yahudi adalah Fardu Ain ke atas setiap umat islam lelaki dan perempuan. Dalam hal ini,wanita yang keluar berjihad tanpa izin suaminya adalah tidak berdosa.

HAMAS menolak usaha melengah-lengahkan kemenangan seperti perjanjian damai, persidangan-persidangan dan sebagainya. Hanya jihad sahaja penyelesaian bagi isu palestin.

Kelompak wanita memainkan peranan besar dalam perjuangan membebaskan bumi palestin. Mereka perlu berperanan melatih, mentarbiyah dan mendidik serta melahirkan generasi yang faham Islam dan berakhlak mulia serta bersemangat tinggi untuk membebaskan tanah air mereka

HAMAS menghormati pandangan gerakan-gerakan Islam yang lain selagi mana ia tidak bercanggah dengan Islam. Ia juga menganggap Pertubuhan Pembebasan Palestin (PLO) pimpinan Yasir Arafat sebagai “sahabat” tetapi menolak fahaman sekular gerakan itu.



HAMAS mempunyai sikap yang tegas terhadap penubuhan pemerintahan Islam, tanpa kompromi maka gerakan ini menolak penjanjian damai sementara antara Israel dan Palsetin pada tahun 1993-1994. Mulai tahun 1994, HAMAS telah memulakan serangan berani mati terhadap Israel, fenomena ini menjadi igauan yang paling buruk bagi orang yahudi. Dalam tahun1996 sahaja empat serangan bom dalam musim bunga telah diadakan menyebabkan 60 orang penduduk Israel terbunuh. Kebangkitan kedua palestin selama empat tahun setengah telah menyaksikan beberapa orang Palestin terbunuh dan 1,000 penduduk Israel terkorban.

Dengan menubuhkan HAMAS, rakyat palestin yang selama ini tanpa arah yang jelas mencari jalan perjuangan, kini bergabung tenaga melakukan satu kebangkitan menyeluruh atau lebih dikenali sebagai INTIFADHAH.(Ibnu Ismail:2004)


Gerakan jihad ini sangat tersohor dan digeruni oleh musuh Allah sehingga Amerika Syarikat telah meletakkan gerakan ini dalam senarai pertubuhan penggans namun HAMAS tetap harum subur di hati masyarakat Palestin sehingga pernah menang besar dalam pilihan raya di Palestin. Syeikh Ahmad terus menjadi ikon masyarakat Islam dunia dan beliau dengan disorong kerusi rodanya telah meletakkan Israel dan Amerika dalam keresahan yang berpanjangan. Kata-kata yang terpacul daripada mulut beliau adalah siraman kerohanian yang mampu membangkitkan semangat jihad anak-anak muda daripada lontaran batu yang disertai laungan takbir, HAMAS telah mengusung senjata moden untuk berdada dengan kezaliman tentera Zionis.


Syeikh Ahmad Yassin Memberi Peluang Pejuang Menemui Syahid.


Memimpin sebuah pertubuhan yang berdada secara berdepan dengan Israel bukanlah suatu yang mudah, tidak semudah membentang kertas kerja dalam dewan seminar yang berhawa dingin. Memimpin HAMAS bererti menyediakan nyawa untuk perjuangan. Setiap nafas yang dihela sentiasa diintai oleh musuh-musuh, perlu mengatur gerak langkah dengan berhati-hati. Israel beberapa kali mengatur percubaan untuk membunuh Syeikh Ahmad Yassin, bahkan Israel dengan sombong telah mengumumkan perancangan mereka untuk membunuh pemimpin-pemimpin tertinggi HAMAS.


Pada 6 september 2003, pimpinan HAMAS pernah dikejutkan dengan serangan di bangunan mereka sedang bermesyuarat, Syeikh Ahmad Yassin terselamat namun Israel terus mengintai peluang dan mereka telah menyerangnya dengan menggunakan helicopter pada waktu subuh yang hening pada tanggal 22 Mac 2004, darahnya berkubang dengan serangan peluru berpandu yang dilancarkan dari atas helicopter thaghut Israel.


Pembunuhan ini adalah rantaian konspirasi mereka untuk mengendurkan daya juang umat Islam di Palestin, dalam sejarahnya terlalu banyak siri-siri serangan yang telah dilakukan. Beberapa pemimpin pejuang Palestin telah berjaya menemui syahid dibunuh oleh rejim Zionis dengan menggunakan jet-jet pejuang, helikopter dan juga kereta-kereta kebal mereka. Antaranya Salah Shahadah, Ismail Abu Shanab dan alin-lain lagi. Syeikh Ahmad Yassin juga tidak terlepas daripada usaha jahat tersebut, seperti yang berlaku pada 6/9/2003 bilamana sebuah helikopterApache milik Zionis telah membedil dan merobohkan rumah Ahmad Yassin, mujurlah beliau selamat dan hanya mengalami kecederaan ringan di tangan kanannya. Pada April 2004, Israel tersenyum puas dengan kejayaan mereka membunuh pimpinan tertinggi HAMAS namun dalam sisi lain ia telah menginspirasikan gerakan jihad untuk meneruskan amanah yang mulia.



Menurut kata-kata as-syahid Dr Rantisi (bekas pemimpin Hamas) ketika ditanya soal keberaniannya dalam berjuang membebaskan palestin. Apakah kita takut mati?KEMATIAN...baik di sebabkan pembunuhan atau kanser, semua sama. Kita semua menunggu AKHIR kehidupan kita. Tidak akan ada yang berubah, adakah dengan apache(helikopter yang di gunakan yahudi) atau berhenti detak jantung.saya lebih suka memilih APACHE...Kata-kata yang sangat berguna bagi menempuh jihad di dalam perjuangan sama ada menang dalam perjuangan ataupun mati syahid.Sekiranya ingin mengetahui dengan lebih lanjut mengegenai pejuang-pejuang Islam seperti Dr Abdul Aziz Rantisi, Dr Fathi Yakan, Dr Abdullah Nasih Ulwan, Imam Syahid Hassan al-Banna dan sebagainya boleh dilihat di dalam buku Tokoh- Tokoh Gerakan Islam, hasil karya Zainnuddin Hashim dan Riduan Mohammad Nor.
Rujukan:
1) Zainuddin Hashim & Riduan Mohamad Nor (2009) tokoh-tokoh gerakan islam Abad moden

Penjara:pusat tarbiyah bagi seorang daie...


Bagi seorang da'ie, kehidupan dalam penjara selayaknya mampu mengukuhkan tarbiyyah ruhiyah bagi dirinya dan perjuagannya. Pengukuhan tarbiyyah ruhiyah ini dicapai dengan melonjakkan amal ibadah khusus secara fardi ke tahap yang paling kemuncak! Tiada siapa yang boleh menghalang amalan ke martabat itu untuk dilaksanakan. Masa, ruang dan kesempatan, semuanya berpihak kepada diri da'ie sendiri. Tidak hairan kenapa ramai para daie menganggap kehidupan di penjara sebagai satu kerehatan yang panjang daripada kesibukan duniawi untuk ditumpukan sepenuhnya ke arah ibadah-ibadah yang khusus. Lonjakan tarbiyyah ruhiyah di penjara hendaklah ditumpukan kepada:
Qiyamullail, memperbanyak dan memanjangkan sujud
Seorang da'ie perlu sentiasa ingat bahawa tunjang tarbiyyah bagi tugas memikul qaulan thaqila adalah qiyamullail. Rasulullah s.a.w melaluinya dan inilah juga jalan yang telah ditempuh oleh para anbiya'. Tidak ada nama besar dalam sejarah silam di kalangan mereka yang memperjuangan kebenaran dan keadilan yang tidak menempuh jalan ini di penjara. Perhatikan sahajalah apa yang dilalui oleh Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafie, Imam Ahmad, Ibn Taymiyyah dan Ibn Qayyim; semuanya melonjakkan maqam spiritual mereka melalui solat malam yang panjang dalam penjara dan fikirkan tentang perjuangan mereka. Selain itu, Kita juga boleh ambil iktibar bagaimana keadaan Sayyid Qutb ketika mana di dalam  penjara beliau boleh mengisi masa dengan menulis Tafsir Fi Zilal, Hamka mengarang Tafsir al-Azhar dari balik jeriji penjara, Said Hawwa mengarang Tasfir al-Asas juga dari empat penjuru tembok bisu yang di Syria.Masya Allah...Tidak ada suatu pun yang boleh menghalang seorang da'ie untuk meluntur semangat juang mereka dan bangun solat malam, memperbanyak serta memanjangkan sujudnya dalam penjara serta meneruskan perjuangan kecuali lemahnya azam serta lalainya hatinya terhadap Allah serta tugas-tugas qaulan thaqila yang diamanahkan ke atasnya. Tiada ketenangan yang dapat melebihi ketenangan solat malam ketika mana pelbagai unggas, serangga dan segala makhluk yang menghuni Bukit Jana dan Bukit Larut di sekitar Kem Kamunting seiring senada bertasbih mengalu-alukan kebesaran Allah pada malam hening yang syahdu.
Banyakkan tilawah Al-Quran
Dalam manhaj tarbiyyah bagi seorang da'ie, tidak mengkhatamkan tilawah Al-Quran sekali setiap bulan adalah satu yang 'aib. Mursyid Ikhwan Hasan Al-Hudhaibi ketika berada dalam penjara, pernah memuhasabah seorang ahlinya yang mengkhatamkan Al-Quran sekali setiap sepuluh hari. Katanya: "Apakah yang menghalang engkau daripada bertilawah dua juzu' setiap kali sesudah selesai solat fardhu, dengan itu engkau dapat khatam seluruh Al-Quran setiap tiga hari? Rebutlah peluang ini kerana sesungguhnya engkau mungkin tidak akan lagi diberikan oleh Allah peluang seperti ini"!!
Pada siri akhir Ibn Taymiyyah dipenjarakan, dalam tempoh kurang dua tahun beliau telah selesai mengkhatamkan 80 kali tilawah Al-Quran. Sebaik sahaja selesai tilawah kali ke-80, beliau menghembuskan nafas terakhir untuk bertemu Rabbul Jalil yang amat dirinduinya. Kehidupan di penjara pasti menjanjikan seseorang da'ie untuk menikmati kelazatan mengkhatamkan tilawah Al-Quran sebanyak dua atau tiga kali setiap bulan, insya' Allah.
Banyakkan zikrullah dan munajat
Tilawah Al-Quran adalah seunggul-unggul zikrullah. Pada masa yang sama tahlil, tasbih, tahmid, takbir, hawqalah dan zikir ma'thurat adalah ucapan-ucapan tayyibah dan qauluth-thabit yang menyegarkan jiwa. Bahkan kesempatan berada dalam lokap SB semasa tempoh soal-siasat 60 hari hendaklah dimanfaatkan semaksimumnya untuk solat malam, berzikir dan bermunajat. Pastinya peluang memperbanyakkan dan memanjangkan sujud di Kem Kamunting memberi ruang yang cukup khusyu' dan khudu' bagi seseorang bermunajat dan memohon do'a kudus kepada Allah.
Banyakkan selawat ke atas nabi s.a.w
Meneliti Asy-Syifa' oleh Qadi 'Iyad dan Al-Muwatta' oleh Imam Malik pasti akan memeranjatkan seorang da'ie perihal besarnya fadhilat berselawat ke atas Nabi s.a.w dan kaum keluarganya. Hampir-hampir tiada ruang pada waktu malam untuk diisi dengan ibadah khusus yang lain selain daripada berselawat ke atas Nabi s.a.w. Kalau ada upaya mahu rasanya berselawat sekurang-kurangnya seribu kali setiap hari. Apa tidaknya, Allah dan para malaikat-Nya pun turut berselawat ke atas Nabi s.a.w.
Bahkan, dalam sebuah riwayat yang terkandung dalam Asy-Syifa' menegaskan sesiapa yang menulis di atas kertas nama Rasulullah dan menulis sallahu 'alaihi wassallam, sama ada dengan tulisan penuh mahupun ringkasannya, maka selagi mana tulisan tersebut kekal, maka berterusanlah ia mendapat ganjaran di sisi Allah. Tarbiyyah dari penjara membuatkan saya tidak akan lupa untuk menulis singkatan "s.a.w" selepas Nabi, Rasulullah atau Rasul-Nya dan di mana-mana sahaja nama mulia tersebut saya catatkan.
Banyakkan berfikir dan merefleksi ke hadapan
Bertilawah, berdoa, bermunajat dan berzikir adalah intipati ibadah ke arah taqarrub ilallah dan ta'alluq billah. Berfikir dan merefleksi masa depan pula mampu meningkatkan mujahadah bagi peningkatan tazkiyyatun nafs. Penjara adalah tempat untuk berfikir dan merefleksi ke hadapan. Kejernihan qalbu yang tetap bersabar dalam mengharungi mehnah dan tribulasi mampu menyingkap tabir rahsia bagi menerobos unjuran-unjuran ke hadapan. Allahu a'lam tetapi Allah juga Al-Karim!. Tidak hairan mengapa mereka yang sabar menanggung ujian getir kehidupan di penjara berjaya muncul dengan keunggulan dan kemantapan aspirasi perjuangan yang melonjak-lonjak.
Banyakkan memuhasabah dan menghisab diri
Setiap da'ie memang sedar kelemahan dan kekurangan dirinya. Namun, kesibukan di luar sukar memberi ruang dan masa untuk memuhasabah diri secara tenang dan tenteram. Kehidupan di penjara menyediakan ruang yang secukup-cukupnya untuk memuhasabah dan menghisab diri. Rebutlah peluang ini sebaik-baiknya. Tetapkan keyakinan terhadap perjuangan. Tumpukan perhatian kepada persediaan. Baiki kelemahan dan mantapkan kekuatan diri.
Banyakkan puasa sunat
Puasa sunat khususnya puasa Isnin dan Khamis setiap minggu adalah sibghah bagi da'ie yang istiqamah menempatkan dirinya dalam perjuangan menuju mardhatillah. Penjara adalah tempat terbaik untuk menghidupkan sunnah berpuasa Isnin dan Khamis. Bahkan penjara jugalah tempat terbaik untuk mengamalkan puasa sunat impian setiap da'ie, iaitu puasa seperti puasa Nabi Dawud a.s!
Kurangkan bercakap dan melakukan perkara lagha
Membaca dan menulis sebagai wahana perjuangan sudah cukup menyibukkan seorang da'ie dalam penjara. Mengkhatamkan dua atau tiga kali tilawah Al-Quran sebulan serta bertahlil, bertasbih, bertakbir, bertahmid dan berselawat ribuan kali setiap hari pula memadatkan lagi masa di penjara. Riyadah dan gerakerja tarbiyyah fizikal turut memerlukan peruntukan masa yang bersungguh-sungguh. Dengan itu, bagi seorang da'ie yang benar-benar bermujahadah dalam tarbiyyah, kehidupan dalam penjara langsung tidak akan memberi ruang baginya untuk melakukan perkara lagha yang sia-sia apatah lagi bercakap kosong yang tiada manfaatnya.
Bersihkan qalbu agar doa menjadi makbul
Da'ie mesti sedar bahawa dia adalah seorang yang dianiaya dan dizalimi. Dengan itu sebagai seorang mazlum, ia juga mesti peka bahawa tiada hijab antara do'anya dengan Allah. Alang-alang diberikan maqam yang seistimewa itu, maka do'akanlah segala-galanya dan untuk segala-galanya. Do'akanlah kehancuran bagi kebatilan, penindasan dan kezaliman. Do'akanlah jugalah bagi kemenangan Islam, kebenaran dan keadilan. Untuk itu, jadikanlah setiap saat masa yang berlalu di penjara untuk membolehkan diri layak menjadi insan yang sentiasa dimakbulkan do'anya oleh Allah. Berusahalah untuk berada dalam keadaan berwudhu' pada setiap masa dan ketika.

PENGANTAR ILMU TASAWWUF

Mari Hayati Isi Kandungan Buku Penghantar Ilmu Tasawwuf
SINOPSIS Buku ini membicarakan mengenai tasawuf secara khusus. Antara aspek yang dibincangkan ialah pengenalan tasawuf dan masalah tarekat dan suluk dalam disiplin ilmu dan amalan tasawuf. Penulis mengemukakan beberapa persoalan penting yang berhubung dengan ilmu tasawuf dalam konteks dunia moden kini. Buku ini diharap dapat menyelesaikan beberapa kekeliruan di kalangan masyarakat Islam dalam memahami kedudukan ilmu tasawuf. Dalam masa yang sama, ia dapat menjadi rujukan dalam menyelesaikan persoalan lain yang berkaitan.
KANDUNGAN
Prakata
Bab 1 : Manusia dan Tasawuf
  1. Pengenalan
  2. Kesimpulan
Bab 2 : Sumber, Prinsip Ilmu dan Amalan Tasawuf
  1. Pengenalan
  2. Sumber Al-Quran
  3. Prinsip Ilmu Tasawuf
  4. Istilah Imu Tasawuf
  5. Takwa
  6. Zikrulah
  7. Muraqabah
  8. Mursyid
  9. Raf' al-Himmah
  10. Menuntut Ilmu
  11. Khalwat, 'Uzlah dan Suluk
  12. Rakan/ Kawan Seperjuangan
  13. Menjaga Adab
  14. Kesimpulan
Bab 3 : Tarekat dan Suluk
  1. Pengenalan
  2. Pengertian Tarekat
  3. Tarekat Menurut Tasawuf
  4. Kepentingan Tarekat
  5. Suluk dan Khalwat
  6. Kesimpulan
Nota Akhir
Bibliografi
Indeks
Zikrullah Dan Wirid Dalam Ilmu Tasawuf.
1.0 PENDAHULUAN
Salah satu aspek terpenting di dalam disiplin ilmu dan amalan tasawuf ialah amalan zikrullah dan wirid. Amalan ini sering menonjol di kalangan pengamal tareqat tasawuf. Zikir atau zikrullah merujuk kepada maksud mengingati Allah S.W.T. Di dalam amalan tareqat dan tasawuf zikrullah atau mengingat Allah S.W.T. itu dibantu dengan bermacam-macam ungkapan yang secara langsung atau tidak langsung membawa maksud mengingati Allah S.W.T.. Seperti dengan menyebut nama-nama Allah S.W.T., sifst-sifat-Nya, dan perbuatan-Nya.Ahli tareqat dan tasawuf berkeyakinan bahawa seorang insan melalui amalan zikir akan menjadikan dirinya dapat merasakan lahir dan batinya dilihat oleh Allah S.W.T. dan segala urusan pekerjaannya diawasi oleh Allah S.W.T., perkataannya didengar oleh Allah S.W.T., manakala cita-cita dan niatnya pula tidak terlepas dari pengetahuan Allah S.W.T. Benarlah seperti apa yang telah disabdakan oleh Baginda Rasulullah s.a.w. di dalam hadis Jibril yang diriwayatkan oleh al-Tirmidhi di dalam Sunannya tentang situasi ini, antara lain menyatakan:

ما الإحسان : الإحسان أن تعبد الله كأنك تراه فإن لم تكن تراه فإنه يراك
Bermaksud:“Wahai Rasulullah! Apakah yang dimaksudkan dengan Ihsan? Baginda bersabda: Ihsan itu ialah sesungguhnya engkau menyembah (mengabdi diri) kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Maka sesungguhnya jika engkau tidak dapat melihat-Nya maka sesungguhnya Dia (Allah) melihat kamu”
Di dalam amalan tareqat dan tasawuf, dengan amalan zikrullah seseorang akan mencapai makrifah kepada-Nya dan akan melahirkan dua sifat kepada pengamalnya; Pertama akan melahirkan sifat takwa manakala yang kedua akan melahirkan sifat mahabbah iaitu sifat cintakan kepada Allah S.W.T. Dengan sifat takwa seorang hamba akan menuruti segala perintah tuannya selaku Khalik, manakala sifat mahabbah pula akan melahirkan sifat cintakan kepada perbuatan yang disuruh oleh Allah S.W.T. selaku penciptanya.
1.2 DISIPLIN ILMU TASAWWUF.
Menurut keterangan yang telah diberikan oleh Titus Burckhardt, tasawwuf yang bersifat operatif, seperti juga dengan berbagai jalan kontemplasi dalam disiplin ilmu dan amalan tasawwuf, mengandungi tiga unsur penting. Aspek tersebut ialah dari sudut ajarannya (doktrin), kedua dari sudut al-fadā’il dan yang terakhir ialah kaedah pemusatan peribadi dalam beribadat yang dikenali sebagai كيميأ السعادة , iaitu satu istilah yang sering digunakan oleh sesetengah ahli tasawwuf. Sebenarnya Islam merupakan agama tauhid, manakala semua aspek Islam, sama ada dari sudut ajaran serta amalannya adalah melambangkan kepada prinsip yang asasi tersebut. Disiplin ilmu dan amalan tasawwuf merupakan aspek yang paling mendalam dari dimensinya yang batin terhadap wahyu yang telah diturunkan kepada Nabi Muhammad s.a.w. Tasawwuf adalah kaedah atau cara yang terbaik untuk merealisasikan prinsip tauhid yang terkandung dalam ajaran Islam tersebut. Oleh kerana itu, sebagai seorang yang Islam dan beriman kepada Allah S.W.T. dan Rasul Nya, maka kemuncak dari keislaman dan keimanan tersebut akan dapat dilihat secara sehabis-habis universal oleh perlambangan terhadap ungkapan kalimah syahadah لا اله إلا الله محمد رسول الله . Namun dalam hal ini, seperti yang di catatkan oleh sejarah, hanya ahli sufi dengan disiplin ilmu dan amalan tasawwuf sahaja yang dapat merealisasikan rahsia dari tuntutan tauhid tersebut. Merekalah yang mengetahui makna lafaz ini (tauhid) dengan pemahaman yang benar secara zahir dan batin. Atau dengan lain perkataan, dapat melihat Allah S.W.T. di mana-mana juga. Pada hakikatnya, keseluruhan dari intipati amalan yang terkandung dalam ajaran tasawwuf yang bersifat perjalanan kerohanian melalui disiplin tariqat itu sebenarnya mempunyai misi tersendiri untuk menyembuhkan manusia dari berbagai bentuk penyakit batiniah. Dengan demikian manusia akan berada pada landasan yang benar untuk menuju ke martabat insan kāmil. Hanya dengan cara mencapai taraf kesempurnaan diri yang sebenar, barulah seseorang yang sālik itu boleh menjadi suci dan bersih di sisi Tuhannya. Hal ini telah diterangkan oleh Allah S.W.T dengan firmanNya:

وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِين
Maksudnya: "Dan orang yang berusaha dengan bersungguh-sungguh kerana memenuhi kehendak agama Kami, sesungguhnya Kami akan memimpin mereka ke jalan Kami (yang menjadikan mereka bergembira serta beroleh keredaan) dan sesungguhnya (pertolongan dan bantuan) Allah S.W.T. adalah berserta orang yang berusaha memperbaiki amalannya."
Bersungguh-sungguh kerana memenuhi kehendak agama dalam ayat di atas sudah tentu merangkumi ketiga-tiga aspek yang terdapat dalam Islam, iaitu Iman, Islam dan Ihsan. Ayat di atas memberikan penjelasan bahawa umat manusia sebenarnya dituntut oleh Allah S.W.T supaya bersungguh-sungguh dalam memenuhi kehendak serta tuntutan agama yang merangkumi ketiga-tiga aspek Iman, Islam dan Ihsan tersebut. Hanya dengan berbuat demikian, jaminan untuk mencapai kejayaan dari Allah S.W.T. akan dicapai oleh seseorang sālik seperti yang telah digambarkan oleh Allah S.W.T dalam firmanNya:

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا . وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا.
Maksudnya:"Sesungguhnya berjayalah orang yang menjadikan dirinya yang sedia bersih - bertambah-tambah bersih - (dengan iman dan amalan kebajikan), dan sesungguhnya rugilah orang yang menjadikan dirinya yang sedia bersih - itu susut dan terbenam kebersihannya - (dengan sebab kekotoran maksiat). "
Secara umum manusia itu mengakui tentang wujudnya Tuhan semesta alam. Hakikat ini diterangkan oleh Allah S.W.T dengan firmanNya:

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السماوات والأرض وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ فَأَنَّا يُؤْفَكُونَ
Maksudnya: "Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: Siapa yang menjadikan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan? Tentu mereka menjawab: Allah S.W.T., maka kenapa mereka (dapat) dipalingkan dari jalan yang benar".
Sekalipun demikian, pada hakikatnya kehidupan mereka memberikan satu pertunjuk bahawa yang Tuhan itu banyak. Sebagai contoh, mereka percaya kepada Allah S.W.T. tetapi dalam waktu yang sama mereka tunduk, reda dan patuh kepada sistem yang menafikan ketundukan dan kepatuhan kepada Allah S.W.T. Hal ini dapat dilihat dengan jelas dalam sistem perundangan. Sedang hak tersebut hanya milik Allah S.W.T. yang mutlak dan tidak ada siapa yang dibenarkan berbuat demikian. Hal ini telahpun ditegaskan oleh Allah S.W.T. dengan firmanNya:

قُلْ إِنِّي عَلَى بَيِّنَةٍ مِنْ رَبِّي وَكَذَّبْتُمْ بِهِ مَا عِندِي مَا تَسْتَعْجِلُونَ بِهِ إِنْ الْحُكْمُ إِلا ّالِلَّهِ يَقُصُّ الْحَقَّ وَهُوَ خَيْرُ الْفَاصِلِينَ
Maksudnya: "Katakanlah: Sesungguhnya aku tetap berada di atas (kebenaran yang berdasarkan) bukti yang nyata (al-Qur’an) dari Tuhan ku, sedang kamu mendustakannya. Tidak ada pada ku apa yang kamu minta segerakan (dari azab seksa); hanya Allah S.W.T. yang menetapkan hukum; Ia menerangkan kebenaran dan Dialah sebaik-baik yang memberi keputusan."
Dalam konteks yang lain, kita dapati mereka percaya kepada Allah S.W.T., namun pada waktu yang sama merekalah yang menganjurkan sistem kewangan yang berkonsepkan riba. Sedang Allah S.W.T. melarang keras perbuatan tersebut. Hal ini telah diterangkan oleh Allah S.W.T. dalam firmanNya:

يا أيها الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Maksudnya: "Wahai orang yang beriman! Janganlah kamu memakan riba atau mengambil riba dengan berlipat ganda dan hendaklah kamu bertakwa kepada Allah S.W.T. supaya kamu berjaya. "
Dengan perbuatan tersebut, manusia akhirnya dihinggapi oleh sejenis penyakit yang kronik terhadap kehidupan rohaniah manusia itu sendiri. Penyakit itu ialah syirik, suatu penyakit yang berakibat daripada perbuatan nifāq yang menyatakan sesuatu berlawanan dengan tindakan yang dilakukan. Hal ini dapat dijelaskan lagi dengan satu peristiwa yang berlaku di antara Abu Bakr al-Siddiq dengan seorang sahabat bernama Hanzalah (r.a). Peristiwanya begini :

روى الإمام مسلم عن حنظلة بن الربيع الاسيدى أحد كتاب النبي صلى الله عليه وسلم قال : لقيني أبو بكر قال : كيف أنت يا حنظلة ؟ قلت نافق حنظلة . قال سبحان الله ما تقول ؟ قلت : تكون عند رسول الله صلى الله عليه وسلم يذكرنا بالنار والجنة كأنا رأى عين . وإذا خرجنا من عنده عافسنا الازواج والأولاد والضياعات ونسينا كثيرا
Maksudnya: Diriwayatkan oleh Imam Muslim daripada Hanzalah bin Rabi‛ al-Asadi, salah seorang dari penulis wahyu kepada Nabi Muhammad s.a.w. Beliau berkata : Telah menemui Abu Bakr akan daku, katanya: Bagaimana keadaan kamu wahai Hanzalah? Aku menjawab: Telah munafik orang yang bernama Hanzalah, lalu Abu Bakr berkata: Maha Suci Allah S.W.T., apa yang engkau katakan wahai Hanzalah? Jawabku, ketika kita di sisi Rasulullah s.a.w., Baginda s.a.w. mengingatkan kita tentang syurga dan neraka, pada ketika itu seolah-olah keduanya (syurga dan neraka) berada di hadapan mata kita. Akan tetapi apabila kita meninggalkan Baginda Rasulullah s.a.w., lalu kita disibukkan dengan isteri-isteri, anak-anak dan kesibukan yang lain sehingga kita banyak lupa tentang peringatan itu.
Dalam konteks ini nampaknya disiplin ilmu tasawwuf telah berusaha dengan bersungguh-sungguh untuk menjelaskan kedudukan dan peranan sifat syirik tersebut terhadap perjalanan rohaniah seorang yang sālik. Kemudian disiplin ini juga telah berusaha untuk mengubati dan menyembuhkan jiwa manusia dari menderita disebabkan oleh penyakit syirik tersebut. Sedang matlamat dan tujuannya pula hanyalah semata-mata untuk mengembalikan manusia ke landasan keikhlasan dan menjadikan manusia itu berupaya mencapai taraf kesempurnaannya yang asal (fitrah) seperti yang dituntut oleh Allah S.W.T dalam firmanNya :

وَمَا أُمِرُوا إلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاَةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ .
Maksudnya: "Pada hal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah S.W.T. dengan memurnikan ketaatan kepadaNya dalam menjalankan agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan solat dan menunaikan zakat dan yang demikian itulah agama yang lurus."
Dalam erti kata lain dapat dinyatakan di sini bahawa tujuan tasawwuf itu ialah untuk mencapai satu bentuk integrasi peribadi manusia dengan sedalam-dalam dan seluas luas wujudnya, termasuk semua kemungkinan yang amat dalam yang terangkum dalam keadaan insan yang kāmil tersebut. Insan dari segi kewujudan dan tanggungjawabnya adalah khalifah Allah S.W.T. di atas muka bumi ini, serentak dengan itu manusia juga adalah arena tajalli bagi nama Allah S.W.T. dan sifatNya . Justeru itu, manusia boleh mencapai kebahagiaan hanya dengan hidup setia kepada hakikat tersebut, atau mengikut hakikat dirinya yang sebenar. Allah S.W.T. adalah bersifat Esa, oleh itu manusia semestinya berusaha mencapai taraf kesempurnaan agar dapat membayangkan Yang Maha Esa itu dalam kehidupan rohaniah seperti yang digambarkan oleh sebuah hadis Baginda Rasulullah s.a.w. yang antara lain menyebutkan:

ما الإحسان : الإحسان أن تعبد الله كأنك تراه
Maksudnya: "Apakah yang dimaksudkan dengan ihsān? Ihsān itu ialah kamu menyembah Allah S.W.T. seolah-olah kamu melihatNya."
Jika manusia itu hidup dalam keadaan tenaganya digunakan kepada kepalsuan, sedang beberapa bahagian lain dari kehidupannya pula terpisah antara satu elemen dengan elemen yang lain, maka ini bermakna ia telah menyimpang dari keadaan kesempurnaan dan keselamatan sebenar seperti yang dikehendaki oleh hakikat batinnya sendiri. Yang jelas di sini ialah tasawwuf yang berlandaskan kepada amalan kerohaniannya itu bertujuan untuk mencapai kesucian dan kesempurnaan, ini tidak bermaksud untuk menafikan peranan akal, sebaliknya tujuan tersebut akan dapat di capai melalui integrasi setiap unsur dari wujud (diri) seseorang kepada pusatnya yang sebenar. Insan adalah terdiri dari jasad, akal dan roh dan setiap satu dari ketiga-tiga unsur tersebut perlu diintegrasikan pada maqāmnya yang tersendiri. Untuk melihat dengan lebih jelas lagi hubungan integrasi antara jasad, akal dan roh itu, ada baiknya jika kita lihat sebuah hadis Rasulullah s.a.w. yang berkaitan dengan perkara di atas. Baginda bersabda yang antara lain menyebutkan:

قال عمر بن الخطاب كنا عند رسول الله صلى الله عليه وسلم فجاء رجل شديد بياض الثياب شديد سواد الشعر, لا يرى عليه أثر السفر, ولا يعرفه منا أحد حتى أتى النبي صلى الله عليه وسلم , فألزق ركبته بركبته , ثم قال : يا محمد ما الإيمان ؟ قال : أن تؤمن بالله وملائكته وكتبه ورسله واليوم الآخر والقدر خيره وشره , قال فما الإسلام , قال : شهادة أن لا اله إلا الله وان محمدا عبده ورسوله, واقام الصلاة وايتأ الزكاة وحج البيت , وصوم رمضان . قال : فما الإحسان ؟ قال : أن تعبد الله كأنك تراه , فان لم تكن تراه فانه يراك .
Maksudnya:"Telah berkata ‘Umar bin al-Khattāb r.a.: Pada suatu hari kami sedang duduk di sisi Rasulullah s.a.w., tiba-tiba datang kepada kami seorang lelaki, putih melepak pakaian, hitam rambutnya, tiada kelihatan padanya tanda seorang musafir, sedangkan di kalangan kami tidak ada yang mengenalinya. Sehingga ia duduk mengadap Nabi s.a.w. dengan menemukan kedua lututnya dengan lutut Nabi s.a.w. sambil meletakkan kedua belah tangannya ke atas kedua belah peha Nabi s.a.w. seraya berkata: Ya Muhammad! khabarkan kepadaku tentang iman . Bersabda Nabi s.a.w.: Bahawa iman itu ialah kamu percaya kepada Allah S.W.T., para malaikat Nya, kitab-kitabNya, rasul-rasulNya, hari kiamat dan percaya kepada qada’ dan qadar (nasib baik dan buruk) daripada Allah S.W.T. Seterusnya ia bertanya lagi: Apakah Islam? Baginda menjawab: Bersaksi bahawa tiada Tuhan yang disembah melainkan Allah S.W.T. dan bahawa Nabi Muhammad s.a.w itu adalah pesuruh Allah S.W.T., mendirikan solat, mengeluarkan zakat, menunaikan haji di Baitullah dan berpuasa di bulan Ramadan. Seterusnya ia bertanya lagi: Apakah ihsan? Nabi s.a.w. menjawab: Jika kamu menyembah Allah S.W.T. maka hendaklah kamu menyembahNya seolah-olah kamu melihat Nya. Jika sekiranya kamu tidak dapat melihatNya maka sesungguhnya Dia melihat kamu. "
Hadis di atas jika diperhatikan dengan secara sedar, memberikan satu petunjuk kepada suatu hakikat bahawa Islam itu terbina dari tiga struktur yang penting iaitu Iman, Islam dan Ihsan. Struktur ini bertepatan dengan asal kejadian manusia itu yang merangkumi tiga unsur penting iaitu akal, jasad dan roh. Sebagai contoh jika dipadankan kedua-dua struktur tersebut kita akan dapati bahawa akal sebenarnya memerlukan kepada iman, manakala jasad memerlukan Islam (syariat) dan roh pula memerlukan kepada ihsan. Menyedari hakikat ini, jelas bahawa ketiga-tiga struktur tersebut tidak boleh terpisah atau dipisah-pisahkan. Walaupun jika dilihat pertanyaan Jibril a.s. dalam hadis di atas tadi, memperlihatkan wujudnya keterasingan antara ketiga-tiga struktur tersebut, namun ianya merupakan satu hakikat jua, iaitu agama . Kenyataan ini dapat kita buktikan dengan mengambil kira dari penjelasan Baginda Rasulullah s.a.w seperti yang terdapat di hujung hadis tersebut seperti sabdanya :

فقال يا عمر هل تدرى من السائل ؟ ذاك جبرائيل أتاكم يعلمكم آمر دينكم
Maksudnya: "Berkata Rasulullah s.a.w.: Wahai ‘Umar! Adakah kamu menyedari siapa yang bertanya itu? Itulah Jibrā’il, dia datang kepada kamu untuk mengajarkan kamu urusan agama kamu. "
Keterangan hadis di atas menunjukkan kepada kita bahawa kedatangan Jibrail itu sebenarnya untuk mengajarkan urusan agama mereka. Tegasnya agama itu jika dilihat dari sudut kepercayaan atau keyakinan ia dikenali dengan istilah iman. Seterusnya jika agama itu dilihat dari perspektif ajaran zahir yang berupa syariat, maka ia dikenali sebagai Islam. Manakala agama jika di lihat dari perspektif kesempurnaan pelaksanaan kedua-dua maqām, Iman dan Islam itu pula dikenali dengan maqām ihsān.
1.3 MAQĀM IHSĀN
Kemuncak perjalanan seorang yang sālik ialah apabila ia sampai ke maqām al-ihsān seperti yang telah diterangkan dalam hadis mā al-ihsān. Ihsān mengandungi dua maqām. Pertama maqām mushāhadah yang terkandung dalam ungkapan an ta‛bud Allah kaannaka tarāhu. Manakala kedua maqām murāqabah yang terkandung dalam ungkapan fa’in lam takun tarāhu fa’innahu yarāka. Dari zahir hadis ini menunjukkan bahawa ibadah yang berada di maqam an ta‘budallah ka’anaka tarāhu itu adalah lebih tinggi darjatnya. Untuk mencapai ke maqām tersebut maka peranan sheikh adalah sangat diperlukan.
Menurut keterangan yang diambil daripada Sa‘id Hawwā, seseorang yang sālik, ketika dalam perjalanannya untuk menuju Allah S.W.T. itu akan melalui tiga tahap fanā’ sebelum ia mencapai maqām ihsān tersebut. Pertama ialah fanā’ fi al-af‛āl, iaitu satu keadaan di mana seorang yang sālik merasakan bahawa segala sesuatu yang berlaku adalah perbuatan Allah S.W.T. Tidak ada seorang pun yang berkuasa di dalam alam ini selain hanya Allah S.W.T. Kedua ialah fanā’ fi al-sifāt. Iaitu suatu keadaan di mana seorang yang sālik telah karam dalam perasaan, bahawa tidak ada yang hidup pada hakikatnya, tidak ada yang berilmu pada hakikatnya, tidak ada yang berkuasa pada hakikatnya, tidak ada yang berkehendak pada hakikatnya, tidak ada Yang Maha Mendengar pada hakikatnya dan tidak ada yang berkata-kata pada hakikatnya selain daripada Allah S.W.T. Mereka dapat merasakan keagungan sifat-sifat Allah S.W.T. yang tajalli dalam alam maya ini sehingga hilang sifat-sifat kemanusiaan yang ada pada diri. Ketiga ialah fanā’ fi al-dhāt, iaitu hilang baginya segala bentuk alam ini, kerana suatu keadaan di mana perasaan seorang yang sālik hanya dapat merasakan kewujudan zat Allah S.W.T.
Menurut keterangan dari al-Kandahlawi, istilah ihsān yang tersebut dalam hadis itulah yang telah diinterpretasikan dalam disiplin ilmu dan amalan tasawwuf dengan istilah tasawwuf. Penjelasan tersebut dapat kita perhatikan dari kenyataan beliau yang antara lain menyebutkan :
وهو الذي يقال له التصوف او السلوك - او سمه بما شئت - فإنما هي تعبيرات وألفاظ مختلفة والمقصود واحد
Maksudnya: "Ihsān itulah (juga) yang disebutkan (dengan istilah) tasawwuf atau suluk, atau namakan sahaja ihsān itu dengan apa juga nama sekalipun. Nama tersebut merupakan perkataan yang berlainan (sebutannya) namun mempunyai maksud yang sama (satu sahaja)."
Manusia secara umum mempunyai sifat aktif, dari segi yang lain, manusia itu lebih banyak memiliki sifat suka bertafakur dan bertindak. Justeru tasawwuf ialah satu medan yang mengintegrasikan kedua-dua aspek tersebut. Tasawwuf juga telah menyediakan satu agenda yang merangkumi kedua-dua aspek bagi membolehkan manusia melalui satu proses integrasi dalam aktiviti mental mereka.
1.4 SUMBER ILMU DAN AMALAN TASAWWUF.
Telah menjadi perkara yang diketahui umum bahawa fitrah semula jadi manusia itu ialah beragama. Ini bermaksud manusia itu merasakan dirinya perlu menyembah dan mengabdikan diri kepada suatu Zat Pencipta yang telah menciptakannya. Fitrah ini ada di dalam setiap diri manusia, namun lantaran fitrah itu telah diselubungi oleh karat duniawi, sedang akalnya pula telah dilindungi oleh awan kejahilan, maka fitrah itu telah jauh dari mendapat sinaran cahaya yang mampu menyuluh dan menerangi kebenaran. Walaupun demikian, fitrah suci itu tetap hidup. Walaupun tenggelam jauh, lemas dalam arus kebendaan namun fitrah itu tidak akan terus mati, cuma barangkali sinarnya sahaja yang agak malap dan perlu disuluh terangkan. Keadaan ini telah diterangkan oleh Ibn ‘Atā’illah al-Iskandari dengan katanya:

أنوار أذن لها في الوصول وأنوار أذن لها في الدخول . ربما وردت عليك الأنوار فوجدت القلب محشوا بصور الآثار فارتحلت من حيث جاءت
Maksudnya: "Ada nur-nur yang diizinkan oleh Allah S.W.T. sekadar sampai pada hati, dan ada nur yang diizinkan Allah S.W.T. untuk masuk ke dalam hati, kadangkala muncul cahaya-cahaya (anwār) pada anda, lantas cahaya-cahaya (anwār) mendapati hati anda dipenuhi dengan gambaran alam mayapada, maka pergilah cahaya (anwār) itu dari tempat (hati) di mana ia telah turun tadi. "
Faktor penyebabnya ialah kecenderungan kepada dunia. Dengan demikian Ibn ‘Atā’illah menyeru kepada para sālikin supaya mengosongkan hati dari gambaran alam maya ini dengan kata-kata hikmahnya.

فرغ قلبك من الأغيار تملأه بالمعارف والأسرار
Maksudnya:"Kosongkan hati anda dari segala sesuatu selain daripada Allah S.W.T., nescaya Dia akan memenuhi hati anda itu dengan ilmu makrifah (ilmu mengenal Allah S.W.T. dan rahsia alam) ketuhanan. "
Kewujudan fitrah ini tidak memadai untuk membawa seseorang insan mencapai kesempurnaan yang hakiki dari sudut rohaninya. Oleh sebab itu Allah S.W.T. menurunkan wahyu di samping mengutus para rasul bagi menerangkan kepada umat manusia tentang beberapa perkara penting untuk menjadi dasar kepada manusia yang mempunyai fitrah tersebut. Manusia dengan potensinya yang sedia ada mempunyai kecenderungan untuk mengabdi dan menyembah, justeru Allah S.W.T. telah menetapkan prinsip pengabdian dari sudut keyakinan dan perlakuan yang benar daripada seorang makhluk terhadap Khāliknya. Keseluruhan prinsip tersebut terkandung dalam tiga prinsip umum seperti yang telah kita huraikan di atas iaitu Iman, Islam dan Ihsān. Ketiga-tiga prinsip tersebut bersumber daripada al-Qur’an dan al-Sunnah.Dalam perbincangan ini, rasanya penulis hanya akan menyentuh salah satu dari ketiga-tiga prinsip tersebut dengan memfokaskan perbincangan terhadap ihsan yang menjadi asas kepada ilmu dan amalan tasawwuf itu sendiri. Dengan merujuk kepada hadis Rasulullah s.a.w. yang berbunyi:

أن تعبد الله كأنك تراه , فان لم تكن تراه فانه يراك .
Maksudnya:"Ihsān itu ialah engkau menyembah Allah S.W.T. seolah-olah engkau melihat Nya, jika engkau tidak dapat melihat Nya, maka yakinlah bahawa Allah S.W.T. melihat kamu."
Tariqat tasawwuf dan suluk adalah nama kedua bagi istilah ihsān. Keadaan ini disebabkan oleh prinsip dalam ilmu dan amalan tasawwuf itu boleh membimbing perjalanan rohani seorang sālik untuk mencapai ke martabat ihsān. Bertolak dari sini, maka bermulalah perbincangan dan perbahasan tentang sumber ilmu tasawwuf yang dikaitkan dengan ihsān itu seperti yang terdapat dalam hadis Rasulullah s.a.w. tersebut. Pendapat ini telah dikemukakan oleh ahli tasawwuf yang telah menjalani dan mengalami kehidupan sebagai seorang yang sufi sifat dan amalannya.
Apabila kita kembali kepada pengertian tasawwuf yang sebenarnya, jelas kepada kita bahawa perkataan tersebut membawa maksud pembersihan dan penyucian hati. Dengan melalui proses penyucian tersebut manusia akan sampai ke martabat ihsān dalam erti kesempurnaan melaksanakan ‛ubudiyyah sebagai seorang makhluk kepada Allah S.W.T. yang sifatNya sebagai Khālik. Oleh yang demikian apabila kita membicarakan tentang sumber tasawwuf yang berkait rapat dengan al-tasfiyah, maka kita tidak boleh melepaskan diri dari sumber utama iaitu al-Qur’an. Para ulama tasawwuf menjadikan al-Qur’an itu sebagai pendorong utama bagi merealisasikan suatu perintah yang bersifat umum atau khusus dengan konsep al-tasfiyah yang telah dikemukakan oleh al-Qur’an tersebut.
1.4.1 Sumber Daripada Al-Qur’an
Memang diakui bahawa tidak terdapat satu kalimah pun di dalam al-Qur’an itu yang menyebut perkataan tasawwuf. Namun terdapat banyak sekali ayat al-Qur’an yang membawa maksud al-tasfiyah dan tazkiyah. Kedua-dua makna tersebut adalah dasar dan inspirasi kepada ilmu dan amalan tasawwuf itu. Dalam al-Qur’an terdapat banyak ayat yang menggalak, mendorong dan mengajak jiwa manusia supaya bersifat takwa, bersifat siddiq dan ikhlas, tawakkal dan yakin, penyerahan diri dan pengabdian yang mutlak hanya kepada Allah S.W.T. Oleh yang demikian kita dapati hampir separuh daripada isi kandungan al-Qur’an itu menyentuh soal kejiwaan dan akhlak, keimanan dan keihsanan. Ketinggian dan kesempurnaan insan di sisi Allah S.W.T. Manakala sebahagian daripada kandungannya yang lain pula meliputi unsur ibadah, muamalah dan kisah umat terdahulu untuk menjadi peringatan dan pengajaran. Terdapat beberapa istilah yang secara zahir, mahupun maksud dan makna yang telah digunakan oleh al-Qur’an sebagai bukti yang nyata bahawa intipati ilmu dan ajaran tasawwuf yang sebenar itu adalah bersumberkan daripada al-Qur’an. Di antara istilah tersebut ialah istilah taubat, zuhud, sabar, syukur, khawf, rajā’, ridā dan istilah tawakal. Semua istilah ini dikenali sebagai maqāmāt dalam ajaran tasawwuf. Atau yang merujuk kepada maksud dari ayat al-Qur’an seperti ma‛rifah dan isqāt al-tadbir. Hakikat bahawa al-Qur’an adalah sumber utama ilmu dan amalan tasawwuf tidak dapat dinafikan. Al-Qur’an menyatakan dengan jelas bahawa Allah S.W.T. tidak dapat diserupakan dengan sesuatu, dalam konteks yang lain al-Qur’an menyatakan tentang Allah S.W.T. itu Maha Melihat lagi Maha Mendengar. Semua ini merupakan suatu hikmat ketuhanan yang tertinggi yang telah dibawa oleh Baginda Rasulullah s.a.w. melalui wahyu Ilahi, iaitu al-Qur’an. Kemudian umat Islam membaca ayat suci yang menyuruh lari mencari Tuhannya, kerana Dialah sumber segala cahaya di langit mahupun di bumi. Namun jika umat Islam membaca ayat tersebut, lalu meniru gaya hidup yang telah dianjurkan dengan satu kaedah yang telah diatur susun oleh ilmu dan amalan tasawwuf, tentu bukan menjadi satu kesalahan. Sebagai contoh, al-Qur’an menganjurkan agar hidup jangan terlalu mencintai dunia kerana hal itu menyebabkan kotor dan mencemarkan perjalanan roh yang sifatnya sedia suci, lalu diajarkan dalam ilmu tasawwuf dengan satu metod yang dikenali sebagai zuhud. Begitulah seterusnya. Jika hal ini terjadi dalam kehidupan umat Islam tidak bermakna ia menganut suatu ajaran baru, yang dimasukkan ke dalam ajaran Islam sebagai sisipan. Dari keterangan di atas tidak mungkin sama sekali untuk kita menyatakan bahawa keseluruhan hal tersebut adalah suatu penambahan dari ajaran orang sufi. Namun secara yakin boleh kita nyatakan di sini ia adalah suatu tafsiran yang mereka telah simpulkan dari satu keyakinan bahawa Allah S.W.T. itu bersifat dengan sifat wujud yang hakiki dan Allah S.W.T. itu diyakini terlalu hampir dengan mereka seperti yang diterangkan oleh Allah S.W.T. dalam firmanNya:
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الإنسان وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ .
Maksudnya:"Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya."
kekeliruan terhadap ilmu dan amalan tasawufJusteru itu, manusia tidak boleh lari dari hakikat dan kenyataan ini. Namun demikian masih terdapat kekeliruan di kalangan masyarakat Islam terhadap ilmu dan amalan tasawwuf. Masih wujud perasaan sangsi dan tidak ketinggalan juga ada yang berpandangan negatif terhadap kebenaran ilmu ini sebagai dasar dan tiang seri dalam kehidupan seorang muslim bagi meneruskan perjalanan menuju Allah S.W.T. Kekeliruan tersebut datang dari berbagai aspek, antara yang paling pokok dan dasar dapat kita lihat adalah disebabkan oleh kecenderungan masyarakat Islam mengejar dan bergelumang dengan kehidupan dunia. Dalam waktu yang sama lahir pula satu golongan yang menumpukan perhatian mereka terhadap ibadah dengan nama al-sufiyyah dan al-mutasawwifah di dalam masyarakat. Situasi ini timbul akibat daripada tindakbalas ke atas golongan yang cenderung kepada keduniaan pada kurun kedua Hijri dan seterusnya. Ilmu dan amalan tasawwuf seperti yang telah diamalkan oleh Nabi s.a.w. , para sahabat, tābi‛in dan tābi‛ al-tābi‛in seperti yang digambarkan oleh Ibn Khaldun itu lama kelamaan telah dilupakan dan ditinggalkan oleh generasi Islam yang terkemudian sedikit demi sedikit, terutamanya sesudah umat Islam lebih menumpukan perhatian mereka kepada kehidupan duniawi sehingga sampai ke satu tahap hanya sebilangan kecil umat Islam yang tahu dan beramal dengan amalan tersebut. Golongan yang kecil inilah yang dipanggil sebagai golongan sufiyyah atau golongan ahli tasawwuf. Sedangkan asalnya adalah amalan daripada Nabi dan para sahabat r.a. Hal ini dapat dirujuk kepada mereka dengan amalan beribadah dan menumpukan perhatian kepada Allah serta berpaling dari perhiasan dunia dan keindahannya.
Zāhid daripada kelazatan sesuatu yang menjadi rebutan orang ramai, seperti kekayaan dan pangkat kebesaran. Bersendirian dari makhluk dalam khalwat untuk beribadah kepada Allah S.W.T. Situasi seperti ini adalah suatu yang biasa di kalangan umat Islam generasi awal yang terdiri daripada sahabat Rasulullah s.a.w. Berdasarkan kepada catatan yang ditemui dari Ibn Khaldun di atas tadi, memberikan satu gambaran jelas bahawa ilmu dan amalan tasawwuf tersebut adalah amalan yang sah dari Nabi Muhammad s.a.w., para sahabat, tābi‛in dan tābi‛ al-tābi‛in yang dikenali juga sebagai salaf al-sālih.
Kekeliruan terhadap ilmu dan amalan tasawufBerdasarkan catatan tersebut juga menunjukkan dengan jelas kepada kita bahawa di antara faktor utama yang menyebabkan timbul kekeliruan terhadap disiplin ilmu tasawwuf, ialah wujud sifat cenderung kepada dunia di kalangan umat manusia. Bergelumang dengan kenikmatan lahiriah tanpa batas dan melupakan kehidupan akhirat. Kedua-dua faktor tersebut adalah saling bertentangan; yang satu berpihak kepada hawa dan nafsu sedang di satu pihak yang lain pula cenderung kepada keimanan dan ketakwaan. Dalam situasi yang demikian nampaknya hanya segelintir di kalangan umat manusia yang dapat mempertahankan dan mengamalkan warisan tersebut, sedangkan sebahagian besar yang lain pula telah dinyatakan oleh Ibn Khaldun di atas tadi. Keadaan ini menimbulkan situasi yang aneh dan ganjil terhadap mereka yang mengamalkan ajaran tasawwuf. Lalu dari sini timbul pelbagai anggapan dan pandangan yang negatif, seperti ilmu dan amalan tasawwuf ini bukan dari ajaran Islam, malahan ia disadur dari unsur agama asing, terutamanya dari ajaran Hindu, Yahudi dan Kristian. Dari keterangan Ibn Khaldun itu juga boleh dinyatakan di sini bahawa amalan tasawwuf itu merupakan salah satu warisan pusaka Islam terpenting yang mempengaruhi perasaan dan pemikiran umat Islam seluruhnya. Justeru bukan kerana hanya terdapat sedikit prasangka bahawa tasawwuf itu dipengaruhi oleh unsur asing lantas dengan lantang kita mengatakan bahawa tasawwuf adalah bersumber daripada sumber asing yang terkeluar dari landasan wahyu dan sunnah RasulNya.Namun hal tersebut tidak boleh sama sekali lari dari fakta sejarah, malah ia terikat serta tunduk kepada ketetapan dan undang-undang sejarah. Berkembang atau kuncup, maju atau mundur, naik atau turun , namun ia tidak boleh kita alpakan begitu sahaja terhadap dasar pokok yang utama, iaitu latihan jiwa (riyādat al-nafs) untuk beribadat kepada Tuhan, menuju jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah S.W.T.(taqarrub ilā Allah) , berusaha menyingkirkan diri dari azab api neraka seperti yang dijanjikan oleh Allah S.W.T. untuk orang yang derhaka terhadapNya, mengharap pahala daripada Allah S.W.T. di samping syurga bagi mukmin yang patuh dan taat. Dari tujuan asal yang berbagai ini maka timbul pula bermacam disiplin ilmu yang pelbagai dalam Islam seperti disiplin ilmu fiqh, ilmu akidah atau ilmu kalam dan tidak ketinggalan juga dengan ilmu dan amalan tasawwuf itu sendiri.
1.5 PRINSIP ILMU TASAWWUF.
Seperti yang telah kita huraikan di atas tadi, pendisiplinan ilmu berlaku secara beransur-ansur, mengikut perkembangan masa dan keadaan. Oleh itu kita tidak menemui sebarang bukti yang menunjukkan wujudnya disiplin ilmu fiqh di zaman Rasulullah s.a.w., kecuali selepas berlaku perkembangan dalam berbagai aspek kehidupan yang dilalui oleh masyarakat Islam. Begitu juga dengan disiplin ilmu kalam yang hanya berkembang dan mempunyai disiplin yang tersendiri pada zaman tābi‛in. Sebagaimana ilmu yang lain dalam Islam, ilmu tasawwuf juga tidak ketinggalan dalam hal ini. Istilah tasawwuf belum pernah didengar ketika Rasulullah s.a.w. masih hidup. Namun keadaan ini tidak boleh dijadikan alasan untuk kita mengatakan bahawa Rasulullah s.a.w. telah menyembunyikan salah satu ajaran dalam Islam atau ilmu tasawwuf itu bukan dari warisan Islam seperti yang pernah kita dengar . Atau dengan alasan kehadiran kalimah ini agak terkemudian dari zaman Rasulullah s.a.w., maka diklasifikasikan ke dalam maksud dan pengertian bidaah atau terkeluar dari landasan Islam itu sendiri. Keadaan ini boleh dijelaskan lagi dengan keterangan yang telah diberikan oleh Syeikh Abu Husayn al-Busanji (w. 348 H) yang menyatakan bahawa tasawwuf yang wujud pada hari ini (zaman kehidupan Syeikh Abu Husayn al-Busanji) hanya wujud pada nama sahaja, sedangkan pada hakikatnya tidak wujud, pada hal pada zaman sebelumnya (Nabi, para sahabat, tābi‛in dan tābi‛ al-tābi‛in) ada hakikatnya tidak ada namanya. Hakikat ini tentu sahaja lebih serius jika dibandingkan dengan zaman kita sekarang. Di mana-mana kita dengar orang begitu ghairah memperkatakan tentang tasawwuf. Ada yang ghairah mempertikai kedudukan dan kepentingan ilmu dan amalan tasawwuf. Dalam konteks ini nampaknya pihak yang berwajib sepatutnya duduk sebagai pemurni kepada masalah ini, namun terlibat secara langsung menyulit dan menyukarkan lagi keadaan. Sewajarnya pihak berkenaan yang dipertanggungjawabkan dalam hal ini memahami dengan mendalam selok belok yang berkaitan dengan disiplin ilmu tasawwuf tersebut.Agak malang bagi kita untuk menghukum salah sesuatu amalan yang telah dilakukan di dalam masyarakat Islam sedang kita jahil mengenainya. Kita jahil tentang sesuatu perkara yang perlu untuk diselesaikan, maka jalan yang paling mudah bagi kita ialah dengan mengatakan ia bertentangan dengan ajaran Islam. Dalam waktu yang sama kita tidak pernah belajar atau cuba memahami kandungan kitab-kitab turāth peninggalan ulama tasawwuf yang begitu berharga untuk kita jadikan panduan dalam menyelesaikan persoalan ini. Secara kronologinya, bagi menyelesaikan permasalahan yang berkait dengan sejarah, kita seharusnya merujuk buku sejarah, bukan merujuk buku matematik. Begitulah keadaannya apabila kita berhadapan dengan masalah ini, kita sewajarnya merujuk segala peninggalan ulama tasawwuf untuk menerangkan permasalahan tasawwuf. Di mana kedudukan kitab Ihyā’ ‘Ulum al-Din oleh al-Ghazāli Siyar al-Sālikin oleh al-Palembāni, al-Luma‘ oleh al-Tusi dan sebagainya lagi. Jika ini dilakukan dengan pertimbangan yang wajar dan rasional, kita berkeyakinan dapat menemui jalan yang mudah dan benar bagi menyelesaikan permasalahan yang timbul.Dari sini dapat kita membuat kesimpulan bahawa apabila kita mahu membicarakan tentang sesuatu disiplin keilmuan tidak semestinya ia wujud sejak dari zaman Rasulullah s.a.w. untuk dijadikan contoh dan ikutan. Apabila didapati telah wujud dengan bukti dan nas yang sahih maka ketika itu barulah kita dibolehkan untuk membicarakannya, maka sudah tentu banyak perkara yang tidak boleh dilakukan oleh umat yang terkemudian disebabkan tiada nas dan bukti yang ia telah wujud pada zaman Rasulullah s.a.w. Alasan ini tidak praktikal dalam menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan dan umat itu sendiri. Sedangkan pendisiplinan tidak diperlukan pada zaman awal kerana kedua-dua sumber utama masih wujud, iaitu penurunan wahyu dan Rasulullah s.a.w. itu sendiri dalam menyelesaikan berbagai masalah yang timbul di kalangan masyarakat.Begitulah juga dengan ilmu tasawwuf yang tidak terlepas dari melalui proses pendisiplinan tersebut. Sehingga ia mampu berdiri tegak dengan mempunyai prinsip-prinsipnya yang tersendiri seperti yang diterangkan di bawah ini:
1.5.1 Taqwā.
Kalimah taqwā (B.M takwa ) yang dilihat dari huruf asalnya Qāf, Waw dan Yā’ membawa kepada tiga pengertian : Pertama membawa maksud quwwah. Sama ada yang bersifat māddi atau yang bersifat ma‘nawiyyah. Ini dapat kita lihat dengan jelas dari keterangan Allah S.W.T dalam firmanNya:يا يحيى خُذْ الْكِتَابَ بِقُوَّةٍ وَآتَيْنَاهُ الْحُكْمَ صَبِيًّا . Maksudnya:Wahai Yahya, terimalah kitab itu (serta amalkanlah) dengan bersungguh-sungguh. Ayat di atas boleh dirujuk kepada makna māddi dan ruhi. Kekuatan yang bersifat māddi dapat dirujuk kepada maksud bersungguh-sungguh mengamalkan isi kandungannya. Sedang kekuatan yang bersifat ruhi pula dapat dirujuk kepada kekuatan hati ketika menerimanya. Keduanya, membawa maksud wiqāyah. Takwa di sini lebih bersifat untuk mencapai maksud al-hasanah dan al-amn, iaitu terpelihara, aman dan sejahtera. Maksud ini dapat dilihat dengan lebih jelas dari firman Allah S.W.T:فَوَقَاهُمْ اللَّهُ شَرَّ ذَلِكَ الْيَوْمِ وَلَقَّاهُمْ نَضْرَةً وَسُرُورًا . Maksudnya:Dengan sebab (mereka menjaga diri dari kesalahan), maka Allah S.W.T. selamatkan mereka dari kesengsaraan di hari yang demikian keadaannya serta memberikan kepada mereka keindahan yang berseri-seri (di muka) dan perasaan ria di hati. Ketiganya membawa maksud al-itqā’ dengan pengertian al-tabā‘ud (menjauhkan) dan al-ijtināb (menghindarkan). Maksud ini lebih jelas dari keterangan sebuah hadis Rasulullah s.a.w. yang diriwayatkan dari Abi ‘Abdillah al-Nu‘mān bin Bashir, beliau berkata " Aku telah mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda (maksudnya) :Sesungguhnya sesuatu yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas, di antara keduanya ada perkara yang samar yang kebanyakan orang tidak mengetahuinya maka sesiapa yang menjaga dirinya dari perkara yang samar itu maka ia telah membersihkan agamanya dan kehormatannya, dan sesiapa yang jatuh dalam melakukan perkara yang samar itu, maka ia telah jatuh dalam perkara yang haram. Hadis di atas memberikan satu pertunjuk tentang kesempurnaan makna al-taqwā. Kenyataan ini dapat kita perhatikan dengan meneliti kepada perkataan اتق الشبهات yang merangkumi makna suci hati dari sebarang bentuk keraguan dan kebimbangan. Ini adalah bentuk kesucian hati yang menjadi dasar kepada makārim al-akhlāq dan sumber segala kebaikan.Dari ketiga-tiga makna takwa di atas, sesuai benar takwa sebagai prinsip yang pertama di dalam disiplin tasawwuf. Ini bermakna seseorang yang melibatkan diri dengan amalan tasawwuf mestilah sentiasa istiqāmah dalam sifat takwa. Malahan ia mesti berusaha untuk mempertingkatkan sifat ketakwaannya itu. Ini selaras dengan arahan dan seruan dari Allah S.W.T. dengan kalimah الله اتقواyang terdapat sebanyak sepuluh kali dalam kitab suciNya. Istiqamah dalam takwa ini dikenali juga sebagai al-karāmah al-ma‛nawiyyah atau al-karāmah al-haqiqiyyah dan al-karāmah al-kubrā. Dari sifat tersebut akan menyebabkan seorang yang sālik itu sentiasa berada dalam ketakwaan zahir dan batin sehingga terbuka hijab hati dan mencapai ma‛rifah. Di samping itu seorang yang sālik dapat menguasai diri dan berupaya menentang serta menolak berbagai kehendak dorongan hawa dan nafsu. Keadaan ini juga berupaya mengukuhkan keimanan seorang yang sālik dengan kehendak dan kekuasaan daripada Allah S.W.T. Dengan kekeramatan tersebut membolehkan seorang yang sālik meletakkan dirinya hampir dengan Allah S.W.T. dan keredaanNya . Perspektif tasawwuf melihat takwa itu sebagai bekalan yang sangat penting sesuai dengan firman Allah S.W.T. :وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِي يا أولي الألباب . Maksudnya:Dan ambillah oleh kamu akan bekal yang dibawa ke dalam akhirat itu, maka bahawasanya yang terlebih baik bekal yang dibawa ke dalam akhirat itu ialah takut akan Allah S.W.T. (takwa). Dan bertakwalah kepadaKu wahai orang-orang yang berakal yang dapat memikir dan memahaminya. Sayyid Qutb di dalam tafsir Fi Zilāl al-Qur’ān menyatakan bahawa takwa itu boleh mempertingkatkan hati dan roh, menurut beliau lagi, dengan sifat takwa akan membolehkan seseorang yang sālik itu menerima pancaran cahaya Ilahi dan mendapat anugerah kemuliaan dari Allah S.W.T. di samping membolehkan seorang yang sālik itu mencapai tahap wusul kepada Allah S.W.T.
1.5.2 Zikrullah dan Murāqabah.
1.5.2.1 Zikrullah
Untuk menjelaskan prinsip di atas ada baiknya jika kita meneliti firman Allah S.W.T di bawah ini ,
اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ والأرض مَثَلُ نُورِهِ كَمِشْكَاةٍ فِيهَا مِصْبَاحٌ الْمِصْبَاحُ فِي زُجَاجَةٍ الزُّجَاجَةُ كَأَنَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّيٌّ يُوقَدُ مِنْ شَجَرَةٍ مُبَارَكَةٍ زَيْتُونِةٍ لاَ شَرْقِيَّةٍ وَلاَ غَرْبِيَّةٍ يَكَادُ زَيْتُهَا يُضِيءُ وَلَوْ لَمْ تَمْسَسْهُ نَارٌ نُورٌ عَلَى نُورٍ يَهْدِي اللَّهُ لِنُورِهِ مَنْ يَشَاءُ وَيَضْرِبُ اللَّهُ الأمثال لِلنَّاسِ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ . فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللَّهُ أَنْ تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ فِيهَا بِالْغُدُوِّ والآصال . وَإِقَامِ الصَّلاَةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ والأبصار. Maksudnya:"Dan sesungguhnya, Kami telah menurunkan kepada kamu, ayat-ayat keterangan yang menjelaskan (hukum-hukum suruh dan tegah), serta contoh teladan (mengenai kisah-kisah dan berita) orang-orang yang telah lalu sebelum kamu, serta nasihat pengajaran bagi orang-orang yang (mahu) bertakwa. Allah S.W.T. yang menerangi langit dan bumi. Bandingan nur hidayat pertunjuk Allah S.W.T. (kitab suci al-Qur’an) adalah sebagai sebuah misykat yang berisi sebuah lampu, lampu itu dalam gelok kaca (qandil), gelok kaca itu pula (jernih terang) laksana bintang yang bersinar cemerlang, lampu itu dinyalakan dengan minyak dari pokok yang banyak manfaatnya, (iaitu) pokok zaitun yang bukan sahaja disinari matahari semasa naik dan bukan sahaja semasa turun (tetapi sentiasa terdedah kepada matahari), hampir-hampir itu dengan sendirinya memancarkan cahaya bersinar (kerana jernihnya) walaupun ia tidak disentuh api, (sinaran nur hidayat yang demikian bandingannya adalah sinaran yang berganda-ganda). Cahaya berlapis cahaya Allah S.W.T. memimpin sesiapa yang dikehendaki Nya (menurut undang-undang dan peraturan Nya) kepada nur hidayat itu, dan Allah S.W.T. mengemukakan berbagai-bagai misal perbandingan untuk umat manusia, dan Allah S.W.T. Maha Mengetahui akan tiap-tiap sesuatu. ( Nur hidayah pertunjuk Allah S.W.T. itu bersinar dengan nyatanya terutama sekali ) di rumah-rumah ibadat yang diperintahkan oleh Allah S.W.T. supaya dimuliakan keadaannya dan disebut serta diperingat nama Allah S.W.T. padanya, di situ juga dikerjakan ibadat untuk mensuci dan memuji Allah S.W.T. pada waktu pagi dan petang. (Ibadat itu dikerjakan oleh) orang-orang yang kuat imannya yang tidak dilalaikan oleh perniagaan atau berjual beli daripada menyebut serta mengingat Allah S.W.T., dan mendirikan sembahyang serta memberikan zakat, mereka takutkan hari (qiamat) yang padanya berbalik-balik hati dan pandangan. "Merujuk kepada ayat di atas, khusus ayat 36 dan 37 menunjukkan dengan jelas hubungan di antara amalan syariah dengan nur Ilahi yang melimpahi hati orang yang mukmin. Dalam ayat di atas dengan terang disebutkan bahawa amalan zikrullah, bertasbih, mendirikan solat, mengeluarkan zakat, takut serta bimbang akan hari kiamat dan sentiasa menggantungkan hati dengan masjid adalah antara beberapa rangkaian amalan yang telah disebutkan sebagai berupaya untuk menyinari hati seorang yang mukmin.Dalam perbincangan ini kita lihat bagaimana zikrullah sebagai prinsip kedua dalam disiplin ilmu dan amalan tasawwuf itu memainkan peranan yang cukup besar untuk menerangi hati seorang yang sālik. Dengan zikrullah juga dapat dibezakan martabat dan kedudukan seorang hamba dengan hambaNya yang lain. Gambaran tersebut lebih jelas dari ungkapan Ibn ‘Atā’illah al-Iskandari yang antara lain menyebutkan :
قوم تسبق أنوارهم أذكارهم , وقوم تسبق أذكارهم أنوارهم , وقوم تتساوى أذكارهم وأنوارهم وقوم لا أذكار ولا أنوار نعوذ بالله من ذلك . Maksudnya:"Sekelompok hamba Allah S.W.T. di mana nur-nur mereka mendahului zikir-zikir mereka. Sekelompok hamba Allah S.W.T. di mana zikir-zikir mereka mendahului nur-nur mereka. Sekelompok hamba Allah S.W.T. di mana zikir-zikir dan nur-nur mereka seimbang dan sekelompok hamba Allah S.W.T. tidak ada zikir dan tidak ada nur. Kita berlindung dengan Allah S.W.T. dari yang demikian itu."Jika kita teliti kata-kata hikmah di atas maka kita akan dapati empat kelompok utama hamba Allah S.W.T.dalam konteks zikrullah. Mereka itu ialah:i) Golongan yang dikenali sebagai المريدون المجذوبون atau dengan istilah yang lain ia dikenali sebagai الواصلون . Golongan ini mencapai matlamat dan cita-cita mereka untuk hampir kepada Allah S.W.T. tanpa melalui proses perjuangan (mujāhadah) seperti perjuangan para hamba Allah S.W.T. yang telah disebut oleh Ibn ‘Atā’illah pada kumpulan yang kedua di atas tadi. Mereka dekat dengan Allah S.W.T. ketika dalam ibadah dan di luar ibadah. Tidak ada unsur memaksa diri, dan tidak pula menyusahkan diri (dalam erti kata mujāhadah dengan melakukan riyādat al-nafs). Hal ini terjadi disebabkan kerana hati mereka telah wujud nur Ilāhiyyah sejak azali lagi. Keadaan ini telah dijelaskan lagi dengan firman Allah S.W.T .
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ. Maksudnya:"Dan (ajarlah wahai Muhammad) ketika Tuhanmu mengeluarkan zuriat anak-anak Adam (turun temurun) dari (tulang) belakang mereka, dan Ia jadikan mereka saksi terhadap diri mereka sendiri (sambil Ia bertanya dengan firman Nya): “Bukankah Aku Tuhan kamu? Mereka menjawab: “Benar (Engkaulah Tuhan kami). Kami menjadi saksi yang demikian supaya kamu tidak berkata pada hari kiamat kelak, “Sesungguhnya kami adalah lalai (tidak diberi peringatan) tentang hakikat tauhid ini." Ayat al-Qur’an di atas memberikan penjelasan kepada kita bahawa nur Ilāhiyyah itu telahpun berada pada roh insan ketika di azali lagi. Roh pada saat tersebut telah mengakui dan mengenali tentang hakikat rububiyyah dan uluhiyyah Allah S.W.T. Pengakuan tersebut telah dibuat ketika berada di alam arwah lagi. Menurut al-Palembāni dan juga al-Ghazāli, pengenalan langsung terhadap Allah S.W.T. itu sebenarnya tidak mustahil untuk dicapai di atas dunia ini. Menurut mereka lagi, pengenalan langsung atau dengan istilah tasawwuf sebagai ma‛rifah akan Tuhan itu boleh dicapai dengan nur yang diturunkan oleh Allah S.W.T dalam hati hamba-hambaNya yang dikehendaki melalui ilmu laduni.
Al-Palembāni merujuk kata-kata Ibn ‘Ibād menyebutkan bahawa:Adalah syurga di dunia ini, sesiapa yang masuk akan dia nescaya tiada ingat ia akan syurga di akhirat. Kenyataan ini adalah merujuk kepada maksud ma‛rifah yang didapati melalui ilmu laduni seperti yang diterangkan oleh al-Palembāni di atas tadi. Sedangkan inti terdalam dari apa yang disebutnya ma‛rifah itu, nampaknya ialah tauhid tingkat tertinggi yang telah diterangkan oleh al-Ghazāli dan para ahli sufi pada abad ketiga Hijri.ii) Golongan atau kelompok yang kedua pula dikenali sebagai المريدون السالكون . Kelompok ini terdiri dari satu golongan manusia yang terpaksa melalui keadaan yang sukar untuk mencapai martabat wusul ilā Allah. Ini disebabkan adanya berbagai bentuk hijāb yang ada pada diri seorang yang sālik tersebut. Untuk menghilangkannya ia terpaksa melalui proses mujāhadat al-nafs. Keadaan tersebut dijelaskan oleh Ibn ‘Atā’illah dalam kata-kata hikmahnya yang antara lain menyebutkan:فرغ قلبك من الأغيار تملأ ه بالمعارف والأسرار Maksudnya:"Kosongkan hati anda dari segala sesuatu selain Allah S.W.T., nescaya Dia akan memenuhi hati anda itu dengan ilmu-ilmu makrifat (ilmu mengenal Allah S.W.T. dan rahsia-rahsia alam) ketuhanan." Menurut pandangan syariat kita dibolehkan untuk mencari seberapa banyak harta di dunia ini. Sedangkan menurut pandangan hakikat, di samping keterangan di atas tadi, hati kita juga tidak boleh sama sekali dipengaruhi oleh harta kekayaan kita, pangkat, isteri-isteri, anak-anak dan lain-lainnya. Selain daripada Allah S.W.T. menurut pandangan hakikat tidak sewajarnya berada di dalam hati seorang yang sālik. Oleh yang demikian bagi seorang sālik yang berada pada kelompok ini sewajarnya berusaha agar dapat memenuhkan hatinya hanya dengan Allah S.W.T. semata-mata. Keadaan ini dilakukan sama ada dalam ibadah atau luar dari ibadah. Hal ini kelihatan agak sukar, kerana secara umum ibadah solat yang dilakukan itu tidak boleh dihayati oleh hati dan tidak sejalan pula dengan solat atau ibadat yang dilakukan itu. Di sini perlu amalan zikrullah itu bagi mendisiplinkan anggota yang zahir itu agar sejalan dan selari dengan anggota yang batin ketika menuju Allah S.W.T. iii) Kelompok yang ketiga ialah mereka yang seimbang di antara zikr dan nur Ilahi. Dia mendapat pertunjuk ke jalan Allah S.W.T. dengan zikirnya sedangkan ia dapat melaksanakan ketaatan dan kepatuhan kepada Allah S.W.T. adalah disebabkan oleh nur Ilahi yang terpancar di dalam batinnya. Dalam konteks ini bukan zikir yang dahulu dan bukan pula nur Ilahi yang terdahulu menyebabkan ia sentiasa berzikir kepada Allah S.W.T. Dalam konteks ini dapat kita katakan bahawa kelompok yang ketiga ini adalah mereka yang berada di antara kelompok yang pertama dan yang kedua .iv) Kelompok yang keempat terdiri di kalangan mereka yang tidak pernah mengingati Allah S.W.T. dari sudut zahir dan batinnya. Tidak ada zikir di kalangan mereka dan tidak ada pula nur Ilahi yang diturunkan untuk mereka. Hati mereka tidak pernah tersentuh dengan nur Ilahi disebabkan maksiat yang telah mereka lakukan. Gambaran ini telah diterangkan oleh Ibn ‘Atā’illah al-Iskandari dalam kata-kata hikmahnya yang antara lain menyebutkan:ربما وردت عليك الأنوار , فوجدت القلب محشوا بصور الآثار , فارتحلت من حيث نزلت . Maksudnya:"Kadangkala muncullah anwār(cahaya Ilahi) pada anda, lantas anwār (cahaya Ilahi) itu mendapati hati (anda) dipenuhi dengan gambaran alam maya, maka pergilah anwār (cahaya Ilahi) itu dari tempat (hati) di mana ia telah turun tadi. " Dari beberapa keterangan yang telah dibentangkan di atas jelas kepada kita bahawa zikrullah sangat berperanan dalam proses pembersihan hati bagi seorang yang sālik sehingga mencapai nur Ilāhiyyah daripada Tuhannya. Dengan zikrullah dan nur Ilāhiyyah ini akan memudahkan seseorang yang sālik itu mencapai martabat wusul ilā Allah S.W.T. Zikrullah yang dimaksudkan dalam prinsip tasawwuf yang kedua di sini ialah dhikr al-darajāt iaitu zikrullah yang mempunyai kayfiyyah (cara dan kaedah) peraturan dan adab-adabnya seperti adab sebelum zikrullah, adab semasa berzikir dan adab selepas berzikir. Dhikr al-darajāt merupakan zikrullah yang ditalqinkan atau dibaiahkan oleh seorang murshid kepada seorang yang bergelar murid. Amalan ini berlaku di dalam disiplin ilmu dan amalan tasawwuf yang diimplimentasikan oleh para mashā’ikh dalam berbagai aliran tariqat. Tegasnya, dhikr al-darajāt itu ialah zikrullah yang diamalkan dalam berbagai aliran tariqat seperti Tariqat Ahmadiyyah, Tariqat Naqshabandiyyah, Tariqat Shādhiliyyah dan sebagainya lagi. Amalan zikrullah yang telah dilakukan sebenarnya mempengaruhi perjalanan rohaniah seorang yang sālik kepada Allah S.W.T. Peningkatan pengalaman rohaniah sesuai dengan peningkatan zikrullah itu sendiri. Sebagai contoh peningkatan dari dhikr ghaflah (hati lalai mengingati Allah S.W.T. ketika berzikir) kepada dhikr yaqazah (ketika berzikir hati telah sedar, bangun terhadap Allah S.W.T.). Zikir ini terus meningkat kepada dhikr hudur (hati sentiasa hadir dengan Allah S.W.T.semasa berzikir) dan akhirnya akan meningkat kepada dhikr al-ghaybah (yang lain daripada Allah S.W.T. akan lenyap dari hati dan yang ada hanya Allah S.W.T. dalam hati). Peningkatan ini dijelaskan oleh Ibn ‘Atā’illah dalam kata-kata hikmahnya:ل
ا تترك الذكر لعدم حضورك مع الله فيه لان غفلتك عن وجود ذكره أشد من غفلتك فى وجود ذكره .فعسى أن يرفعك من ذكر مع وجود غفلة إلى ذكر مع وجود يقظة ومن ذكر مع وجود يقظة الى ذكر مع زجزد حضور ومن ذكر مع وجود حضور الى ذكر مع وجود غيبة عما سوى المذكور وما ذلك على الله بعزيز . Maksudnya:"Jangan anda meninggalkan zikir (menyebut atau mengingati Allah), kerana tidak hadir (hati) anda serta Allah S.W.T. dalam zikir itu. Kerana bahawasanya kelalaian anda daripada mengingatNya lebih berat dari kelalaian anda pada mengingatiNya. Mudah-mudahan Allah S.W.T akan mengangkat anda dari zikir di samping ada kelalaian kepada zikir di mana hatinya juga (tidak lalai). Dan mudah-mudahan Allah S.W.T. mengangkat anda dari zikir yang berserta kehadiran Allah S.W.T. di dalam hati kepada zikir di mana lenyap selain Allah S.W.T. Dan itu semua tidak sukar bagi Allah S.W.T. "Dari kata-kata hikmah Ibn ‘Atā’illah di atas tadi menunjukkan adanya peningkatan pengalaman rohaniah dari satu kedudukan kepada satu kedudukan yang lebih tinggi. Peningkatan ini sesuai dengan peningkatan zikrullah itu sendiri. Atau peningkatan itu mahu dilihat dari sudut lisan ke hati. Atau lebih mudah kita memahami dhikir al-lisān kepada dhikr al-qalb. Kemudian peningkatan ini terus berlaku dengan dhikr al-qalb kepada dhikr al-jubāb. Zikir di peringkat yang terakhir ini akan membolehkan zikir itu tetap di dalam hati seorang yang sālik.
1.5.2.2 Murāqabah Dari segi definisi, istilah murāqabah membawa maksud yang berbagai dengan mengikut kesesuaian bentuk wazan dan perbezaan dalam konteks penggunaannya. Sebagai contoh firman Allah S.W.T.:إِنَّا مُرْسِلُو النَّاقَةِ فِتْنَةً لَهُمْ فَارْتَقِبْهُمْ وَاصْطَبِرْ . Maksudnya:"Sesungguhnya Kami menghantar unta betina (yang menjadi mukjizat) sebagai satu ujian bagi mereka . Lalu Kami (perintahkan Rasul Kami): Tunggulah (apakah yang mereka akan lakukan) serta bersabarlah (terhadap tentangan mereka). "Istilah فارتقبهم yang terkandung dalam ayat di atas membawa maksud: menanti dan menunggu sesuatu yang akan berlaku kepada mereka. Dalam firman Nya yang lain Allah S.W.T. menjelaskan:فَأَصْبَحَ فِي الْمَدِينَةِ خَائِفًا يَتَرَقَّبُ فَإِذَا الَّذِي اسْتَنصَرَهُ بِالاَْمْسِ يَسْتَصْرِخُهُ . Maksudnya:"Semenjak itu, tinggallah ia di bandar (Mesir) dalam keadaan cemas sambil mendengar-dengar (berita mengenai dirinya)." Istilah يترقب yang terkandung dalam ayat di atas membawa pengertian: Menanti-nanti akan mencapai sesuatu yang dituntut dengannya. Kedua-dua ayat di atas digunakan bagi menunjukkan makna intizār. Sedang dalam ayat yang lain pula Allah S.W.T. menjelaskan dengan firmanNya: كَيْفَ وَإِنْ يَظْهَرُوا عَلَيْكُمْ لاَ يَرْقُبُوا فِيكُمْ إِلا وَلاَ ذِمَّةً يُرْضُونَكُمْ بِأَفْوَاهِهِمْ وَتَأْبَى قُلُوبُهُمْ وَأَكْثَرُهُمْ فَاسِقُونَ Maksudnya:"Bagaimana (boleh dikekalkan perjanjian kaum kafir musyrik itu) padahal kalau mereka dapat mengalahkan kamu mereka tidak akan menghormati perhubungan kerabat terhadap kamu dan tidak akan menghormati perjanjian setianya."Perkataan يرقبوا (yarqabu) dalam ayat di atas membawa maksud: Jika mereka berjaya mengalahkan kamu, mereka tidak akan menjaga kamu dan memelihara hubungan kekeluargaan dan perjanjian. Dari keterangan di atas maka dapatlah kita membuat tanggapan terhadap istilah murāqabah itu sebagai satu kalimah yang membawa makna yang berbagai sesuai dengan konteks penggunaannya.
Manakala murāqabah dari sudut istilah pula dapat dilihat dari berbagai sudut antaranya:a) Murāqabah dari sudut akhlak ialah:Mengawasi diri dari sudut perbuatan, perkataan, pergerakan dan lintasan hati bagi tujuan memperbaiki segala kepincangan untuk menuju jalan yang lurus. Dengan mengabaikan pengawasan tersebut akan membawa kepada kehancuran dan kebinasaan. b) Murāqabah dari sudut tasawwuf ialah:Keadaan hāl bagi hati hasil dari ma‛rifah kepada Allah S.W.T. Sifat hāl ini akan membuahkan berbagai sifat mahmudah zahir dan batin. c) Murāqabah dari segi konsep ialah : Kesedaran rohaniah seorang sālik yang berterusan dengan satu keyakinan bahawa Allah S.W.T. melihat dan mengetahui semua hal keadaan dirinya. Menurut Syeikh al-Muhāsibi (w. 243 H) murāqabah itu mempunyai permulaan dan kesudahan (kemuncak). Permulaan murāqabah menurut al-Muhāsibi ialah lahir rasa kesedaran hati rohani (seorang yang sālik) bahawa Allah S.W.T. itu hampir dengan dirinya. Perasaan hampir itu tidak boleh digambarkan. Keadaan ini telah dijelaskan oleh Allah S.W.T. dengan firmanNya:وَلَقَدْ خَلَقْنَا الإنسان وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ Maksudnya:"Demi sesungguhnya, Kami telah menciptakan manusia dan Kami sedia mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, sedang (pengetahuan) Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya. "Sedang kemuncak atau hakikat murāqabah menurut Syeikh al-Muhāsibi ialah kesedaran hati rohani yang tetap bahawa Allah S.W.T. mengetahui tentang dirinya dalam apa juga keadaan. Dengan keyakinan yang bersih dari unsur yang merosakkan dan mengotorkan. Dengan demikian akan terbuka hijab hati dari berbagai kegelapan dan akhirnya akan dapat mushāhadah terhadap Allah S.W.T. Dalam konteks amalan tasawwuf, murāqabah biasanya dilakukan seiring dengan amalan zikrullah. Kedua-dua amalan tersebut saling berkait antara satu dengan yang lain untuk mencapai matlamat wusul ilā Allah S.W.T. Dalam konteks ini, zikrullah dilakukan dengan tujuan untuk mengingati Allah S.W.T., sedangkan murāqabah pula dilakukan untuk merasa-rasakan kewujudan Allah S.W.T., sifat-sifatNya, af‛ālNya dan sebagainya sehingga jelas dan terang konsep كأنك تراه seperti yang telah diterangkan oleh Rasulullah s.a.w. dalam hadisnya itu.Kaedah zikrullah dan murāqabah ini adalah didasarkan kepada firman Allah S.W.T. di bawah ini:الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ والأرض رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلاً يسبحانك فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. Maksudnya:"(Iaitu) orang-orang yang menyebut dan mengingati Allah S.W.T. semasa mereka berdiri dan duduk dan semasa mereka berbaring mengiring, dan mereka pula memikirkan tentang kejadian langit dan bumi (sambil berkata): Wahai Tuhan kami! Tidaklah Engkau menjadikan benda-benda ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari azab neraka."Ayat di atas menceritakan tentang amalan khusus bagi orang-orang yang bersifat ulul-albāb. Antara sifat-sifat orang yang ulul-albāb itu ialah sentiasa berzikrullah dan bermurāqabah. Kedua-dua amalan tersebut akan membawa seorang yang sālik sampai kepada hakikat tauhid rububiyyah dan uluhiyyah di samping dapat merasakan hakikat kehambaan diri kepada Allah S.W.T. Perkataan mereka yang terdapat dalam ayat di atas adalah gambaran terhadap kenyataan tersebut. Dari perkataan mereka yang telah Allah S.W.T. rakamkan itu maka dapatlah kita menyimpulkan di sini sebagai berikut:Ungkapan: ربنا ما خلقت هذا باطلا yang bermaksud:Wahai Tuhan Kami ! Tidaklah Engkau menjadikan benda-benda ini dengan sia-sia. Ada sebagai lambang kepada pengakuan mereka terhadap hakikat tauhid rububiyyah Allah S.W.T. Manakala ungkapan سبحنك yang bermaksud: Maha Suci Engkau itu sebagai lambang sampainya mereka kepada hakikat tauhid uluhiyyah Allah S.W.T. Manakala ungkapan فقنا عذاب النار yang bermaksud: Maka peliharalah kami dari azab neraka adalah lambang kelemahan diri insan. Kelemahan tersebut dilahirkan dengan sifat-sifat kehambaan diri seperti sifat kekurangan, miskin, fakir, jahil, dan sebagainya lagi sehingga terserlah pada diri mereka sifat ketergantungan dan keterikatan hati rohani hanya semata-mata kepada Allah S.W.T. seperti yang tergambar dari firmanNya:وَلَوْلاَ إِذْ دَخَلْتَ جَنَّتَكَ قُلْتَ مَا شَاءَ اللَّهُ لاَ قُوَّةَ إلا بِاللَّهِ إِنْ تُرَنِي أَنَا أَقَلَّ مِنْكَ مَالاً وَوَلَدًا Maksudnya:" Dan mengapa kamu tidak mengucapkan بالله إلا ما شأ الله لا قوة Sekiranya kamu anggap aku lebih sedikit dari padamu dalam hal harta dan keturunan."Oleh yang demikian maka benarlah anggapan serta keyakinan para ahli tariqat bahawa amalan zikrullah dan murāqabah itu sebagai الأقرب الطريق (jalan yang paling dekat) untuk sampai kepada Allah S.W.T. Sebab itulah apabila Saidina ‘Ali bin Abi Tālib k.w. memohon kepada Nabi Muhammad s.a.w. supaya baginda mengajarkan amalan khusus yang cepat wusul kepada Allah S.W.T. dan yang paling afdal, maka Nabi s.a.w. menjawab dengan sabdanya: Maksudnya:"Wajiblah ke atas kamu sentiasa berzikrullah di tempat-tempat yang sunyi. "Oleh yang demikian antara aspek penting yang menonjol dalam disiplin ilmu dan amalan tasawwuf untuk mendidik jiwa yang berkarat kerana dosa dan maksiat dengan mengamalkan zikrullah. Malahan lebih dari itu ada sesetengah daripada tokoh sufi meletakkannya sebagai salah satu dari prinsip dalam ilmu dan amalan tasawwuf. Antara mereka ialah Syeikh Abu ‘Ali al-Daqqāq yang menganggap zikrullah adalah satu rukun yang penting sebagai jalan untuk menuju Allah S.W.T., bahkan zikrullah itu merupakan asas yang sangat kuat dipegang ketika dalam perjalan tersebut, seseorang tidak akan sampai kepada Allah S.W.T. dan keredaanNya kecuali dengan cara sentiasa melaksanakan amalan zikrullah.
1.5.3 Murshid.

MURSHID
Murshid adalah satu istilah yang sinonim dengan sheikh dalam disiplin ilmu dan amalan tasawwuf, atau murabbi, guru yang mengajar, mendidik serta mengasuh zahir dan batin seorang yang sālik. Untuk menjelaskan lagi kedudukan prinsip yang ketiga ini kita lihat pandangan yang diberikan oleh Syeikh ‘Abd Samad al-Palembāni yang antara lain menyebutkan:Dan syarat yang keempat ialah mu‛allim yang menunjukkan jalan yang murad (yang hendak dituju) daripada mu’allim itu ialah guru yang murshid yang mengetahui akan jalan (kepada Allah S.W.T.). Syeikh al-Azhar, Dr. ‛Abd al-Halim Mahmud ada menghuraikan pandangannya tentang kedudukan syeikh murshid seperti yang diamalkan oleh ajaran tasawwuf adalah sebagai syarat penting yang mesti ada dalam tasawwuf itu ialah kesan rohani atau dengan kata lain lebih tepat lagi ialah barakah. Barakah itu tidak akan ada kecuali dengan wāsitah (perantaraan) seorang yang bergelar syeikh.
1.5.4 Raf‛ al-Himmah

Raf al -Himmah Prinsip yang keempat ialah الهمة رفع. Menurut keterangan yang telah diberikan oleh al-Palembāni الهمة رفع itu ialah : "Bersungguh menjalani akan jalan (Allah S.W.T.) ini seumur hidupnya iaitu sekira-kira jangan lalai dan jangan lupa dan jangan segan dan jangan letih supaya sampai kepada martabat yang tinggi dan maqam yang tertinggi. " Dalam maksud yang lain, الهمة رفع itu juga membawa maksud cita-cita, tekad dan keazaman yang kuat untuk bersungguh-sungguh melaksanakan mujāhadat al- nafs. Kesungguhan yang demikian merupakan satu tuntutan daripada Allah S.W.T. terhadap seorang yang sālik seperti firman Allah S.W.T. وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ . Maksudnya:"Dan mereka yang bersungguh-sungguh bermujāhadah dalam (jalan untuk ma‛rifah) Kami, nescaya Kami akan hidayatkan kepada mereka itu jalan-jalan (ma‛rifah) Kami itu."Para ulama tasawwuf memang sangat menekankan kepentingan mujāhadah untuk mencapai martabat wusul. Malahan mereka menetapkan agar seorang yang sālik itu hendaklah melakukan atau menjalani mujāhadah dengan bersungguh-sungguh. Tanpa mujāhadah seorang yang sālik tidak akan mencapai sebarang natijah terhadap rohaninya. Ini kerana sesiapa yang menyangka bahawa sebuah tariqat akan mengurniakan kepada dirinya atau akan dikashafkan untuk dirinya tanpa mengekalkan mujāhadah maka anggapan tersebut adalah salah. Dari mujāhadah yang bersungguh-sungguh itu, tentu ada faktor yang mendorong dan memberangsangkan seorang yang sālik itu bermujāhadah. Tanpa faktor tersebut tentu mujāhadah tidak dapat dilakukan dengan jayanya. Oleh yang demikian faktor pendorong itu adalah dikira sebagai sebahagian dari maksud himmah atau kegigihan dan kesungguhan mujāhadah tersebut. Di antara faktor tersebut ialah niat atau qasad yang benar, tujuan seorang yang sālik itu bermujāhadah mesti bersih. Tidak ada sebarang tujuan yang lain selain daripada kerana Allah S.W.T. Mujāhadah dilakukan semata-mata untuk taqarrub kepada Allah S.W.T., bukan untuk mencapai kashaf, karāmah atau untuk mencapai berbagai maqāmāt dan kepentingan diri dan sebagainya, tetapi untuk mencapai keredaan Allah S.W.T sehingga mencapai hakikat tauhid uluhiyyah dan tauhid rububiyyah yang sebenar. Sebab itu dalam amalan tasawwuf dan tariqat agenda membetulkan qasad ini sering dilahirkan dengan berbagai ungkapan sama ada dalam bentuk doa dan munājāt, antaranya seperti ungkapan:الهى أنت مقصودى ورضاك مطلوبى . Maksudnya:"Ya Allah, ya Tuhanku! Engkau adalah yang aku tuju dan keredaanMu adalah yang ku cari."Jika kita perhatikan ungkapan munājat di atas, kita dapati ia sebagai kaedah penting untuk membetulkan qasad dan tujuan di awal mula mujāhadah seorang yang sālik. Dengan munājāt ini juga diharapkan akan dapat membetulkan setiap ibadah yang dilakukan oleh seorang sālik bagi mencapai matlamat wusul.
1.5.5 Menuntut ilmu.
Menuntut IlmuPrinsip yang kelima dalam ajaran dan amalan tasawwuf ialah menuntut ilmu. Bagi seorang yang sālik adalah menjadi kewajipan untuk mencari dan menuntut ilmu dari ketiga-tiga cabang ilmu Islam. Seperti ilmu tauhid, fikah dan ilmu tasawwuf dan tariqat. Sekurang-kurangnya melepasi kewajipan fardu ‘ain. Sesuai dengan kedudukan ketiga-tiga cabang ilmu tersebut seperti yang telah dijelaskan oleh Baginda Rasulullah s.a.w. dalam sebuah hadis yang menyentuh soal Iman, Islam dan Ihsān. Tuntutan supaya mencari ilmu pengetahuan dalam Islam itu sudah bermula dengan penurunan wahyu yang pertama yang berbunyi اقرأ .Konsep yang terkandung dalam kalimah iqra’ itu memberikan satu gambaran berhubung dengan kegiatan dan perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri. Justeru kerana itu Imam al-Ghazāli berpendapat masalah yang berhubung dengan ilmu merupakan halangan pertama yang mesti diselesaikan oleh seorang yang sālik. Hanya dengan ilmu sahaja seorang sālik itu akan berjaya untuk melaksanakan ‘ubudiyyahnya terhadap Allah S.W.T. Dalam sebuah hadis Rasulullah s.a.w. ada menyebutkan tentang pentingnya menuntut dan mencari ilmu di samping peringatan dan ancaman bagi mereka yang tidak mahu berbuat demikian. Rasulullah s.a.w. bersabda yang maksudnya:"Hendaklah anda menjadi orang yang alim (yang mengetahui dan mengajar) atau orang yang belajar atau orang yang mendengar atau orang yang cintakan ilmu dan jangan anda jadi orang yang kelima, jika kamu menjadi orang yang kelima itu maka anda akan binasa." Dari penjelasan hadis di atas menunjukkan bahawa perintah untuk menuntut dan mencari ilmu adalah berterusan. Dalam konteks ilmu tasawwuf seorang yang sālik amat dituntut untuk berbuat demikian bagi menjamin keselamatan mujāhadah di samping mencapai kejayaan dalam perjalanan menuju Allah S.W.T. Di sini sering terjadi salah faham di kalangan pengamal amalan tasawwuf yang beranggapan bahawa Allah S.W.T. akan menganugerahkan berbagai ilmu laduni secara langsung tanpa diiringi usaha dan ikhtiar dengan menuntut ilmu. Sikap yang demikian tentu sahaja berlawanan dengan sarih hadis yang menuntut supaya setiap mukmin menuntut dan mencari ilmu seperti yang disabdakan oleh Baginda s.a.w. dalam sebuah hadisnya:اطلب العلم فريضة على كل مسلم Maksudnya:" Menuntut ilmu itu adalah wajib ke atas tiap-tiap lelaki Islam." Ibn ‘Atā’illah al-Iskandari r.a. dalam kata hikmahnya ada memberikan panduan kepada seorang sālik ketika berada di peringkat asbāb supaya berusaha mencari dan menuntut ilmu pengetahuan seperti biasa, sama juga dengan usaha mencari rezeki. Hal ini diterangkan oleh beliau dengan kata-kata hikmahnya :ارادتك التجريد مع اقامة الله اياك فى الأسباب من الشهوة الخفية Maksudnya:"Anda mahukan tajrid (beribadah secara melulu dan masalah rezeki dan ilmu diserahkan bulat-bulat kepada Allah S.W.T.), sedang Allah S.W.T. menentukan anda di peringkat asbāb, bermakna kehendak anda itu adalah di dorong oleh nafsu yang tersembunyi."
1.5.6 Khalwah, ‛Uzlah dan Suluk.
Khalwah, ‛Uzlah dan Suluk. Prinsip ilmu tasawwuf yang keenam ialah khalwah, ‘uzlah dan suluk. Menurut keterangan yang diberikan oleh Abd al-Samad al-Palembāni, al-khalwah yang dimaksudkan di sini ialah dengan melazimkan diri dengan duduk dalam khalwah (berada di tempat yang sunyi). Pengasingan diri ini hanya mengambil masa yang tertentu sahaja. Dalam waktu tertsebut seorang yang sālik tidak terlibat dengan aktiviti yang bersifat kemasyarakatan. Ini tidak bererti meninggalkan kewajipan sebagai anggota masyarakat, tetapi diambil untuk tujuan islāh al-nafs. Bagi seorang sālik yang bertaraf al-muridun, amalan khalwah itu hendaklah dilakukan serentak dengan anggota yang zahir. Manakala seorang sālik yang bertaraf ‛ārifin pula amalan khalwah hanya dilakukan dengan hati sahaja. Dari keterangan di atas maka dapat kita membuat kesimpulan bahawa khalwah, ‛uzlah dan suluk itu terbahagi kepada dua bahagian:a) Golongan sālik yang baru memulakan riyādat al-nafs. Golongan ini lebih dikenali dalam ilmu tasawwuf sebagai al-muridun. Golongan ini perlu melakukan khalwat dengan mengasingkan dirinya yang zahir di tempat sunyi untuk melakukan amalan zikrullah, murāqabah dan tafakkur kepada Allah S.W.T.b) Manakala golongan yang kedua pula ialah mereka yang telah mencapai martabat wusul ilā ma‛rifat Allah. Atau dikenali juga sebagai golongan yang ‛ārifin dalam ilmu tasawwuf. Khalwah bagi golongan ini sama sekali tidak melibatkan anggota yang zahir tetapi hanya memadai dengan hati sahaja. Sekali pun terjadi pergaulan dan perhubungan dengan masyarakat. Keadaan ini tidak mejejaskan dan menghalang dirinya dari mengingati Allah S.W.T. Dalam konteks ini al-Jurjāni menjelaskan khalwah jenis kedua ini disifatkan sebagai bisikan sirr berserta dengan Allah S.W.T. semata-mata.
1.5.7 Rakan seperguruan.
Rakan seperguruan. Prinsip yang ketujuh dalam ajaran tasawwuf ialah rakan atau kawan seperguruan. Antara tujuan dan matlamatnya ialah untuk merealisasikan tuntutan Allah S.W.T. seperti yang terdapat dalam firman Nya:وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُوا عَلَى الإثم وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ Maksudnya:"Dan hendaklah kamu tolong-menolong untuk berbuat kebajikan dan takwa, dan janganlah kamu tolong-menolong dalam kerja-kerja dosa dan permusuhan. Dan bertakwalah kepada Allah S.W.T., kerana sesungguhnya Allah S.W.T. Maha Berat azab seksaNya (bagi sesiapa yang melanggar perintah Nya)."Syeikh ‘Abd al-Samad al-Palembāni berpendapat, antara tujuan rakan seperjuangan dalam amalan tasawwuf ialah untuk dijadikan rakan dan kawan ketika melaksanakan ibadat. Seperti ibadat solat lima waktu sehari semalam dengan berjamaah, melakukan rātib dan zikir secara beramai-ramai. Sentiasa ingat-mengingat dari berbuat dosa dan maksiat. Amalan-amalan tersebut sangat diutamakan ketika seorang sālik menjalani suluknya .Dalam amalan tasawwuf rakan seperjuangan sangat berperanan dan amat memberi kesan dalam pembentukan peribadi seorang yang sālik. Kesan tersebut sama ada yang bersifat lahiriah mahupun yang bersifat ma‘nawiyyah. Kenyataan ini diperjelaskan lagi dengan sebuah hadis Baginda s.a.w. قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : إنما مثل الجليس الصالح والجليس السؤ كحامل المسك ونافخ الكير فحامل المسك اما ان يحذيك واما ان تبتاع منه واما ان تجد منه ريحا طيبة ونافخ الكير إما أن يحرق ثيابك واما أن تجد ريحا خبيثة Maksudnya:"Bahawa sesungguhnya bandingan kawan yang soleh dengan kawan yang jahat itu adalah seperti penjual minyak wangi dengan tukang besi yang meniup api, penjual minyak wangi itu mungkin akan memberi (minyak wangi) itu kepada anda atau anda membelinya atau anda (sekurang-kurangnya) akan dapat bau yang harum, sedang peniup api itu pula sama ada akan membakar pakaian anda atau anda akan mendapat bau yang busuk. "Dalam sebuah hadisnya yang lain Baginda s.a.w. menjelaskan dengan sabdanya yang bermaksud:"Seseorang itu berada (di bawah pengaruh) agama kawannya, maka oleh itu hendaklah seseorang daripada kamu mempastikan orang yang akan dijadikan sebagai kawannya. "
1.5.8 Menjaga adab.
Menjaga adab Prinsip ilmu dam amalan tasawwuf yang kelapan ialah menjaga adab. Dalam konteks ini al-Jurjāni ada menjelaskan di antara salah satu dari tanggungjawab yang perlu dilakukan oleh seorang yang sālik yang sedang menjalani suluknya ialah menjaga beberapa adab. Antaranya beliau menjelaskan:التصوف : الوقوف مع الآداب الشرعية ظاهرا فيرى حكمها من الظاهر في الباطن, وباطنا فيرى حكمها من الباطن فىالظاهر , فيحصل للمتأدب بالحكمين كمال. Maksudnya:Tasawwuf ialah berpegang (terus) dengan adab syarak dari sudut zahirnya, akan dirasakan hukumnya di dalam batin dari zahir itu. Dan berpegang (terus) dengan adab syarak dari sudut batinnya, maka akan dirasakanlah hukumnya pada zahir dari yang batin itu. Maka dengan kedua-dua hukum tersebut orang yang beradab itu pun dapat mencapai kesempurnaan.Adab yang cuba diketengahkan oleh disiplin tasawwuf di sini merangkumi adab kepada Allah S.W.T., Rasul, murshid atau syeikh, rakan seperjuangan, sesama manusia dan makhluk seluruhnya. Prinsip ini sesuai dengan tujuan dan maksud dari firman Allah S.W.T.:ضُرِبَتْ عَلَيْهِمْ الذِّلَّةُ أَيْنَ مَا ثُقِفُوا إِلا بِحَبْلٍ مِنْ اللَّهِ وَحَبْلٍ مِنْ النَّاسِ وَبَاءُوا بِغَضَبٍ مِنْ اللَّهِ وَضُرِبَتْ عَلَيْهِمْ الْمَسْكَنَةُ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَانُوا يَكْفُرُونَ بِآيَاتِ اللَّهِ وَيَقْتُلُونَ الأنبياء بِغَيْرِ حَقٍّ ذَلِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا يَعْتَدُونَ . Maksudnya:"Mereka ditimpakan kehinaan (dari segala jurusan) di mana sahaja mereka berada, kecuali dengan adanya sebab dari Allah S.W.T. dan adanya sebab dari manusia. Dan sudah sepatutnya mereka beroleh kemurkaan daripada Allah S.W.T., dan mereka ditimpakan kemiskinan (daripada segala jurusan). Yang demikian itu, disebabkan mereka sentiasa kufur dan ingkar akan ayat-ayat Allah S.W.T. (perintah-perintahNya), dan mereka membunuh Nabi dengan tiada alasan yang benar. Semuanya itu di sebabkan mereka derhaka dan sentiasa mencerobohi (hukum-hukum Allah S.W.T.)."Ayat di atas menceritakan tentang beberapa bentuk kehinaan yang ditimpakan oleh Allah S.W.T. ke atas umat manusia. Kehinaan tersebut terjadi disebabkan gagalnya umat manusia menjaga adab-adab yang telah ditetapkan oleh Allah S.W.T ke atas mereka. Sama ada adab yang bersifat hubungan dengan Allah S.W.T seperti memelihara segala perintahNya, dan menjauhi segala larangan dan tegahanNya. Atau adab-adab yang bersifat hubungan sesama manusia. Jika adab seumpama ini tidak dijaga oleh seorang yang sālik, maka ia akan ditimpakan kehinaan dengan gagal wusul kepada Allah S.W.T.Di antara beberapa bentuk adab yang terdapat dalam disiplin ilmu dan amalan tasawwuf ialah ādāb al-tafwid, ādāb al-talab, ādāb al-a‛māl wa al-‛ibādah dan sebagainya lagi. Adab-adab ini seharusnya dijaga dan dipatuhi oleh setiap yang sālik ketika ia menjalani suluknya.
IMAN
Iman ini dibina atas asas kesaksian bahawa tiada Tuhan atau sembahan yang sebenarnya selain daripada Allah S.W.T. dan Nabi Muhammad s.a.w. itu adalah pesuruh Allah S.W.T. Perkataan kesaksian mengandungi maksud yang lebih luas dan mendalam dari perkataan iman , ini di sebabkan istilah kesaksian atau syahadah itu bukan hanya sekadar menyatakan atau menerangkan dengan lidah, tetapi ia mengandungi maksud mengetahui, mengakui dan mengiktikadkan kebenaran itu dari apa yang telah diterangkan atau dinyatakan dengan lidahnya. Oleh sebab itu sebahagian ulama berpendapat semua yang berhubung dengan aqidah dan iman itu tidak dibenarkan bertaqlid. Atas dasar kesaksian atau syahadat inilah kita beriman dengan seluruh rukun iman dan apa juga yang bersifat ghaib yang telah disampaikan oleh Baginda Rasulullah s.a.w. seperti yang terkandung dalam Kitab al-Quran dan al-Sunnah. Atas dasar iman, iaitu beriman kepada Allah S.W.T. dan beriman kepada kerasulan Muhammad s.a.w., sudah secara langsung kita mengibadati Allah S.W.T., dengan mematuhi syari’atNya dengan melaksanakan segala yang diperintahkan dan menjauhi segala yang dilarang olehNya seperti yang telah disampaikan kepada kita oleh Baginda Rasulullah s.a.w. dan yang terkandung dalam al-Quran dan al-Sunnah. Antara beberapa bentuk perintah Allah S.W.T. tersebut ada yang terkandung dalam rukun Islam, ada juga yang tidak termasuk di dalamnya tetapi terkandung dalam segala peraturanNya yang merangkumi segala aspek kehidupan manusia seperti yang telah diterangkan oleh Allah S.W.T dalam al-Quran, surah al-An’am ayat 38.
IHSAN
Apa yang dimaksudkan dengan ihsān di sini ialah sebagaimana yang telah disabdakan oleh Rasulullah s.a.w. bahawa kita beribadat kepada Allah S.W.T. itu seolah-olah kita melihatNya, kerana jika kita tidak melihatNya, sesungguhnya Ia melihat kita. Mengibadati Allah S.W.T. dalam kontek di atas membawa maksud melaksanakan segala yang diperintah dan menjauhi segala yang dilarang dengan penuh kesempurnaan yang merangkumi seluruh syari’atNya. Justeru dari sini dapat kita memahami bahawa ihsān tersebut adalah gabungan di antara iman dan Islam. Atau dalam erti kata yang lain melaksanakan syari’at dengan penghayatan aqidah dalam bentuk kesepaduan, keadaan ini merupakan kemuncak kesempurnaan iman dan Islam. Dari keterangan tersebut, maka dapatlah kita membuat kesimpulan bahawa iman yang juga disebut sebagai Ilmu Tauhid atau ilmu Usul al-Din ialah ilmu yang membicara dan membahaskan tentang dasar keimanan dan kepercayaan. Sedang ilmu yang membicarakan masalah Islam atau syari’at pula dikenali sebagai Ilmu fiqh dan ilmu yang membahas masalah ihsān pula dikenali dengan ilmu Tasawwuf atau Ilmu Tariqat. Semua perbahasan tersebut mestilah bersumberkan kepada wahyu yang telah diturunkan oleh Allah S.W.T. kepada Nabi Muhammad s.a.w. sama ada yang terkandung dalam al-Qur’an mahu pun dalam Sunnah Rasulullah s.a.w.
AYAT-AYAT KAWNIYYAH
Ayat-ayat kawniyyah yang terdapat dalam al-Quran sebenarnya mengajak manusia untuk berfikir dan seterusnya menghayati dan merasakan keagungan sifat-sifat Allah S.W.T. Dengan demikian ia akan dapat menerima satu hakikat bahawa alam ini adalah ciptaan Allah S.W.T. dan seterusnya manusia harus menginsafi bahawa kehadirannya di atas muka bumi hanya sebagai khalifah yang tunduk dan patuh kepada peraturan daripada Allah S.W.T. Antaranya firman Allah S.W.T. dalam surah al-Ghasyiah ayat 17-20 yang menggambarkan hal tersebut.أَفَلَا يَنْظُرُونَ إِلَى الْإِبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ . وَإِلَى السَّمَاءِ كَيْفَ رُفِعَتْ . وَإِلَى الْجِبَالِ كَيْفَ نُصِبَت . وَإِلَى الأَرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْ .
TAUBAT DARI SEGI ILMU TASAWUF
al-Tawbah bererti kembali kepada Allah S.W.T. dengan melepaskan ikatan dosa di dalam hati kemudian melaksanakan hak Allah S.W.T. ke atas dirinya seperti yang dijelaskan oleh al-Jurjāni dalam al-Ta‛rifāt . Sebab itu orang yang melakukan dosa dan maksiat itu sering dikaitkan dengan istilah jauh daripada Allah S.W.T. al-Hujwiri ada menjelaskan tentang hakikat al-tawbah itu dengan katanya yang bermaksud: Kembali dari melakukan larangan Allah S.W.T. kepada suruhan Allah S.W.T. Inilah hakikat al-tawbah seperti yang terdapat dalam Kashf al-Mahjub oleh al-Hujwiri, . Sehubungan dengan perbincangan di atas dapat kita lihat dengan jelas perintah daripada Allah S.W.T dalam al-Qur’an tentang al-tawbah. Di samping banyak ayat al-Qur’an yang menggalakkan umat manusia supaya bertaubat dan kembali kepada Allah S.W.T. Antaranya Allah S.W.T. berfirman dalam surah al-Nur ayat 31, al-Baqarah ayat 54, al-Tahrim ayat 8, al-Hujurat ayat 3, Hud ayat 3, 52, 61 dan 80. Pada umumnya ayat-ayat di atas secara langsung memerintahkan agar umat manusia bertaubat kepada Allah S.W.T. di samping melambangkan sifat-sifat Pengampun Allah S.W.T. Daripada firman Allah S.W.T. di atas kita dapati perintah bertaubat itu adalah bersifat kāffah atau menyeluruh di dalam semua peringkat kehidupan umat manusia. Sebagai contoh: Bagi seorang yang ‘āsi. Taubat dalam konteks ini ialah dengan meninggalkan segala perbuatan maksiat di samping menggantikan tempatnya dengan perbuatan taat dan kebajikan. Bagi seorang yang taat. Tawbat yang perlu dilakukan dalam konteks ini ialah dengan meninggalkan perbuatan melihat perbuatan taat kepada melihat akan segalanya itu adalah taufik daripada Allah S.W.T., kerana perbuatan melihat dan bersandar kepada amalan tersebut adalah bersifat syirik khafi. Sedang orang yang berada di tahap khās al-khās. Taubat dalam konteks ini ialah meninggalkan melihat taufik kepada mushāhadat al-muwaffiq ( Allah S.W.T. yang memberikan taufik). Justeru kerana itu Abu Tālib Makki seperti yang terdapat dalam kitabnya Qut al-Qulub, menyifatkan taubat ahli-ahli tasawwuf itu adalah taubat dari perbuatan kebaikan. Ini membawa maksud apabila berlakunya kekurangan-kekurangan ketika melakukan amal kebajikan tersebut. Tidak ketinggalan juga dengan al-Tusi yang telah menjelaskan tentang beberapa peringkat taubat yang terdapat di kalangan umat manusia seperti yang terdapat di dalam kitabnya al-Luma‛, . Antaranya seperti yang terangkum dalam kata-kata beliau di bawah ini:“Sebahagian orang yang bertaubat itu, bertambah dari dosa dan keburukan, ada pula orang yang bertaubat kerana kelalaian dan sebahagiannya pula bertaubat kerana melihat kebajikan dan ketaatan yang dilakukan”.
BAB II TARIQAT DAN SULUK

2.1 PENGENALAN
Dalam bab kedua ini, penulis cuba membincangkan beberapa aspek yang berkaitan dengan istilah tariqat, konsep tariqat, kepentingan tariqat serta kedudukannya dalam Islam. Dalam masa yang sama akan disentuh juga masalah yang berhubung dengan suluk atau khalwat yang menjadi dasar kepada disiplin ilmu dan amalan tariqat tasawwuf dan hubungannya dengan amalan rābitah.
2.2.2 Tariqat Menurut Istilah Tasawwuf.
2.2.2 Tariqat Menurut Istilah Tasawwuf. Setelah kita bincangkan perkataan tariqat dari sudut bahasa di samping penggunaan al-Qur’an terhadap kalimah tersebut, maka tiba masanya untuk kita membicarakan tentang perkataan tariqat yang cuba dilihat dari perspektif ilmu dan amalan tasawwuf. Perkataan tariqat menurut disiplin ilmu ini telah didefinisikan secara berbeza-beza oleh tokoh-tokoh yang terlibat secara langsung dengan amalan tasawwuf atau oleh para penyelidik ilmu tersebut. Sebagai contoh kita ambil seorang penyelidik ilmu tasawwuf, iaitu Syeikh Ahmad Khātib bin Abdul Latif telah mendefinisikan tariqat itu dengan katanya: Jalan kepada Allah dengan mengamalkan ilmu yang tiga iaitu Tauhid, Fiqh dan Tasawwuf. Definisi ini nampaknya begitu umum, malah tidak memberikan gambaran dan realiti yang sebenar terhadap istilah tariqat dan tasawwuf itu. Ini kerana tasawwuf dan tariqat itu adalah merujuk kepada ihsān seperti yang terdapat dalam hadis Nabi s.a.w. yang masyhur itu. Tariqat, tasawwuf dan ihsān itu lebih khusus sifatnya, justeru ia tidak boleh didefinisikan dengan suatu definisi yang umum. Sedang definisi yang dikemukakan oleh Ahmad Khātib ini lebih bersifat penjelas terhadap struktur Islam, bukan makna atau takrif tasawwuf dan tariqat secara khusus. Sememangnya kita menyedari, untuk menjadi manusia yang sempurna, kita mestilah berpegang teguh terhadap Iman, Islam dan Ihsān. Atau yang disebutkan oleh Syeikh Ahmad Khātib sebagai Ilmu Tauhid, Ilmu Fiqh dan Ilmu Tasawwuf. Tetapi kita merasakan ini bukan takrif dan definisi kepada tasawwuf dan tariqat yang sebenar, tetapi hanya sekadar penjelasan terhadap bagaimana cara untuk mengamalkan syariat Islam yang syumul itu. Oleh yang demikian kita mesti mencari satu definisi yang lebih tepat dan khusus sifatnya bagi memperjelaskan lagi makna dan maksud yang terkandung dalam kalimah tariqat tersebut. Adalah diharapkan dengan pendefinisian itu nanti mengurangkan kesilapan dan kekeliruan terhadap maksud sebenar yang berhubung dengan kalimah tariqat dan ajaran yang terkandung dalamnya. Untuk tujuan tersebut kita mengutip keterangan yang diberikan oleh al-Jurjāni (w. 816H) dalam mendefinisikan perkataan tariqat dalam konteks yang lebih khusus beliau menjelaskan dengan katanya:الطريقة هى السيرة المختصة بالسالكين الى الله تعالى من قطع المنازل والترقى فى المقامات Maksudnya:Tariqat itu ialah perjalanan kerohanian yang khusus bagi orang-orang yang berjalan menuju Allah S.W.T. yang pasti akan mengharungi beberapa rintangan dan melalui peningkatan rohani di dalam berbagai maqāmāt. Menurut Syeikh Najm al-Din Kubrā (w. 618H) yang memberikan definisi tariqat itu dengan katanya:الطريقة هى التقوى والتقرب إلى الله تعالى من قطع المنازل والترقى فى المقامات. Maksudnya:Adapun tariqat itu ialah melakukan takwa dan perkara-perkara yang dapat mendekat dan menghampirkan diri kepada Allah S.W.T. dengan melalui berbagai rintangan dan berbagai maqāmāt. Dari tiga definisi di atas, kita dapati semua definisi tersebut membawa maksud yang sama, hanya Syeikh Ahmad Khātib mendefinisikan istilah tariqat itu dengan menyentuh aspek Islam Iman dan Ihsan secara zahir. Sedang dua orang tokoh yang berikutnya memberikan pendefinisian yang lebih tepat dan memenuhi kehendak istilah tariqat tersebut. Definisi ini juga menepati makna sebenar seperti yang terdapat dalam disiplin ilmu dan amalan tasawwuf dan tariqat. Jika kita tinjau selanjutnya, kita akan dapati bahawa Syeikh Najm al-Din Kubrā ada menjelaskan tentang kedudukan dan hubungan istilah tariqat itu dengan syariah dan haqiqat. Hal ini telah diterangkan oleh beliau supaya konsep tariqat tersebut lebih jelas dan dapat difahami dengan mudah di samping tidak menimbulkan sebarang kekeliruan. Beliau berpendapat bahawa syariah seumpama kapal, tariqat seperti lautan manakala haqiqat pula seperti mutiara. Sesiapa yang mahukan mutiara itu, ia mesti menaiki kapal kemudian dia belayar mengharungi lautan itu. Kemudian barulah dia sampai kepada mutiara tersebut. Sesiapa yang meninggalkan urutan perjalanan ini, maka ia tidak akan sampai ke mutiara itu. Dari keterangan Syeikh Najm al-Din Kubrā di atas, memperjelaskan lagi kepada kita tentang konsep serta hubungan antara istilah tariqat dengan syariah dan haqiqat itu. Tidak cukup dengan kenyataan tersebut, beliau memperjelaskan lagi dengan memberikan beberapa contoh tentang hubungan tersebut. Antaranya beliau menghuraikan tentang bersuci: Jika dilihat dari sudut ketiga tiga aspek tersebut (dari aspek syariah, tariqat dan haqiqat) . Menurut beliau bersuci pada tahap syariah ialah dengan menggunakan air mengikut syarat dan rukun yang tertentu, manakala di tahap tariqat pula bersuci itu dilihat dari aspek berusaha membuangkan segala dorongan hawa nafsu (takhalli) dan pada tahap haqiqat pula bersuci itu adalah bersih hati dari apa juga yang selain daripada Allah S..W.T. (tahalli). Pandangan Syeikh Najm al-Din itu tadi dapat kita perjelaskan begini: Seseorang yang mahu sampai kepada hakikat tauhid yang sebenar, baik yang berhubung dengan uluhiyyah mahupun rububiyyah sehingga memperolehi mushāhadah terhadap hakikat tauhid tersebut, mestilah ia bersih dari apa juga bentuk najis, hadas kecil mahupun hadas besar, zahir mahupun yang batin. Setelah itu hendaklah bermujāhadah membersihkan hati dari berbagai sifat tercela (madhmumah) dan menghiasi hati itu dengan sifat-sifat yang terpuji (mahmudah). Setelah kedua-dua aspek itu dapat dilakukan dengan jayanya barulah orang itu akan sampai ke martabat suci pada haqiqatnya. Benar kata-kata Ibn ‛Atā`illah yang menyebutkan:كيف يشرق قلب صور الأكوان منطبعة فى مرآته , أم كيف يرحل إلى الله وهو مكبل بشهواته , أم كيف يطمع أن يدخل حضرة الله ولم يتطهر من جنابة غفلاته, أم كيف يرجو أن يفهم دقائق الأسرار وهو لم يتب من هفواته . Maksudnya: Bagaimana hati akan dapat disinari sedangkan gambar- gambar alam maya ini tercap dalam kaca hatinya. Atau bagaimanakah seseorang boleh berjalan kepada Allah S.W.T., sedangkan ia terikat dengan syahwat-syahwatnya. Atau bagaimana seseorang berkeinginan kuat untuk masuk ke hadirat Allah S.W.T., sedangkan ia masih belum suci dari junub kelalaiannya. Atau bagaimana seseorang mengharapkan agar dapat memahami rahsia rahsia yang halus sedangkan ia belum taubat dari dosa-dosanya.Kata-kata hikmah Ibn ‛Atā’illah di atas memberikan satu gambaran tentang betapa pentingnya peranan seorang insan untuk membersihkan hati sanubari supaya berjaya mencapai martabat wusul ilā Allah S.W.T. Hanya manusia yang bersih lahir dan batinnya sahaja yang akan berjaya melalui perjalanan ini. Oleh yang demikian tidak ada sebab mengapa kita harus memisahkan antara amalan syariat dengan tariqat dan haqiqat seperti yang sering kita dengar tentang tuduhan dan tohmahan apabila membicarakan tentang tariqat dan tasawwuf. Manakala bagi Syeikh Mawlana Zakariyya al-Kandahlawi, tariqat itu adalah nama kedua bagi ihsān seperti yang terkandung dalam hadis Jibril a.s yang telah diriwayatkan oleh ‘Umar al-Khattāb r.a. Atau menurut beliau lagi, berikanlah apa sahaja nama yang anda sukai terhadap istilah ihsān tersebut. Menurut beliau perbezaan hanya pada nama sedangkan pada hakikatnya adalah sama. Hal ini menurut beliau adalah disebabkan tariqat itu adalah jalan yang dengannya membolehkan seseorang insan mencapai martabat atau sifat ihsān. Ihsān itulah juga yang disebutkan dengan istilah tasawwuf atau suluk. Dari beberapa definisi yang telah kita kemukakan di atas tadi, dapat kita menyatakan di sini bahawa definisi yang telah dikemukakan oleh Maulana Muhammad Zakariyya al-Kandahlawi nampaknya lebih tepat dan jelas. Hal ini kita katakan demikian kerana definisi yang dikemukakan itu merujuk langsung kepada ihsān seperti yang dikehendaki dalam hadis tersebut. Sedangkan ihsān itu sangat dituntut di kalangan umat Islam untuk mempertingkatkannya ke tahap yang paling sempurna sehingga mencapai martabat muhsin atau dengan kata jamaknya muhsinin. Lantaran dengan sifat tersebut seorang mukmin itu dekat dengan Allah S.W.T. di samping mendapat kasih dan sayang daripadaNya.
2.3 KEPENTINGAN TARIQAT
2.3 KEPENTINGAN TARIQATDari perbincangan terhadap fakta-fakta yang telah dikemukakan berhubung dengan definisi tariqat dan konsepnya, maka dapatlah bagi kita melihat dengan jelas kepentingan tariqat dalam kehidupan manusia menuju Allah S.W.T. Untuk lebih jelas lagi kepentingan tersebut ada baiknya jika kita membuat penelitian semula terhadap hadis Jibril a.s. mengenai struktur Islam, iaitu Iman, Islam dan Ihsān. Dari ketiga tiga struktur tersebut, Nabi s.a.w. menyebutkan apabila ditanya tentang pengertian ihsān dengan sabdanya:أن تعبد الله كأنك تراه فان لم تكن تراه فإنه يراك . Maksudnya:"Ihsān ialah anda beribadat kepada Allah S.W.T. seolah- olah anda melihatNya, jika anda tidak dapat melihatNya maka sesungguhnya Allah S.W.T. melihat anda. "Berdasarkan hadis di atas, para ulama Islam telah mengijmakkan bahawa kesempurnaan agama Islam itu berada dalam tiga strukturnya yang asas iaitu, Iman, Islam dan Ihsān. Apabila kita memahami tentang ihsān sebagaimana yang disebutkan oleh Baginda Rasulullah s.a.w. itu, maka dapatlah kita membuat kesimpulan bahawa ihsān ialah peningkatan iman dan Islam dalam penghayatan kedua-duanya, sehingga sampai ke tahap atau darjat yang paling sempurna. Apabila ibadat yang diasaskan kepada Islam dan iman itu sudah sampai ke tingkat ihsān, bererti ibadat itu telah sampai ke tahap haqiqat. Justeru tariqat dalam konteks ini merupakan wasilah atau jalan yang boleh menyampaikan iman dan Islam itu ke tingkat ihsān atau haqiqat tersebut. Dari keterangan tersebut jelas kepada kita kedudukan tariqat secara tepat menurut perspektif Islam yang syumul itu. Namun agak malang pada zaman yang mutakhir ini disiplin ilmu dan amalan tasawwuf itu dihambat dan diabaikan malah dianggap sebagai sesat dan tidak sesuai dengan keadaan zaman moden yang serba mencabar. Gambaran tersebut terjawab kerana al-Qur’an telah membayangkan bahawa ilmu dan amalan tersebut antara yang mula-mula akan dihapuskan oleh Allah S.W.T. melalui firmanNya:أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آمَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنْ الْحَقِّ وَلاَ يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمْ الاَْمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ . Maksudnya:"Belum sampaikah lagi masanya bagi orang-orang yang beriman, untuk khusyuk hati mereka bagi mengingati Allah S.W.T. dan mematuhi kebenaran al-Qur’an yang diturunkan kepada mereka. Dan janganlah pula mereka menjadi seperti orang orang yang telah diberikan kitab sebelum mereka, setelah orang-orang itu melalui masa yang lanjut maka hati mereka menjadi keras, dan banyak antaranya orang-orang yang fasik atau derhaka." Ayat ayat di atas diturunkan ke atas sebahagian dari umat Islam generasi sahabat di akhir zaman Rasulullah s.a.w. Mereka mengabaikan amalan zikir kepada Allah S.W.T. dan perintah agama. Keadaan ini terjadi kerana di akhir zaman Rasulullah s.a.w. negara Madinah telah aman, seluruh Semenanjung Tanah Arab sudah dapat dikuasai oleh pemerintahan Islam. Dengan demikian, sebahagian sahabat berpendapat dan merasakan bahawa tugas jihad fi sabilillah di medan perang sudah tamat dan tidak ada lagi. Lalu mereka mempunyai masa lapang yang agak luas dan lahirlah idea dan kecenderungan untuk bergiat semula di lapangan perniagaan dan ekonomi seperti dahulu. Lantas para pedagang mahu berdagang, para petani mahu bersungguh-sungguh untuk membangunkan ladang-ladang mereka. Justeru persekitaran dan perbualan mereka berkisar di sekitar perniagaan. Keadaan ini sedikit sebanyak menyebabkan kealpaan dan kelalaian mereka dalam urusan berzikrullah seperti yang mereka telah lakukan secara rutin sebelumnya. Lalu Allah S.W.T. menegur dengan menurunkan ayat di atas sebagai peringatan agar tidak terjadi ke atas golongan Yahudi yang Allah S.W.T. turunkan kepada mereka kitab Taurat kepada mereka tetapi diabaikan sehingga akhirnya mereka menjadi orang yang fasik. Ayat di atas membayangkan kepada kita bahawa amalan tariqat yang berasaskan kepada khusyuk hati mengingati Allah S.W.T. itu telah menjadi ilmu dan amalan yang mula mula dihapuskan oleh Allah S.W.T., kerana ternyata di zaman awal itu pun amalan zikrullah itu telah diabaikan oleh para sahabat lantas mendapat teguran dari Allah S.W.T. Ilmu khusyuk yang berasaskan kepada amalan zikrullah adalah ilmu yang mula-mula akan dihapuskan oleh Allah S.W.T. daripada kalangan manusia. Pada saat itu tidak ada seorangpun yang khusyuk ketika mendirikan solat berjamaah. Justeru, kita tidak merasa hairan jika terdapat pada hari ini disiplin ilmu dan amalan tasawwuf dan tariqat itu telah dilupa dan diabaikan oleh umat Islam. Malahan dengan berdasarkan kepada ayat al-Qur’an dan kata-kata ‛Ubādah ibn al-Sāmit di atas tadi tidak hairan jika ada di kalangan umat Islam yang mempersoalkan hakikat kebenaran disiplin ilmu dan amalan tersebut.
2.4. SULUK DAN KHALWAH
2.4. SULUK DAN KHALWAH Menurut Ibn ‛Atā`illah al-Iskandari (w.709H/1309M) khalwah dan suluk itu ialah محادثة السر مع الحق bermaksud perbualan sirr dengan Allah s.w.t. Bagi al-Jurjāni pula khalwah dan suluk itu didefinisikan السر مع الحق حيث لا أحد ولا ملك محادثة bermaksud perbualan sirr dengan Allah S.W.T. tanpa ada seorang dan malaikat bersamanya. Manakala khalwah dan suluk yang khas beliau definisikan sebagai: هى غلق الرجل الباب على منكوحته بلا مانع وطء bermaksud khalwat dan suluk itu ialah seorang lelaki menutup pintu biliknya supaya tidak ada gangguan untuk melakukan persetubuhan. Antara tujuan suluk dan khalwah dalam disiplin ilmu dan amalan tasawwuf ialah untuk belajar menetapkan hati supaya sentiasa berkekalan ingat kepada Allah S.W.T., di samping berpanjangan memperhambakan diri kepadaNya. Dalam khalwah dan suluk para sālik sentiasa dilatih agar sentiasa murāqabah terhadap diri dan mengawasi fikirannya dari gangguan dan kesibukan yang bersifat dunyawiyyah. Berusaha menjaga hati dan lahiriahnya dari bergantung kepada manusia. Dengan lain perkataan, jika ibadat itu dilakukan kerana hawa nafsu atau kerana selain dari mematuhi perintah Allah S.W.T., tentulah amalan tersebut tidak diterima oleh Allah S.W.T., seperti yang dijelaskan oleh Allah S.W.T. dalam firmanNya:وَمَا أُمِرُوا إِلاّ لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاَةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ . Maksudnya:"Pada hal mereka tidak diperintahkan melainkan supaya menyembah Allah S.W.T. dengan mengikhlaskan ibadat kepada Nya, lagi teguh tetap di atas tauhid, dan supaya mereka mendirikan sembahyang serta memberikan zakat. Dan yang demikian itulah agama yang benar. " Untuk menepati kehendak dari ayat di atas maka disiplin ilmu dan amalan tasawwuf telah memilih dan menetapkan agar seseorang yang sālik hendaklah melakukan suluk atau khalwah bagi mencapai maksud tersebut. Tanpa khalwah dan suluk ini, (menurut pengalaman disiplin ilmu dan amalan tasawwuf) sukar bagi seorang yang sālik mencapai martabat wusul kepada Allah S.W.T. Fakta ini dijelaskan oleh Muhammad Amin al-Kurdi dengan katanya: اعلم أنه لا يمكن الوصول إلى معرفة الوصول وتنوير القلوب لمشاهدة المحبوب إلا بالخلوة . Maksudnya:Ketahuilah bahawasanya seseorang itu tidak mungkin akan mencapai martabat wusul ilā ma‛rifat al-wusul dan menerangkan hati bagi mushāhadat al-Mahbub kecuali dengan melakukan khalwah dan suluk. Dari sudut asas, amalan khalwah dan suluk ini sememangnya terdapat dalam ajaran Islam. Terdapat asas yang kukuh dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah s.a.w. Antaranya Allah S.W.T. berfirman:وَاذْكُرْ اسْمَ رَبِّكَ وَتَبَتَّلْ إِلَيْهِ تَبْتِيلا . Maksudnya:"Dan sebutlah (dengan lidah dan hati) akan nama Tuhan mu (terus menerus siang dan malam), serta tumpukanlah (amal ibadat) kepadaya dengan sebulat-bulat tumpuan. " Ayat di atas mengandungi dua perkara yang diperintahkan oleh Allah S.W.T. kepada Baginda Rasulullah s.a.w. Pertama, perintah agar sentiasa ingat kepada Allah S.W.T., manakala perintah kedua ialah memutuskan hubungan selain daripada Allah S.W.T. bagi tujuan beribadah kepadaNya. Dalam hal ini, kita diperingatkan oleh Ibn ‛Atā`illah dengan kata-kata hikmahnya:أم كيف يرحل إلى الله وهو مكبل بشهواته . Maksudnya:Bagaimana seseorang itu boleh menuju kepada Allah S.W.T. sedangkan dia diselubungi oleh syahwatnya. Sehubungan dengan itu, seseorang yang melaksanakan ibadat haruslah melatih diri dan nafsunya untuk memutuskan ketergantungan hatinya kepada selain daripada Allah S.W.T., seperti yang telah dikatakan oleh Ibn ‛Atā`illah di atas tadi. Dalam kata-kata hikmatnya itu beliau menggunakan istilah يرحل yang membawa maksud perpindahan dan perjalanan dari satu tempat ke satu tempat. Makna ini jika dilihat dari sudutnya yang zahir, manakala jika mahu dilihat dari sudut maknanya yang batin boleh diertikan sebagai dari melihat alam benda kepada melihat Pencipta alam kebendaan. Dalam konteks ini hati mestilah dilatih agar sentiasa melihat Allah S.W.T. dan bergantung hanya kepadaNya. Khalwah dan suluk dalam bentuk ini sebenarnya dapat membantu membetulkan ‛ubudiyyah (penghambaan) seorang yang sālik kepada Khāliknya, di samping itu dapat membetulkan ma‛rifah terhadap Tuhannya. Sebagai contoh Abu Jamrah berpendapat, jika khalwah dan suluk Nabi Muhammad s.a.w. di Gua Hira` itu membuahkan kurnia Nubuwwah daripada Allah S.W.T., maka seseorang yang mengikuti jejak langkahnya dengan melakukan khalwah dan suluk itu akan dianugerahkan oleh Allah S.W.T. dengan sifat-sifat kewalian atau wilāyah kepadanya. Dari keterangan dan fakta di atas maka dapat kita nyatakan di sini bahawa amalan suluk dan khalwah itu sebenarnya merupakan kerja yang bersifat amali atau latihan (riyādat al-nafs) dalam melaksanakan disiplin yang telah ditetapkan dalam sesebuah tariqat dan tasawwuf. Dengan latihan tersebut, memudahkan seseorang yang sālik itu mencapai martabat wusul ilā Allah S.W.T. Hal ini telah dinyatakan oleh Ibn‛Atā`illah dengan kata kata hikmahnya:لو لا ميادين النفوس ما تحقق سير السائرين . Maksudnya:Jikalau tidak adanya lapangan-lapangan melawan hawa nafsu, pastilah tidak akan mantap perjalanan orang-orang yang menuju kepada Allah S.W.T. Dari kata-kata hikmah di atas jelas memberikan gambaran kepada kita bahawa kejayaan untuk mencapai martabat wusul itu mestilah melalui medan atau lapangan perjuangan melawan dan melatih hawa nafsu, yang disebutkan oleh Ibn‛Atā`illah sebagai mayādin al-nufus. Lapangan dan medan untuk melawan dan melatih nafsu itu dapat kita ertikan sebagai khalwah dan suluk seperti yang terdapat dalam disiplin ilmu dan amalan tasawwuf. Riyādah yang dilakukan ini jelas termasuk dalam pengertian amal soleh yang boleh mendekatkan diri kepada Allah S.W.T. Fakta ini telah dijelaskan oleh Allah S.W.T. dengan firmanNya:قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحًا وَلاَ يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا . Maksudnya:"Oleh yang demikian itu, sesiapa yang percaya dan berharap akan pertemuan dengan Tuhannya, hendaklah ia mengerjakan amal yang soleh, dan janganlah ia mempersekutukan sesiapa pun dalam ibadatnya kepada Tuhannya."
Kesimpulan yang dapat dinyatakan di sini bahawa amalan khalwah dan suluk yang terdapat dalam displin ilmu dan amalan tasawwuf itu merupakan kesinambungan dari amalan para Nabi dan Rasul yang terdahulu. Amalan tersebut sebenarnya mempunyai kesan yang sangat positif kepada jiwa seorang sālik ketika menjalani mujāhadat al-nafs.
3.1 PENGENALAN AL-RABITAH
Dalam bab yang ketiga ini akan dibincangkan latarbelakang yang berkaitan dengan al-rābitah secara ringkas. Dengan penjelasan itu nanti akan memudahkan untuk kita memberikan pandangan dan ulasan khususnya yang berkaitan dengan definisi, konsep dan apa juga yang ada kaitan dengan perbahasan ini. Dalam bab ini juga akan dibincangkan peranan seorang syeikh dalam mengasuh dan mendidik seseorang murid, begitu juga akan dibincangkan peranan seseorang murid terhadap gurunya. Tujuan perbincangan ini adalah untuk melihat dengan secara mendalam bagaimana hubungan di antara syeikh dengan murid itu akan menimbulkan satu konsep yang tersendiri di dalam disiplin ilmu dan amalan tasawwuf iaitu al-rābitah.
3.2 DEFINISI AL-RĀBITAH.3.2.1 Al-Rābitah dari sudut bahasa.
Al-Rābitah dari sudut bahasaIstilah al-rābitah jika ditinjau dari sudut bahasa, ia diambil dari perkataan الربط. Perkataan ini berasal dari katakerja ربط , يربط , ربطا , مربوط , ربيط . Sedang kata jamaknya pula ialah ربط . Istilah al-rābitah ini biasanya digunakan mengikut kesesuaian yang berdasar kepada berbagai bentuk , sama ada dilihat dari sudut perbezaan wazannya atau pun dari sudut perbezaan dalam konteks penggunaan dan pemakaiannya. Sebagai contoh apabila dikatakan :1- ربط الشيىء ربطا فهو مربوط وربيطAyat di atas membawa maksud memeperkemaskan sesuatu ikatan.2- رباط الشيىء Ungkapan di atas membawa kepada beberapa maksud antaranya :a) Ayat di atas membawa maksud sesuatu yang diikat . Dalam ertikata lain ia juga dikatakan sebagai تشد به القربة yang membawa maksud mengikat dengannya akan tempat air.b) Ayat di atas juga membawa maksud : مواظبة على الأمر yang bererti: sentiasa berterusan di dalam membuat sesuatu urusan.c) Seterusnya ia membawa kepada makna :ملازمة ثغر العدو كا لمواظبة yang bererti: sentiasa berwaspada terhadap musuh. 3- Sedang kalimah al-murābitah pula pada asalnya membawa maksud setiap satu kumpulan mempunyai tempat khas untuk menambat kuda-kuda mereka. Dari sini dinamakan tempat menambat kuda itu dengan nama رباطا . Dalam al-Qur’an Allah S.W.T berfirman:يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اصْبِرُوا وَصَابِرُوا وَرَابِطُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ . Maksudnya:Wahai orang-orang yang beriman! Bersabarlah kamu (menghadapi segala kesukaran dalam mengerjakan perkara-perkara yang berkebajikan), dan kuatkanlah kesabaran kamu (lebih dari kesabaran musuh di medan perjuangan) dan bersedialah (dengan kekuatan pertahanan di daerah-daerah sempadan) serta bertaqwalah kamu kepada Allah S.W.T., supaya kamu berjaya (mencapai kemenangan).Dalam firman Allah S.W.T di atas tadi, terdapat tiga kata kerja suruh (fi‘l al-amr) di antaranya:اصبروا : Membawa maksud bersabar di atas segala kesukaran dan kesusahan yang dihadapi ketika akan, sedang dan selepas melaksanakan ibadah dan musibah. وصابروا: Membawa maksud perangilah musuh-musuh Allah S.W.T. dengan penuh kesabaran ketika dalam peperangan. Demikian juga ketika memerangi musuh al-nafs, al-hawā dan syaitan. ورابطوا: Membawa maksud kuatkan semangat jihad ke atas musuh-musuh kamu semasa peperangan di samping kuatkan persediaan untuk hari peperangan tersebut. Perkataan rābitu dengan kata jamak itu juga terkadang membawa maksud muhāfazah iaitu menjaga, memelihara,mengawasi dan berhati-hati dengan waktu solat. Perkataan ini digunakan juga kepada maksud muwāzabah iaitu pengawasan, penelitian dan penjagaan ke atas solat. 4- Kadangkala digunakan perkataan al-ribāt kepada makna intizār iaitu menunggu dari satu waktu solat ke waktu solat yang lain. Ini dapat kita lihat dengan jelas dari sabda Rasulullah s.a.w:ألا أدلكم على ما يمحو الله به الخطايا ويرفع به الدرجات , قالوا بلى يا رسول الله قال اسبغ الوضوء على المكاره وكثرة الخطأ إلى المساجد , وانتظار الصلاة بعد الصلاة فذلكم الرباط فذلكم الرباط فذلكم الرباط . Maksudnya:Adakah tidak mahu aku tunjukkan kepada kamu tentang sesuatu yang boleh menghapuskan kesalahan-kesalahan di samping mengangkat darjat kamu? Mereka menjawab: Bahkan wahai Rasulullah. Baginda s.a.w menjawab dengan sabdanya: Sempurnakanlah wuduk walaupun dalam keadaan susah (di waktu sakit dan sejuk) dan perbanyakkanlah langkah untuk menuju ke masjid, dan menanti waktu solat selepas waktu solat. Demikian itulah al-ribāt, demikian itulah al-ribāt, demikian itulah al-ribāt.Dalam hadis yang tersebut di atas jelas segala amal-amal soleh itu diumpamakan dengan perkataan al-ribāt yang membawa maksud lazamtu. Ayat di atas membawa maksud melazimkan atau membiasakan diri ke atas amal-amal soleh. Oleh yang demikian perkataan al-ribāt di sini sebenarnya mengandungi maksud lazamtu yang melambangkan kepada ikatan di antara dua hubungan. Sebagai contoh: Menyempurnakan wuduk, pergi ke masjid dan sebagainya akan mengikat pelakunya dari melakukan maksiat dan memelihara dari beberapa perkara yang diharamkan. 5- Perkataan al-rābitah juga membawa makna العلقة dan الوصلة. Yang membawa maksud ketergantungan dan kesampaian. Seterusnya kita dapat lihat dari keterangan yang dikemukakan oleh al-Qur’an tentang perkataan al-ribāt yang membawa maksud demikian seperti di dalam firmanNya:وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ وَآخَرِينَ مِنْ دُونِهِمْ لاَ تَعْلَمُونَهُمْ اللَّهُ يَعْلَمُهُمْ وَمَا تُنفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنْتُمْ لاَ تُظْلَمُونَ . Maksudnya: Dan sediakanlah untuk menentang mereka (musuh yang menceroboh) dengan segala kekuatan yang dapat kamu sediakan dan dari pasukan-pasukan berkuda yang lengkap bersedia untuk menggerunkan dengan persediaan itu akan musuh-musuh Allah S.W.T. dan musuh kamu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah S.W.T. mengetahuinya.Perkataan al-ribāt yang terdapat dalam ayat di atas jelas membawa maksud berwaspada dan bersedia. Ayat ini juga memperlihatkan kepada kita adanya hubungan di antara dua aspek, iaitu hubungan di antara kekuatan tentera dan pasukan berkuda dengan kejayaan dan kesampaian (al-wuslah). Hubungan tersebut jelas akibat dari penggunaan perkataan al-ribāt seperti yang terdapat dalam ayat di atas.
3.2.2 Al-Rābitah Dari Sudut Istilah
Al-Rabitah Dari Sudut IstilahMenurut pandangan Syeikh ‘Abd al-Ghāni al-Nāblusi, perkataan al-rābitah dari sudut istilah al-sufiyyah ialah:ربط المريد قلبه بالشيخ الكامل الذى وصل بروحه وقلبه إلى مقام المشاهدة وتحقق في نفسه بالصفات الذاتية المنسوبة إلى ذات الله تعالى من غير كيف ولا كيفية على التنزيه المطلق . Maksudnya:Murid itu menambat atau menggantungkan hatinya dengan seorang syeikh yang kāmil (sempurna atau telah wusul kepada Allah S.W.T.) iaitu syeikh yang roh dan hatinya telah mencapai maqām mushāhadah dan tahqiq (benar-benar ada) di dalam dirinya (diri batinnya) berbagai sifat zat yang dinisbahkan kepada zat Allah Ta’ala, tanpa rupa dan keadaanya, didasarkan kepada kesucian yang mutlak.Ungkapan beliau di atas jelas menunjukkan makna dan maksud al-rābitah. Perkataan al-rābitah di sini menggambarkan satu keadaan di mana wujudnya cetusan rasa kasih sayang dan perasaan cinta yang mendalam terhadap seorang yang bergelar syeikh atau guru itu. Untuk memperjelaskan lagi hubungan kasih dan sayang di antara keduanya (syeikh dan al-sālik) marilah kita lihat apa yang telah dinyatakan oleh Ustaz Abdullah Abdul Talib seperti yang telah beliau ceritakan kepada Zulkarnain Zakaria seperti berikut:Kita ni kalau menuntut ilmu, kita mesti beramal. Kerana berkatnya ilmu itu, mesti kita nampak guru kita tu masa kita beramal. Begitulah istimewanya Allahyarham di mata saya. Sehingga sekarang bila saya angkat saja tangan untuk takbir bagi memulakan sembahyang dan kemudian masuk niat, saya mesti terbayangkan wajah Allahyarham. Setiap kali saya hadap tikar sembahyang, seperti dia ada di sebelah. Bila pegang tasbih, nampak muka arwah. Belum pernah satu hari pun saya terlupakan dia (menangis). Syeikh Husayn Ahmad al-Dawsuri memberikan definisi al-rābitah tersebut dengan katanya:أن من جالس شخصا سيما إذا كان الجلوس على طريق المحبة والاعتقاد لا بد أن ترسم صورته فى ذهنه , فمهما تذكره تخيل صورته فإن كان الشخص من أحبأ الله فتخيل صورته يدعوا إلى محبته و الشوق اليه ومحبته مطلوبة والشوق إليه محبوب فتخيل صورته محبوب إذ من تصور موصوفا تصور صفاته فإذا كان صفاته محبوبة عند الله فتصوره الموجب لتصور صفاته المحبوبة محبوب , ولا معنى للرابطة سوى هذا . Maksudnya:Sesungguhnya sesiapa yang berhubung rapat dengan seseorang, terutamanya jika perhubungan itu dalam suasana kasih sayang dan iktikad (yang baik), sudah pastilah rupa orang itu akan tergambar di dalam ingatannya. Bila ia ingatkan orang itu maka tergambarlah rupanya. Jika orang yang tersebut dari kalangan orang-orang yang dicintai Allah S.W.T. , maka menggambarkan rupanya (dalam ingatan) itu akan mendorongkan untuk mencintai Allah S.W.T. dan rindukanNya. Mencintai Allah S.W.T. itu sememangnya dituntut dan rindu kepada Allah S.W.T. itu adalah (merupakan sifat) yang dikasihi. Oleh itu menggambarkan orang yang tersebut itu juga adalah (merupakan sifat) yang dikasihi juga kerana sesiapa yang menggambarkan (rupa) seseorang maka akan tergambarlah sifat-sifatnya. Jika sifat-sifat orang itu dikasihi di sisi Allah S.W.T. maka menggambarkan rupanya yang boleh memestikan tercapainya gambaran sifat-sifatnya itu adalah merupakan (perbuatan) yang dikasihi (oleh Allah S.W.T.) juga. Tidaklah ada makna rābitah itu kecuali (yang tersebut) ini. Terdapat sebahagian daripada ulama tasawwuf memberikan definisi al-rābitah. تعلق قلب المريد بشيخه على وجه المحبة Maksudnya:Menggantungkan hati murid dengan syeikhnya di atas dasar kasih dan sayang.Apabila seorang al-sālik tidak berada di samping syeikhnya, kerana berjauhan atau kematian tentu sahaja dia akan teringatkan syeikhnya itu. Apabila ingatan itu terjadi yang pastinya rupa syeikhnya itu juga akan terbayang dalam ingatan atau khayalannya. Jika seorang itu telah jatuh kasih sayangnya (jatuh cinta) dengan seorang perempuan, tentu sahaja ia akan terbayang-bayang dan teringatkan orang yang dikasihi itu, sedang yang diharapkan hanyalah tubuh badannya sahaja. Oleh yang demikian apatah lagi bagi seorang yang al-sālik itu yang menaruh harapan sepenuhnya terhadap asuhan, didikan dan bimbingan daripada syeikhnya yang bakal dapat menyempurnakan kehidupan rohaniahnya sudah tentulah keadaan ini lebih hebat jika dibandingkan dengan cinta kepada seorang perempuan itu. Kalau kita lihat dan teliti segala peristiwa ini tentu dapat kita menukilkan beberapa peristiwa yang berlaku di kalangan sahabat Rasulullah s.a.w. yang menggambarkan hubungan kasih dan sayang ini, di antaranya ialah satu peristiwa yang berlaku kepada Saidina Abu Bakr al-Siddiq yang dilaporkan kepada kita oleh Imam al-Bukhāri:إن أبا بكر الصديق اشتكى إلى النبى صلى الله عليه وسلم عدم انفكاكه عنه حتى كأنه يراه فى بيت الخلأ. Maksudnya:Sesungguhnya Abu Bakr al-Siddiq telah mengadu kepada Nabi s.a.w tentang (pengalamannya yang mana beliau) terasa tidak bercerai daripada Nabi sehingga di dalam bilik air pun dia masih seolah-olahnya melihat wajah Nabi itu.Manakala menurut pandangan Syeikh Muhammad ibn ‘Abdillah al-Khāni al-Khālidi dalam kitabnya antara lain menyatakan:الطريقة الثانية : الرابطة وهي طريقة مستقلة للوصول وعبارة عن ربط القلب بالشيخ الواصل إلى مقام المشاهدة التى تحقق بالصفات الذاتية وحفظ صورته فى الخيال ولو بغيبته فرؤيته بمقتض " الذين إذا رؤا ذكر الله . Maksudnya:Jalan yang kedua: al-Rābitah merupakan satu jalan yang tersendiri untuk mencapai tahap al-wusul. Suatu keadaan di mana seorang al-sālik menambatkan hatinya dengan syeikhnya yang telah mencapai maqām al-mushāhadah. Dan tahqiq (benar-benar adanya) di dalam dirinya (diri batinnya) dengan sifat al-dhātiyyah. Dan hendaklah murid itu mengingati rupa gurunya (syeikhnya) di dalam khayalannya sekalipun pada waktu ketiadaannya (syeikhnya) Melihat dan menggambarkan ini adalah sesuai dengan hadis Nabi Muhammad s.a.w: Mereka yang dipandang maka orang yang memandang itu akan ingat kepada Allah S.W.T. Menurut pandangan ‘Abd al-Mājid bin Muhammad al-Khāni pula, al-rābitah itu seperti yang beliau nyatakan sebagai:وهى أن يستحضر المريد صورة شيخه الكامل المشهود بالوصول إلى مقام الفنأ والبقأ الاتمين مستمدا من روحانيته وأنواره . Maksudnya:Al-Rābitah itu ialah seorang yang al-sālik menghadirkan atau membayangkan rupa guru syeikhnya yang kāmil yang telah wusul ke maqām al-fanā` dan al-baqā` dengan berpegang kepada rohaniah dan cahayanya.Rasa kasih sayang, hormat, taat, sangat memerlukan bimbingan dan asuhan daripada syeikhnya itu antara sebab yang mendorong seorang yang sālik sentiasa teringat dan terbayang-bayang rupa wajah syeikhnya. Semua keadaan tersebut adalah konsep paling asas yang menjadi dasar kepada amalan al-rābitah yang dianggap sebagai ciri penting dalam disiplin ilmu dan amalan tasawwuf. Disiplin ini telah diakui dan ditegaskan kepentingannya oleh para ulamak tasawwuf sendiri.Dari beberapa definisi al-rābitah yang telah disebutkan di atas tadi memperlihatkan dengan jelas kepada kita tentang hakikat daripada hadis Baginda Rasulullah s.a.w tentang ihsān seperti yang disabdakannya:أن تعبد الله كأنك تراه . Maksudnya:Jika kamu menyembah Allah S.W.T., maka sembahlahlah seolah-olah kamu melihatNya.Hadis di atas memerintahkan kepada kita agar setiap pengabdian itu hendaklah dilakukan seolah-olah kita berhadapan dan melihat Allah S.W.T. Kenyataan ini lebih jelas dengan penggunaan kalimah كأنك yang melambangkan maksud seolah-olah atau seakan-akan. Dari kenyataan tersebut tentu dapat membantu kita dalam memahami kalimah كأنك تراه . Kerana apa yang cuba digambarkan dalam hadis tersebut ialah satu suasana atau keadaan di mana rohaniah seseorang itu merasakan seolah-olah atau seakan-akan melihat Allah S.W.T., bukan dalam erti berhubung yang membawa maksud ittisāl, atau apa jua yang melibatkan perhubungan yang bersifat jasmaniyyah, namun apa yang cuba dikemukakan di sini ialah rohaniah yang menjadi hakikat kemanusiaan itu sebenarnya boleh mencapai ke tahap kesempurnaan sehingga mencapai ke maqām ihsān itu. Justeru kerana itu, amalan al-rābitah ini ialah satu amalan yang cuba menjelaskan tentang konsep كأنك تراه yang tersebut dalam hadis itu tadi. Dengan konsep al-rābitah itu juga seorang yang al-sālik akan dapat merasa-rasakan melihat Allah S.W.T. dengan penglihatan batin yang bersifat al-shuhudiyyah seperti yang dikehendaki oleh hadis Rasulullah s.a.w itu tadi. Oleh itu para ulamak tariqat dan tasawwuf telah menjelaskan kepada kita tentang apa yang dimaksudkan dengan al-rābitah itu dengan kata mereka:فالرابطة عند أهل الطريقة هى الخلا الحميدة والآداب الشريفة التي تربط قلب العبد على الحضور فى حضؤر الحق تعالى بما ينبغى له من كمال المحبة والتقديس والتنزيه. أو حضرة الرسول صلى الله عليه وسلم أو حضرة ورثته الكامل المرشدين ( الذين إذا رؤوا ذكر الله تعالى ) Maksudnya: Al-Rābitah yang diamalkan di kalangan ahli tariqat itu ialah sifat yang terpuji dan sebahagian dari adab-adab al-syari’at. Amalan ini boleh mengikat hati seorang al-sālik agar hudur dengan hadirat Allah S.W.T dengan sesuatu yang sesuai dengan sifat Allah S.W.T seperti kesempurnaan mahabbah, taqdis dan tanzih. Atau hudur ke hadirat Rasul s.a.w atau hudur dengan para pewaris Rasulullah s.a.w yang bersifat dengan sifat kesempurnaan dan yang memberikan petunjuk: Mereka yang dipandang maka orang yang memandang itu akan ingat kepada Allah S.W.T.
3.3 SEJARAH RINGKAS AMALAN AL-RĀBITAH.
SEJARAH RINGKAS AMALAN AL-RĀBITAH.Seperti yang tercatat dalam sejarah bahawa pengalaman sesetengah daripada para sahabat ketika mereka berada di hadapan Nabi s.a.w. menunjukkan terdapatnya perbezaan jika dibandingkan dengan pengalaman ketika mereka berada jauh daripada Baginda s.a.w. Sebagai contoh, pengalaman yang dialami oleh Hanzalah r.a dan Abu Bakr al-Siddiq r.a. Kisah ini diceritakan sendiri oleh Hanzalah r.a. dengan katanya:عن حنظلة رضى الله عنه قال : لقينىأبوبكر رضى الله عنه قال : كيف أنت يا حنظلة ؟ قلت : نافق حنظلة . قال سبحان الله ما تقول ؟ ! قلت : نكون عند رسول الله صلى الله عليه وسلم يذكر بالجنة والنار كأنا رأى عين , فإذا خرجنا من عند رسول الله صلى الله عليه وسلم عافسنا الأزواج والأولاد والضيعات نسينا كثيرا قال أبو بكر رضى الله عنه : فوالله إنا لنلقى مثل هذا . Maksudnya:"Daripada Hanzalah r.a., ia berkata: Abu Bakr r.a telah menemui aku lalu ia bertanya: Bagaimana (keadaan iman) engkau wahai Hanzalah? Aku pun menjawab: Hanzalah telah munafik. Abu Bakr menjawab: Subhānallāh, apakah yang engkau katakan ini wahai Hanzalah?! Aku berkata: Kita ketika berada di sisi Rasulullah s.a.w., baginda itu mengingatkan kita tentang syurga dan neraka, kita seolah-olah melihat (syurga dan neraka itu) dengan mata kepala kita; bila kita berpisah daripada Rasulullah s.a.w., kitapun sibuk dengan isteri-isteri, anak-anak dan kerja-kerja kita, maka ketika itu kita lupa semuanya (tidak boleh ingat seperti berada di hadapan baginda lagi). Abu Bakr berkata: Demi Allah kamipun mengalami seperti (cerita engkau) ini."Dari pengalaman dua orang sahabat yang tersebut di atas tadi menjelaskan kepada kita bahawa dengan bersama-sama Nabi Muhammad s.a.w. itu sebenarnya mereka telah mendapat taufik dan hidayah daripada Allah S.W.T. Sehingga dengan taufik dan hidayah tersebut, Allah S.W.T. mengurniakan kepada mereka dengan terbuka hijāb hati dan dapat mushāhadah terhadap hakikat sebahagian dari apa yang telah diajarkan oleh Baginda s.a.w. kepada mereka. Namun sifat hāl tersebut tidak kekal lama apabila mereka berjauhan dengan Nabi Muhammad s.a.w., malahan mereka terasa sukar mendapatkan kurnia Allah S.W.T. itu. Dari pengalaman yang telah dilalui oleh sahabat itu tadi, maka sesetengah sahabat apabila ia berjauhan dari Nabi Muhammad s.a.w. maka mereka akan cuba sedaya upaya mengingatkan paras rupanya. Bukan sekadar itu tetapi para sahabat tersebut sentiasa teringat-ingat dan terbayang-bayangkan Baginda s.a.w., sentiasa memikir-mikirkan kehidupan dan makan minumnya, sihat atau sakitnya, senang atau susahkah ia, dan sebagainya lagi adalah tanda kasih dan sayang mereka terhadap Nabi Muhammad s.a.w. Kisah-kisah tentang para sahabat yang menyentuh keadaan itu sememangnya banyak kita temui dalam sirah Rasul s.a.w. yang rasanya tidak perlu untuk diperturunkan di sini. Keadaan tersebut adalah lahir dari sebab keyakinan dan ketergantungan hati para sahabat yang cukup kuat dan kental terhadap Baginda s.a.w., malahan perasaan kecintaan yang tidak berbelah bagi terhadap diri Rasulullah s.a.w itulah yang menyebabkan mereka mencapai maqām yang tinggi di sisi Allah S.W.T. Demikianlah seterusnya, kesinambungan suasana ketergantungan dan kecintaan hati terhadap seseorang yang dekat dengan Allah S.W.T. seperti yang berlaku antara para sahabat dengan Baginda s.a.w., telah diteruskan dalam amalan tasawwuf dengan menjaga suasana hubungan yang baik antara seorang yang bergelar syeikh dengan para muridnya.
3.4 RĀBITAT AL-SYEIKH.
RĀBITAT AL-SYEIKHMasalah yang berhubung dengan amalan rābitah di kalangan ahli tariqat dan tasawwuf merupakan masalah yang bersifat kontradik yang hangat dibicarakan dan dipersoalkan oleh umat Islam, dahulu dan sekarang, terutama di kalangan mereka yang rasa bertanggungjawab dalam menjaga keharmonian dan kesucian agama Islam dari tercemar dengan unsur-unsur negatif. Antaranya seperti Jabatan-jabatan Agama negeri dan Pusat Islam sebagai contohnya. Bahagian Hal Ehwal Islam, Jabatan Perdana Menteri, pada tahun 1988 telah memberikan pandangannya mengenai amalan rābitah tersebut seperti yang tersebut di bawah ini: Perbuatan menggambarkan wajah guru semasa berzikir dan beribadat samalah seperti amalan pengikut-pengikut Nabi Nuh a.s. yang menyembah patung-patung besar mereka iaitu Wadd, Suwā‘, Yaghuth, Ya‘uq dan Nasr. Allah S.W.T telah berfirman dalam surah Nuh ayat 23; maksudnya: Dan ketua-ketua mereka menghasut dengan berkata: Jangan kamu meninggalkan penyembahan tuhan-tuhan kamu, terutama penyembahan Wadd, Suwā‘, Yaghuth, Ya‘uq dan Nasr. Menurut keterangan dari Ahmad ibn Ahmad al-Sāwi dalam tafsirnya Hāshiyat al-‘Allāmah al-Sāwi ‘Alā Tafsir Jalālayn, antara lain menjelaskan bahawa sesungguhnya Nabi Adam a.s itu mempunyai lima orang anak lelaki, mereka ialah Wadd, Suwā‘, Yaghuth, Ya‘uq dan Nasr. Mereka merupakan ahli ibadah yang ikhlas hanya kepada Allah S.W.T. Namun pada suatu ketika salah seorang dari mereka telah meninggal dunia. Sedangkan keempat-empat saudaranya sangat-sangat menyayangi dan mengasihinya. Mereka berdukacita di atas kematian tersebut. Dalam keadaan bersedih dan berdukacita ini syaitan telah memainkan peranannya dengan memujuk mereka supaya tidak bersedih dan berduka cita dengan memberikan satu cadangan agar ia (syaitan) melukiskan gambar patung saudara mereka yang telah meninggal dunia itu supaya dapat dijadikan sebagai satu peringatan dan kenangan yang boleh menghilangkan kesedihan dan kedukacitaan mereka. Syaitan telah melakukan segala tipu dayanya sehingga berjaya merupakan sebuah patung yang benar-benar serupa dengan saudara mereka yang telah meninggal dunia itu. Justeru dengan patung tersebut dapatlah mereka menghilangkan kesedihan dan kedukacitaan mereka. Patung ini mereka letakkan dalam masjid. Demikian seterusnya apabila berlaku kematian di kalangan mereka, syaitan akan membuatkan kepada mereka patung lagi yang serupa dengan saudara mereka yang meninggal itu. Akhirnya apabila kelima-lima mereka meninggal dunia maka syaitan telah mengukir kelima-lima patung yang serupa dengan mereka lalu dinamakan dengan Wadd, Suwā‘, Yaghuth, Ya‘uq dan Nasr. Semua patung anak Adam tersebut diletakkan di dalam masjid. Sehingga sampai pada satu ketika semua manusia tidak lagi menyembah dan beribadah kepada Allah S.W.T. lalu syaitan berkata: Mengapa kamu sekelian tidak mempunyai sebarang sembahan yang kamu sembah yang dengannya boleh memenuhi segala kehendak kamu. Lalu manusia bertanya: Wahai syaitan apakah yang perlu kami sembah? Lalu syaitan menjawab dengan katanya: Apakah kamu menyedari bahawa yang kamu sembah sekarang adalah berhala-berhalamu dan berhala orang tuamu pada zaman dahulu. Apakah kamu tidak mengerti bahawa sembahanmu dan sembahan orang tuamu dahulu itu adalah berhala-berhala yang ada di dalam masjid tersebut . Selepas peristiwa ini seluruh manusia menyembah berhala-berhala tersebut tanpa menyembah Allah S.W.T. Sehinggalah Allah S.W.T. mengutus Nabi Nuh a.s untuk memperbaiki kerosakan akidah kaumnya dengan menasihati dengan katanya: Wahai kaumku hendaklah kamu menyembah Allah S.W.T. dengan seikhlas-ikhlasnya dan janganlah kamu menyembah berhala-berhala itu. Lalu dijawab oleh ketua-ketua dari kaumnya dengan berkata: Janganlah kamu meninggalkan pusat-pusat berhala tersebut kerana dialah yang menjadi sebab (adanya kita semuanya ini) iaitu berhala Wadd, Suwā‘, Yaghuth, Ya‘uq dan Nasr.Setelah sekian lama semua manusia yang dipimpin oleh Nabi Nuh a.s meninggalkan penyembahan Allah S.W.T, lalu Allah S.W.T. menghancurkan mereka dengan banjir besar yang terkenal itu. Tidak ada yang terselamat kecuali yang beriman dengan Allah S.W.T. dan bersama dengan Nabi Nuh a.s dalam bahteranya.Situasi dan kondisi seperti itu terus berulang dan berlalu, penyembahan semakin menggila meskipun Allah S.W.T. telah mengutuskan beberapa orang Nabi dan RasulNya sesudah dari Nuh a.s. seperti Nabi Hud a.s, Nabi Saleh a.s., Nabi Daud a.s., Nabi Musa a.s, dan Nabi Isa a.s. Setelah Nabi Isa a.s diangkatkan oleh Allah S.W.T ke sisiNya, manusia masih tetap berada dalam lingkungan dan situasi kekufuran dan kesyirikan terhadap Allah S.W.T, tiada pegangan hidup yang benar yang mereka anuti. Dalam jiwa mereka hanya ada kekufuran dan kemusyrikan. Penyembahan berhala semakin meningkat di kalangan masyarakat sesuai dengan kedudukan masing-masing, yang kaya mengukir emas untuk dijadikan patung manakala yang separuh kaya mengukir perak untuk dijadikan patung sedang yang miskin pula mengukir kayu untuk dijadikan tuhan sembahan. Begitulah meluasnya kegiatan penyembahan berhala bahkan setiap individu membuat berhala sendiri dan disembahnya sendiri.Gambaran yang diberikan oleh al-Sawi di atas tadi menunjukkan kepada kita rentetan peristiwa penyelewengan manusia dari penyembahan Tuhan Esa kepada penyembahan berhala, bukan persoalan rābitah. Peristiwa tersebut menggambarkan bahawa amalan rābitah tidak ada hubungan dari sudut konsep,ciri-ciri dan kaedah dengan amalan kaum Nabi Nuh a.s. di atas, malahan di antara keduanya tidak mempunyai sebarang kaitan. Rābitah dalam amalan tasawwuf mempunyai konsep, ciri dan kaedah yang tertentu bertepatan dengan hukum syarak, sedangkan amalan kaum Nabi Nuh a.s. seperti yang dibentangkan oleh al-Sāwi di atas tadi jelas perbuatan syirik yang dilarang dalam agama. Untuk mengaitkan amalan orang-orang musyrikin kaum Nabi Nuh a.s. dengan amalan rābitah di kalangan tasawwuf adalah tidak tepat dan menyalahi kaedah dalam Islam.
Selanjutnya Allah S.W.T mengutus rasulNya yang terakhir untuk membersihkan ciri-ciri kekufuran dan kemusyrikan yang sudah sekian lama bertapak di dalam jiwa mereka. Kehadiran Baginda s.a.w adalah penyelamat kepada seluruh umat manusia dan alam ini lantaran syari’at yang dibawanya itu adalah daripada Allah S.W.T. Larangan menyembah berhala mulai dirintis oleh baginda s.a.w. Seluruh umat manusia diperintahkan agar menyembah hanya kepada Allah S.W.T yang Esa, bukan kepada berhala, kerana menyembah berhala bererti mengikut perintah daripada syaitan, sebagaimana yang telah difirmankan oleh Allah S.W.T:قُلْ أَرَأَيْتُمْ شُرَكَاءَكُمْ الَّذِينَ تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَرُونِي مَاذَا خَلَقُوا مِنْ الاَْرْضِ أَمْ لَهُمْ شِرْكٌ فِي السَّمَاوَاتِ أَمْ آتَيْنَاهُمْ كِتَابًا فَهُمْ عَلَى بَيِّنَةٍ مِنْهُ بَلْ إِنْ يَعِدُ الظَّالِمُونَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا إِلاّ غُرُورًا . Maksudnya:"Katakanlah (Wahai Muhammad): Sudahkah kamu mengetahui kekuasaan dan kelayakan makhluk-makhluk yang kamu jadikan sekutu-sekutu, yang kamu seru dan sembah selain Allah S.W.T.? Tunjukkanlah kepadaku apa yang mereka telah ciptakan dari bahagian bumi ini? Atau adakah mereka mempunyai sebarang perkongsian (dengan Allah S.W.T.) dalam menciptanya dan mengurus langit? Atau pernahkan Kami memberi sebuah kitab (mengakui mereka menjadi kongsi Kami), maka (dengan itu menjadilah) perkongsian mereka berdasarkan keterangan yang terdapat dari kitab itu? (Tidak ada sesuatu alasanpun) bahkan orang-orang yang zalim itu, terpedaya dengan kata-kata yang di sebutkan oleh setengahnya dari yang lain, kata-kata yang hanya menjanjikan perkara yang tidak benar."Mendengar firman Allah S.W.T. yang disampaikan oleh Nabi Muhammad s.a.w itu, orang-orang kafir dan musyrik tidak dapat memberikan sebarang jawapan terhadap pertanyaan daripada Allah S.W.T itu selain dari pernyataan yang batil. Mereka berkata semua berhala itu dapat memberikan syafaat dan kita menyembah mereka (berhala) hanya sebagai perantara yang boleh mendekatkan kami kepada Allah S.W.T. Pernyataan ini segera dijawab oleh Allah S.W.T dengan firmanNya:أَلاَ لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلاّ لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ فِي مَا هُمْ فِيهِ يَخْتَلِفُونَ إِنَّ اللَّهَ لاَ يَهْدِي مَنْ هُوَ كَاذِبٌ كَفَّارٌ Maksudnya:"Ingatlah! (Hak yang wajib dipersembahkan) kepada Allah S.W.T. ialah segala ibadat dan bawaan yang suci bersih (dari segala rupa syirik). Dan orang-orang musyrik yang mengambil selain dari Allah S.W.T. untuk menjadi pelindung dan penolong (sambil berkata):"Kami tidak menyembah atau memujanya melainkan supaya mereka mendampingkan kami kepada Allah S.W.T. sedamping-dampingnya”. Sesungguhnya Allah S.W.T. akan menghukum di antara mereka (dengan orang-orang yang tidak melakukan syirik) tentang apa yang mereka perselisihkan padanya. Sesungguhnya Allah S.W.T. tidak memberi hidayah petunjuk kepada orang-orang yang tetap berdusta (mengatakan yang bukan-bukan,) lagi sentiasa kufur(dengan melakukan syirik)." Secara umumnya ayat di atas dapat kita lihat bahawa orang-orang yang kufur dan syirik itu menjadikan berhala-berhala itu sebagai tempat bergantung dan bersandar di samping suatu keyakinan bahawa berhala-berhala tersebut mempunyai kuasa yang boleh mendatangkan manfaat dan memberikan pertolongan kepada mereka bukannya daripada Allah S.W.T. Dari peristiwa di atas memperlihatkan kepada kita tentang sejarah awal orang-orang yang musyrik dan kufur kepada Allah S.W.T dengan menggunakan pendekatan tawassul dan rābitah yang salah terhadap Allah S.W.T. Persoalannya apakah terdapat suatu keharusan dan kebenaran daripada Allah S.W.T untuk melakukan tawassul dan rābitah di dalam melakukan ibadah terhadapNya?. Persoalan ini perlu kepada penjelasan dan huraian terhadap beberapa peristiwa yang berlaku terhadap umat yang terdahulu bagi memudahkan kita melihat dan menilai dari sudut keharusannya. Antaranya suatu peristiwa yang masyhur ketika Nabi Adam a.s melanggar perintah Allah S.W.T yang termuat dalam firmanNya:وَقُلْنَا يَاآدَمُ اسْكُنْ أَنْتَ وَزَوْجُكَ الْجَنَّةَ وَكُلاَ مِنْهَا رَغَدًا حَيْثُ شِئْتُمَا وَلاَ تَقْرَبَا هَذِهِ الشَّجَرَةَ فَتَكُونَا مِنْ الظَّالِمِينَ Maksudnya:"Dan Kami berfirman: Wahai Adam! Tinggallah engkau dan isterimu dalam syurga dan makanlah dari makanannya sepuas-puasnya apa saja yang kamu berdua sukai dan janganlah kamu hampiri pokok ini; (jika kamu menghampirinya) maka akan menjadilah kamu dari golongan orang-orang yang zalim. "Permusuhan yang sudah berputik sekian lama di antara manusia dan syaitan telah di jadikan asas oleh iblis untuk melakukan sesuatu ke atas Nabi Adam a.s. dan isterinya untuk melanggar arahan dan peraturan dari Allah S.W.T tersebut. Dengan demikian iblis telah berusaha menggoda dan memperdaya kedua-duanya seperti yang diterangkan oleh Allah S.W.T dengan firmanNya:فَأَزَلَّهُمَا الشَّيْطَانُ عَنْهَا فَأَخْرَجَهُمَا مِمَّا كَانَا فِيهِ وَقُلْنَا اهْبِطُوا بَعْضُكُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ وَلَكُمْ فِي الأرْضِ مُسْتَقَرٌّ وَمَتَاعٌ إِلَى حِينٍ . Maksudnya:"Setelah itu syaitan telah menggelincirkan mereka berdua dari syurga itu dan menyebabkan mereka berdua dikeluarkan dari nikmat yang mereka telah berada di dalamnya; dan Kami berfirman: Turunlah kamu! Sebahagian dari kamu menjadi musuh kepada sebahagian yang lain; dan bagi kamu semua disediakan tempat kediaman di bumi, serta mandapat kesenangan hingga suatu masa (mati). "Begitulah lumrah kehidupan manusia sejak dari Nabi Adam a.s sehingga ke hari kiamat, pelanggaran terhadap hukum Allah S.W.T. sentiasa berlaku namun dengan sifat Pengasih dan PenyayangNya, maka Allah S.W.T telah membuka ruang taubat yang begitu luas di kalangan hambanya. Justeru dengan peristiwa tersebut Allah S.W.T. mengajarkan kepada Adam a.s bagaimana untuk memohon keampunan dari Nya. Allah S.W.T. berfirman:فَتَلَقَّى آدَمُ مِنْ رَبِّهِ كَلِمَاتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ . Maksudnya:" Kemudian Nabi Adam menerima daripada Tuhannya beberapa kalimah (kata-kata pengakuan taubat yang diamalkannya), lalu Allah S.W.T. menerima tawbatnya; sesungguhnya Allah S.W.T., Dialah Yang Maha Pengampun (Penerima taubat), lagi Maha Mengasihi."Sebahagian mufassir dan muhaddith memberikan pentafsiran terhadap kata kalimat yang terkandung dalam firman Allah S.W.T tersebut dengan bersandarkan kepada riwayat berikut. Maksud penulis dengan memperhatikan matannya, tentu sahaja akan memperjelaskan lagi maksud dan tujuannya. Al-Tabrāni dalam al-Mu‘jam al-Saghir, al-Hākim al-Naysaburi dalam Mustadrak al-Sihāh, Abu Nu‘aym dan al-Bayhaqi dalam Dalā’il al-Nubuwwah, Ibn ‘Asākirdalam Tārikhnya, al-Suyuti dalam al-Durr al-Manthur serta al-Ālusi dalam Ruh al-Ma‘āni dengan sanad dari ‘Umar bin al-Khattāb menukilkan bahawa Nabi Muhammad s.a.w. bersabda: لما أذنب آدم الذي أذنبه , رفع رأسه إلى السماء فقال: أسلك بحق محمد إلا غفرت لي . فأوحى الله إليه : ومن محمد؟ فقال: تبارك اسمك , لما خلقت رفعت رأسي إلى عرشك فإذا فيه مكتوب : لا إله إلا الله ومحمد رسول الله .فقلت : ليس أحد أعظم عندك قدرا ممن جعلت اسمه مع اسمك , فأوحى إليه : إنه آخر النبيين من ذريتك, ولو لا هو لما خلقتك. Maksudnya:"Ketika Adam melakukan dosa, ia mendongakkan kepalanya ke langit dan berkata: Wahai Tuhan! Aku memohon kepadamu dengan hak Muhammad agar Engkau mengampuniku. Allah S.W.T. mewahyukan kepadanya: Siapakah Muhammad? Adam menjawab: Ketika Engkau menciptakan aku, aku mengangkat kepala ke arah ‘arasyMu dan aku melihat di sana tertulis: Tiada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah S.W.T. dan Muhammad adalah utusan Allah S.W.T. Akupun berkata kepada diriku, bahawa seorangpun tidak ada yang lebih agung daripada orang yang namanya Engkau tuliskan di samping nama Mu. Ketika itu Allah S.W.T. mewahyukan kepadanya: Dialah nabi terakhir daripada keturunanmu dan jika tidak kerananya (Muhammad) nescaya Aku tidak akan menciptakanmu. "Syeikh Ja‘afar al-Subhāni dalam kitabnya al-Wahhābiyyun fi al-Mizān mengulas tentang hadis di atas dengan memberikan beberapa pandangan. Antaranya beliau menjelaskan : a) Dalam al-Qur’an penggunaan perkataan kalimāt nampaknya merujuk kepada peribadi-peribadi dan zat-zat yang sama sekali bertentangan dengan erti yang berlaku di kalangan kita semua. Sebagai contoh seperti firman Allah S.W.T:فَنَادَتْهُ الْمَلاَئِكَةُ وَهُوَ قَائِمٌ يُصَلِّي فِي الْمِحْرَابِ أَنَّ اللَّهَ يُبَشِّرُكَ بِيَحْيَى مُصَدِّقًا بِكَلِمَةٍ مِنْ اللَّهِ وَسَيِّدًا وَحَصُورًا وَنَبِيًّا مِنْ الصَّالِحِينَ . Maksudnya:" Lalu ia diseru oleh Malaikat sedang ia berdiri di Mihrab, (katanya): Bahawasanya Allah S.W.T. memberi khabar yang menggembirakanmu, dengan (mengurniakanmu seorang anak lelaki bernama) Yahya, yang akan beriman kepada kalimah daripada Allah S.W.T. dan akan menjadi ketua dan juga akan menahan diri dari berkahwin dan akan menjadi seorang nabi daripada orang-orang yang soleh."Manakala dalam ayat yang lain pula Allah S.W.T berfirman memperihalkan tentang ‘Isā dan ibunya Maryam:إِذْ قَالَتْ الْمَلاَئِكَةُ يَا مَرْيَمُ إِنَّ اللَّهَ يُبَشِّرُكِ بِكَلِمَةٍ مِنْهُ اسْمُهُ الْمَسِيحُ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ وَجِيهًا فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَمِنْ الْمُقَرَّبِينَ . Maksudnya:"Ingatlah ketika malaikat berkata: Wahai Maryam! Bahawasanya Allah S.W.T. memberikan khabar yang menggembirakanmu, dengan (mengurniakan seorang anak yang engkau akan kandungkan semata-mata dengan kalimat daripada Allah S.W.T., nama anak itu: al-Masih‘Isā Ibn Maryam, seorang yang terkemuka di dunia dan di akhirat dan ia juga dari orang-orang yang didampingkan (diberi kemuliaan daripada Allah S.W.T.). "Selanjutnya Allah S.W.T. menjelaskan lagi tentang mereka berdua:يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لاَ تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ وَلاَ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ إِلاّ الْحَقَّ إِنَّمَا الْمَسِيحُ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ رَسُولُ اللَّهِ وَكَلِمَتُهُ أَلْقَاهَا إِلَى مَرْيَمَ وَرُوحٌ مِنْهُ فَآمِنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ وَلاَ تَقُولُوا ثَلاَثَةٌ انتَهُوا خَيْرًا لَكُمْ إِنَّمَا اللَّهُ إِلَهٌ وَاحِدٌ سُبْحَانَهُ أَنْ يَكُونَ لَهُ وَلَدٌ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الاَْرْضِ وَكَفَى بِاللَّهِ وَكِيلاً . Maksudnya" Wahai Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani)! Janganlah kamu melampaui batas dalam perkara agama kamu, dan janganlah kamu mengatakan sesuatu terhadap Allah S.W.T. melainkan yang benar, sesungguhnya Al-Masih ‘Isā ibn Maryam itu hanya seorang pesuruh Allah S.W.T. dan kalimah Allah S.W.T. yang telah disampaikanNya kepada Maryam dan (ia juga tiupan) roh daripada Nya. Maka berimanlah kamu kepada Allah S.W.T. dan Rasul-rasulNya dan janganlah kamu mengatakan: (Tuhan itu) tiga. Berhentilah (dari mengatakan yang demikian), supaya menjadi kebaikan kepada kamu."Dalam ayat yang lain Allah S.W.T menerangkan:قُلْ لَوْ كَانَ الْبَحْرُ مِدَادًا لِكَلِمَاتِ رَبِّي لَنَفِدَ الْبَحْرُ قَبْلَ أَنْ تَنفَدَ كَلِمَاتُ رَبِّي وَلَوْ جِئْنَا بِمِثْلِهِ مَدَدًا . Maksudnya:" Katakanlah (wahai Muhammad):Kalaulah semua jenis lautan menjadi tinta untuk menulis kalimah -kalimah Allah S.W.T. Tuhanku, sudah tentu habis kering lautan itu sebelum habis kalimah-kalimah Tuhanku. Walaupun Kami tambahi lagi dengan lautan yang sebanding dengannya sebagai bantuan."Dengan isu yang serupa dengan isu di atas Allah S.W.T menjelaskan lagi:وَلَوْ أَنَّمَا فِي الارْضِ مِنْ شَجَرَةٍ أَقْلاَمٌ وَالْبَحْرُ يَمُدُّهُ مِنْ بَعْدِهِ سَبْعَةُ أَبْحُرٍ مَا نَفِدَتْ كَلِمَاتُ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيم ٌ Maksudnya:" Dan sekiranya segala pohon yang ada di bumi menjadi pena dan segala lautan (menjadi tinta) dengan dibantu kepadanya tujuh lautan lagi sesudah itu, nescaya tidak akan habis kalimah-kalimah Allah S.W.T. itu ditulis. Sesungguhnya Allah S.W.T. Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana."Secara umumnya keseluruhan ayat-ayat al-Qur’an yang diperturunkan di atas mengandungi perkataan kalimāt, justeru apakah yang boleh kita kaitkan dengan perkataan tersebut dalam kontak perbahasan kita di sini? Dari ayat-ayat di atas jelas perkataan kalimāt itu menunjukkan kepada segala ciptaan di dunia ini yang semuanya menunjuk dan mengisahkan kepada pengetahuan dan kekuasaan Allah S.W.T.Oleh yang demikian boleh kita katakan bahawa maksud yang terkandung dalam firman Allah S.W.T. yang bermaksud; kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah S.W.T. menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah S.W.T. Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang, adalah merujuk kepada peribadi-peribadi yang terhormat (zat-zat yang suci) yang boleh dijadikan sebagai wasilah dan rābitah.Berdasarkan kepada perbincangan di atas maka dapat kita nyatakan di sini bahawa amalan tawassul dan rābitah itu sebenarnya telah mempunyai asas dan sejarah awal sejak manusia yang pertama lagi. Cuma apa yang perlu diperjelaskan di sini ialah tawassul dan rābitah itu merangkumi dua aspek, iaitu yang dilarang oleh syarak dan satu aspek yang lain pula dibenarkan oleh syarak.
3.5 AL-RĀBITAH, AL-WASILAH, AL-WĀSITAH DAN AL-BARZAKH.
3.5 AL-RĀBITAH, AL-WASILAH, AL-WĀSITAH DAN AL-BARZAKH bahagian 1Dalam disiplin ilmu dan amalan tasawwuf istilah-istilah seperti al-rābitah, al-wasilah, al-wāsitah dan al-barzakh sering digunakan. Apakah terdapat hubungan secara langsung atau tidak antara istilah-istilah tersebut. Untuk memperjelaskan kedudukan ini kita lihat apa yang telah dikemukakan oleh Syeikh Muhammad Zakariyya al-Kandahlawi dalam kitabnya al-Shari‘ah wa al-Tariqah antara lain menyebutkan:ويقال أيضا شغل الرابطة , والبرزخ , والواسطة, كذا فى تعليم الدين . وهو عند مشايخ السلوك من الأشغال الهامة جدا . Maksudnya: Membayangkan atau menggambarkan rupa syeikh dan yang disebut juga dengan amalan rābitah, al-barzakh dan al-wāsitah begitulah yang terdapat dalam kitab Ta‘lim al-Din. Amalan ini sangat penting menurut Mashā’ikh suluk.Dari keterangan di atas jelas menunjukkan bahawa kalimat al-rābitah, al-barzakh dan al-wāsitah mempuyai makna yang serupa yang merujuk kepada makna menghadirkan rupa guru atau syeikh ketika hendak melakukan zikir. Amalan ini merupakan suatu disiplin yang sangat penting dalam ilmu dan amalan tasawwuf yang akan menyusul perbincangannya. Menghadirkan rupa guru atau rābitah itu yang menurut Syeikh Muhammad ibn ‘Abdillah al-Khāni al-Khālidi dalam kitabnya al-Bahjah al-Saniyyah antara lain menerangkan enam bentuk dan cara untuk menghadirkan rābitah itu, antaranya: 1. Menghadirkannya di hadapan mata dengan sempurna.2. Membayangkannya di kiri dan kanan, dengan memusatkan perhatian kepada rohaniahnya sampai terjadi sesuatu yang ghaib. Apabila rohaniah guru murshid yang dijadikan rābitah itu lenyap, maka murid itu dapat menghadapi peristiwa yang terjadi. Tetapi jika peristiwa itu lenyap, maka murid harus berhubungan kembali dengan rohaniah guru murshid, sampai peristiwa yang dialami tadi atau peristiwa yang sama dengan itu muncul kembali. Demikianlah dilakukan oleh murid berulang kali, sampai ia fanā’ dan menyaksikan peristiwa ghaib sebagai tanda kebesaran daripada Allah S.W.T. Rābitah menghubungkannya dengan Allah S.W.T. manakala murid pula diasuh dan dibimbing terus menerus, sekalipun di antara keduanya berada dalam jarak yang jauh. 3. Mengkhayalkan rupa guru di tengah-tengah dahi. Memandang rābitah di tengah-tengah dahi itu. Cara ini menurut kalangan ahli tariqat lebih berkesan untuk menolak getaran dan lintasan dalam hati yang melalaikan ingatan kepada Allah S.W.T.4. Menghadirkan rupa guru di tengah-tengah hati.5. Mengkhayalkan rupa guru di kening kemudian menurunkannya ke tengah hati. Menghadirkan rupa syeikh dalam bentuk ini agak sukar untuk melakukannya namun ia lebih berkesan dari cara-cara yang sebelumnya.6. Menafikan (meniadakan) dirinya dan menthabitkan (menetapkan) keberadaan guru. Cara ini lebih kuat untuk menangkis aneka ragam ujian dan gangguan.Dari perbincangan yang telah dikemukakan oleh al-Kandahlawi di atas nampaknya tiada sebarang perbezaan yang terdapat antara kalimah-kalimah tersebut, namun agak berbeza dengan pendapat yang dikemukakan oleh Muhammad Zakariyya Ibrāhim dalam kitabnya yang berjudul Mas’alat al-Wasilah antara lain beliau menjelaskan bahawa wasilah ialah meminta daripada Allah S.W.T secara langsung yang berserta dengan istishfā’ daripada orang yang dikasihi oleh Allah S.W.T. Justeru dalam hal ini Allah S.W.T. adalah maksud dan tujuan dengan pemberian tersebut, Dialah satu-satunya tempat memohon. Sedang apa yang dimaksudkan dengan wāsitah ialah memohon kepada zat al-wāsit di samping berkeyakinan bahawa al-wāsit berupaya untuk berbuat dan meninggalkan sesuatu tanpa melihat Allah S.W.T.
Penulis berpendapat penggunaan istilah yang berbagai dalam hal ini tidaklah menjadi masalah yang besar, namun yang lebih utama ialah pelaksanaan ibadah dan konsep ‘ubudiyyah itu sendiri yang perlu jelas dan memerlukan kepada ketulusan dan pemurnian hanya kepada Allah S.W.T . Allah S.W.T telah menggariskan satu panduan yang cukup sempurna untuk dijadikan landasan seperti firmanNya:وَمَا أُمِرُوا إِلاّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاَةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ . Maksudnya:"Pada hal mereka tidak diperintahkan melainkan supaya menyembah Allah S.W.T. dengan mengikhlaskan ibadat kepadaNya, lagi tetap teguh di atas tauhid; dan supaya mendirikan solat serta memberikan zakat. Dan yang demikian itulah agama yang sebenar."Selanjutnya cuba kita lihat pula kalimah-kalimah al-rābitah, al-wāsitah dan al-barzakh dengan kalimah al-wasilah, apakah antara kalimah-kalimah tersebut terdapat perbezaan ataupun tidak untuk memudahkan bagi kita memahami istilah-istilah ini dalam konteks ilmu dan amalan tasawwuf.Secara literalnya kalimah wasilah adalah berasal dari kata kerja wasala, yasilu dan wasilatan. Perkataan wasilah membawa maksud al-manzilah ‘ind al-malik iaitu suatu kedudukan di sisi raja atau penguasa. Perkataan ini juga membawa pengertian al-darajah dan al-qurbah. Apabila dikatakan wassala fulānun ilā Allah wasilatan ertinya idhā ‘amila ‘amalan taqarraba bihi ilayhi. Kata jamaknya al-wusul, al-wasā’il, al-tawsil dan al-tawassul merupakan kalimah-kalimah yang membawa maksud yang sama. Sedang kata al-tawassul sering diguna pakai untuk menjelaskan konsep yang terdapat dalam istilah al-wasilah. Dalam sebuah hadis, Rasulullah s.a.w. ada menyebutkan perkataan al-wasilah seperti sabda Baginda s.a.w: Allāhumma āti Muhammad al-wasilah wa al-fadilah. Maksud dari hadis ini ialah al-qurb min Allah. Sesetengah pendapat mengatakan bahawa ia bermaksud al-shafā‘ah yawm al-qiyāmah . Dari keterangan di atas memperlihatkan kepada kita bahawa istilah wasilah itu digunakan untuk suatu pengertian yang membawa maksud al-qurbah dan al-wuslah yang bersandarkan kepada firman Allah S.W.T:يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ . Maksudnya:"Wahai orang-orang yang beriman bertaqwalah kamu kepada Allah S.W.T. dan carilah jalan yang boleh menyampaikan kepadaNya (dengan mematuhi perintahNya dan meninggalkan laranganNya) dan berjuanglah di jalan Allah S.W.T. (untuk menegakkan Islam) supaya kamu beroleh kejayaan. "Oleh yang demikian penggunaan istilah al-rābitah, al-wāsitah dan al-barzakh itu hanyalah merupakan beberapa kaedah dan bentuk yang digunakan dalam ilmu dan amalan tasawwuf sebagai wasilah bagi merialisasikan tuntutan Allah S.W.T. yang terkandung dalam firmanNya:يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ . Maksudnya:"Wahai orang-orang yang beriman! Bertaqwalah kepada Allah S.W.T. dan carilah jalan yang boleh menyampaikan kepadaNya. Dan bersungguh-sungguhlah di jalan agamaNya agar kamu beroleh kejayaan."Syeikh Muhammad ibn ‘Abdillah al-Khāni ada menjelaskan bahawa al-rābitah itu sebenarnya adalah salah satu dari cara yang paling afdal (terbaik) untuk berwasilah. Fakta ini telah dijelaskan beliau dengan katanya:قال الله تعالى: وابتغوا إليه الوسيلة , فإن قيل المراد غير الرابطة قلنا المفهوم عام وإذا ثبت الأمر بطلب الوسيلة , فالرابطة أفضل الوسائل . Maksudnya:Telah berfirman Allah S.W.T : Dan hendaklah kamu cari wasilah (jalan yang boleh menyampaikan kepadaNya)”. Jika ada yang mengatakan bahawa ayat ini bukan membawa maksud kepada makna al-rābitah, maka kami berpendapat bahawa ayat ini membawa mafhumnya yang umum, dan apabila thābit tuntutan untuk mencari wasilah (jalan yang boleh menyampaikan kepadaNya), maka al-rābitah adalah seafdal-afdal wasā’il untuk tujuan tersebut.
3.6 SYEIKH, AL-SĀLIK DAN AL-RĀBITAH.

Untuk menjelaskan lagi kedudukan al-rābitah dalam ilmu dan amalan tasawwuf ada baiknya jika diterangkan secara ringkas aspek-aspek yang ada kaitan dengannya. Antara yang terpenting dalam amalan ilmu dan amalan tasawwuf sehingga muncul istilah al-rābitah itu ialah syeikh atau dikenali juga dengan guru yang murshid. Dalam ilmu tasawwuf, syeikh memainkan peranan yang amat penting untuk memimpin seorang sālik untuk mencapai ke tahap kesempurnaan di sisi Allah S.W.T. Dengan kedudukannya yang penting inilah maka amalan al-rābitah itu wujud dalam amalan tasawwuf. Justeru ada baiknya jika kita kemukakan kedudukan syeikh dalam disiplin ilmu tasawwuf. Semoga dengan penerangan ini dapat kita lihat hubungan di antara syeikh dan al-sālik dengan menggunakan kaedah al-rābitah untuk bertawassul ketika seorang murid berada di bawah asuhannya.
3.6.1 Kedudukan Syeikh
3.6.1 Kedudukan SyeikhDalam kita membicarakan syeikh, antara aspek yang perlu kita lakukan dalam memperjelaskan lagi kedudukannya menurut perspektif Islam dan amalan tasawwuf ialah dengan cara melakukan pengamatan, penelitian yang mendalam dari berbagai sudut dan aspek definisinya. Kedua, mengumpulkan fakta-fakta dan huraiannya yang berkaitan dengan syarat-syarat dan adab-adab bagi seorang syeikh. Manakala yang ketiga pula ialah merujuk kepada al-Qur’an dan al-Sunnah sebagai landasan untuk melihat kedudukan syeikh, di samping merujuk semula sejarah kehidupan manusia, agama, pendapat dan pandangan para ulamak tasawwuf yang sama-sama boleh membantu memperjelaskan lagi kedudukan syeikh dalam ilmu dan amalan tasawwuf. Berlandaskan sumber-sumber dan maklumat di atas, dapatlah kita menerangkan kedudukan syeikh itu dengan lebih jelas menurut perspektif Islam dan ilmu dan amalan tasawwuf. Menurut Prof Madya Dr. Jahid bin Sidek dalam Tesis Ph.D beliau yang bertajuk al-Syeikh Dalam Ilmu Tariqah menyebutkan terdapat tujuh kedudukan syeikh antaranya ialah: 1. Syeikh itu berada pada posisi pewaris Rasulullah s.a.w, sama ada dari sudut zahir mahupun yang batin. Sebagai posisinya seorang waris tentu sahaja ia mewarisi khazanah yang pernah dimiliki oleh Baginda Rasulullah s.a.w berupa ilmu, makrifah, iman, akhlak yang mulia, sifat-sifat takwa dan sebagainya lagi yang merangkumi seluruh ajaran al-Qur’an seperti yang dijelaskan oleh Saidatina ‘Aisyah ra apabila beliau ditanya tentang akhlak Baginda s.a.w. beliau berkata: Adalah akhlak Baginda s.a.w itu ialah al-Qur’an. Posisi dan status syeikh sebagai pewaris Rasulullah s.a.w yang tersebut itu sememangnya banyak disebutkan dan dihuraikan oleh ulamak-ulamak tasawwuf, sehingga dapat memberikan satu gambaran yang jelas bahawa para ulamak tasawwuf itu seolah-olah telah mengijmakkan perkara tersebut. Sebagai contoh apa yang dikemukakan oleh Syeikh ‘Abd al-Qādir ‘Isā menegaskan tentang kedudukan syeikh sebagai pewaris Nabi s.a.w. dengan katanya:وبما أن رسالة سيدنا محمد عليه السلام عامة خالدة إلى قيام الساعة فإن لرسول الله صلى الله وارثا من العلماء العارفين بالله . ورثوا عن نبيهم العلم والخلق والإيمان والتقوى .فكانوا خلفا عنه في الهداية والإرشاد والدعوة إلى الله يقتبسون من نور ليضيئوا للإنسانية طريق الحق والرشاد . Maksudnya: Oleh sebab risalah junjungan Nabi Muhammad s.a.w itu keadaannya adalah menyeluruh (untuk semua manusia) dan kekal pula hingga sampai hari kiamat, maka sudah pastilah Rasulullah s.a.w itu mempunyai para pewaris dari kalangan ulamak ‘ārif billah yang telah mewarisi ilmu, akhlak, iman dan takwa daripada nabi mereka itu. Para pewaris itu adalah merupakan para khalifahnya dalam (kepimpinan ke pintu) hidayat, asuhan dan dakwah kepada Allah S.W.T. Mereka itu sentiasa dapat mengambil sebahagian dari nur risalah Nabi s.a.w untuk mereka gunakan bagi menerangi jalan kebenaran dan kebaikan bagi kehidupan kemanusiaan.Jika kita cuba bandingkan ungkapan di atas dengan maksud dari sebuah hadis Rasulullah s.a.w, kita akan dapati ia menepati kehendak dari hadis tersebut. Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dardā’ antara lain meyebutkan:أَخْبَرَنَا نَصْرُ بْنُ عَلِيٍّ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ دَاوُدَ عَنْ عَاصِمِ بْنِ رَجَاءِ بْنِ حَيْوَةَ عَنْ دَاوُدَ بْنِ جَمِيلٍ عَنْ كَثِيرِ بْنِ قَيْسٍ قَالَ كُنْتُ جَالِسًا مَعَ أَبِي الدَّرْدَاءِ فِي مَسْجِدِ دِمَشْقَ فَأَتَاهُ رَجُلٌ فَقَالَ يَا أَبَا الدَّرْدَاءِ إِنِّي أَتَيْتُكَ مِنَ الْمَدِينَةِ مَدِينَةِ الرَّسُولِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِحَدِيثٍ بَلَغَنِي عَنْكَ أَنَّكَ تُحَدِّثُهُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَمَا جَاءَ بِكَ تِجَارَةٌ قَالَ لاَ قَالَ وَلاَ جَاءَ بِكَ غَيْرُهُ قَالَ لاَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ بِهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ بِهِ طَرِيقًا مِنْ طُرُقِ الْجَنَّةِ وَإِنَّ الْمَلاَئِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ وَإِنَّ طَالِبَ الْعِلْمِ لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَاءِ وَالاَْرْضِ حَتَّى الْحِيتَانُ فِي الْمَاءِ وَإِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ عَلَى سَائِرِ النُّجُومِ إِنَّ الْعُلَمَاءَ هُمْ وَرَثَةُ الاَْنْبِيَاءِ إِنَّ الاَْنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلاَ دِرْهَمًا وَإِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَ بِهِ أَخَذَ بِحَظِّهِ أَوْ بِحَظٍّ وَافِرٍ. Maksudnya:Dan sesungguhnya para ulama itu adalah pewaris para nabi, dan sesungguhnya para nabi itu tidak mewariskan (wang) dirham dan dinar, tetapi mereka itu mewariskan ilmu, sesiapa yang telah mendapatkan ilmu itu berertilah ia telah mendapat bahagian yang sebanyak-banyaknya.Dari keterangan di atas maka dapatlah kita membuat kesimpulan bahawa syeikh itu merupakan sebahagian daripada mereka yang tergolong ke dalam al-‘ulamā’ warathat al-anbiyā’ yang sebenar. Mengapa tidak, kerana pewaris inilah yang dimaksudkan oleh Saidina ‘Ali ibn Abi Tālib k.w. sebagai orang alim yang benar-benar kenalkan Allah S.W.T. dan takutkanNya (al-‘ālim al-rabbāni) yang tetap terus hidup sepanjang masa dan ajaran-ajarannya sentiasa segar di dalam hati manusia, sekalipun jasadnya telah lenyap di dalam tanah. Mungkin juga orang alim tersebutlah yang dimaksudkan oleh Syeikh Sahl ibn ‘Abdillah al-Tustari (w 282H/867M) sebagai ulamak yang memiliki hati yang hidup dan sedar serta takutkan Allah S.W.T. dan sentiasa mendapatkan rahmat daripadaNya, sentiasa cintakan Allah S.W.T., mempunyai sifat malu dan sentiasa mengutamakan Allah S.W.T.dalam segenap situasi dan kondisi.
Sebagai posisinya pewaris kepada nabi, al-syeikh itu juga telah mewarisi ilmu yang bersifat ilhāmiyyah atau yang dikenali juga dengan nama ilmu laduniyyah atau dengan nama hikmah ilāhiyyah yang sesuai dengan al-Qur’an dan al-Sunnah. Sebahagian dari ilmu ilhāmiyyah atau ilmu laduniyyah atau hikmah ilāhiyyah yang telah dikurniakan kepada para mashā’ikh yang terkenal dalam bidang tasawwuf dan tariqah ada diabadikan dalam kitab-kitab yang mereka susun seperti kitab al-Hikam yang dikarang oleh Ibn ‘Atā’illah al-Iskandari (w 709 H), Kashf al-Mahjub oleh Syeikh al-Hujwiri (w.465H), al-Fath al-Rabbāni oleh Syeikh ‘Abd al-Qādir al-Jilāni (w.562 H/1147M) dan sebagainya lagi. Semua kitab tersebut apabila kita baca dan renungkan secara mendalam dengan mata hati (al-basirah) nescaya kita akan dapat menyaksikan bagaimana ilmu ilhāmiyyah atau ilmu laduniyyah tersebut mengalir dari lautan ilmu Allah S.W.T. ke dalam hati para mashā’ikh yang mengarang kita-kitab tersebut. Begitu juga apabila kita mendengar kata-kata para mashā’ikh itu, kita akan merasakan keadaan pengalaman yang serupa iaitu ada kalanya kata-kata mereka dipenuhi oleh ilmu tersebut yang terus mengalir dari lautan ilmu Allah S.W.T. menuju ke hati dan keluar ke lidah mereka. Syeikh Ibn ‘Atā’illah sendiri pernah merasakan pengalaman seperti itu semasa beliau mendengar buat kali pertama syarahan gurunya lalu beliau berkata bahawa orang itu (yang dimaksudkan ialah Syeikh Abu ‘Abbās al-Mursi) benar-benar telah menghirup ilmu dari limpahan lautan Ilāhi. Pada ketika itu Allah S.W.T. telah menghapuskan perasaan yang tidak mempercayai terhadap ilmu tasawwuf pada diri Ibn ‘Atā’illah. Kalau dilihat dari latarbelakang sejarah kehidupan Ibn ‘Atā’illah, beliau merupakan seorang faqih yang terkenal dalam mazhab Maliki, pada mulanya menentang pengajaran ilmu tasawwuf, hal ini disebabkan kerana beliau menolak kewujudan ilmu tasawwuf dalam Islam, terutamanya ajaran tasawwuf yang dibawa oleh Syeikh Abu ‘Abbās al-Mursi. Namun dengan kehendak daripada Allah S.W.T segala pengalaman beliau ketika mendengar syarahan Syeikh Abu ‘Abbās al-Mursi menyebabkan beliau menerima ilmu tasawwuf dan terus menjadi muridnya. Akhirnya beliau merupakan pendokong dan tokoh yang bertanggungjawab dalam menyebarluaskan ajaran tasawwuf di bawah payung Tariqat al-Shādhiliyyah. Secara terus terang beliau mengakui kewujudan ilmu laduniyyah tersebut dan akhirnya dapat mengarang kitab al-Hikam yang secara keseluruhannya mengandungi ajaran tasawwuf.
2. Syeikh merupakan seorang yang mempunyai hubungan yang erat dan rapat dengan Rasulullah s.a.w., kerana syeikh itu berada pada posisi waris yang berhak mewarisi berbagai pusaka yang telah ditinggalkan oleh Baginda Rasulullah s.a.w. Tegasnya syeikh mempunyai hubungan nasab atau keturunan yang erat dan hampir dengan Baginda s.a.w. sehingga layak ia menerima pusaka daripadanya. Bagaimanapun bukanlah merupakan nasab atau keturunan yang hakiki atau keturunan darah yang sebenar, tetapi keturunan atau nasab yang bersifat ma‘nawi. Boleh kita katakan di sini, yang dimaksudkan dengan nasab ma‘nawi tersebut ialah ilmu, iman, sifat-sifat takwa, ma‘rifah dan sebagainya lagi yang wujud pada diri syeikh itu benar-benar berasal daripada Rasulullah s.a.w. Persoalannya bagaimana hal ini boleh terjadi? Tentu saja jawapannya bahawa syeikh tersebut mewarisi daripada syeikhnya, sedangkan syeikhnya pula mewarisi daripada syeikhnya yang lebih dahulu darinya. Begitulah seterusnya, apa yang berlaku dalam disiplin ta‘lim dan tarbiyah ilmu dan amalan tasawwuf, sambung-menyambung daripada seorang kepada seorang yang lain hinggalah sampai kepada Rasulullah s.a.w. Keadaan yang berlaku dalam disiplin serta tradisi ilmu dan amalan tersebut seolah-olah serupa dengan hubungan darah seseorang yang sebenar. Penulis merasakan tidak ada sebarang keganjilan yang terdapat dalam disiplin ilmu dan amalan tasawwuf dalam hal ini, malahan disiplin ilmu Islam yang lain juga menekankan hal ini demi menjaga kesahihan sesuatu ilmu seperti yang dilakukan oleh ulamak muhaddithin dengan disiplin mustalahnya.Hubungan nasab ma‘nawi dengan Rasulullah s.a.w yang begitu erat merupakan asas dan dasar yang sangat penting dalam disiplin ilmu dan amalan tasawwuf . Ulamak-ulamak tasawwuf memberikan penekanan yang sangat utama tentang adanya hubungan nasab ma‘nawi ini di antara seorang syeikh dengan Rasulullah s.a.w sehingga hubungan nasab tersebut dijadikan salah satu syarat penting yang mesti ada pada seseorang syeikh itu. Dengan adanya hubungan nasab ma‘nawi di antara seorang syeikh dengan Rasulullah s.a.w maka ilmu dan amalan Islam yang bersifat zahir mahupun yang batin dapat dipelihara keutuhan, kebenaran dan semua adab-adabnya, kerana ia berasal daripada sumbernya yang sah dan sebenar. Semasa hayat Rasulullah s.a.w., Baginda merupakan sumber hidayat dan keberkatan yang datang daripada Allah S.W.T, kemudian mengalir ke dada para sahabatnya. Justeru itu, apabila wafat Baginda s.a.w, tempat Baginda diambil alih oleh para sahabat, tābi‘in, tābi‘ al-tābi‘in dan seterusnya hingga ke hari ini yang menurut istilah ilmu dan amalan tasawwuf dikenali sebagai syeikh. Hidayat dan keberkatan akan mudah mengalir daripada Allah S.W.T kepada syeikh dan seterusnya ke dada para muridnya. Oleh sebab itulah para ulamak menegaskan bahawa seorang syeikh yang terputus silsilahnya (tidak sampai kepada Rasulullah s.a.w) bererti terputuslah keberkatannya dan ia bukanlah orang yang berhak berada pada posisi pewaris Baginda s.a.w. yang sah. Dalam hal ini Syeikh Muhammad Amin al-Kurdi ada menegaskan pandangannya mengenai fakta ini dengan katanya:فمن لم تتصل سلسلته إلى حضرة النبوية فإنه مقطوع الفيض ولم يكن وارثا لرسول الله صلى الله عليه وسلم . Maksudnya:"Maka sesiapa yang silsilahnya tidak bersambung sampai kepada kehadirat kenabian itu, sesungguhnya ia terputus dari limpahan rohani itu dan bukanlah waris Rasulullah s.a.w (yang sebenarnya)." Justeru kerana itu para ulama tasawwuf telah menyimpulkan bahawa seseorang yang sālik itu mestilah mengetahui kedudukan silsilah syeikhnya supaya dapat memastikan nasab atau keturunan ma‘nawinya benar-benar sampai kepada Rasulullah s.a.w. Jika tidak, ini bererti ia tidak kenalkan bapa dan datuknya yang ma‘nawi. Manakala perjalanan kerohaniannya pula seperti perjalanan orang buta yang tentu sahaja akan mengalami berbagai masalah dan kesukaran yang mengakibatkan gagalnya wusul kepada Allah S.W.T. Syeikh ‘Abd al-Wahhāb al-Sha‘rāni ada menjelaskan hal ini dengan katanya:اعلم أيها الطالب المريد من لم يعلم أباه وأجداد فى الطريق فهو أعمى وربما انتسب الى غير أبيه. Maksudnya:"Ketahuilah wahai murid! Sesiapa yang tidak kenalkan bapanya dan para datuknya dalam tariqah itu, maka ianya adalah buta dan mungkin juga nasabnya dihubungkan kepada orang lain yang bukan bapanya (yang sebenar)."Dengan keterangan dan perbincangan di atas dapat kita membuat kesimpulan bahawa kedudukan atau posisi syeikh sebagai kerabat ma‘nawi Rasulullah s.a.w. merupakan satu kedudukan yang sangat tinggi dan istimewa dalam Islam. Sebab keturunan ma‘nawi itu juga bererti sebagai bukti atbā‘ al-Rasul atau pengikut Rasulullah s.a.w. yang sebenar. Orang yang benar-benar mengikuti jejak Rasulullah s.a.w. zahir dan batin adalah dalam golongan orang yang dicintai oleh Allah S.W.T, seperti yang difirmankanNya:قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمْ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ Maksudnya:"Katakanlah wahai Muhammad! Jika kamu benar-benar mencintai Allah S.W.T., maka ikutilah aku, nescaya Allah S.W.T. mencintai kamu dan mengampuni dosa-dosa kamu. Allah S.W.T. Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."Dari keterangan ayat al-Qur’an di atas dapat kita fahamkan bahawa seorang yang dicintai oleh Allah S.W.T. adalah juga dikasihi oleh Rasulullah s.a.w, dengan kedudukan yang demikian tentu sahaja ia mendapat darjat yang tinggi di sisi Allah S.W.T di dunia mahupun di akhirat. Antara mereka yang mendapat darjat yang tinggi di sisi Allah S.W.T selain daripada Rasul dan para Anbiyā’ ialah golongan siddiqin, shuhadā’ dan sālihin yang setiap muslimin dan muslimat memohon ke hadrat Allah S.W.T untuk dimasukkan di kalangan mereka seperti yang diungkapkan dalam bacaan solat:اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ. صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ . Maksudnya:Tunjukilah kami jalan yang lurus. Iaitu jalan orang-orang yang Engkau telah kurniakan nikmat kepada mereka, bukan jalan orang-orang yang Engkau telah murkai dan bukan pula jalan orang-orang yang sesat.Jelas sekali, posisi dan kedudukan seorang syeikh seperti yang diterangkan adalah termasuk dalam salah satu daripada golongan yang tersebut.
3 Syeikh sebagai khalifat Rasulillah atau pengganti atau wakil Rasulullah s.a.w di dalam bidang tabligh atau penyebaran ajaran Islam dan tarbiyah serta asuhan dalam penghayatan ajaran Islam yang sebenarnya sama ada bersifat zahir mahupun yang batin. Kedudukan tersebut ada dijelaskan sendiri oleh Nabi s.a.w dalam sabdanya yang telah diriwayatkan oleh al-Tirmidhi dalam Sunannya antara lain menyebutkan:: لا يمس النار مسلما رآنى أو رأى من رآنى . Maksudnya: Tidak akan disentuh api neraka orang Islam yang melihat aku, dan tidak juga akan disentuh api neraka orang Islam yang melihat orang yang telah melihat aku.Syeikh ‘Abd al-Wahhāb al-Sha‘rāni menganggap syeikh itu sebagai pengganti atau wakil yang membawa syariat Nabi Muhammad s.a.w, ini dapat kita lihat dari ungkapan beliau yang antara lain menyebutkan:ان شيوخ رضى الله عنهم نواب الشارع صلى الله عليه وسلم. Maksudnya: Sesungguhnya para syeikh itu adalah naib (pengganti/wakil) bagi pembawa syariat s.a.w dalam (urusan) mendidik dan mengasuh seluruh manusia.Sedang Syeikh ‘Abd al-Qādir ada menjelaskan dengan katanya:فكانوا خلفأ عنه فى الهداية والارشاد والدعوة الى الله ,يقتبسون من نوره للانسانية طريق الحق والرشاد . Maksudnya:Mereka itulah para khalifahnya dalam (kepimpinan ke pintu) hidayat, asuhan dan dakwah kepada Allah S.W.T. Mereka itu sentiasa dapat mengambil sebahagian dari nur risalah Nabi s.a.w untuk mereka gunakan bagi menerangi kebenaran dan kebaikan bagi kehidupan manusia.Dari keterangan di atas, sama ada dari hadis yang disabdakan oleh Baginda s.a.w atau dari huraian dan pandangan para ulama tasawwuf, jelas menunjukkan kepada kita bahawa kedudukan syeikh dalam disiplin ilmu dan amalan tasawwuf sebagai seorang khalifah Rasulullah s.a.w atau wakilnya dalam kerja-kerja al-tabligh, al-tarbiyah al-ruhāniyyah dan menyebarkan ajaran Islam kepada seluruh umat manusia. Selepas kewafatan Baginda s.a.w., para sahabat berperanan sebagai pengganti kepada Rasul s.a.w. Setelah zaman sahabat berlalu, maka al-tābi‘in pula yang mengambil tempat mereka (sahabat) sebagai khalifah yang melaksanakan urusan al-tabligh dan al-tarbiyah. Seterusnya silih berganti hinggalah ke hari ini, para khalifahnya terus wujud dan terus melaksanakan tugas-tugas tersebut.
4 Syeikh jika dilihat dari sudut ilmu, merupakan orang yang benar-benar berada dalam golongan yang dimaksudkan oleh Baginda s.a.w sebagai al-‘Ulamā’ warathat al-anbiyā’ (ulamak pewaris para nabi). Kedudukan ini selayaknya bagi seorang syeikh jika kita timbang bahawa syeikh itu mempunyai tiga darjat di atas iaitu sebagai pewaris, khalifah dan kerabat Nabi s.a.w yang terdekat. Justeru bagi seorang yang mempunyai kedudukan sebagai ulamak pewaris nabi-nabi” tentu sahaja mereka memiliki ilmu dan ma‘rifah yang lebih sempurna dan lebih baik dari ilmu yang dimiliki oleh ulamak biasa. Begitu juga jika dilihat dari sudut akhlaknya tentu sahaja ia lebih baik dan lebih mulia dari akhlak ulamak biasa. Tegasnya berbagai aspek zahir dan batin seseorang syeikh adalah menggambarkan ciri-ciri sifat seorang ulamak yang sebenar di samping menepati dengan gelaran ulamak pewaris nabi seperti yang dimaksudkan oleh Baginda Rasulullah s.a.w. tersebut.Syeikh Abu Qāsim al-Qushayri ada menyebutkan kedudukan para mashāyikh tersebut dari sudut ilmu dan ma‘rifahnya dengan membandingkan mereka dengan ulamak-ulamak selainnya dengan katanya:فإن هؤلاء حججهم في مسائلهم أظهر من حجج كل أحد وقواعد مذاهبهم أقوى من قواعد كل مذهب والناس إما أصحاب النقل والآثر وإما أرباب العقل والفكر وشيوخ هذه الطائفة ارتقوا عن هذه الجملة فالذى للناس غيب فهو لهم ظهور والذي للخلق من المعارف مقصود فلهم من الحق سبحانه موجود فهم أهل الوصول والناس أهل الاستدلال . Maksudnya:Sesungguhnya para syeikh itu, hujah-hujah mereka tentang berbagai masalah adalah lebih jelas daripada hujah-hujah tiap-tiap orang (yang lain);kaedah-kaedah (dalam mazhab mereka juga lebih teguh daripada kaedah-kaedah mazhab lainnya; orang ramai itu sama ada mereka menjadi orang yang berpegang kepada (zahir) al-Qur’an, hadis dan kata-kata ulamak salaf ataupun menjadi orang bergantung kepada (kekuatan akal dan fikiran, padahal syeikh-syeikh golongan (al-sufiyyah) ini telahpun meningkat tinggi melintasi itu semua; perkara yang tidak dapat dilihat oleh orang ramai, dapat dilihat jelas oleh syeikh-syeikh itu; berbagai ma‘rifah yang sedang dicari-cari oleh orang ramai, bagi syeikh-syeikh itu pula ma‘rifah tersebut telah pun mereka perolehi daripada kurniaan Allah S.W.T.; syeikh-syeikh itu merupakan orang yang sudah sampai (kepada hakikat Allah S.W.T. yang sebenar) sedang orang ramai masih mencari-carinya menerusi dalil-dalil.Jelas dari pandangan dan ulasan daripada Syeikh Abu Qāsim al-Qushayri di atas menunjukkan kepada kita terdapat perbezaan dan kelebihan yang begitu ketara di antara kedua-dua golongan ulamak (ulamak tasawwuf dan ulamak zahir) dari sudut ilmu dan ma‘rifah. Menurut Prof Madya Dr.Jahid Sidek, antara kelebihan tersebut ialah:a) Dari sudut keupayaan untuk memberikan dalil-dalil ataupun bukti-bukti yang paling jelas mengenai sesuatu hukum yang timbul berkaitan dengan masalah-masalah agama, mereka lebih berupaya. Abu Tālib Makki memberikan penegasan dalam hal ini dengan menyatakan :وقد كان علمأ الظاهر إذا أشكل عليهم علم فى مسألة الاختلاف الأدلة سألوا أهل العلم بالله لأنهم أقرب إلى التوفيق وأبعد من الهوى والمعصية .Maksudnya: Dan sesungguhnya ulama-ulama zahir itu bila menghadapi kemusykilan agama mengenai sesuatu masalah disebabkan adanya dalil-dalil yang berlawanan, maka mereka itu meminta (penjelasan hukumnya) dari ahli-ahli ‘ilm billah itu, (kerana mereka itu lebih hampir kepada taufik dan jauh daripada hawa nafsu dan maksiat. Untuk membuktikan kenyataan beliau di atasو maka Abu Tālib Makki seterusnya mengatakan:منهم الشافعى رحمه الله تعالى كان إذا اشتبهت عليه المسألة لاختلاف أقوال العلماء فيها وتكافؤا لاستدلال عليها رجع إلى علماء أهل المعرفة .Maksudnya:Di antara mereka itu (ulama zahir yang merujukkan masalah yang mereka hadapi kepada syeikh) ialah Imam al-Syafi’i rahimahullah ta’ala. Bila beliau itu menghadapi kekaburan masalah, disebabkan kata-kata ulama yang bercanggah mengenai masalah tersebut dan jalan dalilnya sama kuatnya, maka beliau pun merujuk (masalah itu) kepada ulama’ ahli ma‘rifah itu. Seterusnya Syeikh Abu Tālib Makki menunjukkan kepada kita orang yang selalu dijadikan pakar rujuk dan guru tarbiyah oleh al-Imam al-Syafi’i. Orang yang dimaksudkan ialah Shubbān al-Ra’y. Beliau melaporkan kepada kita dengan katanya:وكان يجلس بين يدى شبان الراعى كما يجلس الصبى بين يدي المكتب ويسأله كيف يفعل فى كذا وكيف يصنع فى كذا .Maksudnya: Dan Imam al-Syafi’i itu duduk di hadapan Shubbān al-Ra’y seperti kanak-kanak duduk di hadapan guru tulisnya dan ia bertanya kepada Shubbān al-Ra’y itu: Macam mana hendak dibuat tentang (masalah) ini; dan bagaimana hendak dilakukan tentang (masalah) ini pula. a) Dari keterangan yang diberikan oleh al-Imam Abu Qāsim al-Qushayri di atas, dapat juga kita lihat bahawa kaedah-kaedah ilmu dan amalan yang ada di kalangan para al-mashā’ikh itu adalah lebih baik, lebih kuat dan berkesan. Sebagai contoh, dalam usaha untuk mengenal Allah S.W.T., kaedah ihsān menerusi zikrullah dan murāqabah digunakan oleh para mashā’ikh. Sedangkan para ulama mutakallimin menggunakan kaedah istidlāl dan rasional. Tentu sahaja kaedah ihsān yang digunakan oleh para mashā’ikh itu lebih baik, kerana kaedah ini selaras dengan kehendak dari al-Qur’an dan al-Sunnah. Sebagai contoh, menurut keterangan ayat 190 dan 191 dari surah Āli ‘Imrān bahawa zikrullah dan murāqabah itu adalah jalan untuk mencapai ma‘rifah yang sebenar. Jelas dari kaedah tersebut akan memudahkan terbukanya hijāb hati dan memudahkan mendapat jadhbah, kashaf dan ma‘rifah. Oleh sebab itu ulama-ulama tasawwuf menyimpulkan bahawa zikrullah adalan jalan yang paling dekat untuk segera sampai kepada Allah S.W.T. dan keredaanNya, tanpa zikrullah jalan menuju kepada Allah S.W.T. menjadi jauh dan langkahnya juga menjadi lambat sehingga mungkin tidak akan sampai sehingga seseorang itu mati. b) Seterusnya dapat juga kita fahamkan dari ungkapan al-Syeikh Abu Qāsim al-Qushayri tersebut bahawa para mashā’ikh itu sebenarnya mempunyai basirah atau mata hati yang terang dan awas kerana hijābnya telah dibukakan oleh Allah S.W.T. dan dikurniakan kashaf kepadanya. Dengan kashaf tersebut mereka dapat melihat berbagai perkara yang ghaib yang biasanya tidak dapat dilihat dan diperhatikan oleh orang biasa. Sebagai contoh, seorang syeikh memberi sejumlah wang kepada seorang muridnya untuk menyewa seorang perempuan yang tinggal di sebuah bilik, dengan rasa penuh keraguan dan tandatanya, pergilah murid itu seperti yang telah diperintahkan oleh syeikhnya. Akhirnya murid tersebut mendapati bahawa perempuan yang ada di dalam bilik itu adalah isterinya sendiri yang telah lama ditinggalkan kerana menuntut ilmu. c) Dari kata-kata Syeikh Abu Qāsim al-Qushayri itu juga dapat kita melihat bahawa syeikh itu merupakan seorang yang benar-benar ‘ārif billah yang telah sampai kepada hakikat Allah S.W.T. yang sebenar iaitu hakikat uluhiyyah dan rububiyyahNya. Inilah yang dimaksudkan oleh Syeikh Abu Qāsim al-Qushayri bahawa para mashāyikh itu adalah ahl al-wisāl. Ahl al-wisāl ini menurut keterangan yang dikutip daripada Ibn ‘Ajibah ialah orang-orang yang telah dipilih oleh Allah S.W.T. dengan diberi cintaNya, dijadikan sebagai wali Nya, dibukakan hijāb pintu hatinya, diperlihatkan kepadanya berbagai rahsia zatNya sehingga semua kesan-kesan kekuasaan dan kewujudanNya iaitu segala kejadian dan ciptaan Allah S.W.T. itu tidak menghalang pandangan basirah terhadap hakikat Allah S.W.T. dan kehambaan dirinya sendiri. Seterusnya, menurut Ibn ‘Ajibah lagi bahawa orang yang tersebut juga dikenali sebagai ahl al-‘irfān, ahl al-shuhud dan ahl al-‘ayyān yang tidak melihat wujudnya semua makhluk kerana ia shuhud terhadap Allah S.W.T. semata-mata. Oleh itu syeikh adalah orang yang telah sampai ke maqām fanā’ dan baqā’ billah. Dari kelima-lima sifat yang dimiliki oleh syeikh seperti yang telah dikatakan oleh Syeikh Abu al-Qāsim al-Qushayri itu jelas kepada kita bahawa syeikh itu merupakan seorang wali Allah S.W.T., yang sentiasa bersifat dengan sifat taqwa dan sentiasa mendapat perlindungan daripada Allah S.W.T. Hal ini telah dinyatakan oleh Allah S.W.T. dengan firmanNya :إِنَّ وَلِيِّي اللَّهُ الَّذِي نَزَّلَ الْكِتَابَ وَهُوَ يَتَوَلَّى الصَّالِحِينَ Maksudnya:"Sesungguhnya Pelindungku adalah Allah S.W.T. yang telah menurunkan Kitab (al-Qur’an) dan Allah S.W.T. lah yang mengurus dan melindungi orang-orang yang salih".
5. Kedudukan syeikh dari sudut ketakwaan mereka adalah merupakan orang yang benar-benar mencapai taraf ulu al-albāb iaitu orang yang disebutkan oleh Allah S.W.T. dalam firmanNya:الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالاَْرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلاً سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّار Maksudnya:"Mereka itulah orang-orang yang berdhikrullah dalam keadaan berbaring dan mereka itu sentiasa memikirkan (bukti-bukti kewujudan dan kekuasaan Allah S.W.T.) di dalam ciptaanNya yang di langit dan yang di bumi, seraya berkata: Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan (semua ciptaan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari seksa api neraka."Dari keterangan ayat di atas menunjukkan bahawa orang yang bertaraf ulu al-bāb itu ialah orang yang mukmin dan sentiasa berzikrullah dan bermurāqabah terhadap Allah S.W.T. sehingga mereka mencapai hakikat kekurangan, jahil, lemah dan sebagainya lagi. Ciri-ciri ketakwaan tersebut ada dijelaskan oleh Allah S.W.T dalam firmanNya yang antara lain menyebutkan:الَّذِينَ يُوفُونَ بِعَهْدِ اللَّهِ وَلاَ يَنقُضُونَ الْمِيثَاقَ وَالَّذِينَ يَصِلُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ وَيَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ وَيَخَافُونَ سُوءَ الْحِسَابِ وَالَّذِينَ صَبَرُوا ابْتِغَاءَ وَجْهِ رَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلاَةَ وَأَنفَقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلاَنِيَةً وَيَدْرَءُونَ بِالْحَسَنَةِ السَّيِّئَةَ أُوْلَئِكَ لَهُمْ عُقْبَى الدَّار Maksudnya:" (Ulu al-albāb itu) ialah orang-orang yang memenuhi janji Allah S.W.T. dan tidak merosakkan perjanjian itu; dan orang-orang yang menghubungkan apa yang Allah S.W.T. perintah supaya dihubungkan (tali persaudaraan dan silat al-rahim) dan mereka itu takut kepada Tuhan mereka dan takut terhadap hisab yang buruk; dan orang-orang yang sabar kerana mencari keredaan Tuhan mereka, mereka mendirikan sembahyang dan membelanjakan sebahagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi ataupun terus terang dan mereka itu menolak kejahatan dengan kebaikan; mereka itulah yang mendapat tempat kesudahan(yang baik). "Dari ayat-ayat al-Qur’an di atas Prof Madya Dr. Jahid Sidek seterusnya menyenaraikan sifat-sifat taqwa orang-orang yang ulu al-albāb itu sebagai:a) Golongan ini sentiasa bertaqwa, melakukan apa sahaja yang diperintahkan dan menjauhkan segala larangan Allah S.W.T. dalam erti kata yang sebenar sama ada yang zahir mahu pun yang batin. Tegasnya mereka itu benar-benar menjadi orang-orang yang bersifat dengan sifat taqwa. b) Para mashā’ikh itu memiliki akhlak yang mulia di samping menjaga hubungan sosial mereka, selaras dengan firman Allah S.W.T: ضُرِبَتْ عَلَيْهِمْ الذِّلَّةُ أَيْنَ مَا ثُقِفُوا إِلا بِحَبْلٍ مِنْ اللَّهِ وَحَبْلٍ مِنْ النَّاسِ وَبَاءُوا بِغَضَبٍ مِنْ اللَّهِ وَضُرِبَتْ عَلَيْهِمْ الْمَسْكَنَةُ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَانُوا يَكْفُرُونَ بِآيَاتِ اللَّهِ وَيَقْتُلُونَ الاَْنبِيَاءَ بِغَيْرِ حَقٍّ ذَلِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا يَعْتَدُونَ Maksudnya: "Mereka ditimpakan kehinaan (dari segala jurusan) di mana sahaja mereka berada, kecuali dengan adanya sebab daripada Allah S.W.T. dan adanya sebab daripada manusia. Dan sudah sepatutnya mereka beroleh kemurkaan daripada Allah S.W.T., dan mereka ditimpakan kemiskinan dari segala jurusan. Yang demikian itu, mereka sentiasa kufur ingkar akan ayat-ayat Allah S.W.T. (perintah-perintahNya) dan mereka membunuh Nabi-nabi dengan tiada alasan yang benar. Semuanya itu disebabkan mereka derhaka dan mereka sentiasa mencerobohi (hukum-hukum Allah S.W.T.)." Tegasnya mereka adalah orang yang benar-benar berpegang teguh dengan pengertian ayat di atas yang terangkum dalam makna hablun min al-nās dan hablun min Allah seperti yang ditunjukkan oleh Baginda s.a.w dan para sahabatnya. Allah S.W.T menceritakan kedudukan mereka seperti yang difirmankanNya: وَعِبَادُ الرَّحْمَانِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الاَْرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمْ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلاَمًا Maksudnya: "Dan hamba-hamba (Allah S.W.T.) al-Rahman (yang diredai Nya), ialah mereeka yang berjalan di bumi dengan sopan santun, dan apabila orang-orang yang berkelakuan kurang adab, hadapkan kata-kata kata-kata kepada mereka, mereka menjawab dengan perkataan yang selamat dari perkara yang tidak diingini. " c) Orang-orang yang bersifat ulu al-albāb itu ialah mereka yang hanya takut kepada Allah S.W.T. Sifat ini lahir pada diri mereka kerana mereka telah shuhud terhadap hakikat keagungan dan kesempurnaan Allah S.W.T, dalam ertikata yang lain ialah shuhud terhadap uluhiyyah dan rububiyyah Allah S.W.T. Di samping itu mereka juga bimbang terhadap perbicaraan di padang mahsyar jikalau amalan yang jahat itu lebih banyak dari yang baik. Atau khuatir jika amalan yang baik itu tidak diterima oleh Allah S.W.T. Mereka juga bersifat bimbang jika kesudahan hidup mereka disudahi dengan su’ al-khātimah, lantaran itu mereka sentiasa memiliki sifat orang-orang yang ikhlas takutkan Allah S.W.T. d) Orang-orang yang bersifat ulu al-albāb itu ialah mereka yang sentiasa bersifat sabar dalam menghadapi semua ujian dan dugaan yang Allah S.W.T berikan kepada mereka pada setiap masa dan keadaan, kerana mereka ingin mendapat keredaan daripada Allah S.W.T semata-mata. Mereka digambarkan oleh Allah S.W.T. dalam firmanNya: الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ. Maksudnya: "(Orang-orang yang bersabar itu) ialah orang-orang yang apabila ditimpa sesuatu musibah, mereka mengucapkan: Sesungguhnya kami adalah kepunyaan Allah S.W.T. dan sesungguhnya kepada Nyalah kami kembali. " e) Orang-orang yang bersifat ulu al-albāb itu menggunakan harta dan kekayaan yang mereka miliki hanya untuk tujuan mendapatkan keredaan dari Allah S.W.T. Sama sekali tidak akan membelanjakan harta tersebut ke jalan yang dimurkai oleh Allah S.W.T. Dengan harta tersebut mereka tidak bersifat riyā’ dan ‘ujub terhadap pengorbanan yang mereka lakukan terhadap harta mereka. Keikhlasan adalah asas di dalam menginfakkan harta tersebut,sama ada secara terang atau secara rahsia, bagi mereka adalah sama sahaja, kerana yang mereka pandang hanya Allah S.W.T. sahaja.f) Orang-orang yang bersifat ulu al-albāb itu ialah orang yang boleh bertindak dengan sebaik-baiknya di dalam menghadapi sebarang kejahatan yang dilemparkan kepada mereka. Di antara kemuliaan yang dimiliki oleh mereka ialah membalas kejahatan dengan kebaikan. Ini menunjukkan wujudnya kemuliaan hati dan keteguhan iman yang dimiliki oleh mereka. Justeru mereka adalah tergolong di kalangan orang-orang yang ‘ārif bi Allah yang sentiasa shuhud terhadap Allah S.W.T. g) Orang-orang yang bersifat ulu al-albāb itu ialah mereka yang mendirikan solat dengan penuh khusyu’ dan tawādu‘ dengan sentiasa mengingati keagungan dan kesempurnaan Allah S.W.T. Mereka itu adalah merupakan orang-orang mukmin yang beroleh kejayaan di sisi Allah S.W.T. seperti yang disebutkan oleh Allah S.W.T. dalam firmanNya:قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ . الَّذِينَ هُمْ فِي صَلاَتِهِمْ خَاشِعُونَ. Maksudnya:" Sesungguhnya telah berjayalah orang-orang yang beriman iaitu orang-orang yang khusyu’ dalam sembahyang mereka." Dari fakta yang terkandung dalam ayat 20-22 surah al-Ra’d tersebut dapatlah kita membuat kesimpulan bahawa sifat-sifat taqwa golongan ulu al-albāb itu adalah yang paling sempurna dan istimewa. Justeru kerana itu sifat-sifat tersebut sewajarnya wujud di kalangan para mashā’ikh seperti yang telah diterangkan di atas.
6. Di kalangan ulama tasawwuf, syeikh merupakan orang yang mempunyai kedudukan dan status yang istimewa di sisi Allah S.W.T, kerana mereka dianggap sebagai salah satu pintu dari berbagai pintu rahmat Allah S.W.T. yang sentiasa menyeru manusia untuk menghampirkan diri kepadaNya dan mendapatkan keredaanNya. Mengenai hal ini Allah S.W.T menjelaskan dengan firmanNya: قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنْ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنْ الْمُشْرِكِينَ . Maksudnya:"Katakanlah (wahai Muhammad):Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang menurutiku, menyeru manusia umumnya kepada agama Allah S.W.T. dengan berdasarkan keterangan dan bukti yang jelas nyata. Dan aku menegaskan: Maha Suci Allah S.W.T. (dari segala iktikad dan perbuatan syirik) dan bukanlah aku dari golongan yang mempersekutukan Allah S.W.T. dengan sesuatu yang lain." Dari maksud firman Allah S.W.T dalam ayat di atas jelas menunjukkan bahawa Rasulullah s.a.w itu merupakan pintu berbagai rahmat Allah S.W.T. seperti ilmu, iman, ma‘rifah dan sebagainya lagi. Demikian juga bagi umatnya yang mengikuti dan menghayati ajaran-ajarannya, sama ada yang zahir mahupun yang batin adalah juga sebagai pintu berbagai rahmat Allah S.W.T. tersebut. Seorang syeikh sepertimana yang telah dihuraikan di atas adalah merupakan pewaris Rasulullah s.a.w, khalifahnya dan orang yang paling hampir dengannya. Dengan kedudukan ini tentulah seorang syeikh itu tergolong di kalangan orang-orang yang mengikuti sunnahnya yang zahir dan yang batin. Dari sini dapat kita lihat bahawa syeikh itu adalah di antara salah satu pintu dari pintu-pintu rahmat Allah S.W.T. Sebagai seorang murid yang sentiasa belajar dan berdampingan dengan syeikh itu tentulah ia berada di hadapan pintu rahmat Allah S.W.T. Dalam disiplin ilmu dan amalan tasawwuf, seorang murid dikehendaki supaya seboleh-bolehnya sentiasa berdampingan dengan syeikhnya dan sentiasa taatkannya. Perhubungan yang rapat dalam kehidupan sehari-hari di antara seorang murid dengan syeikhnya adalah dituntut dalam Islam seperti yang difirmankan oleh Allah S.W.T:يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ. Maksudnya:"Wahai orang-orang yang beriman! Bertaqwalah kamu kepada Allah S.W.T., dan hendaklah kamu berada bersama-sama orang-orang benar. "Tujuan dari perintah supaya sentiasa bersama-sama dengan orang-orang yang bertaraf al-siddiqin itu ialah supaya kita sentiasa mendapat keberkatan dan berbagai rahmat daripada Allah S.W.T. menerusi mereka. Dengan taraf mereka sebagai al-siddiqin tentulah ia mempunyai kedudukan yang tinggi di sisi Allah S.W.T. selepas kedudukan para Anbiyā` dan Rasul, sebab itu Allah S.W.T. memberi pengakuanNya terhadap mereka ini dengan firmanNya:وَمِنْ النَّاسِ وَالدَّوَابِّ وَالاَْنْعَامِ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ كَذَلِكَ إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ. Maksudnya:"Dan demikian pula di antara manusia dan binatang-binatang yang melata serta binatang-binatang ternak, ada yang berlainan jenis dan warnanya. Sebenarnya yang menaruh bimbang dan takut (melanggar perintah) Allah S.W.T. dari kalangan hambaNya hanyalah orang-orang yang bergelar ulama. Sesungguhnya Allah S.W.T. Maha Kuasa, lagi Maha Pengampun." Dengan kedudukan mereka selepas para Anbiyā` dan Rasul, maka tidak hairanlah kalau Allah S.W.T. telah menjanjikan tempat di dalam syurga bagi mereka seperti yang terdapat dalam firmanNya:وَمَنْ يُطِعْ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُوْلَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنْ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُوْلَئِكَ رَفِيقًا. Maksudnya:"Dan sesiapa yang taat kepada Allah S.W.T. dan RasulNya, maka mereka akan ditempatkan di dalam syurga bersama orang-orang yang telah dikurniakan nikmat oleh Allah S.W.T. kepada mereka, iaitu Nabi-nabi dan orang-orang al-siddiqin dan orang-orang al-shāhidin, serta orang-orang yang soleh. Dan amatlah eloknya mereka itu menjadi teman rakan (kepada orang-orang yang taat)."Dari keterangan kedua-dua ayat al-Qur’an yang tersebut di atas tadi dapatlah dilihat kedudukan seorang yang bertaraf syeikh amat tinggi di sisi Allah S.W.T. Sekalipun ia tidak mencapai taraf al-siddiqin, sudah pasti mereka ini menduduki taraf al-shuhadā’ atau al-sālihin seperti yang termuat dalam ayat tersebut. Justeru kerana itu, dalam disiplin ilmu dan amalan tasawwuf, seorang murid dikehendaki supaya sentiasa berdampingan dengan syeikhnya, jika tidak dapat berbuat demikian maka hendaklah ia membayangkan wajah syeikhnya itu. Dari sini maka timbullah istilah yang dikenali di kalangan disiplin ilmu dan amalan tasawwuf sebagai al-rābitah.
7. Dalam disiplin ilmu dan amalan tasawwuf seorang yang bergelar syeikh itu dianggap sebagai seorang mukmin yang telah mencapai taraf al-muhsinin. Kenyataan ini adalah berdasarkan kepada firman Allah S.W.T. dalam al-Qur’an yang rahmat Allah S.W.T. itu sentiasa hampir (sentiasa diberikan) kepada orang yang al-muhsinin seperti yang telah dijelaskan olehNya:وَلاَ تُفْسِدُوا فِي الاَْرْضِ بَعْدَ إِصْلاَحِهَا وَادْعُوهُ خَوْفًا وَطَمَعًا إِنَّ رَحْمَةَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِنْ الْمُحْسِنِينَ. Maksudnya:"Dan janganlah kamu berbuat kerosakan di bumi sesudah Allah S.W.T. menyediakan segala yang membawa kebaikan padanya dan berdoalah kepadaNya dengan perasaan bimbang (kalau-kalau tidak diterima) dan juga dengan perasaan terharap-harap (supaya makbul). Sesungguhnya rahmat Allah S.W.T. itu dekat kepada orang-orang yang memperbaiki amalannya (muhsinin)."Seperti yang telah kita huraikan di atas tadi bahawa seorang syeikh itu merupakan salah satu dari pintu dari berbagai pintu rahmat Allah S.W.T., oleh itu boleh kita katakan bahawa syeikh itu adalah golongan yang hampir kepada rahmat Allah S.W.T. Orang yang sentiasa hampir dengan rahmat Allah S.W.T. itu adalah orang yang bergelar al-muhsinin. Kesimpulannya, seorang syeikh itu adalah bertaraf al-muhsinin. Jika kita tinjau dari sudut hadis pula kita akan dapati bahawa syeikh itu adalah antara orang yang sudah mencapai martabat ihsān seperti yang disabdakan oleh Baginda s.a.w di dalam sebuah hadisnya: الإحسان أن تعبد الله كأنك تراه , فان لم تكن تراه فإنه يراك . Maksudnya:" Ihsān itu ialah anda beribadat kepada Allah seolah-olah anda melihatNya. Jika anda tidak (terasa) melihatnya, maka sesungguhnya Allah melihat anda. "Dengan berbagai fakta yang telah dihuraikan di atas berhubung dengan status dan kedudukan seorang syeikh menurut disiplin ilmu dan amalan tasawwuf, dapatlah kita membuat kesimpulan yang tepat bahawa seorang yang bergelar syeikh yang sebenar atau yang memenuhi semua syarat-syarat dan adab-adab syeikh yang telah ditentukan adalah seorang mukmin yang mempunyai status dan kedudukan yang paling istimewa sekali. Keadaan ini disebabkan kerana seorang syeikh itu mempunyai nasab ma‘nawi yang rapat hubungan dengan Rasulullah s.a.w di samping mewarisi sifat-sifat ketakwaan, keilmuan, ma‘rifat dan sebagainya lagi. Dengan sifat yang dimiliki oleh mereka ini sudah tentu mereka dapat menegakkan kebenaran seperti yang diperintahkan oleh Allah S.W.T. tanpa menghiraukan segala rintangan, halangan dan penghinaan demi menegakkan kebenaran tersebut, sesuai dengan sabda Rasulullah s.a.w:لا تزال طائفة من أمتي ظاهرين على الحق لا يضرهم من خذلهم حتى يأتى أمر الله وهم كذلك . Maksudnya:" Akan sentiasa wujud satu golongan dari umatku itu yang tetap menegakkan kebenaran, tanpa memperdulikan orang yang menghinakan mereka, sehingga datang urusan Allah S.W.T. (kematian atau sebagainya) mereka tetap berkeadaan demikian itu."
3.6.2 Kedudukan al-Sālik
3.6.2 Kedudukan al-SālikSeperti yang telah dinyatakan di atas tadi bahawa perkataan atau istilah al-rābitah itu sukar untuk diperjelaskan jika tidak kita bincangkan terlebih dahulu beberapa aspek yang mempunyai hubungan yang begitu rapat dengan penggunaan istilah ini. Antaranya ialah syeikh yang telah kita hurai dan bincangkan di atas tadi. Selanjutnya kita cuba pula menghurai dan membincangkan topik kedua yang sangat penting dan berkait rapat dengan istilah al-rābitah itu. Persoalan yang kita maksudkan di sini ialah al-sālik.Dalam institusi sebuah perkumpulan tariqat atau tasawwuf, selain daripada seorang yang bertaraf al-syeikh al-murshid, terdapat satu kumpulan lain bertaraf pengikut yang dikenali sebagai al-sālik atau al-murid atau al-sā’ir. Semua istilah-istilah ini membawa maksud yang sama, iaitu pengikut kepada sesuatu aliran tariqat atau tasawwuf. Mereka ini adalah satu kumpulan yang memerlukan ilmu pengetahuan, petunjuk dan bimbingan dalam segala amal ibadatnya. Mereka terdiri dari kalangan lelaki dan perempuan, sama ada yang belum dewasa ataupun yang sudah lanjut usianya. Kumpulan yang dikenali sebagai al-sālik ini bukan hanya terbatas kewajipannya mempelajari segala sesuatu yang diajarkan atau melaksanakan segala sesuatu yang dilatih guru kepadanya , namun dari segi kedudukan mereka sebagai seorang al-sālik, mereka dikehendaki mematuhi beberapa adab dan akhlak yang ditentukan ke atasnya. Sama ada adab terhadap syeikh, mahupun terhadap dirinya dan adab serta akhlak terhadap rakan-rakan setariqat dan sesama mukmin yang lainnya. Semua yang berkaitan dengan adab ini akan diperhatikan oleh seorang syeikh kerana dengan keperibadian al-sālik tersebut akan menentukan kejayaan atau sebaliknya perjalanan tariqat yang dilaluinya. Pelajaran-pelajaran sufi dan latihan-latihan dalam disiplin tariqat akan kurang faedahnya, jika pelajaran dan latihan itu tidak berkesan kepada perubahan akhlak dan budi pekerti al-sālik itu. Oleh yang demikian kita sering menemukan beberapa judul kitab yang dikarang oleh tokoh-tokoh pengamal disiplin ilmu dan amalan tasawwuf dengan menggunakan istilah-istilah seperti Siyar al-Sālikin, Hidāyat al-Sālikin yang kedua-duanya ditulis oleh ‘Abd al-Samad al-Palimbāni. Begitu juga dengan kitab Diyā’al-Murid dan sebagainya lagi. Semua kitab-kitab ini menggunakan istilah-istilah di atas sebagai judul karangan mereka, tentunya pemilihan judul ini adalah bertepatan dengan isi kandungan kitab-kitab tersebut yang mengolah dan mengatur kehidupan seorang yang al-sālik dalam menjalani suluknya.Apabila kita membicarakan soal kedudukan seseorang yang al-sālik di hadapan seseorang yang bertaraf syeikh, secara langsung tentu sahaja akan melibatkan soal adab seorang al-sālik terhadap gurunya yang bergelar syeikh itu. Justeru sering kita dengar dan kita lihat kumpulan yang dinamakan al-sālik ini benar-benar menyanjung tinggi martabat serta kehormatan seorang syeikhnya. Mereka benar-benar takut dan taat terhadap syeikh, sama ada di hadapan mahupun di belakangnya. Bagi seorang yang al-sālik, mengkhianati atau membantah seorang guru yang memberikan pelajaran dan petunjuk adalah tindakan yang tercela dan dosa. Justeru dengan kerananya akan menghalang perjalanan seorang yang al-sālik ke hadirat Allah S.W.T.Dengan keterangan di atas dapat kita katakan bahawa antara tujuan disiplin ilmu dan amalan tasawwuf itu ialah untuk menanamkan penghayatan syariat ke dalam diri seorang yang sālik dengan pemerhatian oleh seorang yang bergelar syeikh. Dalam konteks ini peranan syeikh adalah bertujuan untuk memantau agar hasil dari didikan itu berkesan dalam jiwa para al-sālikin. Antara ukuran yang digunakan sama ada didikan itu berkesan atau sebaliknya dapat dinilai melalui keluhuran akhlak dan budi pekerti serta adab kesopanan dalam kehidupan harian terhadap syeikh, diri, para sahabat setariqat dan seterusnya adab sesama umat Islam seluruhnya.
3.6.2.1 Adab-adab al-sālik terhadap syeikh.
3.6.2.1 Adab-adab al-sālik terhadap syeikh.Menurut keterangan yang diberikan oleh Syeikh Muhammad Amin al-Kurdi dalam kitabnya yang berjudul Tanwir al-Qulub Fi Mu‘āmalat ‘Allām al-Ghuyub menyebutkan bahawa adab-adab yang perlu diperhatikan dan dijaga oleh seorang yang sālik terhadap syeikhnya adalah banyak , namun yang terpenting ialah seorang yang al-sālik tidak boleh sesekali menentang syeikhnya, sebaliknya ia membesarkan kedudukan syeikhnya itu lahir dan batin. Seterusnya ia tidak boleh memperkecilkan kedudukan syeikh, apalagi mencemuhnya di hadapan atau di belakangnya. Salah satu yang mesti diyakini oleh seorang yang al-sālik ialah segala maksud dalam suluknya hanya akan tercapai kerana didikan dan asuhan daripada syeikhnya. Oleh sebab itu, jika ia terpengaruh dengan pandangan guru-guru yang lain selain daripada syeikhnya menyebabkan ia akan jauh daripada syeikhnya dan akan gagal menerima limpahan cahaya daripada syeikhnya. Maka sebagai seorang yang bertaraf al-sālik sewajarnya ia memerhatikan dengan bersungguh-sungguh tentang beberapa adab terhadap syeikhnya. Keadaan ini telah dikemukakan oleh Syeikh Muhammad Amin al-Kurdi seperti di bawah ini: a) Seorang yang al-sālik hendaklah menghormati dan menyanjung tinggi syeikhnya pada yang zahir dan yang batin, dengan satu keyakinan bahawa dirinya tidak akan berjaya untuk mencapai cita-cita kerohaniannya kecuali berada di bawah asuhan dan didikan serta pimpinan daripada syeikhnya. Apabila seorang yang al-sālik itu tertarik hati kepada seorang syeikh yang lain maka terhalanglah dirinya itu daripada syeikhnya dan terhentilah limpahan nur ilāhi daripada syeikh tersebut ke atas dirinya. b) Seorang yang al-sālik hendaklah sentisa menyerahkan diri sepenuhnya zahir dan batin kepada syeikhnya. Sentiasa bersifat taat dan menurut perintah di samping reda terhadap segala apa yang dibuat oleh syeikhnya. Seorang yang al-sālik hendaklah bersedia untuk berkhidmat kepada syeikhnya baik dengan harta mahupun dengan jiwa raga. Semua hal tersebut adalah disebabkan oleh kemahuan yang murni dan perasaan kasih sayang sebenar yang tidak dapat dinyatakan dengan jelas kecuali dengan cara yang tersebut. Malahan niat yang benar dan ikhlas itu tidak akan dapat dicapai kecuali dengan jalan yang demikian itu. Seorang al-sālik mestilah mempunyai keikhlasan hati di samping kerelaan jiwa demi pengorbanan kepada syeikhnya. Selepas itu barulah ia akan mendapat barakah irādah yang murni dan muhibbah. Semua ini akan dianggap sebagai penggerak dalam kehidupan seorang yang al-sālik. c) Seorang yang al-sālik tidak boleh sama sekali menentang, menolak atau menghalang apa saja yang dibuat oleh syeikhnya, sekalipun perbuatan tersebut pada zahirnya bertentangan dengan hukum syarak yang membawa hukum haram. Sebagai contoh, seorang al-sālik tidak boleh berkata terhadap syeikhnya: Mengapakah tuan guru berbuat demikian? Jika seorang al-sālik berkata demikian terhadap syeikhnya maka ia tidak akan mencapai maksudnya (wusul kepada Allah S.W.T.) untuk selama-lamanya. Penentangan merupakan sikap dan akhlak yang tercela, lebih-lebih lagi apabila diperintahkan oleh syeikhnya. Dalam dispilin ilmu dan amalan tasawwuf ketaatan itu sudah dibaiahkan ketika seorang al-sālik mengambil amalan tersebut daripada syeikhnya. Dengan peraturan dan baiah yang demikian barangkali ramai orang termasuk pemerintah menaruh prasangka dan curiga di samping mengawasi ajaran tasawwuf dan tariqat di negara ini. Kadang-kadang berlaku pada seseorang syeikh itu perkara yang tercela nampak pada zahirnya, tetapi pada batinnya adalah baik, seperti yang berlaku kepada Nabi Khidir a.s ketika bersama-sama dengan Nabi Musa a.s . Kerana itulah setengah ahli tasawwuf bersya’ir seperti berikut:وكن عنده كالميت عند المغسل يقلبه ما شاء وهو مطاوعولا تعترض فيما جهلت من أمره عليه فإن الأعتراض تنازعوسلم له فيما تراه ولو يكن على غير مشروع فثم مخادعوفى قصة الخضر الكريم كفاية بقتل غلام والكليم يدافعفلما أبان الصبح عن ليل سره وسل حسام للمحاجج قاطعأقام له العذر الكليم وأنه كذلك علم القوم فيه بدائعMaksudnya:Engkau di hadapan syeikh seperti mayat di depan orang yang memandikannya.Sentiasa taat dibalik-balikkan mengikut sekehendak hatinya.Jangan engkau menentang perintahnya yang engkau tidak mengetahuinya.Sebab,menentang begitu bererti engkau mencabarnya.Biarkanlah segala perbuatannya yang engkau lihat.Meskipun berlainan dengan syariat.Cukuplah sebagai contoh kisah Khidir membunuh anak desa.Bagaimana Musa bersungguh-sungguh menghalangnya.Bila rahsia Khidir jelas terbongkar.Musa tidak dapat berkata lagi.Dan cuba meminta maaf daripada Khidir.Begitulah ada yang menakjubkan ilmu orang sufi.
d) Seorang yang al-sālik tidak boleh mempunyai sebarang keinginan untuk bergaul rapat dengan syeikhnya untuk tujuan dunia ataupun akhirat. Oleh itu pergaulan dengan syeikhnya hanyalah semat-mata untuk menghampirkan dirinya kepada Allah S.W.T.e) Seorang yang al-sālik hendaklah menghilangkan segala ikhtiarnya kerana berasa cukup dengan ikhtiar syeikhnya, sebahagiannya atau keseluruhannya yang menyangkut soal ibadat ataupun adat kebiasaan hidup. Oleh itu antara tanda-tanda yang menunjukkan seorang yang al-sālik itu bersifat benar ialah jika syeikhnya menyuruhnya masuk ke dalam dapur api nescaya dilakukannya. Walau apapun yang berlaku seorang yang al-sālik tetap memegang teguh ikhtiar syeikhnya. Ia mesti mengakui seorang syeikh itu mempunyai kelebihan tersendiri dalam berikhtiar jika dibandingkan dengan ikhtiar seorang yang al-sālik.f) Seorang yang al-sālik tidak boleh dengan sengaja mencari-cari rahsia hal keadaan syeikhnya sama sekali. Perbuatan yang sedemikian boleh menyebabkan kecelakaan dan padah pada diri seorang yang al-sālik itu sendiri. Sebagai seorang yang al-sālik seharusnya bersangka baik dengan syeikhnya dalam semua hal dan keadaan.g) Sebagai seorang yang al-sālik, dia hendaklah sentiasa ingatkan kepada syeikhnya ketika ia berjauhan daripadanya (syeikh). Begitu juga jika syeikhnya itu ada bersama-samanya maka hendaklah ia sentiasa ingatkan dan membayangkan syeikhnya itu dalam hatinya ketika melakukan semua urusannya, baik ketika musafir mahupun tidak, supaya mendapat keberkatan daripada syeikhnya itu.h) Sebagai seorang yang al-sālik ia hendaklah merasakan bahawa setiap keberkatan yang telah didapatinya, baik keberkatan di dunia mahupun di akhirat adalah kerana syeikhnya itu. Sebagai contoh seorang yang al-sālik telah mendapat kelebihan daripada Allah S.W.T., atau pertunjuk berupa ilhām atau keistimewaan ijābah, maka tidak boleh mengatakan atau menganggap hal itu disebabkan oleh keupayaan dan barakah daripada dirinya sendiri yang dekat dengan Allah S.W.T. Sebagai menghormati gurunya ia mestilah berkeyakinan bahawa ilhām dan anugerah daripada Allah S.W.T. itu adalah disebabkan oleh keberkatan dan kelebihan daripada syeikhnya itu.i) Sebagai seorang yang al-sālik, ia tidak boleh merahsiakan atau menyembunyikan daripada syeikhnya sesuatu yang bersifat hāl, lintasan-lintasan hati, kejadian-kejadian, perkara-perkara yang dikashafkan dan kekeramatan yang telah dikurniakan oleh Allah S.W.T. semasa di bawah pimpinan daripada syeikhnya itu. Segala sesuatu yang berkait dengan kehidupan seorang yang al-sālik tidak boleh dirahsiakan daripada syeikhnya. Ini merupakan satu adab dan peraturan yang mesti ditaati oleh seorang yang al-sālik.j) Seorang yang al-sālik itu tidak boleh sengaja menunjuk-nunjuk atau mencari-cari ta‘bir berbagai-bagai kejadian, mimpi dan perkara-perkara yang dikashafkan ke atasnya. Walaupun ia mengetahui dengan jelas ta‘bir perkara-perkara yang tersebut itu, maka tidaklah boleh ia berpegang teguh terhadapnya. Apabila seorang yang al-sālik itu bertanyakan sesuatu kepada syeikhnya maka hendaklah ia bersabar menanti jawapan daripada syeikhnya itu dengan tidak mendesak agar syeikhnya memberikan jawapan yang segera. Begitu juga jika ada seseorang yang bertanyakan sesuatu kepada syeikhnya itu, maka janganlah sekali-kali al-sālik itu memberikan jawapan soalan orang yang tersebut di hadapan syeikhnya.k) Seorang yang al-sālik tidak boleh menyebar dan menyiarkan rahsia-rahsia syeikhnya, walau dengan apa cara sekalipun.l) Seorang yang al-sālik tidak boleh mengahwini perempuan yang sudah diketahuinya bahawa syeikhnya sendiri ada hati mahu mengahwininya. Seorang yang al-sālik juga tidak boleh mengahwini bekas isteri syeikhnya, sama ada bercerai hidup atau cerai mati. m) Seorang yang al-sālik tidak boleh memberikan nasihat dan tunjuk ajar kepada syeikhnya, sekalipun syeikhnya meminta buah fikirannya dalam sesuatu perkara yang mahu dibuat atau ditinggalkannya. Dalam keadaan itu seorang yang al-sālik hendaklah menyerahkan masalah yang dihadapi itu kepada syeikhnya sahaja dengan penuh keyakinan bahawa syeikhnya itu lebih tahu daripada dirinya dalam masalah tersebut dan syeikhnya itu sebenarnya tidak perlu meminta buah fikirannya. Sebenarnya perbuatan syeikh meminta buah fikiran al-sālik itu hanyalah sebagai satu polisi syeikhnya supaya dapat ia menunjukkan rasa kasih dan sayang terhadap para al-sālikin itu sahaja. Bagaimanapun jika ada tanda-tanda bahawa syeikhnya itu memang benar-benar mahukan buah fikiran al-sālik itu maka bolehlah ia memberikan buah fikirannya kepada syeikhnya dengan penuh kesopanan dan ketertiban.n) Seorang yang al-sālik hendaklah menjaga, mengambil berat terhadap keluarga syeikh sepanjang pemergiannya. Seorang yang al-sālik hendaklah sentiasa berkhidmat dan berbuat baik dengan mengunjungi dan berkhidmat kepada keluarganya. Langkah seorang al-sālik ini merupakan perkara-perkara yang boleh menambahkan lagi kasih sayang syeikh kepada diri al-sālik. Tegasnya dalam hal ini, kedudukan syeikh itu samalah dengan kedudukan para saudara dan kawan atau sahabat. Perlu diingat bahawa seluruh kerja yang dilakukan mesti dengan keikhlasan agar ia akan mendapat limpahan hidayat dan rahmat syeikhnya.o) Seorang yang al-sālik apabila merasakan dirinya ada sifat ‘ujub dan riyā’ maka hendaklah ia segera berjumpa dan memberitahu kepada syeikhnya hal keadaan tersebut. Dengan berbuat demikian seorang syeikh akan dapat menunjukkan bagaimana cara untuk mengubati penyakit tersebut. Jika hal tersebut disembunyikan maka penyakit yang terdapat pada seorang yang al-sālik seperti al-riyā’ dan al-‘ujub itu akan bertambah subur dan sulit untuk dibuang daripada dirinya.p) Sebagai seorang al-sālik, hendaklah menghargai setiap pemberian daripada syeikhnya. Setiap barang yang diberikan oleh syeikh kepada seorang yang al-sālik hendaklah dijaga dengan sebaiknya, bahkan jangan sekali-kali ia menjualkan barang pemberian tersebut kepada orang yang lain. Mungkin ada rahsia di sebalik pemberian tersebut yang berupa manfaat di dunia atau di akhirat di samping dapat menghampirkan dirinya kepada Allah S.W.T. di sebalik pemberian tersebut. q) Seorang al-sālik hendaklah menjaga sifat benar (al-sidq) dalam kesungguhannya mentaati syeikhnya itu. Dalam konteks ini, para mashā’ikh tariqat bersepakat bahawa seorang al-sālik yang benar-benar sempurna ketaatannya kepada syeikh akan mencapai kemanisan ma‘rifatullah dalam dhawqnya, walaupun hanya berada dalam satu majlis sahaja di awal pergaulannya dengan syeikh tersebut.
r) Apabila seorang yang al-sālik menemui dan melihat beberapa kekurangan yang terdapat pada diri syeikh seperti banyak tidur di waktu mendekati subuh atau kurang wara‘nya dan sebagainya lagi maka sesungguhnya terkadang Allah S.W.T. sengaja menjadikan kekurangan tersebut pada diri seorang wali, iaitu ketika seorang wali itu berada dalam keadaan yang ghaflah. Bagaimanapun, selepas itu ia akan ingat dari kelalaiannya dan segera berusaha bersungguh-sungguh untuk mencapai dan mendapatkan apa yang sepatutnya ia capai. Hal ini ada diungkapkan oleh Ibn ‘Atāi’illah al- Iskandari dalam kata-kata hikmahnya yang antara lain menyebutkan:سبحان من ستر سر الخصوصية بظهور وصف البشرية وظهر بعظمة الربوبية في إظهار العبودية . Maksudnya: Maha suci Tuhan yang telah menutup rahsia khususiyyah dengan kelihatan sifat-sifat kemanusiaan. Dan Maha Suci Tuhan yang telah memperlihatkan (kepada hamba-hambaNya) dengan kebesaran ketuhanan dalam memperlihatkan (bekas-bekas) kehambaan manusia. Semua yang berlaku pada diri syeikh itu adalah dari kehendak dan ketentuan daripada Allah S.W.T. yang bertujuan untuk mendidik dan menunjuk ajar di samping mengasuh para al-sālikin. Dengan pengalaman tersebut, para al-sālikin akan dapat melihat dan menyaksikan kekurangan-kekurangan seperti yang berlaku kepada syeikhnya itu. Dengan demikian tentulah mereka akan dapat melepaskan diri dari kekurangan-kekurangan tersebut pada diri mereka. Kadang-kadang Allah S.W.T memberitahu seorang wali itu menerusi kekurangan-kekurangan yang berlaku pada dirinya, disebabkan kuatnya sifat benar (al-sidq) dalam maqām al-ridā terhadap qadā’ dan qadarnya, atau pun disebabkan oleh lemahnya sifat benar (al-sidq) tersebut. Dengan cara tersebut Allah S.W.T akan memberikan kefahaman kepada para waliNya tentang perubahan ahwāl sifat benar mereka atau sifat dusta mereka kepada Allah S.W.T., agar para awliyā’ itu dapat bersyukur kepadaNya ataupun meminta keampunan daripadaNya apabila mereka menyedari kesalahan tersebut. Oleh itu sebagai seorang yang al-sālik wajiblah ke atasnya menjaga kepercayaannya terhadap kewibawaan syeikhnya itu. Oleh sebab itu sering kita dengar dari kalangan ahli-ahli tasawwuf satu ungkapan tentang hal ini dengan kata mereka:زلات المقربين رفعة لمقامتهم واستدلوا على ذلك بالاكل من الشجرة Maksudnya: Kesilapan dan kegelinciran orang-orang ‘ārifin (kerana melakukan sesuatu kesalahan) itu adalah peningkatan maqam mereka. Hal ini disandarkan kepada peristiwa Adam memakan buah khuldi.Pandangan dan pendapat ini disandarkan kepada peristiwa yang berlaku ke atas Nabi Adam a.s. dan isterinya Hawa dengan memakan buah larangan. Namun kesalahan tersebut telah diampunkan oleh Allah S.W.T dan disucikan keduanya dari segala dosa.s) Sebagai seorang yang al-sālik janganlah membanyakkan percakapannya ketika berada di hadapan syeikhnya itu, sekalipun ia dibenarkan berbuat demikian. Sebagai seorang yang al-sālik dia seharusnya mengetahui bilakah waktu yang sesuai untuk dia bercakap-cakap dengan syeikhnya. Oleh itu janganlah ia bercakap dengan syeikhnya kecuali setelah mendapat keizinan daripadanya. Dengan keizinan itupun mestilah dilakukan dengan penuh beradab sopan, khusyuk dan tawādu‘’ tanpa melebih-lebihkan percakapannya tetapi cukup hanya sekadar yang diperlukan sahaja. Jika tidak beradab sopan seperti yang telah dijelaskan di atas, maka seorang yang al-sālik itu diharamkan dari mendapat kurnia dengan terbuka hijāb hatinya. Apabila seorang yang al-sālik itu telah diharamkan dengan yang demikian itu maka ia tidak akan mendapat untuk kali keduanya kecuali hanya segelintir yang memperolehinya.t) Sebagai seorang yang al-sālik, janganlah ia meninggikan suaranya apabila berada di hadapan syeikhnya. Kerana dengan berbuat demikian, menurut anggapan ulama tasawwuf merupakan adab yang buruk. Tentu kita masih ingat satu peringatan daripada Allah S.W.T tentang hal ini seperti firmanNya:وَاقْصِدْ فِي مَشْيِكَ وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَ إِنَّ أَنكَرَ الاَْصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ . Maksudnya:Dan sederhanakanlah langkahmu semasa berjalan, juga rendahkanlah suaramu (semasa berkata-kata), sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keldai.
u) Sebagai seorang yang al-sālik, janganlah duduk dengan cara yang tidak beradab sopan di hadapan syeikhnya dan tidak duduk di atas sajadah yang diduduki oleh syeikhnya itu. Seorang yang al-sālik hendaklah ketika bersama-sama dengan syeikhnya dalam keadaan merendah dan menghinakan dirinya dan sentiasa sibuk untuk berkhidmat dengan syeikhnya itu. Setengah dari kalangan ahli tasawwuf mengatakan berkhidmat dengan syeikh itu sebagai satu amal soleh yang paling afdal. v) Sebagai seorang yang al-sālik hendaklah bersegera melaksanakan segala apa yang diperintahkan oleh syeikh ke atas dirinya. Sesuatu perintah hendaklah dilaksanakan tanpa menunggu atau menangguh-nangguhkan atau mencuaikannya dengan berehat-rehat atau merasa tenteram sebelum menyelesaikan segala perintah dan arahan daripada syeikhnya.w) Sebagai seorang yang al-sālik ia hendaklah berusaha untuk menjauhkan segala perkara yang tidak disukai dan digemari oleh syeikhnya. Seorang al-sālik juga tidak boleh melakukan sesuatu yang merendah dan menjatuhkan akhlaknya yang terpuji.x) Sebagai seorang yang al-sālik, janganlah ia berdamping dengan orang yang tidak disukai oleh syeikhnya di samping mengasihi orang yang dikasihi oleh syeikhnya.y) Sebagai seorang yang al-sālik hendak sentiasa bersabar apabila tidak dihiraukan oleh syeikhnya. Perlu diingat seorang al-sālik tidak boleh berkata seumpama: Mengapakah syeikh melayan si polan itu begini, sedangkan aku tidak dilayan dengan sedemikian itu?z) Seorang yang al-sālik tidak boleh menyebarkan kata-kata syeikhnya kecuali setakat yang boleh difahami oleh orang ramai.
3.6.2.2 Adab-adab al-sālik ke atas dirinya.
Adab-adab al-sālik ke atas dirinya. Dari kedudukan seorang yang sālik di hadapan syeikhnya yang dilihat dari sudut adab-adab, jelas kepada kita bahawa seorang yang sālik itu sebenarnya memerlukan banyak perkara yang berkait rapat dengan bimbingan dan asuhan daripada seorang yang bergelar syeikh dalam disiplin ilmu dan amalan tasawwuf. Kita juga dapat melihat bagaimana seorang al-sālik itu sebenarnya mempunyai banyak kekurangan dan kelemahan yang menyulitkan untuk dia sampai kepada Allah S.W.T dalam erti kata wusul ilā Allah S.W.T. Dengan membincangkan kedudukan seorang yang sālik dalam hal ini akan dapat memperjelaskan kepada kita tentang peranan yang perlu dimainkan oleh kedua-dua pihak (syeikh dan al-sālik) yang terlibat dalam perjalanan ini (al-sā’ir ilā Allah S.W.T.). Daripada huraian di atas, kita juga diperlihatkan bagaimana konsep al-rābitah itu muncul dalam beberapa situasi ketika seorang al-sālik melaksanakan adab-adab yang telah ditentukan ke atas dirinya terhadap syeikh. Untuk menjelaskan lagi kedudukan dan peranan al-rābitah dalam ilmu dan amalan tasawwuf kita tinjau pula adab-adab seorang yang sālik terhadap dirinya ketika menjalani al-suluk ini.a) Sebagai seorang yang al-sālik hendaklah sentiasa merasakan bahawa seluruh ingatan dan hatinya meyakini bahawa Allah S.W.T sentiasa melihat dan mengetahui semua keadaannya. Oleh itu, seorang yang al-sālik hendaklah sentiasa menumpukan usaha untuk zikrullah di dalam hati, baik semasa berjalan, duduk dan berbaring. Atau dalam ertikata yang lain, dalam seluruh kegiatan hidup kita hendaklah tertumpu kepada Allah S.W.T. Sebagai ikutan Nabi Muhammad s.a.w berzikir ketika Baginda s.a.w sedang tidur. Oleh itu tidak ada sesuatu keadaan pun yang boleh menghalang seorang yang al-sālik itu untuk berzikrullah. Dengan demikian, hati seorang yang al-sālik itu hanya dipenuhi dengan lafaz “Allah” yang dengannya mengatur segala gerak dan diam seorang yang al-sālik.b) Seorang yang al-sālik harus menjauhkan diri dari bersahabat dengan orang-orang yang jahat, sebaliknya hendaklah mencari teman dan rakan di kalangan orang-orang yang baik dan soleh. Dengan bersama-sama orang yang soleh itu akan membantu melembutkan hati seorang yang al-sālik. Kenyataan ini berdasarkan kepada sabda Rasulullah s.a.w:Kawan yang soleh itu seperti seorang yang mempunyai kasturi, boleh jadi ia akan memberikan kasturi itu kepada engkau,atau engkau membelinya daripadanya atau engkau mendapatkan bau wanginya. Hadis di atas membawa maksud adanya kesan yang bersifat rohaniah kepada seseorang yang menjadikan orang yang soleh sebagai sahabat, pembimbing dan pengasuh dalam kehidupan hariannya.
c) Sebagai seorang yang al-sālik apabila mahu melakukan zikir hendaklah ia menutup pintu agar tidak dapat dilihat oleh anak dan isterinya. Apabila tempat berzikir itu sempit dan gelap, maka akan lebih memudahkan hatinya merasakan hudur dan menjauhkan dari lintasan-lintasan yang jahat, jika dibandingkan dengan tempat yang luas dan terang. Orang-orang lain selain daripada isteri dan anak-anak yang menentang ilmu dan amalan tasawwuf juga hendaklah dihalang dari melihat seorang yang al-sālik itu melakukan zikir. Larangan ini adalah disebabkan mungkin mereka yang menentang itu akan mengejek dan memperolok-olok seorang yang al-sālik menutup kepala ketika mereka berzikir. Mungkin juga dengan sebab diejek dan dipermainkan menyebabkan seorang yang al-sālik akan lemah semangat dan terus meninggalkan amalan ilmu tasawwuf ini. d) Sebagai seorang yang al-sālik hendaklah bersederhana dalam kehidupan harian. Memadailah dengan sekadar yang mencukupi untuk dia hidup sahaja. Imam al-Ghazāli berkata:جعل الله فضول المطعم والمشرب فى الدنيا سببا لقسوة القلب وابطأ الجوارح عن الطاعة والصمم عن السماع الموعظة . Maksudnya:Allah telah menjadikan berlebih-lebihan makan dan minum di dunia ini sebagai satu sebab timbulnya keras hati, melambatkan anggota tubuh badan untuk taat, tuli untuk mendengar nasihat-nasihat yang baik. e) Seorang yang al-sālik hendaklah berusaha menghindarkan diri dari sifat cintakan dunia di samping menumpukan perhatiannya kepada kehidupan akhirat. Justeru Allah S.W.T.menjelaskan kepada kita dengan firmanNya:بَلْ تُؤْثِرُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا . وَالاْخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَى . Maksudnya:"Tetapi kebanyakan kamu tidak melakukan yang demikian),bahkan kamu utamakan kehidupan dunia. Padahal kehidupan akhirat lebih baik dan lebih kekal." Perasaan kasih dan cinta kepada Allah S.W.T. dan hari akhirat itu tidak akan masuk ke dalam hati orang yang cinta kepada dunia. Hal ini ada dijelaskan oleh Rasulullah s.a.w seperti yang disabdakan dalam sebuah hadisnya yang diriwayatkan al-Tabrāni dan al-Baihaqi: حسب ابن آدم من الشرإلا من عصمه الله تعالى أن يشار إليه بالاصابع فى دينه أو دنياه . Maksudnya:Seorang itu sudah cukup dikira sebagai jahat bila ia jadi terkenal kerana agamanya atau dunianya kecuali orang yang dipelihara oleh Allah.f) Sebagai seorang al-sālik ia tidak boleh tidur dalam keadaan berhadas dan hendaklah ia suci dari hadas dan najis. g) Sebagai seorang al-sālik jangan sekali-kali mahukan apa yang ada di tangan orang lain. Tidak merasa hairan dengan kedudukan, kemewahan dan kekayaan mereka. Sebaliknya hendaklah menaruh segala keyakinan dan harapan hanya kepada Allah S.W.T. h) Seorang yang al-sālik apabila berhadapan dengan suasana masyarakat yang keras hatinya maka hendaklah ia bersabar dan jangan sekali-kali ia mengeluh. Seorang yang al-sālik yang menjalani kehidupan bertariqat secara umumnya akan mengalami perubahan keadaan kehidupan keduniaannya, sehingga mungkin akan mendorong seorang yang al-sālik supaya meninggalkan tariqatnya. Jika hal ini berlaku bererti ia telah membatalkan perjanjiannya sendiri dan ia tidak akan berjaya buat selama-lamanya. Oleh yang demikian perlu diingatkan kepada setiap al-sālik supaya menyedari bahawa dengan kesukaran dan kesusahan itu adalah sebab di mana Allah S.W.T. memelihara dan membuka mata hatinya (al-basirah).
i) Sebagai seorang yang al-sālik hendaklah berterusan melakukan muhāsabah terhadap diri untuk berjalan terus di jalan Allah S.W.T. Apabila terasa bahawa perjalanannya terhenti maka hendaklah ia membisikkan kepada dirinya dengan berkata: Sabarlah engkau kerana masa berehat-rehat untukmu itu adalah di masa hadapan, kesusahan dan kepenatanmu sekarang ini adalah untuk engkau berihat di akhirat kelak. j) Sebagai seorang yang al-sālik hendaklah mengurangkan tidur, terutamanya apabila di waktu menjelang subuh, kerana waktu itu adalah waktu yang paling mudah permohonan dan doa dimakbulkan oleh Allah S.W.T. k) Dari sudut makan seorang yang al-sālik hendaklah sentiasa memastikan makanan yang dimakannya dari yang halal dan bersumberkan dari sumber yang halal. Dia juga harus berusaha agar mengurangkan makan. Menjamah makanan ketika sedang lapar dan apabila ia makan tidak sampai kenyang seperti yang diberitahu oleh Rasulullah s.a.w kepada kita dengan sabadanya yang bermaksud:Kami satu kaum yang kami tidak akan makan kecuali kami telah lapar dan apabila kami makan,kami akan berhenti sebelum kami kenyang.l) Sebagai seorang yang al-sālik hendaklah menjaga lidahnya dari bercakap dengan perkara-perkara yang sia-sia dan yang melalaikan. Dia juga harus berusaha menjaga hatinya dari segala lintasan-lintasan yang tidak baik. Seorang yang al-sālik yang berjaya menjaga lidah dan hatinya akan mudah baginya terbuka hijab berbagai rahsia yang ghaib. Dalam hal ini Rasulullah s.a.w ada menjelaskan dengan sabdanya:Barang siapa yang beriman dengan Allah dan hari qiamat maka berkatalah dengan perkataan yang baik atau pun dia diam. m) Sebagai seorang yang al-sālik hendaklah sentiasa menjaga pandangan matanya dari perkara-perkara yang diharamkan oleh hukum syarak. Pandangan mata terhadap perkara-perkara yang diharamkan itu adalah umpama racun yang membunuh, terutamanya apabila pandangan itu dengan penuh nafsu syahwat. Justeru seorang yang al-sālik mestilah menjauhkan diri dari sebarang kegiatan yang melibatkan pergaulan yang bebas terutamanya di tempat-tempat yang sunyi. n) Seorang yang al-sālik hendaklah sentisa menjauhkan diri dari perbuatan bergurau senda, kerana perbuatan tersebut boleh mematikan hati dan jiwa yang membawa kepada kegelapan batin seorang yang al-sālik. Hal ini ada dijelaskan oleh Baginda s.a.w dengan sabdanya yang bermaksud:Janganlah anda mengganggu dan janganlah anda bergurau-senda dengan saudara anda.Yang paling utama dalam hal ini, seorang yang al-sālik hendaklah meninggalkan perbuatan bergurau senda, kecuali pada sesetengah waktu yang tertentu seperti ketika berasa sempit dada dan ketika menghadapi sesuatu cubaan daripada Allah S.W.T.o) Seorang yang al-sālik hendaklah berusaha meninggalkan perbuatan berbahas, berdebat, bertikam lidah dan pertengkaran dalam sesuatu usaha untuk mencari ilmu pengetahuan. Dengan berbuat demikian akan mewarisi perbuatan lalai, lupa dan meninggalkan kekotoran dalam hati seorang yang al-sālik. Jika hal ini berlaku ke atas seorang yang al-sālik maka hendaklah segera bertaubat kepada Allah S.W.T. Di samping memohon kemaafan daripada orang yang diajak berdebat itu, jika disedari kebenaran memihak kepada orang itu. p) Seorang yang al-sālik hendak mendampingi sahabat, saudara-mara ketika ia berada dalam keadaan sempit dada atau susah hati. Di samping itu dia hendaklah membincangkan mengenai adab-adab perjalanan kepada Allah S.W.T sehinggalah ia merasa lapang dadanya. q) Seorang yang al-sālik hendaklah menghindarkan diri dari ketawa dengan berdekah-dekah, kerana perbuatan seperti itu mematikan hati. Berdasarkan sejarah Rasulullah s.a.w., Nabi kita tidak pernah ketawa dengan sedemikian rupa kecuali senyuman yang hanya memperlihatkan giginya.
r) Seorang yang al-sālik hendaklah berusaha menghindarkan diri dari sifat cintakan kebesaran dan pangkat kemuliaan. Sifat ini boleh memutuskan perjalanan kepada Allah S.W.T. Dalam hal ini Nabi Muhammad s.a.w ada bersabda:Tidaklah dua ekor serigala yang lapar dan ganas dan kedua-duanya tinggal di dalam kandang seekor kambing itu lebih membahayakannya daripada (bahaya) cinta seseorang itu kepada kemuliaan dan harta lebih dari agamanya. s) Sebagai seorang yang al-sālik hendaklah bersifat dengan sifat yang al-tawādu‘, dikenali juga di kalangan masyarakat kita sebagai merendah diri. Dengan sifat ini seorang yang al-sālik itu boleh mengangkat darjatnya di sisi Allah S.W.T. Ibn ‘Atā’illah tidak ketinggalan menjelaskan hal ini dengan kata-kata hikmahnya:ادفن وجودك في أرض الخمول , فما نبت مما لم يدفن, لا يتم نتاجه .Maksudnya:Tanamkanlah kewujudanmu di dalam bumi yang sunyi sepi,kerana sesuatu yang tumbuh dari benda yang tidak ditanam maka tidak sempurna hasilnya. Sebagai seorang al-sālik yang sedang berjalan menuju Allah S.W.T dengan amal ibadatnya untuk menghampiri Allah S.W.T. dengan ma‘rifah kepadaNya, antara syarat yang perlu ada ialah al-tawādu‘. Iaitu tidak bermaksud apa lagi berusaha untuk masyhur dikenal orang dan disebut orang namanya di mana-mana. Dalam hal ini ia wajib menguburkan dirinya dalam bumi yang sunyi sepi. Maksudnya ialah seorang yang al-sālik itu wajib tidak menonjolkan dirinya untuk tujuan tersebut. Ditahannya diri dari mencapai pangkat dan kedudukan, kerusi dan jabatan dan lain-lain sebagainya yang boleh membawa tersiar namanya di mana-mana.t) Seorang al-sālik mestilah memiliki sifat al-taqwā dan sentiasa mengharapkan keampunan daripada Alah S.W.T. Dia mestilah merasakan bahawa segala ibadatnya itu tidak mempunyai sebarang makna di hadapan Allah S.W.T., malahan Allah S.W.T. boleh memasukkannya ke dalam neraka dengan amal ibadatnya itu, jika sekiranya ia tidak mendapat rahmat dan kemurahan daripadaNya. u) Seorang yang al-sālik hendaklah sentiasa berkeyakinan bahawa segala gerak-geri, perbuatan dan perkataannya adalah menurut kehendak dan kekuasaan Allah S.W.T. Apabila dia hendak melakukan sesuatu perbuatan atau tidak melakukannya maka hendaklah mengatakan dengan ucapan in shā’ Allah. v) Sebagai seorang yang al-sālik pada umumnya akan didatangi dengan berbagai-bagai rahsia baik semasa ia jaga atau semasa ia tidur. Oleh itu dia hendaklah merahsiakan hal tersebut daripada sesiapa juapun kecuali kepada syeikhnya sahaja. Perbuatan suka menceritakan rahsia ghaib yang telah dilihat seperti itu adalah menyebabkan kebencian daripada Allah S.W.T dan menutup perjalanan seorang yang al-sālik itu sendiri. Hal ini ada disebutkan oleh Ibn ‘Atā’illah al-Iskandari dalam kata-kata hikmahnya yang antara lain menyatakan:من رأيته مجيبا عن كل ما يسئل ومعبرا عن كل ما شهد وذاكرا لكل ما علم فاستدل بذلك على وجود جهله .Maksudnya:Barangsiapa yang anda lihat dia itu menjawab setiap pertanyaan dan menerangkan setiap penglihatan (perasaannya) dan menyebut setiap yang ia ketahui. Maka membuktikan seseorang itu dengan demikian atas ada kebodohannya (kejahilannya). Apabila seseorang telah dinaikkan darjat oleh Allah S.W.T ke tingkat al-sālikun iaitu satu tingkatan di mana seorang hamba Allah S.W.T. itu telah dinaikkan darjat ilmu dan amalannya pada mengharap supaya Allah S.W.T. membukakan pintu hatinya agar dapat mengenal Allah S.W.T, atau jika seseorang hamba Allah S.W.T. itu telah dinaikkan martabatnya dengan sedemikian rupa, adalah merupakan tingkatan yang tinggi dalam disiplin ilmu dan amalan tasawwuf. Maka orang-orang yang telah sampai ke taraf karam dalam lautan al-ridā dan qadar ilāhiy itu sehingga hati dan seluruh lahiriyyah dan batiniyyahnya telah tertuju kepada Allah S.W.T. Justeru hamba-hamba Allah S.W.T. yang sedemikian bererti mereka telah mendapat limpahan kurnia berupa ilmu ma‘rifat daripada Allah S.W.T. Ilmu-ilmu yang mereka perolehi itu seperti hati mereka dibukakan oleh Allah S.W.T. bahkan mereka melihat dan merasakan pemberian Allah S.W.T. tersebut. Seorang al-sālik yang menerima kurnia daripada Allah S.W.T. tersebut akan terjadilah salah satu dari perkara ini:i- Membawa kepada kebaikan kerana mereka tidak menceritakan kepada orang lain kecuali syeikhnya.ii- Membawa kepada keburukan dan kerendahan disebabkan kerana mereka itu dayus atau mempermudahkan sesuatu yang telah dikurniakan oleh Allah S.W.T. kepadanya. Mereka ini juga tergolong di kalangan orang-orang yang tidak memegang amanah Allah S.W.T ke atas dirinya.Samalah juga kedudukannya seperti orang yang mengaku dan mendakwa sampai ke satu maqām tertentu, sedangkan ia masih belum sampai lagi ke maqām tersebut seperti yang didakwanya. Sebagai balasan mereka tidak akan sampai ke maqām yang mereka dakwa telah sampai kepadanya. Sekiranya ia terpaksa menceritakan hal tersebut atas kepentingan ilmu maka hendaklah ia mengaitkan cerita tersebut atau pengalaman itu dengan seorang alim yang lain sekira-kira orang yang mendengar tidak mengetahui bahawa pengalaman atau cerita tersebut adalah berkaitan dengan diri al-sālik itu. Dalam kata-kata hikmahnya yang lain, Ibn‘Atā`illah ada menyatakan:لا ينبغى للسالك أن يعبر عن وارداته فإن ذلك مما يقلل عملها في قلبه ويمنعه وجود الصدق فيها مع ربه . Maksudnya: Tidaklah wajar bagi seorang yang al-sālik bahawa ia mengungkapkan pemberian Allah terhadapnya, kerana yang demikian itu betul-betul mendatangkan nilai yang sedikit pada amalnya dalam hatinya (sendiri) dan mencegahnya pada wujud kebenaran beserta Tuhannya. w) Sebagai seorang al-sālik dia hendaklah menetapkan satu waktu yang tertentu untuk melakukan zikir seperti yang telah diajarkan oleh syeikhnya tanpa mengurang atau melebihkan amalan tersebut. x) Seorang yang al-sālik janganlah ia melambat-lambatkan beribadat kerana menanti-nantikan kurnia terbukanya hijāb daripada Allah S.W.T terlebih dahulu, sebaliknya ia hendaklah terus dan segera beribadat untuk mendapatkan keredaanNya sama ada telah terbuka hijābnya atupun tidak. Ibn ‘Atā`illah ada menyatakan dengan kata-kata hikmahnya yang antara lain menyebutkan: لا تستبطىء النوال ولكن استبطىء من نفسك وجود الاستقبال .Maksudnya:Janganlah anda anggap lambat kurnia Allah S.W.T., tetapi hendaklah anda anggap pada diri anda adanya kelambatan menghadap kepadaNya. Demikianlah perbincangan kita tentang kedudukan seorang al-sālik dengan seorang yang bergelar syeikh dalam disiplin ilmu dan amalan tasawwuf. Dari perbincangan di atas tadi kita dapati kedudukan seorang yang al-sālik itu nampaknya sangat memerlukan kehadiran seorang syeikh untuk memimpin, mengasuh dan menunjuk ajar di samping keberkatan dan hampirnya seorang syeikh itu dengan Tuhannya akan membolehkan seorang al-sālik itu wusul kepada Allah S.W.T dalam perjalanannya itu. Dalam perjalanan ini, seorang yang al-sālik sebenarnya sangat-sangat memerlukan kehadiran seorang syeikh sama ada secara zahir ataupun secara ma‘nawi. Dari sini muncullah istilah al-rābitah dalam kehidupan seorang al-sālik yang sedang menjalani suluknya itu .
4.KEDUDUKAN, PERANAN DAN KEPENTINGAN AL-RĀBITAH DALAM DISIPLIN ILMU DAN AMALAN TASAWWUF
4.1 PENGENALANDalam bab keempat, perbincangan akan menjurus kepada beberapa aspek yang berkaitan dengan al-rābitah. Antaranya kita cuba melihat kedudukan al-rābitah dari sudut ilmu dan amalan tasawwuf khasnya dan dalam Islam umumnya. Begitu juga akan dihuraikan beberapa dalil yang berkaitan dengan keharusan amalan al-rābitah dalam Islam di samping akan membicarakan juga beberapa bentuk dan bahagian al-rābitah. Tidak ketinggalan juga perbincangan akan menyentuh aspek kepentingan al-rābitah dalam ilmu dan amalan tasawwuf. Di samping itu terdapat beberapa perkara lain yang berkaitan juga akan cuba diketengahkan dalam perbahasan ini agar dapat membantu dan memperjelaskan lagi fakta-fakta yang cuba dihuraikan kelak. Dengan wujudnya beberapa fakta dan huraiannya tentang kedudukan al-rābitah, dalil-dalil yang melibatkan pro dan kontra terhadap al-rābitah, bentuk-bentuk al-rābitah dan kepentingannya dalam disiplin ilmu tasawwuf yang akan dipersembahkan nanti diharap dapat membantu dan memperjelaskan lagi terhadap bentuk, corak, warna serta gambaran yang jelas dan sebenar yang telahpun disentuh dalam bab ketiga yang lalu.
4.2 KEDUDUKAN AL-RĀBITAH
4.2 KEDUDUKAN AL-RĀBITAHUntuk melihat dengan lebih jelas kedudukan al-rābitah menurut perspektif Islam dan disiplin ilmu tasawwuf yang sebenar, kita hendaklah memberikan tumpuan dan penelitian yang serius lagi mendalam terhadap berbagai definisi al-rābitah, sama ada dilihat dari sudut bahasa mahupun dari sudut istilah. Seperti yang telah dihuraikan dalam bab yang ketiga dahulu. Demikian juga dengan fakta-fakta serta huraiannya yang berhubung dengan kedudukan seorang syeikh dan kedudukan seorang yang al-sālik, serba sedikit akan membantu memperjelaskan lagi makna dan kedudukan al-rābitah yang diamalkan di dalam disiplin ilmu dan amalan tasawwuf. Di samping itu kita juga telah melihat kalimah al-rābitah itu melalui penjelasan dari al-Qur’an dan al-Sunnah, sejarah kehidupan manusia dan agama, di samping pandangan ulamak tasawwuf dan sebagainya lagi. Berdasarkan kepada sumber maklumat tersebut, maka dapatlah kita katakan bahawa kedudukan al-rābitah dalam Islam dan disiplin ilmu dan amalan tasawwuf itu adalah seperti berikut:
4.2.1 Al-Rābitah sebagai sumber pendidikan.
4.2.1 Al-Rābitah sebagai sumber pendidikan.Seperti yang kita sedia maklum bahawa manusia itu dijadikan oleh Allah S.W.T. daripada dua unsur, iaitu unsur jasmani dan unsur rohani. Kedua-dua unsur ini akan mengalami perubahan ke arah yang lebih baik atau sebaliknya. Hal ini bergantung kepada sejauhmana manusia itu berusaha untuk memperbaiki dirinya seperti yang telah digambarkan oleh Allah S.W.T. dalam firmanNya:وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا . فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا . قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا . وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا . Maksudnya:"Demi diri manusia dan yang menyempurnakan kejadiannya (dengan kelengkapan yang sesuai dengannya), serta mengilhamkan (untuk mengamal) jalan yang membawanya kepada kejahatan dan yang membawanya kepada taqwa. Sesungguhnya berjayalah orang yang menjadikan dirinya yang sedia bersih - bertambah-tambah bersih (dengan iman dan amal kebajikan). Dan sesungguhnya hampalah orang yang menjadikan dirinya yang sedia bersih - itu susut dan terbenam kebersihannya (dengan sebab kekotoran maksiat)." Ayat di atas memberikan gambaran bahawa manusia itu sebenarnya diperintahkan oleh Allah S.W.T. supaya berusaha dengan bersungguh-sungguh untuk mencapai kesempurnaan di sisi Tuhannya dengan membersihkan jiwa rohaninya. Dengan kesempurnaan itu nanti akan membawa manusia ke arah kejayaan seperti yang tersebut dalam ayat di atas. Dari kenyataan ayat di atas juga dapat kita memahami bahawa terdapat unsur-unsur pendidikan terhadap rohani manusia bagi mencapai tahap bersih. Dalam konteks ini, bagaimana boleh kita kaitkan aspek pendidikan tersebut dengan apa yang cuba ditonjolkan dalam ayat di atas tadi dengan al-rābitah? Dalam dunia pendidikan dan pengajaran, seorang murid (yang dalam istilah tasawwuf dikenali sebagai al-sālik) semestinya berusaha mewujudkan hubungan yang baik dengan seorang guru (dalam istilah tasawwuf ia disebut sebagai syeikh), di samping murid itu harus tunduk dan patuh terhadap semua peraturan yang dibuat oleh gurunya di sekolah. Sedangkan peraturan yang dibuat oleh guru itu sendiri harus sesuai dengan norma-norma pendidikan sehingga dengan demikian apa yang menjadi tujuan dan matlamat pendidikan dan pengajaran akan tercapai seperti yang telah dirancangkan. Iaitu berjaya dalam membentuk manusia yang cekap dan berbudi luhur sesuai dengan kehendak daripada Allah S.W.T. dan RasulNya. Seandainya hubungan yang tidak harmoni terjadi antara seorang murid dengan gurunya, maka keberkatan ilmu daripada seorang guru dalam usaha mendidik dan membimbing perjalanan rohani akan gagal sampai kepada si murid. Hasilnya seorang murid akan selalu bersikap dan bertindak melawan semua peraturan guru, sama ada di waktu pembelajaran ataupun di luar waktu pembelajaran. Oleh sebab itu situasi yang dapat menciptakan hubungan antara murid dengan gurunya mempunyai peranan yang sangat penting. Sudah barang tentu hal seumpama ini harus didokong oleh beberapa faktor pendidikan yang diperlukan. Hubungan inilah yang dikenali dalam disiplin ilmu dan amalan tasawwuf sebagai al-rābitah. Apabila ditinjau tentang fungsi dan peranan seorang guru dalam dunia pendidikan, dia berada pada posisi orang tua kepada seorang murid di saat-saat seorang murid berada dalam asuhan dan bimbingan guru tersebut. Sedangkan peranan seorang guru itu pula sebagai orang yang bertanggungjawab terhadap pendidikan si murid seperti yang diberikan oleh kedua orang tuanya dalam lingkungan keluarganya sendiri. Oleh itu tidak ada bezanya antara seorang bapa dengan seorang guru dalam konteks pendidikan. Guru pada hakikatnya adalah termasuk dalam pengertian orang tua yang setaraf dengan bapa jika dilihat hubungannya dengan dunia pendidikan, khususnya dalam pendidikan Islam. Untuk itu sewajarnya seorang guru mendapat tempat dan penghormatan daripada seorang murid dengan bergaul mesra dan menghormatinya, sedang menghormati dan menyayangi seorang guru dari sudut yang batin, ialah dengan melakukan amalan al-rābitah. Hal ini sewajarnya dilakukan oleh si murid bagi menjamin tercapainya tujuan serta maksud pendidikan dan pengajaran yang bersifat zahir dan batin.
Namun suatu yang agak malang dalam dunia pendidikan hari ini hubungan yang sewajarnya wujud dan menjadi syarat untuk mencapai kejayaan dan kebahagiaan itu tercemar dengan sebab keingkaran dan kedurjanaan yang dilakukan oleh pihak murid atau mereka yang ada kaitan dengannya.[/color] Seperti yang kita telah jelaskan di atas tadi bahawa manusia itu terjadi dari dua unsur terpenting, iaitu unsur jasmani dan unsur rohani, oleh itu pendidikan juga haruslah merangkumi kedua-dua aspek tersebut, pendidikan yang bersifat jasmani dan pendidikan yang bersifat rohani. Mungkin sebahagian orang menganggap pengajaran dan pembelajaran itu hanya berkait dengan soal-soal penyampaian ilmu pengetahuan semata-mata dan tidak lebih dari itu. Jika demikianlah tanggapan masyarakat umum terhadap dunia pendidikan, maka itu merupakan satu kesilapan yang amat besar dan tidak hairanlah kalau selama ini kita telah melahirkan ramai cendekiawan terpelajar dan mempunyai kedudukan yang tinggi dalam masyarakat tetapi mereka terlibat dengan berbagai skandal, rasuah, pecah amanah dan sebagainya. Perlakuan mereka jelas bertentangan dengan hukum syarak. Mungkin kita boleh bertanya: Apakah mereka itu tidak berilmu dan tidak mempunyai pendidikan? Jawapannya tentu tidak. Kerana mereka yang terlibat ini bukan di kalangan mereka yang gagal dalam peperiksaan UPSR, PMR atau SRP di peringkat rendah, SPM dan STPM di peringkat menengah, ataupun B.A., M.A. dan Ph.D di peringkat pengajian tinggi. Jawapan yang kita dapati tentu tidak, malahan mereka memiliki semua itu bahkan mereka lebih cemerlang dalam hal ini. Persoalannya kenapa masih terjadi hal yang seumpama itu? Di sinilah titik pemisah yang begitu jelas dan ketara di antara sistem pendidikan sekular yang hanya mementingkan pencapaian akademik semata-mata tanpa melihat kepada aspek-aspek yang bersifat kerohanian dan spritual dengan sistem pendidikan anjuran Rasulullah s.a.w. yang memberikan keseimbangan di antara rohani dan jasmani. Penekanan yang diberikan oleh Baginda s.a.w. ialah pembentukan sistem pendidikan yang seimbang antara keperluan jasmani dan rohani berdasarkan kepada keimanan kepada S.W.T. Dalam hal ini Allah S.W.T berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِي لِلصَّلاَةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنتُمْ تَعْلَمُونَ. فَإِذَا قُضِيَتْ الصَّلاَةُ فَانتَشِرُوا فِي الاَْرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ . Maksudnya:"Wahai orang-orang yang beriman! Apabila diserukan azan untuk mengerjakan sembahyang pada hari jumaat, maka segeralah kamu ke masjid untuk mengingati Allah S.W.T. dengan mengerjakan sembahyang jumaat dan tinggalkanlah berjual beli pada saat itu yang demikian adalah baik bagi kamu, jika kamu mengetahui hakikat yang sebenarnya. Dan apabila telah selesai menunaikan sembahyang, maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah kurnia Allah S.W.T. dan ingatlah akan Allah S.W.T. banyak-banyak supaya kamu berjaya."
Oleh sebab itu kita harus menyingkap semula sejarah awal yang dilakukan oleh Baginda s.a.w. dalam menjalankan usaha mendidik umat manusia ke arah kesempurnaan dan kejayaan dari sudut jasmani dan rohani. Persoalan pertama yang boleh kita kemukakan di sini ialah kesungguhan para sahabat yang dianggap sebagai al-sālik untuk menerima segala tunjuk ajar, asuhan dan bimbingan daripada Rasulullah s.a.w. yang dianggap sebagai murshid dalam dunia pendidikan pada ketika itu. Belum pernah kita temui dalam sejarah tercatat sebarang perselisihan, keingkaran atau lebih jauh dari itu sehingga membawa permusuhan dan persengketaan di kalangan para sahabat dengan Rasulullah s.a.w. ketika mereka diasuh, dibimbing dan diajar oleh Baginda s.a.w. Mereka menerima sepenuhnya ajaran dan asuhan tersebut dengan hati yang penuh keikhlasan walaupun dirasakan bertentangan dengan kehendak diri mereka. Dalam hal ini nampaknya para sahabat lebih mementingkan Allah S.W.T. dan RasulNya lebih dari kepentingan dan kehendak peribadi mereka. Gambaran ini jelas dari firman Allah S.W.T:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلاَ مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمْ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلاَلاً مُبِينًا . Maksudnya:"Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak pula bagi perempuan yang mukminah, apabila Allah S.W.T. dan RasulNya telah menetapkan sesuata ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa menderhakai Allah S.W.T. dan RasulNya maka sesungguhnya ia telah sesat dengan kesesatan yang nyata." Dari keterangan ayat di atas ternyata Allah S.W.T. cuba memberikan satu gambaran tentang bentuk penyerahan secara mutlak seorang yang bergelar al-sālik (para sahabat) kepada syeikh atau guru yang murshid (Rasulullah s.a.w.) bagi memenuhi syarat yang paling utama untuk mencapai kesempurnaan rohani. Dengan berbuat demikian membolehkan seorang yang bergelar al-sālik itu menerima pancaran cahaya iman dan keberkatan daripada orang yang bergelar syeikh itu. Faktor ini adalah antara ciri terpenting yang terdapat dalam sistem pendidikan yang wujud pada ketika itu. Hubungan kasih sayang dan ketergantungan hati terhadap syeikh (Rasulullah s.a.w.) yang begitu kuat sehingga membolehkan para sahabat itu mencapai tahap kesempurnaan yang paling tinggi dari sudut jasmani dan rohaninya. Sehingga ada di kalangan mereka yang sudah diberitakan sebagai penghuni syurga walaupun mereka masih berada di atas muka bumi ini lagi. Di bawah sistem ini juga telah lahirlah beberapa individu yang berjiwa mulia dan bersih hatinya dari sebarang kekotoran. Apa yang ada di dalam jiwa mereka hanyalah Allah S.W.T. dan Rasul sehingga diriwayatkan bahawa Abu Bakr al-Siddiq tidak dapat melupakan Rasulullah s.a.w. walaupun ketika beliau berada di dalam bilik air. Dari keterangan dan fakta yang telah dikemukakan di atas tadi jelas kepada kita bahawa pengaruh seorang syeikh terhadap sālik itu sangat besar. Manakala hubungan di antara kedua-duanya mestilah sentiasa terjalin. Kegagalan untuk berbuat demikian bererti telah menutup sebahagian daripada pintu keberkatan. Justeru dalam disiplin ilmu tasawwuf hal tersebut terpelihara melalui kaedah dan konsep al-rābitah. Dengan menggunakan kaedah dan amalan al-rābitah ini akan membolehkan seorang yang sālik itu menerima pendidikan daripada seorang syeikh. Walaupun seorang sālik tidak berada di hadapan syeikh pada ketika itu, namun proses pendidikan dan pembelajaran itu tetap berlaku dan berjalan seperti yang berlaku ke atas Saidina Abu Bakr al-Siddiq di atas tadi. Oleh itu dapat dikatakan di sini bahawa al-rābitah menurut disiplin ilmu dan amalan tasawwuf merupakan salah satu sumber pendidikan yang sangat penting terhadap rohaniah seorang yang al-sālik. Kerana dengan al-rābitah, rohaniah seorang yang sālik akan berupaya mencapai keredaan Allah S.W.T. dengan melalui ketinggian dan keberkatan daripada syeikhnya.
Al-Qur’an tidak ketinggalan memberikan penjelasan terhadap ketinggian dan kebersihan jiwa mereka yang telah dididik dengan sistem Baginda Rasulullah s.a.w., sehingga Allah S.W.T. menurunkan satu ayat memperihalkan tentang keadaan tersebut dengan firmanNya: إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آياتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًَا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ . Maksudnya:"Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut Allah S.W.T. gementar hati mereka dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayatNya, bertambahlah iman mereka (kerananya) dan kepada Tuhanlah mereka bertawakkal." Seperti yang banyak kita temui dalam catatan sejarah, bahawa para sahabat r.a. itu sering meniru dan membayangkan rupa dan keadaan Rasulullah s.a.w. Keadaan ini mereka lakukan bagi memudahkan mereka mencontohi segala yang berlaku ke atas diri Rasulullah s.a.w. Disebabkan pentingnya menjaga dan mengingati seluruh keadaan yang terdapat pada diri Rasul s.a.w. itu, maka Imam al-Tirmidhi telah berusaha mengumpulkan seberapa banyak maklumat yang terdapat pada diri peribadi Baginda s.a.w. lalu beliau muatkan dalam sebuah kitabnya yang berjudul al-Shamā`il al-Muhammadiyyah. Apa yang dimuatkan oleh Imam al-Tirmidhi dalam kitabnya yang tersebut itu jelas mengandungi berbagai gambaran dan keadaan sifat serta bentuk fizikal yang terdapat pada diri Rasulullah s.a.w. Semua gambaran tersebut sebenarnya adalah untuk dijadikan ikutan serta panduan bagi kita yang telah jauh ditinggalkan oleh Baginda s.a.w. Dengan peninggalan tersebut boleh kita jadikan sebagai sumber pendidikan bagi membentuk, mendidik dan mengasuh rohaniah manusia bagi mencapai kesempurnaan dan kejayaan di sisi Allah S.W.T. Dengan sifat dan keadaan yang tersebut itu menyebabkan Baginda s.a.w. mencapai tahap kesempurnaan dan makhluk yang paling sempurna di sisi Tuhannya.Persoalannya di sini ialah bagaimana hal keadaan tersebut boleh dijadikan sebagai ikutan dan sumber pendidikan seperti yang telah dijelaskan oleh Allah S.W.T di dalam firmanNya:لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيهِمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُوا اللَّهَ وَالْيَوْمَ الاْخِرَ وَمَن يَتَوَلَّ فَإِنَّ اللَّهَ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ . Maksudnya:"Sesungguhnya ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (iaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah S.W.T. dan (kedatangan) hari kiamat dan banyak menyebut Allah S.W.T."Bagaimana boleh kita mencapai maksud uswah daripada diri Rasulullah s.a.w. seperti yang dituntut oleh ayat di atas? Sedangkan Nabi Muhammad s.a.w. telah jauh meninggalkan kita ke belakang, sudah hampir melangkah kelima belas abad yang lalu. Di sinilah kedudukan al-rābitah yang berperanan untuk mencapai maksud tersebut. Konsep keterikatan, ketergantungan dan hubungan kasih sayang seperti yang terdapat dalam lingkungan makna al-rābitah itu, akan menjadi sumber pendidikan yang sangat penting bagi mengikat dan menggantungkan hati seorang yang al-sālik dengan sifat-sifat kesempurnaan yang telah dimiliki oleh Baginda s.a.w. Sedangkan sifat-sifat tersebut hanya diketahui dan diperolehi melalui catatan-catatan mereka yang terdahulu seperti yang termuat dalam al-Shamā`il. Justeru itu, apa yang boleh kita lakukan dalam konteks merealisasikan seluruh isi kandungan aI-Shamā`il dan yang lainnya dalam diri dan jiwa kita? Dengan melalui amalan al-rābitah itu kita akan dapat merasa-rasakan dan membayang-bayangkan keadaan diri dan sifat peribadi Rasulullah s.a.w. itu benar-benar berada pada diri kita. Dengan melalui kaedah al-rābitah ini juga dapat dilihat dengan jelas mengandungi unsur-unsur pendidikan yang dapat diterapkan ke dalam jiwa seorang yang al-sālik bagi mencapai maksud wusul ilā Allah S.W.T.AI-Rābitah juga dapat dilihat dalam bentuk al-qudwah. Dengan qudwah ini, proses pendidikan boleh berlaku di antara seorang al-sālik dengan syeikhnya. Kita merujuk kepada firman Allah S.W.T.قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمْ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ . Maksudnya:"Katakanlah (wahai Muhammad): Jika benar kamu mengasihi Allah S.W.T. maka ikutilah daku nescaya Allah S.W.T. mengasihi kamu serta mengampunkan dosa-dosa kamu. Dan (ingatlah), Allah S.W.T. Maha Pengampun, lagi Maha Mengasihani. "Muhammad ibn ‘Abdillah al-Khāni memberikan ulasan yang menarik terhadap ayat al-Qur’an di atas dengan katanya:ففيه اشار الى الرابطة لان الاتباع يقتضى رؤية المتبوع حسا أو تخيله . معنى وهو غرضنا من الرابطة .والا فلا يعد اتباعا. Maksudnya:"Dalam ayat di atas mengisyaratkan kepada makna al-rābitah, kerana istilah al-ittibā‘ (mengikut) di dalam ayat tersebut merujuk kepada makna ru’yat al-matbu‘ (melihat kepada yang diikut), samada dengan cara yang dapat dirasa atau dengan cara mengkhayalkannya, itulah yang kami maksudkan dengan istilah al-rābitah. Kalau tidak demikian maka ia tidak dikira sebagai ittibā‘. "
4.2.2 AI-Rābitah sebagai sumber pengawasan diri.
AI-Rābitah sebagai sumber pengawasan diri.Untuk menjelaskan kedudukan al-rābitah dalam konteks di atas, ada baiknya jika kita merujuk kepada firman Allah S.W.T. yang ada kaitannya dengan perbincangan ini. Allah S.W.T. menjelaskan dengan firman Nya: يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ . Maksudnya:"Wahai orang-orang yang beriman! Bertaqwalah kamu kepada Allah S.W.T. dan carilah wasilah (jalan yang boleh menyampaikannya) dan berjuanglah pada jalan Allah S.W.T. (untuk menegakkan Islam) supaya kamu beroleh kejayaan." Ayat di atas mengandungi tiga arahan dan perintah daripada Allah S.W.T. kepada seluruh umat Islam, antaranya:1- Arahan supaya bertaqwa kepada Allah S.W.T.Dari sudut istilah syarak, al-taqwā membawa pengertian:حفظ النفس عما يشينها ويعرضها للملام أو العذاب . Maksudnya:Memelihara jiwa dari sesuatu yang boleh membawa keaiban yang menyebabkan penderitaan dan balasan. Menurut keterangan daripada al-Sharbasi antara cara untuk mencapai ke maqām al-taqwā itu ialah:وذلك بترك أسباب السخط والعقوبة , وفعل الفرائض المنجية المؤدية إلى النعيم والثواب, وانما يكمل ذلك ويتم بترك بعض المباحات . Maksudnya:Untuk mencapai ke maqām tersebut ialah dengan cara meninggalkan segala punca yang menyebabkan kemurkaan dan pembalasan, di samping melaksanakan segala kewajipan yang akan membawa kepada kejayaan, kenikmatan dan pahala. Untuk lebih sempurna lagi ketakwaannya ialah dengan cara meninggalkan sesuatu yang diharuskan. Untuk memperjelaskan lagi konsep untuk meninggalkan sesuatu yang diharuskan oleh hukum syarak sehingga boleh mempertingkatkan lagi kedudukan al-taqwā, maka kita lihat sebuah hadis Rasulullah s.a.w. yang berkaitan dengan perbincangan ini. Daripada Abi ‘Abdillah al-Nu‘mān ibn Bashir r.a. telah berkata: Aku telah mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda:الحلال بين والحرام بين وبينهما أمور متشابهات لا يعلمهن كثير من الناس , فمن التقى الشبهات فقد استبراء لدينه وعرضه ومن واقع الشبهات وقع فى الحرام , كالراعى يرعى حول الحمى يوشك أن يقع فيه , ألا وإن لكل ملك حمى , ألا وإن حمى الله محارمه , ألا وإن في الجسد مضغة إذا صلحت صلح الجسد كله , واذا فسدت فسد الجسد كله , ألا وهى القلب .Maksudnya:Sesunggahnya sesuatu yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas dan di antara keduanya ada perkara yang samar-samar yang kebanyakan manusia tidak mengetahuinya. Maka barangsiapa yang menjaga dirinya dari barang-barang (perkara) yang samar itu maka ia telah membersihkan agama dan kehormatannya, dan barang siapa yang jatuh dalam melakukan perkara yang samar-samar itu, maka ia telah jatuh dalam perkara yang haram seperti pengembala di sekeliling tanah larangan (halaman orang), lambat-laun ia akan masuk ke dalamnya. Ingatlah bahawa setiap raja ada larangannya. Ingatlah bahawa larangan Allah S.W.T. adalah apa-apa yang diharamkannya. Ingatlah bahawa di dalam jasad itu ada sekerat daging, jika ia baik, baik jasad seluruhnya, dan jika ia rosak, rosaklah jasad seluruhnya. Ingatlah, daging itu adalah hati. Dari keterangan hadis di atas, menunjukkan kepada kita bahawa kesempurnaan al-taqwā itu ialah yang terkandung dalam makna kalimat ittaqi al-shubuhāt yang membawa maksud menjaga, memelihara, dan mengawasi dari segala sesuatu yang bercirikan shubhāt, walaupun pada dasarnya shubhāt itu masih tergolong dalam kategori yang mubāhāt. Kerana kemungkinan untuk terjerumus ke lembah yang diharamkan oleh Allah S.W.T. dengan melalui shubhāt itu adalah besar. Dari sini dapat kita membuat kesimpulan bahawa makna yang terkandung dalam kalimah al-taqwā itu membawa kepada tiga makna iaitu:a) Membawa makna aI-quwwah.laitu kekuatan yang bersifat benda (māddi) dan yang bersifat ma‘nawiyyah. Ini dapat kita lihat dari firman Allah S.W.T.يَايَحْيَى خُذْ الْكِتَابَ بِقُوَّةٍ وَآتَيْنَاهُ الْحُكْمَ صَبِيًّا . Maksudnya: Wahai Yahya, terimalah kitab itu (serta amalkan) dengan bersungguh-sungguh! Dan Kami berikan kepadanya hikmat kebijaksanaan semasa ia masih kanak-kanak. b) Membawa makna al-wiqāyah. Iaitu pemeliharaan bagi tujuan keamanan dan kesejahteraan. Ini dapat kita lihat dari maksud firman Allah S.W.T:فَمَنَّ اللَّهُ عَلَيْنَا وَوَقَانَا عَذَابَ السَّمُومِ . Maksudnya:Maka Allah S.W.T. mengurniakan kami (rahmat dan tawfiqNya), serta memelihara kami dari azab api neraka. c) Membawa makna al-ittiqā`. Yang membawa maksud al-tabā'ud dan al-ijtināb. Dari keterangan di atas, dapat kita mengambil kesimpulan bahawa kalimah al-taqwā itu membawa kepada pengertian memelihara, menjaga, menjauhkan dan menghindarkan. Keseluruhan makna al-taqwā ini merujuk kepada maksud kesejahteraan dan ketenangan bagi sesiapa yang memilikinya. Di sinilah fokus perbincangan yang cuba kita kaitkan dengan al-rābitah, kerana makna-makna tersebut akan cuba diperjelaskan lagi dengan membincangkan makna al-wasilah dalam ayat yang seterusnya di bawah ini.
AI-Rābitah sebagai sumber pengawasan diri.
2- Arahan supaya mencari wasilahPerintah kedua yang terkandung dalam Surah al-Ma`idah, ayat yang ke 35 di atas adalah arahan supaya mencari jalan wasilah bagi menuju kepada Allah S.W.T. Persepsi ini dilihat dari sudut pengertian ilmu dan amalan tasawwuf dikenali juga dengan istilah al-sā’ir atau al-sālik. Perintah untuk mencari jalan atau wasilah tersebut begitu jelas dalam ayat di atas tadi, persoalannya yang timbul di sini apakah bentuk jalan atau wasilah yang dituntut dalam ayat tersebut? Apakah jalan atau wasilah itu hanya terbatas kepada makna amal-amal soleh sahaja seperti yang telah didakwa! atau ia membawa kepada makna yang lebih luas dari itu. Untuk tujuan ini ada baiknya jika kita bincangkan tentang wasilah dan beberapa perkara yang ada kaitan dengannya.Dalam ayat di atas, perintah untuk mencari jalan atau wasilah itu berbunyi وابتغوا إليه الوسيلة. Jika sekiranya yang dimaksudkan dengan wasilah dalam ayat tersebut hanya terbatas dalam pengertian iman dan amal soleh sahaja, maka apakah perlunya ungkapan وابتغوا إليه الوسيلة Dan carilah jalan atau wasilah untuk menuju kepadaNya. Dalam ayat tersebut, jelas adanya kata kerja amr yang menunjukkan kepada suatu perintah untuk mencari wasilah. Jika sekiranya yang dimaksudkan dengan wasilah dalam ayat tersebut hanya terbatas dengan iman dan amal soleh, rasanya sudah cukup untuk menyatakannya dengan ungkapan yang terkandung dalam kalimat yang pertama يا أيها الذين آمنوا اتقوا الله Wahai orang-orang yang beriman bertaqwalah kamu kepada Allah. Kerana arahan bertakwa dalam ayat di atas sudah merangkumi makna iman dan amal soleh, kerana istilah al-taqwā dalam ayat di atas membawa maksud melakukan segala yang diperintahkan oleh Allah S.W.T.dan menjauhi segala yang dilarang. Jika demikian, tentu sahaja kalimah yang kedua berbunyi وابتغوا إليه الوسيلة itu tidak lagi memberikan apa-apa maksud, kerana apa yang diperintahkan itu sudah terkandung dalam perintah اتقوا الله tersebut. Oleh yang demikian perlu dijelaskan di sini bahawa huruf و yang terdapat pada kalimah وابتغوا itu jelas bukan واو التأكيد (waw penguat) malahan ia adalahواو المغيرة iaitu waw yang menunjukkan kepada perubahan atau penggantian. Perubahan dari satu isu kepada isu yang lain. Hal ini cukup jelas kerana huruf waw di sini terletak di antara dua kata kerja suruh (fi‘1 al-amr)واتقوا الله danوابتغوا . Kedua-dua kata kerja suruh ini membawa makna yang berlainan.Sebahagian berpendapat bahawa kalimah al-wasilah dalam ayat di atas hanya menunjukkan kepada satu jenis wasilah sahaja, pendapat ini berasaskan kepada perkataan wasilah dalam ayat tersebut adalah dalam bentuk mufrad (yang menunjukkan kepada satu jenis). Fahaman seumpama ini jelas keliru dengan kaedah bahasa Arab, walaupun kalimah wasilah dalam ayat di atas tadi jelas menunjukkan kepada makna mufrad, namun apa yang perlu kita perhatikan di sini ialah kedudukan huruf alif dan lam yang mendahului kalimah wasilah tersebut, jelas kedua-dua huruf tersebut (alif dan lam) merupakan lām al-ta'rif. Lām seperti ini akan membawa kepada maksud yang umum dan bukan hanya semata-mata kepada satu bentuk wasilah sahaja. Jika tidak terdapat huruf alif dan lam dalam kata wasilah tersebut, memanglah ia menunjukkan kepada satu jenis, asalkan saja kata tersebut tidak menunjukkan kepada kata jamak. Untuk memperjelaskan lagi kedudukan al-wasilah (samada ia terbatas hanya kepada amal-amal soleh atau lebih luas dari itu), kita kemukakan satu peristiwa sejarah yang berlaku ke atas Nabi Adam a.s. yang telah dirakamkan oleh Allah S.W.T. dalam al-Qur’an dengan firmanNya:فَتَلَقَّى آدَمُ مِنْ رَبِّهِ كَلِمَاتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ . Maksudnya:Kemudian Nabi Adam menerima daripada Tuhannya beberapa kalimat (kata-kata pengakuan taubat yang diamalkannya) lalu Allah S.W.T. menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah S.W.T. Dialah yang Maha Pengampun lagi (Penerima taubat), lagi Maha Mengasihani. Sebabagian daripada mufassir dan muhaddith ketika memberikan keterangan dan tafsiran ke atas kata kalimāt yang terdapat dalam ayat di atas adalah bersandarkan kepada riwayat berikut dengan memerhatikan matannya. Dengan demikian tentu akan lebih memperjelaskan lagi maksud dan tujuan kata kalimāt itu kepada kita. Antara mereka ialah al-Tabrāni dalam al-Mu‘jam al-Saghir, al-Hākim al-Naysaburi dalam al-Mustadrak, Abu Nu‘aym dan al-Bayhaqi pula memuatkannya dalam Dalā`il al-Nubuwwah, ‘Isā ‘Asākir al-Shāmi dalam Tārikh, manakala al-Suyuti dalam al-Durr al-Manthur dan al-Ālusi dalam tafsirnya Ruh al-Ma‘āni dengan sanad daripada Sayyidina ‘Umar ibn al-Khattāb, menukilkan bahawa Nabi Muhammad s. a. w. bersabda yang antara lain:لما أذنب آدم الذى أذنبه, رفع رأسه إلى السمآ فقال : أسالك بحق محمد الا غفرت لى . فأوحى الله إليه: ومن محمد؟ فقال : تبارك اسمك , لما خلقت رفعت رأسى إلى عرشك فإذا فيه مكتوب: لا إله إلا الله ومحمد رسول الله. فقلت: إنه ليس احد أعظم عندك قدرا ممن جعلت اسمه مع اسمك, فأوحى إليه: إنه آخر النبيين من ذريتك, ولو لا هو لما خلقتك Maksudnya:Ketika mana Adam melakukan kesalahan dosa, ia mengadahkan kepalanya ke langit seraya berkata: (Wahai Tuhan), aku memohon kepadamu dengan hak Muhammad agar Engkau mengampuni aku. Lalu Allah S.W.T. mewahyukan kepadanya: Siapakah Muhammad? Adam menjawab: Ketika Engkau menciptakanku, aku mengangkat kepala ke arah ’arasyMu, dan aku melihat, di sana tertulis: Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah S.W.T. dan Muhammad adalah utusan Allah S.W.T. Aku pun berkata pada diriku, bahawa tidak ada seseorang pun yang lebih agung dari orang yang namanya Engkau tuliskan di samping NamaMu. Ketika itu Allah S.W.T. mewahyukan kepadanya: Dialah Nabi yang terakhir dari keturunanmu, dan jika tidak kerana dia nescaya Aku tidak akan menciptakanmu. Dari keterangan hadis di atas jelas menunjukkan kepada kita bahawa wasilah itu sebenarnya membawa kepada pengertian yang lebih luas dan tidak hanya terbatas kepada makna iman dan amal soleh seperti yang telah didakwa di atas tadi. Malahan lebih dari itu, wasilah juga merujuk kepada pengertian zat dan peribadi seperti yang terdapat dalam ayat yang mengandungi kata kalimāt itu tadi. Al-Sāwi tidak ketinggalan memberikan keterangan dalam tafsirnya tentang hal ini dengan katanya: وابتغاء الوسيلة ما يقرب به إليه مطلقا ومن جملة ذلك محبة أنبيأ الله وأوليائه والصدقات وزيارة أحباب الله وكثرة الدعاء وصلة الرحم وكثرة الذكر وغير ذلك .Maksudnya:Mencari wasilah: ialah sesuatu yang boleh mendekatkan dengannya (wasilah) kepadaNya secara mutlak, termasuk dalamnya (wasilah) mengasihi para Nabi Allah, para awliyā`Nya, sedekah, ziarah ke kuburan kekasihnya, memperbanyakkan doa, menghubungkan silaturrahim dan memperbanyakkan zikir kepadanya dan sebagainya lagi.
Dalam konteks yang lain, wasilah juga nampaknya membawa maksud al-rābitah. Kenyataan ini dapat dilihat dengan jelas dari keterangan yang telah diberikan oleh al-Tabātabā’i dalam tafsirnya al-Mizān, beliau menjelaskan bahawa wasilah dalam ayat di atas menunjukkan kepada wasilat al-rābitah. Beliau menerangkan ketika mengulas ayat dalam surah al-Ma’idah ayat 35 dengan katanya:واذ كانت نوعا من التوصل وليس الا توصلا واتصالا معنويا بما يوصل بين العبد وربه ويربط هذا بذاك , ولا رابط يربط العبد بربه الا ذلة العبودية , فالوسلية هي التحقق بحقيقة العبودية وتوجيه وجه المسكنة والفقر إلى جنابه تعالى , فهذه هى الوسيلة الرابطة . Maksudnya:Oleh yang demikian wasilah ialah sebahagian daripada al-tawassul dan tidak dinamakan sebagai tawassul kecuali adanya hubungan yang bersifat ma‘nawiyyah di antara seorang hamba dengan Tuhannya yang mengikat di antara keduanya. Dan tidak ada pengikat yang mengikat di antara seorang hamba dengan Tuhannya kecuali dengan sifat dhillat al-‘ubudiyyah. Oleh itu wasilah ialah untuk merealisasikan hakikat al-'ubudiyyah, al-miskin dan al-faqr di sisi Tuhannya. Semuanya ini ialah wasilat al-rābitah. Antara ayat al-Qur’an yang merujuk kepada maksud wasilah dan mengandungi makna al-rābitah ialah seperti yang terkandung dalam firman Allah S.W.T. yang menceritakan peristiwa Nabi Yusuf dan Zulaykha, Allah S.W.T. berfirman:وَلَقَدْ هَمَّتْ بِهِ وَهَمَّ بِهَا لَوْلاَ أَنْ رَأَى بُرْهَانَ رَبِّهِ كَذَلِكَ لِنَصْرِفَ عَنْهُ السُّوءَ وَالْفَحْشَاءَ إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُخْلَصِينَ . Maksudnya:Dan sebenarnya perempuan itu telah berkeinginan sangat kepadanya, dan Yusuf pula (mungkin timbul) keinginannya kepada perempuan itu kalaulah ia tidak menyedari kenyataan Tuhannya (tentang kejinya perbuatan zina itu). Demikianlah, agar Kami memalingkan daripadanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba Kami yang ikhlas. Ayat di atas membawa pengertian yang mengisyaratkan kepada makna wasilah. Kalimah “Burhāna Rabbihi” sebenarnya mengandungi makna wasilah yang akan membawa seorang ke arah al-taqwā dan terhindar dari perbuatan dosa dan maksiat. Untuk memberikan penjelasan yang lebih sempurna terhadap fakta ini kita kemukakan pandangan daripada mufassirin terhadap kalimah “Burhāna Rabbihi” tersebut. Sebahagian besar daripada mufassirin seperti al-Qurtubi dalam tafsirnya al-Jāmi‘ li Ahkām al-Qur’ān, Ibn Kathir dalam Tafsir Ibn Kathir, al-Zamakhshari dalam al-Kashshāf, al-Fakhr al-Rāzi dalam al-Tafsir al-Kabir dan Sa‘id Hawwā dalam al-Asās fi al-Tafsir, telah meriwayatkan hal tersebut. Di sini kita hanya menukil dari keterangan yang diriwayatkan oleh Ibn Kathir melalui Ibn ‘Abbās dalam tafsirnya Tafsir Ibn Kathir bahawa yang dimaksudkan dengan “Burhāna Rabbihi” itu ialah rupa ayahandanya, Nabi Ya‘qub a.s. atau rupa raja yang menjadi tuan kepada Nabi Yusuf a.s. Tentang hal ini Ibn Kathir menegaskan dalam tafsir beliau dengan katanya:وأما البرهان الذي رأه ففيه أقوال أيضا: عن ابن عباس وسعيد ومجاهد وسعيد بن جبير ومحمد بن سيرين والحسن وقتادة وأبى صالح والضحاك ومحمد بن اسحاق وغيرهم رأى صورة أبيه يعقوب غاضبا على أصبعه بفمه وقيل عنه في رواية فضرب في صدر يوسف وقال العوفى عن ابن عباس رأى خيال الملك يعنى سيده . Maksudnya:Dan adapun maksud Burhāna Rabbihi yang telah dilihat oleh Nabi Yusuf itu terdapat beberapa pendapat di kalangan ahli tafsir. Menurut ‘Abdullah ibn‘Abbās, Sa‘id, Mujāhid, Sa‘id ibn Jubayr, Muhammad ibn Sirin, Hasan, Qatādah, Ibn Salih, al-Dahhāk, Muhammad ibn Ishāq dan lain-lain, yakni Yusuf telah melihat bayangan ayahnya (Ya‘qub), yang seakan-akan marahkan Yusuf dengan menggigit jari-jari tangannya. Menurut sebahagian riwayat ayahnya memukul dada Yusuf. Sedang al-'Awfi pula berpendapat daripada Ibn ‘Abbās, maksud perkataan itu ialah Yusuf teringat kepada bayangan suami Zulaykha iaitu Raja Qitfir yang seolah-olah ada di rumah dan mengetahui apa yang akan diperbuat oleh Yusuf. Demikian juga dengan Muhammad ibn Ishāq yang berpendapat demikian.
Dari keterangan yang telah diberikan oleh Ibn Kathir terhadap ayat 24 dari surah Yusuf ini, mengukuhkan lagi tanggapan bahawa yang dimaksudkan dengan ungkapan Burhāna Rabbihi dalam firman Allah S.W.T. di atas tadi adalah merujuk kepada makna al-rābitah yang berlaku di antara Nabi Yusuf a.s. dengan ayahnya Nabi Ya‘qub a.s. Dalam situasi yang sedemikian Nabi Yusuf terbayang wajah dan seluruh tubuh ayahnya yang seakan-akan marah kepada dirinya ketika hendak menuruti kemahuan nafsu terkutuk Zulaykha itu. Atau dapat juga diertikan, bahawa pada waktu itu Yusuf terbayang suami Zulaykhā yang bernama Qitfir seolah-olah mengetahui apa yang dilakukannya. Akibatnya Nabi Yusuf segera keluar dari biliknya sehingga ia terhindar dari perbuatan yang keji itu.Berdasarkan kepada penjelasan di atas dapat kita mengetahui bahawa apa yang berlaku ke atas Nabi Yusuf membayangkan dan menggambarkan ayahnya atau suami Zulaykha yang sedang marah (menurut disiplin ilmu dan amalan tasawwuf dikenali sebagai al-rābitah) kerana perbuatan tersebut, hanyalah sebagai wasilah untuk memudahkan bagi Yusuf menghindarkan dirinya dan menghilangkan godaan hawa nafsu kesyaitanan yang menguasai dirinya pada ketika itu.Dari peristiwa tersebut juga, jelas kepada kita bahawa ciri-ciri dan sifat peribadi seorang syeikh yang sebenar itu akan memberikan kesan dan pengaruh yang kuat terhadap diri al-sālik sehingga berupaya mentarbiyah rohaniah seorang murid. Keadaan ini boleh terjadi akibat dari pergaulan dan perhubungan yang rapat dan erat di antara seorang yang sālik dengan syeikhnya. Pengaruh dan kesan ini tetap akan berlaku sekalipun kedua-duanya berada berjauhan di antara satu sama lain. Kesan dari perhubungan tersebut tetap akan berlaku apabila seorang yang al-sālik itu mengingat dan mengkhayalkan syeikhnya dalam khayalan serta ingatannya. Apalagi jika khayalan tersebut mencapai ke tahap seolah-olah syeikhnya berada di hadapan murid itu sendiri seperti yang berlaku ke atas diri Nabi Yusuf tersebut. Dari sini dapat kita lihat dengan jelas bahawa al-rābitah itu mempunyai kedudukan sebagai sumber pengawasan diri yang sangat penting untuk menghindarkan diri dari terjerumus ke dalam maksiat yang dilarang oleh Allah S.W.T. Kaedah ini adalah sebahagian daripada jalan untuk mencapai ke maqām al-taqwā seperti yang dituntut oleh ayat dalam surah al-Ma`idah ayat ke 35 tersebut.Seterusnya mari kita perhatikan hubungan yang dapat dikaitkan di antara perintah bertakwa dengan perintah mencari wasilah dalam ayat di atas tadi. Seperti yang telah diterangkan di atas, kalimah al-taqwā itu membawa maksud al-wiqāyah, al-hasanah, al-amn, al-tabā‘ud dan al-ijtināb, oleh itu apa yang cuba kita telitikan di sini ialah kalimah wasilah yang membawa kepada beberapa makna dan maksud itu sebenarnya adalah merupakan salah satu cara untuk mencapai ke maqām al-taqwā. Di sinilah hubungan yang paling ketara antara kalimah al-taqwā dan perintah untuk mencari wasilah itu. Al-Sāwi menegaskan dalam tafsirnya dengan ungkapan berikut: فالتقوى هنا ترك المخالفات وابتغاء الوسيلة فعل المأمورات ويصح أن المراد بالتقوى امتثالا المأمورات الواجبة وترك المنهيات المحرمة وابتغأ الوسيلة ما يقرب به إليه مطلقا. Maksudnya: Takwa di sini membawa maksud meninggalkan sesuatu yang menyalahi perintah Allah S.W.T.,sedang maksud menuntut wasilah pula adalah suatu perbuatan yang dituntut oleh syarak, justeru kerana itu boleh dikatakan yang dimaksudkan dengan takwa di sini ialah menjunjung segala perintah yang diwajibkan dan meninggalkan segala tegahan yang bersifat haram dan mencari wasilah pula ialah sesuatu yang boleh mendekatkan dengannya kepada Allah S.W.T. semata-mata.
Dengan fakta-fakta yang telah dihuraikan di atas tadi dapatlah kita membuat beberapa kesimpulan antaranya:a) Wasilah yang mengandungi makna dan maksud amal soleh itu sebenarnya boleh menghindarkan seseorang dari melakukan keburukan dan maksiat terhadap Allah S.W.T. seterusnya akan mencapai ke maqām al-taqwā.b) Wasilah yang diertikan dengan maksud doa daripada orang yang soleh boleh juga mencapai maksud al-wiqāyah, al-hasanah, al-amn, al- tabā‘ud dan al-ijtināb. Oleh kerana itu Allah S.W.T. menuntut agar mencari wasilah bagi tujuan mencapai maqām al-taqwā tersebut. Dengan keberkatan dan ketinggian martabat para solehin itu menyebabkan mereka dikasihi juga oleh Allah S.W.T.c) Wasilah yang mengandungi makna serta pengertian al-rābitah juga akan mencapai maksud ayat tersebut, hal ini disebabkan al-rābitah merupakan sebaik-baik wasilah, sama ada wasilah dengan Nabi s.a.w., atau orang yang menggantikan tempat baginda sebagai pewarisnya. Kerana Allah S.W.T. memerintahkan kepada kita agar mengikut dan mencontohi baginda Rasulullah s.a.w.seperti yang dijelaskan oleh Allah S.W.T. dalam firmanNya:قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمْ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ . Maksudnya:Katakanlah: (Wahai Muhammad):Jika kamu benar-benar mencintai Allah S.W.T., ikutilah aku, nescaya Allah S.W.T. mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah S.W.T. Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.Ayat di atas tentu sahaja membawa maksud al-rābitah, kerana istilah mengikut (ittibā‘) di sini berkonsepkan kepada ru`yat al-matbu‘ (melihat kepada yang diikut). Justeru kerana itu melihat di sini boleh diertikan kepada melihat yang bersifat hissiyyah atau yang bersifat ma‘nawiyyah. Kerana tidak dianggap sebagai ittibā‘ kalau tidak dengan melihat orang yang diikuti. Sedang melihat secara ma‘nawiyyah itulah yang diertikan sebagai al-rābitah dalam disiplin ilmu dan amalan tasawwuf. Fakta ini tentu lebih jelas dengan keterangan yang diberikan oleh al-Janābidhi dalam tafsirnya Bayān al-Sa‘ādah yang antara lain menyebutkan bahawa untuk merealisasikan persahabatan secara ma‘nawiyyah berserta hakikat mereka yang bersifat malakutiyyah itu hanya dapat diiktibarkan melalui tasawwur al-shaykh (al-rābitah), al-sakinah al-qalbiyyah, al-fikr, al-rahmah dan al-ni‘mah.
4.2.3 AI-Rābitah Sebagai Sumber Perpaduan.
4.2.3 AI-Rābitah Sebagai Sumber Perpaduan.Apabila kita membicarakan soalan perpaduan, apa yang terlintas dalam fikiran kita ialah persoalan; Apakah bentuk perpaduan yang boleh dikaitkan dengan al-rābitah? Untuk menjelaskan persoalan ini kita kemukakan sebahagian daripada ayat al-Qur’an yang mempunyai hubungan rapat dengan perbincangan ini, Allah S.W.T. berfirman:يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اصْبِرُوا وَصَابِرُوا وَرَابِطُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ . Maksudnya:"Wahai orang-orang yang beriman! Bersabarlah kamu (menghadapi segala kesukaran dalam mengerjakan perkara¬-perkara kebajikan) dan kuatkanlah kesabaran kamu (lebih dari kesabaran musuh di medan perjuangan) dan bersedialah (dengan kekuatan pertahanan di daerah-daerah sempadan) serta bertakwalah kamu kepada Allah S.W.T. supaya kamu berjaya mencapai kemenangan."Menurut pandangan beberapa ahli mufassir yang terdapat dalam kitab-kitab tafsir mereka, bahawa perkataan rābitu dalam ayat di atas meliputi kedua-dua aspek al-rābitah; Iaitu rābitah zahir dan rābitah batin. Antara beberapa bentuk al-rābitah zahir yang membawa maksud perpaduan berdasarkan ayat di atas ialah:1. Perpaduan dalam peperangan a) Menurut keterangan daripada al-Tusi dalam tafsirnya al-Tibyān, dinukil daripada al-Hasan, Qatādah, Ibn Jurayj dan al-Dahhāk, maksud dari kalimah rābitu dalam ayat di atas ialah memperkuatkan semangat jihad fi sabilillah. Untuk mencapai semangat jihad fi sabilillah tentulah memerlukan kesabaran dan perpaduan di kalangan pasukan tentera tersebut. Oleh yang demikian dapat kita katakan bahawa perkataan rābitudalam ayat di atas jelas membawa kepada maknanya yang zahir.b) Memperkuat dan memperkemas persediaan ketenteraan untuk menghadapi peperangan. Fakta ini dikutip dari keterangan yang diberikan oleh al-‘Ajili dalam tafsirnya al-Futuhāt al-Ilāhiyyah yang antara lain beliau menjelaskan ketika mentafsirkan perkataan rābitu tersebut dengan katanya:أصل المرابطة أن يربط هؤلأ خيولهم وهؤلأ خيولهم بحيث يكون كل من الخصمين مستعدا لقتال الآخر ثم قيل لكل مقيم ثغر يدفع عمن ورأه مرابط وإن لم يكن له مركوب مربوط. Maksudnya:"Asal perkataan al-murābitah itu ialah bahawa mereka mengikat akan kuda masing-masing, sekira-kira kedua-dua pihak bersedia untuk memerangi antara satu dengan yang lain. Kemudian dikatakan kepada setiap orang mestilah berada dalam kubu masing-masing untuk mempertahankan mereka yang berada di belakang mereka supaya berada dalam keadaan tetap. Sekalipun mereka tidak mempunyai tunggangan untuk mempertahankan."Keterangan ini menunjukkan bahawa perkataan rābitu dalam ayat tersebut juga membawa maksud perpaduan dari sudutnya yang zahir, kerana mustahil satu ketumbukan ketenteraan yang kuat dapat diwujudkan jika faktor perpaduan diabaikan. Dalam ayat yang lain Allah S.W.T. menjelaskan kedudukan ini dengan firmanNya: إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِهِ صَفًّا كَأَنَّهُمْ بُنيَانٌ مَرْصُوصٌ . Maksudnya:"Sesungguhnya Allah S.W.T. mengasihi orang-orang yang berperang untuk membela agamanya, dalam barisan yang tersusun rapi, seolah-olah mereka seperti sebuah bangunan yang tersusun kukuh." Mengutip dari keterangan al-Ālusi yang terdapat dalam tafsirnya Ruh al-Ma‘āni antara lain beliau menjelaskan berhubung dengan kalimah marsus dengan katanya:والظاهر أن المراد تشبيههم فى التخام بعضهم ببعض بالبنيان المرصوص من حيث إنهم لا فرجة بينهم ولا خلل. Maksudnya:"Yang jelas dari penggunaan perumpamaan kepada mereka tentang bersatu antara satu dengan yang lain dengan istilah "marsus" ialah sekira-kira perpaduan mereka itu tidak ada ruang dan pemisah yang memisahkan barisan dan perpaduan mereka."Sehubungan dengan ini Nabi Muhammad s.a.w. ada menjelaskan dengan sabdanya:المؤمن للمؤمن كالبنيان يشد بعضهم بعضا Maksudnya:"Seorang mukmin bagi seorang mukmin yang lain seperti satu bahan binaan yang menguatkan antara satu dengan yang lain."Secara umumnya ayat al-Qur’an dan hadis di atas memberikan satu gambaran bahawa perpaduan antara setiap individu muslim itu satu kewajipan semasa dalam peperangan atau sebaliknya. Setiap individu muslim itu sebenarnya berperanan menyumbang kepada kekuatan dan perpaduan dalam sesebuah masyarakat. Dalam konteks ini dapat kita lihat penggunaan istilah rābitu lebih merujuk kepada makna yang bersifat zahir.
c) Perkataan al-rābit digunakan juga untuk makna sentiasa menanti atau menunggu kedatangan waktu solat. Sebagai contoh, selepas menunaikan solat maghrib, terus duduk berwirid dan berzikir untuk menanti waktu solat yang berikutnya. Fakta ini dapat diperjelaskan lagi dengan melihat sebuah hadis Rasulullah s. a. w. yang antara lain menyebutkan: ألا أدلكم على ما يمحو الله به الخطايا ويرفع به الدرجات قالوا بلى يا رسول الله قال أسبغ الوضوء على المكاره وكثرة الخطأ إلى المساجد وانتظار الصلاة بعد الصلاة فذلكم الرباط فذلكم الرباط فذلكم الرباط Maksudnya:"Telah bersabda Rasulullah (s.a.w.): Adakah tidak mahu aku tunjukkan kepada kamu tentang sesuatu yang boleh menghapuskan kesalahan-kesalahan di samping mengangkat darjat kamu. Mereka menjawab: Bahkan wahai Rasulullah! Baginda (s.a.w.) menjawab dengan sabdanya: Sempurnakanlah wuduk walau dalam keadaan yang susah (yakni di waktu sakit dan sejuk) dan perbanyakkanlah langkah untuk menuju ke masjid dan menanti-nanti waktu solat selepas waktu solat. Demikian itulah al-ribāt, demikian itulah al-ribāt, demikian itulah al-ribāt. "Perkataan al-ribāt dalam hadis di atas jelas menunjukkan kepada makna yang zahir, iaitu menyempurnakan wuduk, memperbanyakkan langkah ke masjid di samping menanti-nanti dari satu waktu solat ke waktu solat yang berikutnya. Dari penjelasan di atas menunjukkan bahawa al-rābitah itu boleh terjadi dalam bentuknya yang zahir. Seperti al-rābitah ketika menghadapi peperangan, sedang al-rābitah zahir seumpama ini melambangkan kepada satu bentuk perpaduan dan persatuan yang juga bersifat zahir. Begitu juga dengan al-rābitah di antara waktu solat ke satu solat yang lain, juga melambangkan hubungan yang zahir antara dua waktu solat tersebut. Seterusnya mari kita lihat pentafsiran al-rābitah dari sudut batin atau rohani yang menepati dengan asas-asas perpaduan yang juga bersifat rohaniah. d) Sepertimana perkataan al-ribāt yang terkandung dalam hadis di atas, ditafsirkan dengan makna lazamtu, yang membawa maksud melazimkan diri dengan sesuatu pekerjaan yang diperintahkan oleh hukum syarak, maka dari sini akan lahirlah rohani yang berpadu dengan keimanan sehingga menghilangkan sifat al-ghaflah ketika berjalan menuju kepada Allah S.W.T. Oleh yang demikian al-Ālusi menjelaskan dalam tafsirnya Ruh al-Ma‘āni tentang bagaimana perkataan wa rābitu tersebut berkait rapat dengan ruhani seseorang insan yang sālik. Antaranya beliau menerangkan:(اصبروا) في مقام النفس بالمجاهدة (وصابروا) فى مقام القلب مع التجليات (ورابطوا) في مقام الروح ذواتكم حتى تعتريكم فترة أو غفلة واتقوا الله عن المخالفة والأعراض والجفأ Maksudnya:(Isbiru( pada maqām al-nafs ialah dengan bermujahadah.)Wa sābiru) pada maqām al-qalb ialah al-tajalliyāt, manakala (wa rābitu) pada maqām al-ruh pula ialah berābitah diri kamu (hati dan sirr kamu) sehingga kamu tidak ditimpa lemah (jiwa) dan kelalaian dan bertakwalah kamu kepada Allah S.W.T. (dengan menjaga diri) dari (sifat) menentang Allah S.W.T., membelakangkan Allah S.W.T. dan membenci Allah S.W.T.Tentu sahaja pentafsiran kalimah wa rābitu oleh al-Ālusi tersebut adalah merujuk kepada aspek yang batin atau rohani. Begitu juga dengan pandangan Syeikh al-Fakhr al-Rāzi dalam kitab tafsirnya Mafātih al-Ghayb ketika memberikan penjelasan tentang kalimah wa rābitu dalam ayat tersebut di atas adalah meliputi kedua-dua aspek zahir dan batin. Oleh yang demikian kalimah wa rābitu tersebut adalah merujuk kepada makna yang batin iaitu membawa maksud rābitah hati seperti bersabar, tetap iman, gigih dan sebagainya lagi. Hal ini disebabkan berlaku di dalam hati, baik ketika berjihad atau mengerjakan ibadat seperti solat dan sebagainya lagi. Dari keterangan yang telah diberikan oleh para mufassirin di atas tadi, dapatlah kita mengetahui bahawa maksud dari kalimah wa rābitu tersebut tidaklah hanya terbatas kepada makna yang zahir, malahan kalimah tersebut melewati batas maknanya di atas, malahan merangkumi aspek yang batin atau rohani. Manakala berābitah dalam hati yang bersifat batin itu tentu lebih dituntut dan dititikberatkan kerana ia lebih penting untuk dijadikan asas bagi yang zahir. Jika aspek batinnya kukuh maka sudah pasti aspek zahirnya juga akan kukuh dan kuat, tahan diuji seperti yang dapat kita lihat pada diri Bilāl ibn Rabāh.
2) Perpaduan Dalam Konteks Jamaah.
2) Perpaduan Dalam Konteks Jamaah Al-Rābitah dari sudut rohaniah yang membawa maksud perpaduan dalam jamaah. Bagi mencapai satu bentuk perpaduan yang kuat dan kukuh dari sudut rohaniah sesebuah jamaah, maka hendaklah setiap anggota jamaah melakukan amalan al-rābitah bagi mencapai kejayaan di samping mendapat keredaan daripada Allah S.W.T. Untuk menjelaskan lagi kedudukan fakta ini cuba kita perhatikan amalan wirid yang telah diamalkan oleh Ikhwan al-Muslimin yang dipimpin oleh Hasan al-Bannā yang terkenal dengan wirid al-rābitah. Antara tujuan yang boleh diperolehi ketika mengamalkan wirid tersebut ialah memperatkan hubungan dan perpaduan rohaniah antara para ahli jamaah sekaliannya. Sama ada yang dekat ataupun yang jauh, yang dikenali ataupun yang tidak dikenali, semuanya dapat dihubungeratkan melalui kaedah wirid rābitah ini. Cuba kita perhatikan dengan membuat penelitian atas kalimah dan maksud yang terkandung dalam wirid tersebut:ورد الرابطة:ثمم يتلو الدعأ المأثور بعد ذلك:اللهم إن هذا إقبال ليلك وإدبار نهارك واصوات دعائك فاغفرلي . ثم يستحضر صورة من يعرف من إخوانه فى ذهنه ويستشعر الصلة الروحية بينه وبين من لم يعرفه منهم . ثم يدعولهم : اللهم إنك تعلم أن هذه القلوب قد اجتمعت على محبتك والتقت على طاعتك وتوحدت على دعوتك وتعاهدت على نصرة شريعتك فوثق اللهم رابطتها وادم ودها. Maksudnya:"Kemudian selepas (membaca ayat-ayat al-Qur’an itu) hendaklak ia membaca doa yang ma'thur ini: Ya Allah ya Tuhanku, sesungguhnya datangnya waktu malam dan perginya waktu siang adalah (bersama) suara-suara berdoa kepada Engkau, maka ampunilah (dosa-dosaku). Kemudian hendaklah ia menghadirkan (membayangkan) rupa orang-orang yang dikenali daripada kalangan rakan-rakan (seperjuangan) dalam ingatannya dan juga merasa-rasakan (adanya) hubungan rohaniah antaranya dengan orang-orang yang ia tidak kenali di kalangan mereka itu. Kemudian ia mendoakan mereka: Ya Allah ya Tuhanku sesungguhnya Engkau mengetahui bahawa hati-hati ini telah berkumpul untuk mencintai Engkau, telah bertemu untuk mentaati Engkau, telah bersatu untuk meminta kepada Engkau, telah berjanji setia untuk membantu menegakkan syariatmu, maka teguhkanlah ya Allah ikatannya (rābitah dalam pengertian perpaduan) dan kasib sayang." Jika kita perhatikan kalimah, isi kandungan dan uslub wirid al-rābitah tersebut, nescaya kita akan menemui gesaan oleh al-Syahid Hasan al-Bannā agar orang yang berdoa mengamalkan al-rābitah. Dari amalan tersebut, dapat kita fahami bahawa al-rābitah membawa maksud al-rābitah al-ruhāniyyah, seterusnya akan membawa kepada perpaduan dalam bentuknya yang zahir.
3) Perpaduan Dalam Sembahyang.
3) Perpaduan Dalam Sembahyang.AI-Rābitah yang membawa maksud perpaduan secara rohaniah dalam solat. Ketika mendirikan solat, al-rābitah memainkan peranan yang sangat penting. Ketika ini al-rābitah terjadi antara imam dan makmum. Dalam konteks ini solat seorang makmum itu boleh terbatal jika ia membiarkan solatnya tanpa al-rābitah antara dirinya dengan imam. Kenyataan ini telah dijelaskan oleh Syeikh Muhammad Amin al-Kurdi dalam kitabnya, Tanwir al-Qulub. Beliau menghuraikan fakta ini apabila membicarakan syarat-syarat iqtidā` dalam solat berjamaah. Beliau menjelaskan: (الاول) نية الاقتدأ أو نحوها فإن ترك هذه النية أو شك فيها وتابعه في فعل أو السلام بعد انتظار كثير عرفا للمتابعة بطلت صلاته لأنه وقفها على صلاة غيره بلا رابطة بينهما . Maksudnya:"(Pertama). Niat al-iqtidā` atau seumpamanya, jika ia meninggalkan niat tersebut atau ragu padanya dalam masa yang panjang menurut adat untuk dia (makmum) mengikut (iqtidā’) sedang ia masih mengikut imam dalam perbuatan solatnya atau salam, maka batallah solatnya. Kerana dia telah meletakkan kedudukan niatnya kepada solat orang lain, dengan tidak ada rābitah antara keduanya (imam dan makmum). "AI-Rābitah dalam konteks ini dapat dilihat apabila seorang makmum yang mendirikan solat dengan imam, dapat memenuhi segala syarat iqtidā` imam secara penuh. Apabila makmum gagal berbuat demikian maka tidak sah solatnya itu. Ini kerana iqtidā` makmum atas imamnya adalah wajib selama mana dia (imam) tidak melakukan sesuatu yang membatalkan solatnya. Dalam hal ini Rasulullah s.a.w. ada menjelaskan dengan sebuah hadisnya yang telah diriwayatkan oleh Aisyah r.a.عن عائشة أم المؤمنين إنها قالت : صلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فى بيته وهو شاك : فصلى جالسا, وصلى وراءه قوم قياما , فأشار إليهم : أن اجلسوا. فلما انصرف قال: ( إنما جعل الإمام ليؤتم به , فإذا ركع فاركعوا , وإذا رفع فارفعوا, وإذا صلى جالسا فصلوا جلوسا . Maksudnya:"Daripada Aisyah r.a. sesungguhnya ia berkata: Telah solat Rasulullah s.a.w. di rumahnya dalam keadaan duduk, sedang ia sakit pada ketika itu. Para sahabat bersolat di belakang Baginda s.a.w. dalam keadaan berdiri. Pada ketika itu Rasulullah s.a.w. mengisyaratkan kepada mereka agar semuanya duduk. Setelah selesai mendirikan solat Baginda s.a.w. bersabda: Sesungguhnya imam itu didirikan adalah untuk diikuti, bukan untuk diingkari. Apabila ia (imam) rukuk maka hendaklah kamu semua rukuk, apabila imam itu bangun, maka hendak kamu semua bangun dan apabila dia (imam) solat secara duduk maka hendaklah kamu semua solat secara duduk ." Dari keterangan hadis di atas memberikan gambaran kepada kita bahawa seandainya makmum tidak bersedia untuk melakukan al-rābitah dengan imamya, ini bermakna makmum telah menyalahi imamnya dari sudut perbuatan yang dilakukan oleh imam dalam solatnya. Sebagai contoh, imam masih berdiri, sedang makmum sudah sujud atau sudah membaca tashahhud dan sebagainya lagi. Dalam keadaan ini jelas solat seorang yang bergelar makmum itu menjadi tidak sah dan tidak seorang dari kalangan ulamak mazhab manapun yang berani menghukum sah solat makmum yang tersebut tadi.Dari sini dapatlah kita membuat kesimpulan bahawa al-rābitah dalam solat itu merupakan salah satu gagasan perpaduan rohaniah yang tergambar dalam bentuk kesatuan untuk mengadap Allah S.W.T. Al-Rābitah di sini merupakan lambang perpaduan umat manusia yang ditunjukkan di hadapan Allah S.W.T. ketika mendirikan solat. Bukankah Allah S.W.T. telah menceritakan kepada kita bahawa umat manusia itu sebenarnya adalah satu dalam erti keyakinan dan keimanannya kepada Allah S.W.T. Kenyataan ini dapat kita lihat firman Allah S.W.T. yang antara lain menyebutkan:كَانَ النَّاسُ أُمَّةً وَاحِدَةً فَبَعَثَ اللَّهُ النَّبِيِّينَ مُبَشِّرِينَ وَمُنذِرِينَ وَأَنزَلَ مَعَهُمْ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِيَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ فِيمَا اخْتَلَفُوا فِيهِ وَمَا اخْتَلَفَ فِيهِ إِلاّ الَّذِينَ أُوتُوهُ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَتْهُمْ الْبَيِّنَاتُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ فَهَدَى اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا لِمَا اخْتَلَفُوا فِيهِ مِنْ الْحَقِّ بِإِذْنِهِ وَاللَّهُ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ . Maksudnya:"Pada mulanya manusia itu ialah umat yang satu (menurut agama A1lah S.W.T. yang satu, tetapi setelah mereka berselisih). Maka Allah S.W.T. mengutuskan Nabi-nabi sebagai memberi khabar gembira (kepada orang-orang yang beriman dengan balasan syurga) dan pemberi amaran (kepada orang-orang yang ingkar dengan balasan azab neraka), dan Allah S.W.T. menurunkan bersama Nabi-nabi itu Kitab-kitab Suci yang (mengandungi keterangan-keterangan yang) benar, untuk menjalankan hukum antara manusia mengenai apa yang mereka perselisihkan." Menurut keterangan ayat di atas, menunjukkan kepada kita bahawa umat manusia itu sepatutnya menjadi umat yang satu dalam semua keadaan, zahir mahupun yang batin, satu tujuan dan cita-cita dalam melaksanakan hukum, satu matlamat dan tujuan dalam bidang ekonomi demi mencapai keredaan daripada Allah S.W.T., satu tujuan dalam bertindak menyelesaikan masalah kehidupan dengan mengikut garis panduan yang telah ditetapkan oleh Islam, bersatu dan bersatu seterusnya dalam semua situasi dan kondisi. Bersatu dalam erti bertindak tunduk serta patuh kepada segala ketetapan dan peraturan daripada Allah S.W.T. dalam menjalankan segala urusan kehidupan. Tetapi realiti yang berlaku pada hari ini tidak seperti yang dikehendaki oleh Allah S.W.T. dalam konteks ummatan wāhidah. Tidak terdapat sebarang bentuk perpaduan dan kesatuan dalam cita-cita untuk menegakkan hukum dan peraturan Allah S.W.T. seperti yang diperintahkan itu. Pelanggaran demi pelanggaran terhadap hukum dan peraturan Allah S.W.T. dilakukan dengan penuh kesombongan dan keangkuhan. Tidak lahir di hati manusia perasaan bersalah dan keinsafan tentang betapa besar akibat perbuatan tersebut terhadap jiwa dan perjalanan mereka menuju Allah S.W.T. Begitulah keadaan umat manusia hari ini yang digambarkan oleh Allah S.W.T. pada satu ketika dahulu sebagai ummatan wāhidah tetapi sudah tidak menggambarkan hal yang sebenar lagi. Justeru apa yang tinggal kepada kita umat manusia yang diberikan oleh Allah S.W.T. gelaran sebagai ummatan wāhidah tersebut? Kerana semuanya sudah tidak melambangkan ummatan wāhidah dari segi kepatuhan, ketaatan dan ketundukan terhadap Allah S.W.T. seperti yang dikehendaki dalam ayat di atas. Hanya yang tinggal konsep ummatan wāhidah itu barangkali terdapat dalam solat sahaja.Untuk melihat dengan lebih jelas bagaimana konsep ummatan wāhidah itu dapat dicapai melalui al-rābitah ketika melaksanakan kepatuhan, ketaatan dan ketundukan terhadapNya, dapat dilihat melalui ungkapan seorang hamba ketika mendirikan solat dengan mengungkapkan:اياك نعبد واياك نستعين .Persoalannya di sini ialah, kenapa Allah S.W.T. menggunakan huruf nun pada kalimah na‘bud dan kalimah nasta‘in? Sedang huruf nun di sini tentu sahaja membawa maksud al-jam'. Dalam waktu yang sama Allah S.W.T. meletakkan taraf manusia itu di maqām al-tadhallul dan inkisār, tidak di maqām ta‘zim dan istikbār. Sedang yang mengucapkan kalimah tersebut ketika mendirikan solat hanya seorang, tentu lebih baik dan tepat jika dia mengungkapkan.إياك أعبد وإيك أستعين kerana ucapan dan ungkapan seumpama ini tidak melibatkan orang lain dalam solat tersebut. Untuk memberikan penjelasan terhadap fakta ini mari kita lihat dan telitikan pandangan mufassir terhadap ayat tersebut. Menurut keterangan daripada al-Fakhr al-Rāzi dalam tafsirya Mafātih al-Ghayb antara lain menghuraikan dengan panjang lebar berhubung dengan ayat إياك نعبد dalam surah al-Fatihah tersebut. Antaranya beliau menjelaskan dengan katanya:وتاسعها : لو قال إياك أعبد لكان ذلك تكبرا ومعناه إني انا العابد . لما قال إياك نعبد كان معناه إني واحد من عبيدك , فالأول تكبر , والثاني تواضع Maksudnya:"Kesembilan: Jika sekiranya ia berkata iyyāka a‘bud, maka yang demikian itu adalah takabbur. Kerana perkataan tersebut membawa maksud: Sesunggahnya aku seorang sahaja yang ‘ābid. Sebaliknya jika ia berkata iyyāka na'bud. Perkataan ini akan membawa maksud: Sesungguhnya aku adalah salah seorang daripada hamba-hambaMu yang menyembahMu. Yang pertama membawa maksud al-takabbur, sedang yang kedua pula membawa maksud al-tawādu‘ "
Dari keterangan yang diberikan oleh al-Fakr al-Rāzi itu tadi, menjelaskan kepada kita bahawa umat manusia sebenarnya diciptakan oleh Allah S.W.T. dengan sifatnya saling perlu memerlukan antara satu dengan yang lain. Antara manusia dengan Tuhannya, antara manusia dengan manusia dan antara manusia dengan makhluk seluruhnya. Semua ini melambangkan satu bentuk perpaduan dan persatuan dari sudut zahir mahupun yang batin. Dengan adanya bentuk perpaduan dan persatuan antara makhluk seluruhnya tentu akan melahirkan satu bentuk kehidupan yang aman dan sejahtera. Seperti yang digambarkan oleh Allah S.W.T. dengan firmanNya:لَقَدْ كَانَ لِسَبَإٍ فِي مَسْكَنِهِمْ آيَةٌ جَنَّتَانِ عَنْ يَمِينٍ وَشِمَالٍ كُلُوا مِنْ رِزْقِ رَبِّكُمْ وَاشْكُرُوا لَهُ بَلْدَةٌ طَيِّبَةٌ وَرَبٌّ غَفُورٌ Maksudnya:"Demi sesungguhnya, adalah bagi penduduk negeri Saba', satu tanda (yang membuktikan kemurahan Allah S.W.T.) yang terdapat pada tempat tinggal mereka, iaitu: dua kebun (yang luas lagi subur), yang terletak di sebelah kanan dan di sebelah kiri (kariah mereka). (Lalu dikatakan kepada mereka): Makanlah dari rezeki pemberian Tuhan kamu dan bersyukurlah kepadaNya; (negeri kamu ini adalah) negeri yang baik (aman dan makmur), dan (Tuhan kamu adalah) Tuhan Yang Maha Pengampun."Di sinilah rahsia kejayaan umat manusia dahulu dan sekarang dalam mencapai kejayaan. Bukan yang dimaksudkan dengan kejayaan tersebut hanya terbatas dengan kejayaan yang bersifat fizikal semata-mata. Malahan kejayaan yang dimaksudkan di sini adalah kejayaan yang membawa ke arah keredaan daripada Allah S.W.T., sama ada kejayaan yang bersifat lahiriyyah mahupun kejayaan yang bersifat rohaniah. Pada saat itu barulah Allah S.W.T. akan mengiktiraf umat manusia seperti yang telah diceritakan kepada kita dalam ayat di atas tadi. Untuk melihat perpaduan tersebut, al-Imam al-Fakhr al-Rāzi seterusnya menghuraikan kalimah اياك نعبد tersebut dengan katanya:إن المؤمن إخوة فلو قال إياك أعبد لكان قد ذكر عبادة نفسه ولم يذكر عبادة غيره أما لما قال إياك نعبد كان قد ذكر عبادة نفسه وعبادة جميع المؤمنين شرقا وغربا فكانه سعى في إصلاح مهمات سائر المؤمنين وإذا فعل ذلك قضى الله مهماته لقوله صلى الله عليه وسلم : من قضى لمسلم حا جة قضى الله له جميع حا جته . Maksudnya:"Sesungguhnya orang yang beriman itu adalah bersaudara, jika sekiranya ia berkata iyyaka a'bud, maka ia hanya menyebut ibadah untuk dirinya dan tidak menyebut ibadah saudara (seiman) yang lain. Adapun apabila ia mengatakan iyyaka na'bud maka sesungguhnya ia telah menyebutkan ibadah untuk dirinya dan ibadah saudara (seaqidah) yang lain, di timur mahupun di barat. Seolah-olah dia telah berusaha untuk memperbaiki segala keperluan seluruh orang yang beriman. Dan apabila dia telah melakukan demikian, maka Allah S.W.T. akan menunaikan segala keperluannya. Hal ini berdasarkan kepada hadis Baginda (s.a.w.): Sesiapa yang menunaikan keperluan saudaranya dengan suatu hajat, maka Allah S.W.T. akan menunaikan kepadanya seluruh hajatnya ."Dari keterangan yang telah diberikan oleh Imam al-Fakhr al-Rāzi di atas tadi, dapat kita menyimpulkan di sini bahawa ayat al-Qur’anإياك نعبد وإياك نستعين itu sebenarnya membawa pengertian al-rābitah. Berdasarkan kepada ayat ini juga, dapat kita fahami bahawa umat manusia yang disebutkan oleh Allah S.W.T. sebagai ummatan wāhidah itu sebenarnya bersatu dalam semua aspek, lahiriyyah mahupun bāiiniyyah. Keadaan bersatu dan bersama itu berlaku ketika melaksanakan urusan dunyawiyyah mahupun ukhrawiyyah. Kita bersatu dan bersama apabila kita mendirikan solat, dalam keadaan begini kita bersatu dan bersama dari sudut fizikal mahupun dari sudut spiritual . Bersama dari sudut fizikal dengan mendirikan solat berjamaah, sedang bersatu dari sudut rohaniah pula ialah melalui amalan al-rābitah seperti arahan yang terkandung dalam ayat di atas tadi. Dalam keadaan demikian barulah kita dianggap sebagai bersatu dan bersama dalam erti kata yang sebenar, berpadu dari sudut zahir dan batin. Malahan perpaduan ini tidak hanya terbatas kepada sesama manusia, tetapi lebih dari itu, perpaduan ini melewati batas antara manusia dengan manusia seperti yang dijelaskan oleh al-Rāzi dengan katanya:: الوجه الثانيإن الرجل إذا كان يصلى بالجماعة فيقول نعبد , والمراد ذلك الجمع , وإن كان يصلى وحده كان المراد إني أعبد والملائكة معي في العبادة. فكان المراد يقول نعبد هو وجميع الملائكة الذين يعبدون الله . Maksudnya:"Pandangan kedua: Sesungguhnya seorang lelaki apabila ia bersolat (bersembahyang) dengan berjamaah maka ia akan berkata: Na‘bud, yang dimaksudkan dengan demikian itu ialah al-jam‘, (kata jamak) dan jika sekiranya ia bersembahyang dengan bersendirian, maka maksud dari ucapan na'bud itu ialah: Sesungguhnya aku dan malaikat bersama menyembahMu wahai Allah S.W.T. ketika melakukan ibadah." Dari berbagai fakta yang telah dihuraikan di atas, dapat kita lihat dengan jelas bagaimana hubungan tersebut boleh terjalin dengan berkonsepkan al-rābitah. Keadaan tersebut boleh berlaku dan terjadi dalam kehidupan manusia. Sehingga Allah S.W.T. menjadikan solat para ‘ābid yang berlandaskan kepada amalan al-rābitah itu sebagai wasilah yang menampung segala kekurangan dan kecacatan yang terjadi dalam solat berjamaah tersebut. Kebersamaan dalam erti rohaniah itu terkandung dalam ungkapan إياك نعبد وإياك نستعين tersebut. Kenyataan ini tentu sahaja membawa maksud; segala yang berlaku di kalangan orang-orang yang beriman itu, khususnya dalam solat akan dihadapi secara bersama. Jika terdapat sebarang kekurangan dan keaiban dalam solat salah seorang daripada mereka, maka ia akan ditampung dengan kelebihan dari solat para Anbiyā’, malaikat, para sālihin dan seluruh ‘ābid al-mu'min. Selepas itu solat akan dipersembahkan kepada Allah S.W.T. secara bersama-sama, dengan harapan akan diterima oleh Allah S.W.T. Semua hal tersebut dapat digambarkan dari ungkapan إياك نعبد وإياك نستعين ketika mendirikan solat. Dari sini jelas kepada kita bahawa orang yang beriman itu sebenarnya tidak bersendirian dari sudut ruhiyyah apabila ia berhadapan dengan Allah S.W.T., malah para Anbiyā`, para Rasul dan para sālihin semuanya bersama-sama dalam pengertian al-rābitah itu tadi.
4.2.4 AI-Rābitah sebagai sumber al-mahabbah .
4.2.4 AI-Rābitah sebagai sumber al-mahabbah .Dalam disiplin ilmu dan amalan tasawwuf, al-mahabbah, kasih mengasihi dan sayang menyayangi antara seorang murid dengan gurunya, antara seorang murid dengan rakan setariqatnya dan seterusnya antara seorang murid dengan masyarakatnya amat dituntut dan diberatkan. Perkara ini menjadi asas yang sangat penting bagi seorang murid atau sālik ketika menjalani suluk. Ini kerana dalam disiplin ilmu dan amalan tasawwuf hubungan yang erat antara murid, guru dan rakan-rakan setariqat adalah ukuran bagi menentukan berjaya atau gagalnya seseorang yang sālik untuk mencapai wusul ilā Allah. Mahabbah di sini merangkumi aspek zahir dan batin bagi seorang yang sālik. Dari sudut zahirnya, tuntutan untuk berkasih sayang itu jelas dapat dilihat seperti yang dituntut oleh hadis baginda s.a.w. yang antara lain menyatakan:مثل المؤمنين في توادهم وتراحمهم وتعاطفهم كالجسد الواحد إذا اشتكى منه عضو واحد تداعى له سائر الجسد بالهر والحمى Maksudnya:"Perumpamaan bagi seorang muslim dari sudut kasih, sayang dan lemah lembutnya mereka sesama mereka ialah seperti satu jasad, apabila mengadu salah satu anggota dengan satu kesakitan maka seluruh anggota badannya akan berjaga dan menanggung penderitaan tersebut. "Manakala mahabbah dari sudutnya yang batin bagi seorang yang sālik itu dapat dilihat dari firman Allah S.W.T. yang antara lain:يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ . Maksudnya:"Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kamu kepada Allah S.W.T. dan hendaklah kamu berada bersama-sama orang-orang yang benar. "Ayat di atas jelas membawa maksud perintah supaya setiap mukmin itu bersama-sama dengan orang-orang yang bersifat al-sādiqin. Untuk menyahut seruan tersebut adalah wajar bagi seorang yang mukmin merasa-rasakan diri mereka bersama-sama dengan orang-orang yang al-sādiqin. Kebersamaan tersebut terjelma dalam semua aspek kehidupan mereka, sama ada dari sudut keimanan seperti berpegang kepada janji, taubat, inābah dan sebagainya. Malahan bagi mereka yang berkesempatan untuk bertemu dengan mereka, maka hendaklah bersama-sama bergaul dan berdampingan dengan orang-orang al-sādiqin tersebut. Sebaliknya jika tidak berkesempatan untuk berbuat demikian maka cukup sekadar dengan roh melalui kaedah dan amalan al-rābitah. Ini kerana menurut Ibrāhim Hilmi al-Qādiri, terdapat ramai orang yang bersama-sama dengan orang-orang yang bersifat al-sādiqin dari sudut zahirnya, tetapi pada hakikatnya mereka itu tidak bersama-sama dengan golongan al-siddiqin tersebut dari sudut al-hāl. Sedangkan di sana terdapat golongan yang berjauhan dengan orang-orang yang bersifat al-siddiqin dari sudut zahirnya, tetapi sebenarnya mereka bersama-sama dengan golongan al-siddiqin itu dari sudut rohnya. Fakta di atas dapat dibuktikan dengan melihat kepada konsep al-kaynunah yang terdapat dalam ayat di atas tadi. Konsep al-kaynunah yang terkandung dalam perkataan kunu tidak akan sempurna dan berlaku dalam perintah ayat di atas jika tidak wujud suatu keadaan irtibāt antara kedua belah pihak, iaitu antara orang-orang yang bersifat al-siddiqin dan orang-orang yang beriman. Oleh yang demikian al-rābitah itu berfungsi sebagai penghubung antara kedua-dua golongan ini dengan satu landasan mahabbah yang berdasarkan kepada hubungan al-ruhi. Dalam konteks ilmu dan amalan tasawwuf seorang yang sālik dianggap gagal dalam usahanya mencapai tahap al-taraqi dalam perjalanannya menuju Allah S.W.T., melainkan dengan menjaga adab-adab al-mahabbah dan ikhlas terhadap gurunya. Apabila terdapat pada diri seorang murid atau salik sifat su’ al-zann terhadap gurunya atau ustaz yang mengajarnya di samping melupakan kelebihan-kelebihan mereka ke atas dirinya (lebih tepat jika dikatakan di sini mereka yang angkuh dengan ilmu pengetahuan yang diperolehi sehingga mereka sanggup mengenepi dan mengecilkan kedudukan guru-guru yang pernah mengajar dan membimbing mereka). Atau dalam erti kata lain mereka bersifat biadab terhadap guru mereka lantaran itu maka tertutuplah pintu-pintu al-fuyudāt yang bersifat al-hāl ke atas dirinya.
4.2.4 AI-Rābitah sebagai sumber al-mahabbah .Terdapat suatu kisah yang telah dinukil oleh al-Qādiri dan beliau muatkan kisah tersebut dalam kitabnya yang berjudul Madārij al-Haqiqah antara lain beliau menyebutkan kisah tersebut dengan katanya: حكى أن سلطان الغزنوى دخل على الشيخ أبى الحسن الخرقانى قدس سره وجلس ساعة ثم قال للشيخ ماذا تقول فى حق أبى يزيد البسطامى فقال هو رجل من رآه اهتدى فقال السلطان وكيف ذلك وأن أبا جهل رأى رسول الله صلى الله عليه وسلم ولم يخلص من الضلالة قال الشيخ فى جوابه انه ما رأى رسول الله صلى الله عليه وسلم وانما رأى محمد بن عبدالله يتيم أبى طالب لو كان رأى رسول الله صلى الله عليه وسلم لدخل فى السعادة .أى لو رآه عليه الصلاة والسلام من حيث أنه رسول الله معلم هاد وأذعن. كما قال الله تعالى : وَتَرَاهُمْ يَنظُرُونَ إِلَيْكَ وَهُمْ لاَ يُبْصِرُون .َ Maksudnya:"Diceritakan bahawa Sultan Mahmud al-Ghaznawi telah berjumpa dengan Syeikh Abu al-Hasan al-Kharqāni dan ia bertanya kepada Syeikh al-Kharqāni tentang pandangannya terhadap Syeikh al-Bistāmi. Maka berkata Syeikh al-Kharqāni bahawa dia (Syeikh al-Bistāmi) ialah seorang yang sesiapa memandangnya akan diberikan pertunjuk dan hidayat. Berkata Sultan Mahmud seterusnya: Bagaimana halnya dengan Abu Jahl, ia melihat Rasulullah (s.a.w.) sedang ia tidak dapat melepaskan dirinya dari belenggu kesesatan? Syeikh al-Kharqāni menjawab: Sesungguhnya Abu Jahl itu tidak melihat Rasulullah s.a.w. tetapi yang dilihatnya hanyalah Muhammad ibn ‘Abdillah seorang yang yatim dari keturunan Abu Tālib. Jika sekiranya Abu Jahl itu melihat bahawa Muhammad itu sebagai seorang Rasul yang bersifat mu'allim dan bersamanya terdapat hidayat serta pertunjuk pastilah dia akan beroleh kebahagiaan. Allah S.W.T. berfirman yang bermaksud: Dan engkau nampak benda-benda itu memandangmu padahal mereka tidak melihat. "Dari gambaran kisah yang telah disebutkan, jelas kepada kita bahawa hubungan yang bersifat ruhiyyah itu sangat penting bagi seseorang untuk mencapai tahap keredaan daripada Allah S.W.T. Hubungan yang bersifat ruhiyyah inilah yang dikenali dalam disiplin ilmu dan amalan tasawwuf sebagai al-rābitah, hubungan yang berlandaskan kepada kasih sayang. Menjaga adab sopan antara murid dengan guru semasa bergaul dan menjaga hubungan tersebut ketika seorang murid berjauhan melalui amalan al-rābitah. Keadaan ini menurut disiplin ilmu dan amalan tasawwuf adalah asas bagi seorang yang sālik untuk mencapai wusul ilā Allah. Oleh sebab itu dalam ajaran tasawwuf, seorang sālik yang tidak melihat guru atau syeikhnya dengan selayaknya, di samping menjaga adab yang sewajarnya terhadap guru atau syeikh, maka sukar baginya untuk mencapai matlamat wusul tersebut. la tidak akan mendapat keberkatan dari tunjuk ajar yang telah diberikan oleh syeikh atau gurunya itu sekalipun ia bersahabat dan berguru dalam masa yang lama.Begitu juga dengan penggunaan kalimah السلام عليك أيها النبي jika dilihat dari sudut amalan dan penghayatannya dapat kita jadikan dalil dan bukti tentang wujud makna dan amalan al-rābitah dalam kehidupan harian dan amalan kita. Apabila kita membaca tashahhud ketika mendirikan solat, ia mengandungi makna dan pengajaran yang jelas bahawa seseorang itu mestilah mengingati Allah S.W.T. dan merasakan dirinya hampir kepada Allah S.W.T., namun dalam waktu yang sama dia juga harus mengingati Nabi Muhammad s.a.w. dalam erti menyayangi dan mengasihinya. Keadaan ini disebabkan oleh perutusan Nabi Muhammad s.a.w. kepada kita dan dengan itu kita telah dapat mendirikan solat dengan betul seperti yang telah ditetapkan oleh hukum syarak. Dengan mengucapkan doa السلام عليك أيها النبي yang membawa maksud: Selamat sejahtera ke atas kamu wahai Nabi, jelas dengan penggunaan istilah kamu wahai Nabi itu memperlihatkan seolah-olah solat itu didirikan secara bersama dengan Rasulullah s.a.w. Ini kerana menurut al-Ghazāli, apabila seseorang mendirikan solat dan sebelum ia mengucapkan kalimah السلام عليك أيها النبي hendaklah ia menghadirkan Nabi s.a.w. dalam hatinya.
Dalam ilmu psikologi ia disebut sebagai tajrid yang membawa maksud mengosongkan hatinya dari segala sesuatu bagi memberi ruang untuk mengingati sesuatu yang lebih penting. Walaupun Nabi Muhammad s.a.w. telah wafat dan disemadikan di Madinah dengan jarak ribuan kilometer dari kita, namun ia tidak menjadi halangan untuk seseorang itu merasa hampir, kasih dan sayang terhadap Nabi s.a.w. Sebagai contoh, walaupun seseorang itu berada jauh dari kampung halamannya, tetapi dia boleh mengingat dalam hatinya tentang rumah dan tempat tinggal serta kaum keluarga yang menghuninya. Dalam hal ini jarak antara satu dengan yang lain tidak menghalang ingatan seseorang.Bacaan tashahhud akhir adalah bacaan yang termasuk dalam rukun solat, tanpanya solat dikira batal. Manakala dalam tashahhud itu pula terkandung kalimah السلام عليك أيها النبي . Ungkapan ini bukan sahaja wajib disebut atau dibaca, tetapi sewajarnya dihayati menurut makna dan maksud sebenar yang terkandung dalamnya. Ucapan; Selamat sejahtera ke atas engkau wahai Nabi merupakan ucapan yang membawa maksud للمخاطب , iaitu ucapan yang menggunakan ganti nama yang pertama. Penggunaan kalimah عليك yang bermaksud ke atasmu tidak memberi sebarang makna jika tidak dihayati dan dirasakan bahawa orang yang menerima ucapan itu sedang berada hampir dengannya. Kerana dengan melihat zahir ayat ia menggambarkan satu dialog antara orang yang pertama dan yang kedua. Penggunaan istilah; Selamat sejahtera atas engkau wahai Nabi merupakan ucapan yang tepat dari sudut rasionalnya, kerana dengan pengorbanan besar yang telah dilakukan oleh Nabi Muhammad s.a.w. memberikan kesejahteraan dan kebahagiaan kepada umat manusia dan seluruh alam ini. Ucapan terima kasih juga kerana Nabi s.a.w. telah membawa obor hidayat ketika manusia meraba-raba dalam kesesatan jahiliyah. Melalui Baginda Rasulullah s.a.w. manusia dapat menerima ajaran wahyu Allah S.W.T. seterusnya menyelamatkan manusia dari segala kesengsaraan dunia mahupun akhirat. Walaupun manusia boleh mengucapkan salawat atas Nabi sebanyak yang mungkin di luar solat, namun dalam bacaan tashahhud Allah S.W.T. menghendaki manusia mengucapkannya dalam solat, sebagai lambang mengenang jasa bagi seluruh umat manusia atas pengorbanan yang telah dilakukan oleh Rasulullah s.a.w. Dengan berselawat juga manusia dapat merasai keakraban dan rasa kasih sayang terhadap Baginda Rasulullah s.a.w yang menjadi kesayangan dan kecintaan umat manusia seluruhnya.Selain dari itu seorang yang sālik hendaklah mengucapkan salam itu dengan penuh keyakinan bahawa salamnya itu didengar oleh Nabi s.a.w., selain dari itu ia mestilah menaruh keyakinan penuh bahawa salamnya telah dijawab oleh Nabi s.a.w. Dengan keyakinan seperti itu dia tidak merasakan dirinya bercakap secara bersendirian kerana apalah ertinya jika kita mengucapkan sesuatu kepada seseorang sedangkan ia tidak mendengar ucapan tersebut.
Oleh yang demikian, untuk menjadikan seseorang itu lebih seronok dan dapat merasakan kemanisan ketika mendirikan solatnya, hendaklah dia merasakan dan meyakini sungguh-sungguh pada setiap kali ia mengucapkan selawat ke atas Nabi. Pada ketika itu hendaklah dirasa-rasakan secara dhawqiyyah bahawa Nabi telah mendengar dan menjawab salam tersebut. Alangkah bahagianya seseorang itu jika ia tahu bahawa ucapan selawatnya telah dijawab oleh Baginda s.a.w. dengan sebaik mungkin.Oleh yang demikian, untuk melahirkan rasa kasih dan sayang terhadap Nabi s.a.w. seorang yang sālik hendaklah dia bersegera mendirikan solat, kerana dalam solat tersebut dia boleh berbalas-balas salam dengan Baginda s.a.w. dan boleh berjumpa dan bertemu dengannya. Keyakinan yang demikian akan melahirkan rasa motivasi untuk segera melakukan solat apabila telah tiba waktunya, selain ditambah dengan solat-solat yang sunat, kerana dalam tashahhud sahajalah ia akan dapat melepaskan rasa kasih sayang dan rindunya terhadap Allah S.W.T. dan RasulNya.Dari berbagai fakta yang telah diterangkan di atas dapat kita lihat dengan jelas bagaimana kedudukan al-rābitah itu sebagai salah satu dari sumber al-mahabbah yang telah diamalkan dalam disiplin ilmu dan amalan tasawwuf.

4.3 DALIL KEHARUSAN AMALAN AL-RĀBITAH MENGIKUT DISIPLIN ILMU TASAWWUF.
DALIL KEHARUSAN AMALAN AL-RĀBITAH MENGIKUT DISIPLIN ILMU TASAWWUFApabila kita membicarakan soal al-rābitah dan mentalaah kitab-kitab tasawwuf tentangnya, maka antara dalil-dalil yang telah digunakan oleh para ulamak tasawwuf dahulu dan sekarang ialah seperti berikut:4.3.1 Firman Allah S.W.T:يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ . Maksudnya:"Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kamu kepada Allah S.W.T. dan hendaklah kamu berada bersama-sama orang-orang yang benar."Dalam ayat di atas terdapat dua fi‘il al-amr yang membawa maksud perintah. Perintah pertama agar bertakwa kepada Allah S.W.T., sedang yang kedua pula perintah agar bersama-sama dengan orang-orang yang bersifat sādiqin. Justeru menurut ayat di atas kita diperintahkan oleh Allah S.W.T. agar bersama-sama dengan mereka dari semua aspek kehidupan. Kita dituntut supaya bersifat sabar seperti sabarnya golongan tersebut, kita diperintahkan bersifat dengan sifat mukmin, solehin dan sebagainya seperti yang mereka miliki. Lantaran itu kita diperintahkan memohon kepada Allah S.W.T. agar dikurniakan dengan nikmat-nikmat seperti yang telah Allah S.W.T. kurniakan kepada golongan tersebut. Keadaan ini telah dirakamkan oleh Allah S.W.T. dalam firmanNya:صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ. Maksudnya:"Iaitu jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan ni’mat kepada mereka, bukan jalan mereka yang dumurkai dan bukan pula jalan mereka yang sesat. "Persoalannya di sini ialah bagaimana perintah supaya bersama-sama itu dapat dilaksanakan dengan sebaik yang mungkin. Di sinilah titik permulaan untuk kita membicarakan masalah al-rābitah dalam disiplin ilmu dan amalan tasawwuf dengan bersandar kepada dalil di atas. Kerana terdapat berbagai pendapat serta pandangan yang telah dikemukakan terhadap persoalan ini. Namun bagi para ulamak tasawwuf, secara umumnya mereka berpendapat ayat tersebut membawa maksud al-rābitah. Pendapat tersebut adalah didasarkan kepada beberapa fakta berikut:1- Menurut al-Khāni seperti yang terdapat dalam kitabnya berjudul al-Haqā`iq al-Wardiyyah, yang beliau nukil dari keterangan Syeikh ‘Ubaydullah bahawa al-kaynunah, (iaitu perkataan kunu) dalam ayat di atas merupakan perintah Allah S.W.T. agar manusia sentiasa bersama-sama dengan golongan al-siddiqin seperti yang disebutkan dalam surah al-Taubah tersebut, arahan supaya bersama-sama ini merangkumi aspek zahir dan batin. Menurut ‘Ubaydullah lagi, al-kaynunah al-ma‘nawiyyah itulah yang dimaksudkan oleh golongan tasawwuf dengan al-rābitah. Oleh yang demikian dapat kita fahamkan di sini bahawa al-kaynunah tersebut boleh terjadi dalam dua bentuk, pertama al-kaynunah yang bersifat zahir dan kedua pula ialah al-kaynunah dari sudut ma‘nawiyyah atau yang batin.
2- AI-Kaynunah dalam ayat tersebut juga tidak boleh terjadi sama sekali kecuali setelah berlaku irtibāt yang sempurna antara kedua belah pihak. Oleh yang demikian perintah Allah S.W.T. supaya sentiasa bersama dengan golongan al-siddiqin itu tidak akan terjadi tanpa adanya suatu bentuk irtibāt antara kedua-dua golongan tersebut. Dalam mewujudkan situasi irtibāt antara kedua-dua golongan ini maka amalan al-rābitah berperanan sangat penting bagi mewujudkan irtibāt tersebut. Dari kedua-dua fakta di atas memperjelaskan lagi di sini bagaimana ulamak tasawwuf menggunakan ayat al-Qur’an surah al-Taubah ayat 119 tersebut sebagai dalil yang menunjukkan keharusan amalan al-rābitah yang diamalkan dalam disiplin ilmu dan amalan tasawwuf. Walaupun demikian, pengambilan ayat ke119 dalam surah al-Taubah itu dibantah oleh ulamak bukan tasawwuf, seperti Syeikh Ahmad Khātib. Beliau membantah keras penggunaan ayat tersebut dengan membuat beberapa ulasan antaranya beliau menyebutkan:Mereka mentafsir; orang-orang yang benar dengan guru-guru. Dan; serta mereka, dengan menghadirkan mereka ketika berzikir, kerana hendak memelihara rupa itu dan beradab kepadanya serta meminta limpahan daripadanya supaya dengan menghadirkannya, sempurna hadir hati kepada Allah Ta'ala dan turun cahaya. Dan dengan melihat rupa itu terhalang tiap-tiap pekerjaan yang bersifat kekurangan. Dari keterangan di atas Syeikh Ahmad Khātib mengemukakan bantahan beliau dengan pandangannya:Dalil itu adalah batal dan mentafsirkan al-Qur’an dengan fikiran semata-mata yang terlarang. Sabda Nabi kita (s.a.w.):Bermaksud:“Barangsiapa mengatakan sesuatu tentang al-Qur’an dengan fikirannya semata-mata atau dengan kejahilan, maka sediakanlah tempat tinggalnya di dalam api neraka.” Orang tersebut telah termasuk dalam umum hadis ini kerana ia telah mentafsirkan al-Qur’an dengan fikirannya. Adapun makna:Jadilah engkau seperti mereka itu tentang benarnya.Dan seperti itu pula diriwayatkan Bayhaqi dan lain-lain dari Ibn Mas‘ud. Maka yang dikehendaki dengan sādiqin (orang-orang yang benar), ialah segala orang yang benar agama, niat, perkataan dan amalannya.Maka dari tafsir di atas nyatalah bahawa ayat tersebut tidak boleh dijadikan dalil bagi menghadirkan guru ketika berzikir, iaitu makna rābitah. Dan jika kita umpamakan makna:Jadilah kamu berserta orang-orang yang benar.Maka ia juga tidak menunjukkan kepada makna menghadirkan rupa guru ketika berzikir. Kerana orang yang menghadirkan rupa guru itu tidaklah ia berserta orang yang benar. Kerana orang yang benar ialah anak Adam (manusia) yang amat benar dalam agama, niat dan ibadatnya. Sedang rupa guru itu bukan ia diri guru. Dan makna berserta suatu dengan suatu ialah bersama-sama dengan dia dan bergaul dengan dia. Bukan makna berserta itu menghadirkan rupanya. Maka antara dalil dan madlul berjauhan seperti antara bumi dengan langit.Adapun katanya beradab dengan rupa guru meminta limpahan daripadanya, maka telah lalu bahawa ia terlarang menurut nas Qur’an yang telah diterangkan, kerana dia beradab terhadap bayang-bayang guru dan meminta kepadanya. Maka yang demikian menyampaikan kepada mensekutukan Tuhan dan mengiktikadkan yang lain dari Allah Ta'ala mempunyai bekas.
Penjelasan:Seperti yang telah kita bincangkan, pengambilan ayat ke119 dalam surah al-Taubah ini adalah merujuk kepada makna yang batin atau ma‘nawi. Justeru, konsep bersama-sama yang cuba diutarakan dalam disiplin ilmu dan amalan tasawwuf yang terdapat dalam ayat di atas ialah bersama-sama dari sudut maknanya yang batin atau ma‘nawiyyah itu. Hal ini jelas terbukti dari keterangan yang diberikan oleh al-Ālusi dalam tafsirnya Ruh al-Ma‘āni seperti yang beliau jelaskan وجوز أن يكون عاما لهم ولغيرهم فيكون المراد بالصادقين الذين صدقوا فى الدين نية وقولا وعملا, وأن يكون خاصا بمن تخلف وربط نفسه بالسوارى. Maksudnya:"Boleh juga diertikan bahawa al-sadiqin itu dengan makna yang am bagi mereka dan selain mereka, maka yang dimaksudkan dengan al-sadiqin itu ialah mereka yang benar dalam agama dari sudut niat, perkataan dan perbuatan. Dan boleh juga diertikan al-sadiqin itu secara khusus kepada mereka yang terdahulu dengan berabitah dirinya atas kemuliaan dan darjah mereka."Jelas dari keterangan al-Ālusi ke atas ayat 119 surah al-Taubah itu tadi, menunjukkan bahawa al-siddiqin itu adalah merujuk kepada orang-orang yang terdahulu, sama ada mereka itu dari kalangan ahli kitab, Rasulullah s.a.w. mahupun para sahabat Baginda Rasulullah s.a.w. Fakta ini beliau jelaskan dengan menukil keterangan yang diriwayatkan oleh Ibn al-Mundhir daripada Jarir daripada Nāfi‘, beliau menyebutkan:أن الاية نزلت فى الثلاثة الذين خلفوا , والمراد بالصادقين محمد صلى الله عليه وسلم وأصحابه , وبذلك فسره ابن عمر كما أخرجه أبى خاتم . Maksudnya:"Sesungguhnya ayat tersebut diturunkan kepada golongan yang terdahulu, sedangkan maksud al-sādiqin pula ialah Nabi Muhammad s.a.w. dan para sahabatnya. Demikian penafsiran Ibn ‘Umar seperti yang dikeluarkan oleh Abu Khātim. "Oleh yang demikian, dapat kita membuat tanggapan di sini bahawa pandangan Syeikh Ahmad Khatib ketika menghuraikan makna berserta atau bersama itu hanya terbatas kepada makna yang zahir dengan merujuk kepada pergaulan secara fizikal, pandangan tersebut tentu sahaja menyalahi kaedah pentafsiran yang telah dikemukakan oleh al-Ālusi tersebut. Kerana menurut al-Ālusi, yang dimaksudkan dengan al-sādiqin itu ialah mereka yang terdahulu yang sezaman dengan Nabi s.a.w., atau yang sebelum itu lagi. Jika demikian, bagaimana pandangan Syeikh Ahmad Khatib dalam menjelaskan bersama-sama dengan orang al-sādiqin itu boleh dipraktikkan, kerana zaman mereka telah berlalu sekian lama. Dalam konteks ini apakah boleh kita mengabaikan sahaja perintah Allah S.W.T. agar kita bersama dengan orang yang al-sādiqin tersebut? Di sinilah timbulnya pandangan ulama-ulama tasawwuf yang mentafsirkan bersama-sama itu dalam pengertiannya yang ma‘nawiyyah. Menurut al-Khāni bersama-sama dari sudut ma‘nawiyyah itulah yang dimaksudkan dengan al-rābitah dalam disiplin ilmu dan amalan tasawwuf.
Kesimpulan:Dari perbincangan di atas, dapat kita mengambil beberapa kesimpulan yang menyebabkan timbulnya kekeliruan ketika memahami maksud ayat 119 dalam surah al-Taubah tersebut adalah seperti berikut:a) Tidak memahami dan menerima bentuk pentafsiran yang bersifat ma‘nawiyyah terhadap ayat-ayat al-Qur’an.b) Pentafsiran yang dilakukan mestilah memahami secara bahasa dan istilah terhadap makna al-rābitah tersebut, kerana makna dan konsep al-rābitah itu tidak hanya terbatas kepada amalan menghadirkan rupa guru ketika hendak berzikir semata-mata, tetapi lebih luas dan lebih umum dari itu. Dalam sebuah hadis Rasulullah s.a.w. menyebutkan:عن أسماء بنت يزيد, انها سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : ألا أنبئكم بخياركم؟ قالوا: بلى يا رسول الله! قال : خياركم الذين اذا رؤا , ذكر الله عز وجل . Maksudnya:"Daripada Asmā` binti Yazid, bahawa dia telah mendengar Rasulullah s.a.w bersabda. Adakah tidak mahu aku khabarkan kepada kamu orang yang paling baik di kalangan kamu? Mereka menjawab : Bahkan Ya Rasulullah! Mereka yang apabila dilihat mengingatkan orang yang melihat itu kepada Allah S.W.T. "Hadis di atas memberikan penjelasan kepada kita bahawa dengan melihat seseorang yang berada pada maqāmnya yang hampir dengan Allah S.W.T., akan memberikan keberkatan terhadap orang yang melihatnya. Bagi seorang yang sālik, hal tersebut merupakan wasilah yang boleh mempercepatkan bagi dirinya untuk berada pada tahap wusul kepada Allah S.W.T. Oleh sebab itu, dalam menjalani suluk, seorang yang sālik amat dituntut untuk menghadirkan rābitah sebagai memenuhi maksud hadis di atas. Jika sekiranya yang dimaksudkan dengan ru’yah itu hanya terbatas kepada pandangan yang zahir sahaja, bagaimana dengan orang-orang terkemudian yang tidak pernah berjumpa dan bertemu dengan Rasulullah s.a.w., para sahabat, tābi‘ al-tābi‘in dan seterusnya? Tentu sahaja kita tidak dapat mencapai maksud dan tujuan dari hadis di atas. Dalam konteks Malaysia hari ini, siapa agaknya yang boleh menepati kehendak dari hadis di atas? Sukar untuk kita mencari seorang guru yang menepati ciri-ciri seperti generasi awal zaman Rasul s.a.w. Jika adapun terlalu kecil bilangannya dan sukar pula untuk berjumpa dan melihatnya bagi mencapai maksud dan tujuan dari hadis di atas. Oleh itu, menurut disiplin ilmu dan amalan tasawwaf, ru'yah dalam hadis di atas merangkumi kedua-dua maksud, iaitu penglihatan yang zahir dan yang kedua ialah penglihatan yang batin. Melihat dengan mata hati yang bersifat sanubari itu sebenarnya adalah lebih berkesan dan memberikan manfaat bagi seorang yang sālik ketika menjalani al-suluk.
4.3.2 Firman Allah S.W.T.:يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اصْبِرُوا وَصَابِرُوا وَرَابِطُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ . Maksudnya:"Wahai orang-orang yang beriman! Bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap sedia (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kamu kepada Allah S.W.T. supaya kamu beroleh kejayaan." Seperti yang telah kita jelaskan, ketika menghuraikan dalil yang pertama, pengertian batin atau ma‘nawiyyah terhadap ayat ini diambil kira dalam menjelaskan peranan dan kedudukan al-rābitah. Bagi menjelaskan fakta ini dapat kita lihat keterangan yang diberikan oleh ahli tafsir tentangnya. Sebagai contoh seperti keterangan yang telah dikemukakan oleh Syeikh al-Ālusi dalam tafsirnya yang terkenal, Ruh al-Ma‘āni antara lain menyebutkan:(ورابطوا) فى مقام الروح ذواتكم حتى لا تعتريكم فترة أو غفلة واتقوا الله عن المخالفة والاعراض والجفاء Maksudnya:"Dan berābitahlah kamu pada tingkat roh itu ialah diri kamu (hati dan sirr kamu) sehingga kamu tidak ditimpa lemah (iman) dan kelalaian dan bertakwalah kepada Allah S.W.T. (dengan menjaga diri) dari (sifat) menentang Allah S.W.T., membelakangkan Allah S.W.T. dan membenci Allah S.W.T. "Syeikh al-Fakhr al-Rāzi tidak ketinggalan memberikan keterangannya dalam tafsirnya Mafātih al-Ghayb, bahawa perkataan rābitu dalam ayat di atas adalah merujuk kepada makna yang zahir dan batin. Antara maksud yang termasuk dalam pengertian batin itu ialah seperti sifat sabar, tetap iman, gigih dan sebagainya lagi. Situasi seumpama ini memang boleh terjadi dalam hati seseorang, baik ketika berjihad atau mengerjakan ibadat seperti sembahyang dan sebagainya. Ini bererti bahawa sifat-sifat batiniah seperti di atas amat dituntut sebagai satu landasan kepada aspek yang zahir.Dari keterangan yang telah diberikan oleh para mufassir di atas, dapat kita menyimpulkan di sini bahawa istilah rābitu yang digunakan dalam ayat di atas adalah merujuk kepada maksud zahir dan batin. Sedang yang batin itu lebih ditekankan kerana ia sebagai dasar dan asas tiap-tiap yang zahir. Oleh yang demikian jika teguh aspek yang batin, maka sudah pasti akan teguh pula aspek zahir itu. Sebagai contoh; jika rābitah yang zahir itu ialah sentiasa bersiap sedia atau waspada di tempat ibadah atau dengan makna menanti-nanti waktu solat selepas menunaikan solat, bersiap sedia atau waspada dengan kekuatan tentera di perbatasan negara untuk memerangi musuh atau seumpamanya, maka rābitah yang bersifat batin atau ma‘nawiyyah pula bolehlah kita katakan sebagai perkara-perkara yang bersifat ruhāniyyah yang menyumbang kepada kekuatan keimanan kepada Allah S.W.T. dan akhirnya akan membawa seseorang itu mencapai kejayaan seperti yang telah dijelaskan oleh Allah S.W.T. dalam ayat di atas tadi. Antaranya ialah rābitah al-syeikh seperti yang terdapat dalam disiplin ilmu dan amalan tasawwuf. Menurut Prof. Madya Dr. Jahid Sidek, huraian seperti yang tersebut berhubung dengan perintah rābitah dalam kalimah wa rābitu itu sebenarnya tidak menyalahi kaedah merumuskan kefahaman hukum dari ayat tersebut. Hal ini disebabkan, perintah daripada Allah S.W.T. itu sebenarnya merangkumi aspeknya yang zahir dan batin. Beliau seterusnya membuatkan kronologi terhadap kewajipan berpuasa yang merangkumi puasa zahir dan yang batin. Jika dari sudutnya yang zahir, puasa itu tidak boleh makan, minum dan apa juga yang boleh membatalkan puasa tersebut dari terbit fajar hingga terbenam matahari, maka begitu juga dengan puasa jika dilihat dari sudutnya yang batin hendaklah menjaga hati dan semua anggota dari berbagai pekerjaan yang membawa akibat kepada dosa. Malahan puasa yang batin itulah yang lebih penting seperti yang pernah dijelaskan oleh Rasulullah s.a.w. bahawa ramai orang yang berpuasa itu hanya merasai lapar dan dahaga sahaja tanpa mendapat pahala dan hikmat yang sebenar dari puasa tersebut. Demikian juga dengan tuntutan berābitah dalam ayat di atas, jika kita hanya berābitah dari sudutnya yang zahir, bererti kita akan penat berada di tempat ibadat itu sahaja tanpa mendapat hikmatnya yang sebenar.
KesimpulanDari keterangan dan perbincangan di atas, maka dapatlah kita tegaskan sekali lagi bahawa amalan rābitat al-syeikh dalam disiplin ilmu dan amalan tasawwuf seperti yang telah diterangkan definisi dan konsepnya, begitu juga dengan kedudukan dan cara mengamalkannya merupakan salah satu dari berbagai bentuk wasilah yang dituntut oleh Allah S.W.T. Amalan tersebut tentu sahaja boleh menyampaikan seseorang yang sālik kepada hakikat mengenal Allah S.W.T., sama seperti kita berwasilah dan berwāsitah dengan segala ciptaan sama ada di langit dan di bumi seperti yang telah diterangkan oleh Allah S.W.T. dalam firmanNya:أَفَلاَ يَنْظُرُونَ إِلَى الاِْبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ . وَإِلَى السَّمَاءِ كَيْفَ رُفِعَتْ . وَإِلَى الْجِبَالِ كَيْفَ نُصِبَتْ . وَإِلَى الاَْرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْ . Maksudnya:"Maka apakah mereka tidak memerhatikan atau melihat bagaimana dunia diciptakan . Dan kepada langit bagaimana ia ditinggikan. Dan bukit-bukit bagaimana ia ditegakkan. Dan bumi bagaimana ia dihamparkan ". Bagaimana keadaan dan perasaan kita ketika sedang merenung, memandang dan memikirkan tentang ciptaan Allah S.W.T. tersebut? Tentu sahaja pandangan dan renungan itu bukan kepada Zat Allah S.W.T., sebaliknya melihat dan memikirkan tentang berbagai kesan kewujudanNya, keagunganNya, kesempurnaanNya dan sebagainya lagi. Maka begitulah juga dalam ajaran tasawwuf, rābitah dengan syeikh al-murshid itu bukanlah zat syeikh itu yang menjadi tumpuan dan matlamat akhirannya, tetapi ialah wujudnya Allah S.W.T., keagunganNya, kehebatanNya, kesempurnaanNya dan sebagainya lagi. Akhirnya akan melahirkan seorang mukmin yang bersifat dengan sifat orang-orang yang mutawakkilin seperti yang disebutkan oleh Allah S.W.T. dalam firmanNya:إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آياتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًَا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ . Maksudnya:"Sesungguhnya orang-orang beriman itu (yang sempurna imannya) ialah mereka yang apabila disebut nama Allah S.W.T.(dan sifat-sifatNya) gementarlah hati-hati mereka dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayatNya, menjadikan mereka bertambah iman, dan kepada Tuhan mereka jualah mereka berserah . "

4.3.3 Firman Allah S.W.T.:
DALIL KEHARUSAN AMALAN AL-RĀBITAH MENGIKUT DISIPLIN ILMU TASAWWUF
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ . Maksudnya:"Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah S.W.T. dan carilah jalan yang boleh menyampaikan kepadanya (dengan mematuhi dan meninggalkan laranganNya), dan berjuanglah pada jalan Allah S.W.T. (untuk menegakkan Islam) supaya kamu beroleh kejayaan. "Dari keterangan yang berdasarkan kepada ayat 35 surah al-Maidah di atas, jelas menunjukkan adanya perintah untuk mencari wasilah seperti yang terkandung dalam ungkapan وابتغوا إليه الوسيلة . Tujuan serta matlamat berbuat demikian juga telah dijelaskan oleh Allah S.W.T. dalam ayat tersebut dengan ungkapan لعلكم تفلحون . Dari keterangan yang diberikan dari dua ungkapan tersebut menunjukkan bahawa amalan mencari wasilah itu merupakan suatu yang sangat penting kerana tanpanya kejayaan yang dicari tidak akan kunjung tiba seperti yang telah diterangkan oleh struktur ayat tersebut. Masalahnya sekarang ialah, apakah yang dimaksudkan oleh Allah S.W.T. dengan ungkapan وابتغوا إليه الوسيلة tersebut. Apakah ia hanya terbatas kepada amal soleh atau apa juga bentuk wasilah selain dari amal soleh. Di sinilah titik perselisihan yang timbul sehingga ada yang mengatakan bahawa wasilah selain amal soleh adalah bersifat bidaah dan tidak ada dalam syariat Islam. Kita berpendapat, oleh kerana ayat al-Qur’an tersebut tidak memberikan penjelasan yang tepat terhadap maksud wasilah yang sebenar, maka di sini ada ruang yang diberikan oleh syariat Islam untuk mentafsirkan ayat tersebut kepada makna-makna yang tertentu berdasarkan kepada faktor-faktor tertentu. Dalam hal ini ulamak tasawwuf berpendapat bahawa al-wasilah itu adalah bersifat umum, ia merangkumi semua bentuk tawassul sama ada kepada zat-zat yang mempunyai kelebihan dan kemuliaan di sisi Allah S.W.T semasa hidup atau sesudah matinya, begitu juga tawassul dengan amal-amal soleh. Untuk membatasi tujuan al-wasilah dalam ayat di atas hanya kepada amal-amal soleh ternyata agak sukar, kerana selain bermaksud umum, kalimah tersebut juga dari sudut kaedah bahasa Arab berada pada posisi ism al-ma‘rifah bukan ism al-nakirah sekalipun kalimah al-wasilah itu dalam bentuknya yang mufrad tidak jamak. Namun ulamak yang tidak terlibat secara langsung dengan disiplin ilmu dan amalan tasawwuf, secara umumnya menolak penggunaan ayat 35 dalam surah al-Ma`idah ini sebagai dalil keharusan untuk mengamalkan al-rābitah. Seperti Syeikh Ahmad Khātib menganggap wasilah selain daripada amal soleh itu adalah perbuatan bidaah dan terlarang dalam syariat Islam. Menurut beliau perbuatan berwasilah kepada selain dari amal soleh seperti berwasilah kepada zat-zat yang mulia yang mempunyai kelebihan serta ketinggian martabah di sisi Allah S.W.T. adalah permohonan dan permintaan kepada selain daripada Allah S.W.T. Beliau beranggapan perbuatan berwasilah tersebut adalah bertentangan dengan hadis Rasullah s.a.w. yang bermaksud:Apabila kamu hendak meminta tolong maka pintalah pertolongan itu daripada Allah. Sebenarnya, penggunaan ayat 35 surah al-Ma`idah dalam disiplin ilmu dan amalan tasawwuf adalah bagi tujuan mensabitkan keharusan al-rābitah itu. Kerana amalan rābitah merupakan salah satu dari berbagai cara untuk berwasilah seperti yang dituntut dalam ayat di atas.

4.3.4 Firman Allah S.W.T.:
DALIL KEHARUSAN AMALAN AL-RĀBITAH MENGIKUT DISIPLIN ILMU TASAWWUF
وَلَقَدْ هَمَّتْ بِهِ وَهَمَّ بِهَا لَوْلاَ أَنْ رَأَى بُرْهَانَ رَبِّهِ كَذَلِكَ لِنَصْرِفَ عَنْهُ السُّوءَ وَالْفَحْشَاءَ إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُخْلَصِينَ . Maksudnya:"Dan sebenarnya perempuan itu telah berkeinginan sangat kepadanya, dan Yusuf pula (mungkin timbul) keinginannya kepada perempuan itu kalaulah dia tidak menyedari kenyataan TuhanNya (tentang kejinya perbuatan zina itu) Demikianlah agar Kami memalingkan daripadanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih ." Berdasarkan kepada ayat di atas para mufassirin telah berselisih pendapat tentang maksud burhāna rabbihi. Kerana ungkapan ini telah ditafsirkan kepada berbagai maksud dan tujuan. Walau bagaimanapun, mengikut pandangan dan keyakinan ulamak tasawwuf dan tariqat, yang dimaksudkan dengan burhāna rabbihi dalam ayat di atas adalah merujuk kepada maksud al-rābitah. Keyakinan ini disandarkan kepada kebiasaan yang terdapat dalam disiplin ilmu dan amalan tasawwuf yang sangat menekankan hubungan yang erat antara seorang murid dengan syeikhnya. Hasil dan kesan dari hubungan yang erat dan kukuh ini akan melahirkan satu sifat yang sentiasa ingat kepada guru atau syeikhnya. Ingatan tersebut akan berlaku ketika hendak melakukan perintah Allah S.W.T. seperti yang telah diterima ketika waktu pengajian yang diberikan oleh gurunya. Begitu juga apabila hendak melakukan sesuatu kemaksiatan dia akan terbayang guru murshidnya seakan-akan marah terhadap dirinya dengan memperingatkan supaya jangan melakukan maksiat tersebut. Hal ini menyebabkan hawa nafsunya terhenti dan tidak jadi untuk meneruskan perbuatan yang diruntun oleh nafsu syahwat tersebut. Keadaan ini telah menjadi satu disiplin dan kaedah bagi seorang yang sālik dalam amalan tariqat. Kaedah ini dilakukan untuk mengawal diri dari terjerumus ke lembah maksiat yang boleh menggagalkan seorang yang sālik untuk wusul ilā Allah S.W.T.Justeru kerana itu, jika seorang Islam yang mengambil sesuatu ilmu dengan tidak menggunakan perantaraan seorang guru murshid atau syeikh, maka kemungkinan untuk terjadinya penyelewengan terhadap nilai-nilai agama Islam adalah besar. Hal ini disebabkan seseorang itu merasakan dirinya tidak berada dalam lingkaran kesesatan. Dalam hal ini, yang paling jelas, ia tidak mendapat keberkatan dari kedudukan seorang guru yang murshid itu ketika mendapatkan ilmu yang tersebut. Dalam konteks ini perlu diingatkan bahawa Nabi Muhammad s.a.w. sendiripun diajarkan oleh Allah S.W.T. melalui perantaraan Malaikat Jibril dalam mendapatkan ilmu pengetahuan.Oleh yang demikian, rābitah yang dilakukan oleh pengamal tariqat khasnya dan dalam disiplin ilmu dan amalan tasawwuf amnya adalah semata-mata kerana Allah S.W.T. Tidak terdapat sedikitpun unsur-unsur penyembahan kepada guru murshid. Jangan disamakan amalan rābitah ini dengan perbuatan orang-orang yang musyrik, jika tidak memahami konsep serta tujuan amalan ini dilakukan. Orang-orang musyrik itu memang dengan sengaja menjadikan berhala-berhala mereka sebagai tempat melakukan perantaraan untuk mendekatkan diri kepada Allah S.W.T., mereka beriktikad bahawa berbagai bentuk berhala tersebut mempunyai status sebagai oknom yang dipertuhankan lantaran kekuasaan yang dimiliki sama dengan kekuasaan Allah S.W.T. Keadaan ini tidak berlaku dalam disiplin ilmu dan amalan tasawwuf, walaupun terdapat amalan rābitah dalamnya, tetapi ia mempunyai konsepnya yang tersendiri. Murshid hanya sebagai orang tua yang mengandungi makna barakah yang dijadikan wasilah seperti yang dituntut dalam ayat di atas. Tidak ada keyakinan bahawa guru atau syeikh itu memberikan bekas terhadap keyakinan dan iktikad yang dituju, iaitu Zat Allah S.W.T. Hanya Allah S.W.T. sebagai tempat pengharapan dan sembahan, tidak ada iktikad mempertuhankan guru murshid. Seperti yang telah dijelaskan di atas tadi, bahawa guru itu berada pada posisinya sebagai orang tua yang sewajarnya diikuti dan dipatuhi segala perintah dan anjurannya selama mana dia tidak bercanggah dengan hukum Allah S.W.T.dan RasulNya, sebaliknya apa juga bentuk larangan yang dibenci hendaklah segera dijauhi dan ditinggalkan. Mereka yang berada dan beramal dalam disiplin ilmu dan amalan tasawwuf merasa takut dan khuatir apabila hendak meninggalkan perintah agama dan melanggar apa yang dilarang lantaran teringatkan atau terbayang wajah guru murshid berada di hadapannya dalam keadaan marah terhadapnya.Dari penjelasan yang telah diberikan di atas tadi, dapat dinyatakan di sini bahawa disiplin ilmu dan amalan tasawwuf menjadikan ayat 24 dalam surah Yusuf tersebut sebagai sandaran bagi keharusan amalan rābitah. Satu hal yang perlu difahamkan di sini ialah firman Allah S.W.T. yang tersebut dalam ayat 24 surah Yusuf itu adalah jelas dari syariat yang terdahulu, (yakni syariat Nabi Yusuf) namun perlu diingatkan bahawa hukum syariat itu masih muhkamah (berjalan atau berlaku) bagi umat Muhammad s.a.w., tidak terdapat satu keterangan pun yang membatalkan atau membatasi syariat tersebut. Atau hanya terbatas dengan tamatnya tempoh kerasulan Nabi Yusuf a.s. Untuk itu ada kebenarannya menurut pandangan Islam jika ahli tariqat dalam disiplin ilmu dan amalan tasawwuf mengamalkan al-rābitah dengan para guru murshid mereka.
4.3.5 Firman Allah S.W.T.:
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمْ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ . Maksudnya:"Katakanlah wahai Muhammad! Jika sekiranya kamu mengasihi Allah S.W.T., maka hendaklah kamu ikut aku, nescaya Allah S.W.T. akan mengasihi kamu." Ayat di atas secara umumnya dikaitkan oleh ulamak tasawwuf dengan amalan al-rābitah. Malahan ayat tersebut dijadikan sandaran terhadap keharusan amalan al-rābitah dalam disiplin ilmu dan amalan tasawwuf. Antara beberapa sebab yang dikira wajar oleh ulamak tasawwuf untuk menyandarkan keharusan amalan al-rābitah dengan ayat di atas sebagai berikut:1- Merujuk Kepada Konsep Fattabi‘uni. Ayat di atas mengandungi perintah dari Allah S.W.T., melalui lisan Nabi Muhammad s.aw. dengan ungkapan Fattabi‘uni bermaksud: Ikutilah akan daku yang ditafsirkan oleh al-Ālusi dengan katanya:
أو من مجاز النقص أى إن كنتم تحبون طاعة الله تعالى أو ثوابه فاتبعونى فيما آمركم به عنه. كذا قيل. Maksudnya:Atau dari bab majāz al-Naqs iaitu: Jika sekiranya cintakan ketaatan kepada Allah S.W.T., atau pahala daripadaNya, maka hendaklah kamu sekalian mengikuti daku dari apa yang diperintahkan oleh Allah S.W.T. kepada kamu dan meninggalkan apa sahaja yang dilarang olehNya. Demikian apa yang telah dikatakan.Dari keterangan yang diberikan oleh al-Ālusi di atas tadi, jelas kepada kita bahawa, untuk mendapat dan merasakan mahabbah terhadap Allah S.W.T. itu mestilah dengan cara mengikuti Nabi s.a.w. dalam segala urusan yang berkaitan dengan suruhan dan larangan daripada Allah S.W.T. Persoalannya di sini ialah bagaimana kita hendak merealisasikan konsep ittibā‘ tersebut. Dari ungkapan fattabi‘uni, sebahagian besar ulamak tasawwuf mentafsirkan kalimah tersebut kepada maksud al-rābitah. Fakta ini berdasarkan kepada suatu keyakinan bahawa konsep al-ititbā‘ dalam ayat tersebut membawa pengertian ru`yat al-matbu‘ iaitu melihat kepada yang diikuti secara zahir mahupun batin. Hal ini telah diterangkan oleh al-Khāni dalam kitabnya al-Bahjah al-Saniyyah dengan katanya:
ففيه اشارة الى الرابطة لأن الأتباع يقتضى رؤية المتبوع حسا أو تخيله معنى وهو غرضنا من الرابطة. Maksudnya:Maka dalamnya mengisyaratkan kepada makna al-rābitah, kalimah ittibā‘ itu sendiri membawa pengertian ru`yat al-matbu‘ (melihat yang diikuti) sama ada secara zahir mahupun dengan cara menghadirkan makna (batin). Dan inilah yang kami maksudkan dengan al-rābitah itu. Jika tidak demikian maka ia tidak dikira sebagai matbu‘ . Berdasarkan kepada kenyataan al-Khāni di atas, menunjukkan kepada kita bahawa hubungan yang bersifat ruhāniyyah itu nampaknya begitu penting dan sangat berperanan dalam membimbing seorang yang sālik menuju hadirat Allah S.W.T. Dengan menggunakan kaedah yang berkonsepkan al-rābitah tersebut, hubungan ruhāniyyah ini akan dapat dilaksanakan dengan sempurna mengikut disiplin ilmu dan amalan tasawwuf. Dengan demikian perintah fattabi‘uni itu secara langsung dapat disempurnakan dari sudut zahirnya dengan mengikut dan melaksanakan segala suruhan dan larangan, manakala dari sudutnya yang batin pula dapat dilaksanakan dengan melakukan al-rābitah.
Tajuk Buku : PENGANTAR ILMU TASAWUF
Pengarang Buku : OTHMAN BIN NAPIAH
Penerbit : PENERBIT UTM, SKUDAI, JOHOR
Tahun Terbit : 2001Nombor ISBN : 983980541X
ENGANTAR ILMU TASAWUF

Mari Hayati Isi Kandungan Buku Penghantar Ilmu Tasawwuf
SINOPSIS Buku ini membicarakan mengenai tasawuf secara khusus. Antara aspek yang dibincangkan ialah pengenalan tasawuf dan masalah tarekat dan suluk dalam disiplin ilmu dan amalan tasawuf. Penulis mengemukakan beberapa persoalan penting yang berhubung dengan ilmu tasawuf dalam konteks dunia moden kini. Buku ini diharap dapat menyelesaikan beberapa kekeliruan di kalangan masyarakat Islam dalam memahami kedudukan ilmu tasawuf. Dalam masa yang sama, ia dapat menjadi rujukan dalam menyelesaikan persoalan lain yang berkaitan.
KANDUNGAN
Prakata
Bab 1 : Manusia dan Tasawuf
  1. Pengenalan
  2. Kesimpulan
Bab 2 : Sumber, Prinsip Ilmu dan Amalan Tasawuf
  1. Pengenalan
  2. Sumber Al-Quran
  3. Prinsip Ilmu Tasawuf
  4. Istilah Imu Tasawuf
  5. Takwa
  6. Zikrulah
  7. Muraqabah
  8. Mursyid
  9. Raf' al-Himmah
  10. Menuntut Ilmu
  11. Khalwat, 'Uzlah dan Suluk
  12. Rakan/ Kawan Seperjuangan
  13. Menjaga Adab
  14. Kesimpulan
Bab 3 : Tarekat dan Suluk
  1. Pengenalan
  2. Pengertian Tarekat
  3. Tarekat Menurut Tasawuf
  4. Kepentingan Tarekat
  5. Suluk dan Khalwat
  6. Kesimpulan
Nota Akhir
Bibliografi
Indeks
Zikrullah Dan Wirid Dalam Ilmu Tasawuf.
1.0 PENDAHULUAN
Salah satu aspek terpenting di dalam disiplin ilmu dan amalan tasawuf ialah amalan zikrullah dan wirid. Amalan ini sering menonjol di kalangan pengamal tareqat tasawuf. Zikir atau zikrullah merujuk kepada maksud mengingati Allah S.W.T. Di dalam amalan tareqat dan tasawuf zikrullah atau mengingat Allah S.W.T. itu dibantu dengan bermacam-macam ungkapan yang secara langsung atau tidak langsung membawa maksud mengingati Allah S.W.T.. Seperti dengan menyebut nama-nama Allah S.W.T., sifst-sifat-Nya, dan perbuatan-Nya.Ahli tareqat dan tasawuf berkeyakinan bahawa seorang insan melalui amalan zikir akan menjadikan dirinya dapat merasakan lahir dan batinya dilihat oleh Allah S.W.T. dan segala urusan pekerjaannya diawasi oleh Allah S.W.T., perkataannya didengar oleh Allah S.W.T., manakala cita-cita dan niatnya pula tidak terlepas dari pengetahuan Allah S.W.T. Benarlah seperti apa yang telah disabdakan oleh Baginda Rasulullah s.a.w. di dalam hadis Jibril yang diriwayatkan oleh al-Tirmidhi di dalam Sunannya tentang situasi ini, antara lain menyatakan:

ما الإحسان : الإحسان أن تعبد الله كأنك تراه فإن لم تكن تراه فإنه يراك
Bermaksud:“Wahai Rasulullah! Apakah yang dimaksudkan dengan Ihsan? Baginda bersabda: Ihsan itu ialah sesungguhnya engkau menyembah (mengabdi diri) kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Maka sesungguhnya jika engkau tidak dapat melihat-Nya maka sesungguhnya Dia (Allah) melihat kamu”
Di dalam amalan tareqat dan tasawuf, dengan amalan zikrullah seseorang akan mencapai makrifah kepada-Nya dan akan melahirkan dua sifat kepada pengamalnya; Pertama akan melahirkan sifat takwa manakala yang kedua akan melahirkan sifat mahabbah iaitu sifat cintakan kepada Allah S.W.T. Dengan sifat takwa seorang hamba akan menuruti segala perintah tuannya selaku Khalik, manakala sifat mahabbah pula akan melahirkan sifat cintakan kepada perbuatan yang disuruh oleh Allah S.W.T. selaku penciptanya.
1.2 DISIPLIN ILMU TASAWWUF.
Menurut keterangan yang telah diberikan oleh Titus Burckhardt, tasawwuf yang bersifat operatif, seperti juga dengan berbagai jalan kontemplasi dalam disiplin ilmu dan amalan tasawwuf, mengandungi tiga unsur penting. Aspek tersebut ialah dari sudut ajarannya (doktrin), kedua dari sudut al-fadā’il dan yang terakhir ialah kaedah pemusatan peribadi dalam beribadat yang dikenali sebagai كيميأ السعادة , iaitu satu istilah yang sering digunakan oleh sesetengah ahli tasawwuf. Sebenarnya Islam merupakan agama tauhid, manakala semua aspek Islam, sama ada dari sudut ajaran serta amalannya adalah melambangkan kepada prinsip yang asasi tersebut. Disiplin ilmu dan amalan tasawwuf merupakan aspek yang paling mendalam dari dimensinya yang batin terhadap wahyu yang telah diturunkan kepada Nabi Muhammad s.a.w. Tasawwuf adalah kaedah atau cara yang terbaik untuk merealisasikan prinsip tauhid yang terkandung dalam ajaran Islam tersebut. Oleh kerana itu, sebagai seorang yang Islam dan beriman kepada Allah S.W.T. dan Rasul Nya, maka kemuncak dari keislaman dan keimanan tersebut akan dapat dilihat secara sehabis-habis universal oleh perlambangan terhadap ungkapan kalimah syahadah لا اله إلا الله محمد رسول الله . Namun dalam hal ini, seperti yang di catatkan oleh sejarah, hanya ahli sufi dengan disiplin ilmu dan amalan tasawwuf sahaja yang dapat merealisasikan rahsia dari tuntutan tauhid tersebut. Merekalah yang mengetahui makna lafaz ini (tauhid) dengan pemahaman yang benar secara zahir dan batin. Atau dengan lain perkataan, dapat melihat Allah S.W.T. di mana-mana juga. Pada hakikatnya, keseluruhan dari intipati amalan yang terkandung dalam ajaran tasawwuf yang bersifat perjalanan kerohanian melalui disiplin tariqat itu sebenarnya mempunyai misi tersendiri untuk menyembuhkan manusia dari berbagai bentuk penyakit batiniah. Dengan demikian manusia akan berada pada landasan yang benar untuk menuju ke martabat insan kāmil. Hanya dengan cara mencapai taraf kesempurnaan diri yang sebenar, barulah seseorang yang sālik itu boleh menjadi suci dan bersih di sisi Tuhannya. Hal ini telah diterangkan oleh Allah S.W.T dengan firmanNya:

وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِين
Maksudnya: "Dan orang yang berusaha dengan bersungguh-sungguh kerana memenuhi kehendak agama Kami, sesungguhnya Kami akan memimpin mereka ke jalan Kami (yang menjadikan mereka bergembira serta beroleh keredaan) dan sesungguhnya (pertolongan dan bantuan) Allah S.W.T. adalah berserta orang yang berusaha memperbaiki amalannya."
Bersungguh-sungguh kerana memenuhi kehendak agama dalam ayat di atas sudah tentu merangkumi ketiga-tiga aspek yang terdapat dalam Islam, iaitu Iman, Islam dan Ihsan. Ayat di atas memberikan penjelasan bahawa umat manusia sebenarnya dituntut oleh Allah S.W.T supaya bersungguh-sungguh dalam memenuhi kehendak serta tuntutan agama yang merangkumi ketiga-tiga aspek Iman, Islam dan Ihsan tersebut. Hanya dengan berbuat demikian, jaminan untuk mencapai kejayaan dari Allah S.W.T. akan dicapai oleh seseorang sālik seperti yang telah digambarkan oleh Allah S.W.T dalam firmanNya:

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا . وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا.
Maksudnya:"Sesungguhnya berjayalah orang yang menjadikan dirinya yang sedia bersih - bertambah-tambah bersih - (dengan iman dan amalan kebajikan), dan sesungguhnya rugilah orang yang menjadikan dirinya yang sedia bersih - itu susut dan terbenam kebersihannya - (dengan sebab kekotoran maksiat). "
Secara umum manusia itu mengakui tentang wujudnya Tuhan semesta alam. Hakikat ini diterangkan oleh Allah S.W.T dengan firmanNya:

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السماوات والأرض وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ فَأَنَّا يُؤْفَكُونَ
Maksudnya: "Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: Siapa yang menjadikan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan? Tentu mereka menjawab: Allah S.W.T., maka kenapa mereka (dapat) dipalingkan dari jalan yang benar".
Sekalipun demikian, pada hakikatnya kehidupan mereka memberikan satu pertunjuk bahawa yang Tuhan itu banyak. Sebagai contoh, mereka percaya kepada Allah S.W.T. tetapi dalam waktu yang sama mereka tunduk, reda dan patuh kepada sistem yang menafikan ketundukan dan kepatuhan kepada Allah S.W.T. Hal ini dapat dilihat dengan jelas dalam sistem perundangan. Sedang hak tersebut hanya milik Allah S.W.T. yang mutlak dan tidak ada siapa yang dibenarkan berbuat demikian. Hal ini telahpun ditegaskan oleh Allah S.W.T. dengan firmanNya:

قُلْ إِنِّي عَلَى بَيِّنَةٍ مِنْ رَبِّي وَكَذَّبْتُمْ بِهِ مَا عِندِي مَا تَسْتَعْجِلُونَ بِهِ إِنْ الْحُكْمُ إِلا ّالِلَّهِ يَقُصُّ الْحَقَّ وَهُوَ خَيْرُ الْفَاصِلِينَ
Maksudnya: "Katakanlah: Sesungguhnya aku tetap berada di atas (kebenaran yang berdasarkan) bukti yang nyata (al-Qur’an) dari Tuhan ku, sedang kamu mendustakannya. Tidak ada pada ku apa yang kamu minta segerakan (dari azab seksa); hanya Allah S.W.T. yang menetapkan hukum; Ia menerangkan kebenaran dan Dialah sebaik-baik yang memberi keputusan."
Dalam konteks yang lain, kita dapati mereka percaya kepada Allah S.W.T., namun pada waktu yang sama merekalah yang menganjurkan sistem kewangan yang berkonsepkan riba. Sedang Allah S.W.T. melarang keras perbuatan tersebut. Hal ini telah diterangkan oleh Allah S.W.T. dalam firmanNya:

يا أيها الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Maksudnya: "Wahai orang yang beriman! Janganlah kamu memakan riba atau mengambil riba dengan berlipat ganda dan hendaklah kamu bertakwa kepada Allah S.W.T. supaya kamu berjaya. "
Dengan perbuatan tersebut, manusia akhirnya dihinggapi oleh sejenis penyakit yang kronik terhadap kehidupan rohaniah manusia itu sendiri. Penyakit itu ialah syirik, suatu penyakit yang berakibat daripada perbuatan nifāq yang menyatakan sesuatu berlawanan dengan tindakan yang dilakukan. Hal ini dapat dijelaskan lagi dengan satu peristiwa yang berlaku di antara Abu Bakr al-Siddiq dengan seorang sahabat bernama Hanzalah (r.a). Peristiwanya begini :

روى الإمام مسلم عن حنظلة بن الربيع الاسيدى أحد كتاب النبي صلى الله عليه وسلم قال : لقيني أبو بكر قال : كيف أنت يا حنظلة ؟ قلت نافق حنظلة . قال سبحان الله ما تقول ؟ قلت : تكون عند رسول الله صلى الله عليه وسلم يذكرنا بالنار والجنة كأنا رأى عين . وإذا خرجنا من عنده عافسنا الازواج والأولاد والضياعات ونسينا كثيرا
Maksudnya: Diriwayatkan oleh Imam Muslim daripada Hanzalah bin Rabi‛ al-Asadi, salah seorang dari penulis wahyu kepada Nabi Muhammad s.a.w. Beliau berkata : Telah menemui Abu Bakr akan daku, katanya: Bagaimana keadaan kamu wahai Hanzalah? Aku menjawab: Telah munafik orang yang bernama Hanzalah, lalu Abu Bakr berkata: Maha Suci Allah S.W.T., apa yang engkau katakan wahai Hanzalah? Jawabku, ketika kita di sisi Rasulullah s.a.w., Baginda s.a.w. mengingatkan kita tentang syurga dan neraka, pada ketika itu seolah-olah keduanya (syurga dan neraka) berada di hadapan mata kita. Akan tetapi apabila kita meninggalkan Baginda Rasulullah s.a.w., lalu kita disibukkan dengan isteri-isteri, anak-anak dan kesibukan yang lain sehingga kita banyak lupa tentang peringatan itu.
Dalam konteks ini nampaknya disiplin ilmu tasawwuf telah berusaha dengan bersungguh-sungguh untuk menjelaskan kedudukan dan peranan sifat syirik tersebut terhadap perjalanan rohaniah seorang yang sālik. Kemudian disiplin ini juga telah berusaha untuk mengubati dan menyembuhkan jiwa manusia dari menderita disebabkan oleh penyakit syirik tersebut. Sedang matlamat dan tujuannya pula hanyalah semata-mata untuk mengembalikan manusia ke landasan keikhlasan dan menjadikan manusia itu berupaya mencapai taraf kesempurnaannya yang asal (fitrah) seperti yang dituntut oleh Allah S.W.T dalam firmanNya :

وَمَا أُمِرُوا إلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاَةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ .
Maksudnya: "Pada hal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah S.W.T. dengan memurnikan ketaatan kepadaNya dalam menjalankan agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan solat dan menunaikan zakat dan yang demikian itulah agama yang lurus."
Dalam erti kata lain dapat dinyatakan di sini bahawa tujuan tasawwuf itu ialah untuk mencapai satu bentuk integrasi peribadi manusia dengan sedalam-dalam dan seluas luas wujudnya, termasuk semua kemungkinan yang amat dalam yang terangkum dalam keadaan insan yang kāmil tersebut. Insan dari segi kewujudan dan tanggungjawabnya adalah khalifah Allah S.W.T. di atas muka bumi ini, serentak dengan itu manusia juga adalah arena tajalli bagi nama Allah S.W.T. dan sifatNya . Justeru itu, manusia boleh mencapai kebahagiaan hanya dengan hidup setia kepada hakikat tersebut, atau mengikut hakikat dirinya yang sebenar. Allah S.W.T. adalah bersifat Esa, oleh itu manusia semestinya berusaha mencapai taraf kesempurnaan agar dapat membayangkan Yang Maha Esa itu dalam kehidupan rohaniah seperti yang digambarkan oleh sebuah hadis Baginda Rasulullah s.a.w. yang antara lain menyebutkan:

ما الإحسان : الإحسان أن تعبد الله كأنك تراه
Maksudnya: "Apakah yang dimaksudkan dengan ihsān? Ihsān itu ialah kamu menyembah Allah S.W.T. seolah-olah kamu melihatNya."
Jika manusia itu hidup dalam keadaan tenaganya digunakan kepada kepalsuan, sedang beberapa bahagian lain dari kehidupannya pula terpisah antara satu elemen dengan elemen yang lain, maka ini bermakna ia telah menyimpang dari keadaan kesempurnaan dan keselamatan sebenar seperti yang dikehendaki oleh hakikat batinnya sendiri. Yang jelas di sini ialah tasawwuf yang berlandaskan kepada amalan kerohaniannya itu bertujuan untuk mencapai kesucian dan kesempurnaan, ini tidak bermaksud untuk menafikan peranan akal, sebaliknya tujuan tersebut akan dapat di capai melalui integrasi setiap unsur dari wujud (diri) seseorang kepada pusatnya yang sebenar. Insan adalah terdiri dari jasad, akal dan roh dan setiap satu dari ketiga-tiga unsur tersebut perlu diintegrasikan pada maqāmnya yang tersendiri. Untuk melihat dengan lebih jelas lagi hubungan integrasi antara jasad, akal dan roh itu, ada baiknya jika kita lihat sebuah hadis Rasulullah s.a.w. yang berkaitan dengan perkara di atas. Baginda bersabda yang antara lain menyebutkan:

قال عمر بن الخطاب كنا عند رسول الله صلى الله عليه وسلم فجاء رجل شديد بياض الثياب شديد سواد الشعر, لا يرى عليه أثر السفر, ولا يعرفه منا أحد حتى أتى النبي صلى الله عليه وسلم , فألزق ركبته بركبته , ثم قال : يا محمد ما الإيمان ؟ قال : أن تؤمن بالله وملائكته وكتبه ورسله واليوم الآخر والقدر خيره وشره , قال فما الإسلام , قال : شهادة أن لا اله إلا الله وان محمدا عبده ورسوله, واقام الصلاة وايتأ الزكاة وحج البيت , وصوم رمضان . قال : فما الإحسان ؟ قال : أن تعبد الله كأنك تراه , فان لم تكن تراه فانه يراك .
Maksudnya:"Telah berkata ‘Umar bin al-Khattāb r.a.: Pada suatu hari kami sedang duduk di sisi Rasulullah s.a.w., tiba-tiba datang kepada kami seorang lelaki, putih melepak pakaian, hitam rambutnya, tiada kelihatan padanya tanda seorang musafir, sedangkan di kalangan kami tidak ada yang mengenalinya. Sehingga ia duduk mengadap Nabi s.a.w. dengan menemukan kedua lututnya dengan lutut Nabi s.a.w. sambil meletakkan kedua belah tangannya ke atas kedua belah peha Nabi s.a.w. seraya berkata: Ya Muhammad! khabarkan kepadaku tentang iman . Bersabda Nabi s.a.w.: Bahawa iman itu ialah kamu percaya kepada Allah S.W.T., para malaikat Nya, kitab-kitabNya, rasul-rasulNya, hari kiamat dan percaya kepada qada’ dan qadar (nasib baik dan buruk) daripada Allah S.W.T. Seterusnya ia bertanya lagi: Apakah Islam? Baginda menjawab: Bersaksi bahawa tiada Tuhan yang disembah melainkan Allah S.W.T. dan bahawa Nabi Muhammad s.a.w itu adalah pesuruh Allah S.W.T., mendirikan solat, mengeluarkan zakat, menunaikan haji di Baitullah dan berpuasa di bulan Ramadan. Seterusnya ia bertanya lagi: Apakah ihsan? Nabi s.a.w. menjawab: Jika kamu menyembah Allah S.W.T. maka hendaklah kamu menyembahNya seolah-olah kamu melihat Nya. Jika sekiranya kamu tidak dapat melihatNya maka sesungguhnya Dia melihat kamu. "
Hadis di atas jika diperhatikan dengan secara sedar, memberikan satu petunjuk kepada suatu hakikat bahawa Islam itu terbina dari tiga struktur yang penting iaitu Iman, Islam dan Ihsan. Struktur ini bertepatan dengan asal kejadian manusia itu yang merangkumi tiga unsur penting iaitu akal, jasad dan roh. Sebagai contoh jika dipadankan kedua-dua struktur tersebut kita akan dapati bahawa akal sebenarnya memerlukan kepada iman, manakala jasad memerlukan Islam (syariat) dan roh pula memerlukan kepada ihsan. Menyedari hakikat ini, jelas bahawa ketiga-tiga struktur tersebut tidak boleh terpisah atau dipisah-pisahkan. Walaupun jika dilihat pertanyaan Jibril a.s. dalam hadis di atas tadi, memperlihatkan wujudnya keterasingan antara ketiga-tiga struktur tersebut, namun ianya merupakan satu hakikat jua, iaitu agama . Kenyataan ini dapat kita buktikan dengan mengambil kira dari penjelasan Baginda Rasulullah s.a.w seperti yang terdapat di hujung hadis tersebut seperti sabdanya :

فقال يا عمر هل تدرى من السائل ؟ ذاك جبرائيل أتاكم يعلمكم آمر دينكم
Maksudnya: "Berkata Rasulullah s.a.w.: Wahai ‘Umar! Adakah kamu menyedari siapa yang bertanya itu? Itulah Jibrā’il, dia datang kepada kamu untuk mengajarkan kamu urusan agama kamu. "
Keterangan hadis di atas menunjukkan kepada kita bahawa kedatangan Jibrail itu sebenarnya untuk mengajarkan urusan agama mereka. Tegasnya agama itu jika dilihat dari sudut kepercayaan atau keyakinan ia dikenali dengan istilah iman. Seterusnya jika agama itu dilihat dari perspektif ajaran zahir yang berupa syariat, maka ia dikenali sebagai Islam. Manakala agama jika di lihat dari perspektif kesempurnaan pelaksanaan kedua-dua maqām, Iman dan Islam itu pula dikenali dengan maqām ihsān.
1.3 MAQĀM IHSĀN
Kemuncak perjalanan seorang yang sālik ialah apabila ia sampai ke maqām al-ihsān seperti yang telah diterangkan dalam hadis mā al-ihsān. Ihsān mengandungi dua maqām. Pertama maqām mushāhadah yang terkandung dalam ungkapan an ta‛bud Allah kaannaka tarāhu. Manakala kedua maqām murāqabah yang terkandung dalam ungkapan fa’in lam takun tarāhu fa’innahu yarāka. Dari zahir hadis ini menunjukkan bahawa ibadah yang berada di maqam an ta‘budallah ka’anaka tarāhu itu adalah lebih tinggi darjatnya. Untuk mencapai ke maqām tersebut maka peranan sheikh adalah sangat diperlukan.
Menurut keterangan yang diambil daripada Sa‘id Hawwā, seseorang yang sālik, ketika dalam perjalanannya untuk menuju Allah S.W.T. itu akan melalui tiga tahap fanā’ sebelum ia mencapai maqām ihsān tersebut. Pertama ialah fanā’ fi al-af‛āl, iaitu satu keadaan di mana seorang yang sālik merasakan bahawa segala sesuatu yang berlaku adalah perbuatan Allah S.W.T. Tidak ada seorang pun yang berkuasa di dalam alam ini selain hanya Allah S.W.T. Kedua ialah fanā’ fi al-sifāt. Iaitu suatu keadaan di mana seorang yang sālik telah karam dalam perasaan, bahawa tidak ada yang hidup pada hakikatnya, tidak ada yang berilmu pada hakikatnya, tidak ada yang berkuasa pada hakikatnya, tidak ada yang berkehendak pada hakikatnya, tidak ada Yang Maha Mendengar pada hakikatnya dan tidak ada yang berkata-kata pada hakikatnya selain daripada Allah S.W.T. Mereka dapat merasakan keagungan sifat-sifat Allah S.W.T. yang tajalli dalam alam maya ini sehingga hilang sifat-sifat kemanusiaan yang ada pada diri. Ketiga ialah fanā’ fi al-dhāt, iaitu hilang baginya segala bentuk alam ini, kerana suatu keadaan di mana perasaan seorang yang sālik hanya dapat merasakan kewujudan zat Allah S.W.T.
Menurut keterangan dari al-Kandahlawi, istilah ihsān yang tersebut dalam hadis itulah yang telah diinterpretasikan dalam disiplin ilmu dan amalan tasawwuf dengan istilah tasawwuf. Penjelasan tersebut dapat kita perhatikan dari kenyataan beliau yang antara lain menyebutkan :
وهو الذي يقال له التصوف او السلوك - او سمه بما شئت - فإنما هي تعبيرات وألفاظ مختلفة والمقصود واحد
Maksudnya: "Ihsān itulah (juga) yang disebutkan (dengan istilah) tasawwuf atau suluk, atau namakan sahaja ihsān itu dengan apa juga nama sekalipun. Nama tersebut merupakan perkataan yang berlainan (sebutannya) namun mempunyai maksud yang sama (satu sahaja)."
Manusia secara umum mempunyai sifat aktif, dari segi yang lain, manusia itu lebih banyak memiliki sifat suka bertafakur dan bertindak. Justeru tasawwuf ialah satu medan yang mengintegrasikan kedua-dua aspek tersebut. Tasawwuf juga telah menyediakan satu agenda yang merangkumi kedua-dua aspek bagi membolehkan manusia melalui satu proses integrasi dalam aktiviti mental mereka.
1.4 SUMBER ILMU DAN AMALAN TASAWWUF.
Telah menjadi perkara yang diketahui umum bahawa fitrah semula jadi manusia itu ialah beragama. Ini bermaksud manusia itu merasakan dirinya perlu menyembah dan mengabdikan diri kepada suatu Zat Pencipta yang telah menciptakannya. Fitrah ini ada di dalam setiap diri manusia, namun lantaran fitrah itu telah diselubungi oleh karat duniawi, sedang akalnya pula telah dilindungi oleh awan kejahilan, maka fitrah itu telah jauh dari mendapat sinaran cahaya yang mampu menyuluh dan menerangi kebenaran. Walaupun demikian, fitrah suci itu tetap hidup. Walaupun tenggelam jauh, lemas dalam arus kebendaan namun fitrah itu tidak akan terus mati, cuma barangkali sinarnya sahaja yang agak malap dan perlu disuluh terangkan. Keadaan ini telah diterangkan oleh Ibn ‘Atā’illah al-Iskandari dengan katanya:

أنوار أذن لها في الوصول وأنوار أذن لها في الدخول . ربما وردت عليك الأنوار فوجدت القلب محشوا بصور الآثار فارتحلت من حيث جاءت
Maksudnya: "Ada nur-nur yang diizinkan oleh Allah S.W.T. sekadar sampai pada hati, dan ada nur yang diizinkan Allah S.W.T. untuk masuk ke dalam hati, kadangkala muncul cahaya-cahaya (anwār) pada anda, lantas cahaya-cahaya (anwār) mendapati hati anda dipenuhi dengan gambaran alam mayapada, maka pergilah cahaya (anwār) itu dari tempat (hati) di mana ia telah turun tadi. "
Faktor penyebabnya ialah kecenderungan kepada dunia. Dengan demikian Ibn ‘Atā’illah menyeru kepada para sālikin supaya mengosongkan hati dari gambaran alam maya ini dengan kata-kata hikmahnya.

فرغ قلبك من الأغيار تملأه بالمعارف والأسرار
Maksudnya:"Kosongkan hati anda dari segala sesuatu selain daripada Allah S.W.T., nescaya Dia akan memenuhi hati anda itu dengan ilmu makrifah (ilmu mengenal Allah S.W.T. dan rahsia alam) ketuhanan. "
Kewujudan fitrah ini tidak memadai untuk membawa seseorang insan mencapai kesempurnaan yang hakiki dari sudut rohaninya. Oleh sebab itu Allah S.W.T. menurunkan wahyu di samping mengutus para rasul bagi menerangkan kepada umat manusia tentang beberapa perkara penting untuk menjadi dasar kepada manusia yang mempunyai fitrah tersebut. Manusia dengan potensinya yang sedia ada mempunyai kecenderungan untuk mengabdi dan menyembah, justeru Allah S.W.T. telah menetapkan prinsip pengabdian dari sudut keyakinan dan perlakuan yang benar daripada seorang makhluk terhadap Khāliknya. Keseluruhan prinsip tersebut terkandung dalam tiga prinsip umum seperti yang telah kita huraikan di atas iaitu Iman, Islam dan Ihsān. Ketiga-tiga prinsip tersebut bersumber daripada al-Qur’an dan al-Sunnah.Dalam perbincangan ini, rasanya penulis hanya akan menyentuh salah satu dari ketiga-tiga prinsip tersebut dengan memfokaskan perbincangan terhadap ihsan yang menjadi asas kepada ilmu dan amalan tasawwuf itu sendiri. Dengan merujuk kepada hadis Rasulullah s.a.w. yang berbunyi:

أن تعبد الله كأنك تراه , فان لم تكن تراه فانه يراك .
Maksudnya:"Ihsān itu ialah engkau menyembah Allah S.W.T. seolah-olah engkau melihat Nya, jika engkau tidak dapat melihat Nya, maka yakinlah bahawa Allah S.W.T. melihat kamu."
Tariqat tasawwuf dan suluk adalah nama kedua bagi istilah ihsān. Keadaan ini disebabkan oleh prinsip dalam ilmu dan amalan tasawwuf itu boleh membimbing perjalanan rohani seorang sālik untuk mencapai ke martabat ihsān. Bertolak dari sini, maka bermulalah perbincangan dan perbahasan tentang sumber ilmu tasawwuf yang dikaitkan dengan ihsān itu seperti yang terdapat dalam hadis Rasulullah s.a.w. tersebut. Pendapat ini telah dikemukakan oleh ahli tasawwuf yang telah menjalani dan mengalami kehidupan sebagai seorang yang sufi sifat dan amalannya.
Apabila kita kembali kepada pengertian tasawwuf yang sebenarnya, jelas kepada kita bahawa perkataan tersebut membawa maksud pembersihan dan penyucian hati. Dengan melalui proses penyucian tersebut manusia akan sampai ke martabat ihsān dalam erti kesempurnaan melaksanakan ‛ubudiyyah sebagai seorang makhluk kepada Allah S.W.T. yang sifatNya sebagai Khālik. Oleh yang demikian apabila kita membicarakan tentang sumber tasawwuf yang berkait rapat dengan al-tasfiyah, maka kita tidak boleh melepaskan diri dari sumber utama iaitu al-Qur’an. Para ulama tasawwuf menjadikan al-Qur’an itu sebagai pendorong utama bagi merealisasikan suatu perintah yang bersifat umum atau khusus dengan konsep al-tasfiyah yang telah dikemukakan oleh al-Qur’an tersebut.
1.4.1 Sumber Daripada Al-Qur’an
Memang diakui bahawa tidak terdapat satu kalimah pun di dalam al-Qur’an itu yang menyebut perkataan tasawwuf. Namun terdapat banyak sekali ayat al-Qur’an yang membawa maksud al-tasfiyah dan tazkiyah. Kedua-dua makna tersebut adalah dasar dan inspirasi kepada ilmu dan amalan tasawwuf itu. Dalam al-Qur’an terdapat banyak ayat yang menggalak, mendorong dan mengajak jiwa manusia supaya bersifat takwa, bersifat siddiq dan ikhlas, tawakkal dan yakin, penyerahan diri dan pengabdian yang mutlak hanya kepada Allah S.W.T. Oleh yang demikian kita dapati hampir separuh daripada isi kandungan al-Qur’an itu menyentuh soal kejiwaan dan akhlak, keimanan dan keihsanan. Ketinggian dan kesempurnaan insan di sisi Allah S.W.T. Manakala sebahagian daripada kandungannya yang lain pula meliputi unsur ibadah, muamalah dan kisah umat terdahulu untuk menjadi peringatan dan pengajaran. Terdapat beberapa istilah yang secara zahir, mahupun maksud dan makna yang telah digunakan oleh al-Qur’an sebagai bukti yang nyata bahawa intipati ilmu dan ajaran tasawwuf yang sebenar itu adalah bersumberkan daripada al-Qur’an. Di antara istilah tersebut ialah istilah taubat, zuhud, sabar, syukur, khawf, rajā’, ridā dan istilah tawakal. Semua istilah ini dikenali sebagai maqāmāt dalam ajaran tasawwuf. Atau yang merujuk kepada maksud dari ayat al-Qur’an seperti ma‛rifah dan isqāt al-tadbir. Hakikat bahawa al-Qur’an adalah sumber utama ilmu dan amalan tasawwuf tidak dapat dinafikan. Al-Qur’an menyatakan dengan jelas bahawa Allah S.W.T. tidak dapat diserupakan dengan sesuatu, dalam konteks yang lain al-Qur’an menyatakan tentang Allah S.W.T. itu Maha Melihat lagi Maha Mendengar. Semua ini merupakan suatu hikmat ketuhanan yang tertinggi yang telah dibawa oleh Baginda Rasulullah s.a.w. melalui wahyu Ilahi, iaitu al-Qur’an. Kemudian umat Islam membaca ayat suci yang menyuruh lari mencari Tuhannya, kerana Dialah sumber segala cahaya di langit mahupun di bumi. Namun jika umat Islam membaca ayat tersebut, lalu meniru gaya hidup yang telah dianjurkan dengan satu kaedah yang telah diatur susun oleh ilmu dan amalan tasawwuf, tentu bukan menjadi satu kesalahan. Sebagai contoh, al-Qur’an menganjurkan agar hidup jangan terlalu mencintai dunia kerana hal itu menyebabkan kotor dan mencemarkan perjalanan roh yang sifatnya sedia suci, lalu diajarkan dalam ilmu tasawwuf dengan satu metod yang dikenali sebagai zuhud. Begitulah seterusnya. Jika hal ini terjadi dalam kehidupan umat Islam tidak bermakna ia menganut suatu ajaran baru, yang dimasukkan ke dalam ajaran Islam sebagai sisipan. Dari keterangan di atas tidak mungkin sama sekali untuk kita menyatakan bahawa keseluruhan hal tersebut adalah suatu penambahan dari ajaran orang sufi. Namun secara yakin boleh kita nyatakan di sini ia adalah suatu tafsiran yang mereka telah simpulkan dari satu keyakinan bahawa Allah S.W.T. itu bersifat dengan sifat wujud yang hakiki dan Allah S.W.T. itu diyakini terlalu hampir dengan mereka seperti yang diterangkan oleh Allah S.W.T. dalam firmanNya:
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الإنسان وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ .
Maksudnya:"Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya."
kekeliruan terhadap ilmu dan amalan tasawufJusteru itu, manusia tidak boleh lari dari hakikat dan kenyataan ini. Namun demikian masih terdapat kekeliruan di kalangan masyarakat Islam terhadap ilmu dan amalan tasawwuf. Masih wujud perasaan sangsi dan tidak ketinggalan juga ada yang berpandangan negatif terhadap kebenaran ilmu ini sebagai dasar dan tiang seri dalam kehidupan seorang muslim bagi meneruskan perjalanan menuju Allah S.W.T. Kekeliruan tersebut datang dari berbagai aspek, antara yang paling pokok dan dasar dapat kita lihat adalah disebabkan oleh kecenderungan masyarakat Islam mengejar dan bergelumang dengan kehidupan dunia. Dalam waktu yang sama lahir pula satu golongan yang menumpukan perhatian mereka terhadap ibadah dengan nama al-sufiyyah dan al-mutasawwifah di dalam masyarakat. Situasi ini timbul akibat daripada tindakbalas ke atas golongan yang cenderung kepada keduniaan pada kurun kedua Hijri dan seterusnya. Ilmu dan amalan tasawwuf seperti yang telah diamalkan oleh Nabi s.a.w. , para sahabat, tābi‛in dan tābi‛ al-tābi‛in seperti yang digambarkan oleh Ibn Khaldun itu lama kelamaan telah dilupakan dan ditinggalkan oleh generasi Islam yang terkemudian sedikit demi sedikit, terutamanya sesudah umat Islam lebih menumpukan perhatian mereka kepada kehidupan duniawi sehingga sampai ke satu tahap hanya sebilangan kecil umat Islam yang tahu dan beramal dengan amalan tersebut. Golongan yang kecil inilah yang dipanggil sebagai golongan sufiyyah atau golongan ahli tasawwuf. Sedangkan asalnya adalah amalan daripada Nabi dan para sahabat r.a. Hal ini dapat dirujuk kepada mereka dengan amalan beribadah dan menumpukan perhatian kepada Allah serta berpaling dari perhiasan dunia dan keindahannya.
Zāhid daripada kelazatan sesuatu yang menjadi rebutan orang ramai, seperti kekayaan dan pangkat kebesaran. Bersendirian dari makhluk dalam khalwat untuk beribadah kepada Allah S.W.T. Situasi seperti ini adalah suatu yang biasa di kalangan umat Islam generasi awal yang terdiri daripada sahabat Rasulullah s.a.w. Berdasarkan kepada catatan yang ditemui dari Ibn Khaldun di atas tadi, memberikan satu gambaran jelas bahawa ilmu dan amalan tasawwuf tersebut adalah amalan yang sah dari Nabi Muhammad s.a.w., para sahabat, tābi‛in dan tābi‛ al-tābi‛in yang dikenali juga sebagai salaf al-sālih.
Kekeliruan terhadap ilmu dan amalan tasawufBerdasarkan catatan tersebut juga menunjukkan dengan jelas kepada kita bahawa di antara faktor utama yang menyebabkan timbul kekeliruan terhadap disiplin ilmu tasawwuf, ialah wujud sifat cenderung kepada dunia di kalangan umat manusia. Bergelumang dengan kenikmatan lahiriah tanpa batas dan melupakan kehidupan akhirat. Kedua-dua faktor tersebut adalah saling bertentangan; yang satu berpihak kepada hawa dan nafsu sedang di satu pihak yang lain pula cenderung kepada keimanan dan ketakwaan. Dalam situasi yang demikian nampaknya hanya segelintir di kalangan umat manusia yang dapat mempertahankan dan mengamalkan warisan tersebut, sedangkan sebahagian besar yang lain pula telah dinyatakan oleh Ibn Khaldun di atas tadi. Keadaan ini menimbulkan situasi yang aneh dan ganjil terhadap mereka yang mengamalkan ajaran tasawwuf. Lalu dari sini timbul pelbagai anggapan dan pandangan yang negatif, seperti ilmu dan amalan tasawwuf ini bukan dari ajaran Islam, malahan ia disadur dari unsur agama asing, terutamanya dari ajaran Hindu, Yahudi dan Kristian. Dari keterangan Ibn Khaldun itu juga boleh dinyatakan di sini bahawa amalan tasawwuf itu merupakan salah satu warisan pusaka Islam terpenting yang mempengaruhi perasaan dan pemikiran umat Islam seluruhnya. Justeru bukan kerana hanya terdapat sedikit prasangka bahawa tasawwuf itu dipengaruhi oleh unsur asing lantas dengan lantang kita mengatakan bahawa tasawwuf adalah bersumber daripada sumber asing yang terkeluar dari landasan wahyu dan sunnah RasulNya.Namun hal tersebut tidak boleh sama sekali lari dari fakta sejarah, malah ia terikat serta tunduk kepada ketetapan dan undang-undang sejarah. Berkembang atau kuncup, maju atau mundur, naik atau turun , namun ia tidak boleh kita alpakan begitu sahaja terhadap dasar pokok yang utama, iaitu latihan jiwa (riyādat al-nafs) untuk beribadat kepada Tuhan, menuju jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah S.W.T.(taqarrub ilā Allah) , berusaha menyingkirkan diri dari azab api neraka seperti yang dijanjikan oleh Allah S.W.T. untuk orang yang derhaka terhadapNya, mengharap pahala daripada Allah S.W.T. di samping syurga bagi mukmin yang patuh dan taat. Dari tujuan asal yang berbagai ini maka timbul pula bermacam disiplin ilmu yang pelbagai dalam Islam seperti disiplin ilmu fiqh, ilmu akidah atau ilmu kalam dan tidak ketinggalan juga dengan ilmu dan amalan tasawwuf itu sendiri.
1.5 PRINSIP ILMU TASAWWUF.
Seperti yang telah kita huraikan di atas tadi, pendisiplinan ilmu berlaku secara beransur-ansur, mengikut perkembangan masa dan keadaan. Oleh itu kita tidak menemui sebarang bukti yang menunjukkan wujudnya disiplin ilmu fiqh di zaman Rasulullah s.a.w., kecuali selepas berlaku perkembangan dalam berbagai aspek kehidupan yang dilalui oleh masyarakat Islam. Begitu juga dengan disiplin ilmu kalam yang hanya berkembang dan mempunyai disiplin yang tersendiri pada zaman tābi‛in. Sebagaimana ilmu yang lain dalam Islam, ilmu tasawwuf juga tidak ketinggalan dalam hal ini. Istilah tasawwuf belum pernah didengar ketika Rasulullah s.a.w. masih hidup. Namun keadaan ini tidak boleh dijadikan alasan untuk kita mengatakan bahawa Rasulullah s.a.w. telah menyembunyikan salah satu ajaran dalam Islam atau ilmu tasawwuf itu bukan dari warisan Islam seperti yang pernah kita dengar . Atau dengan alasan kehadiran kalimah ini agak terkemudian dari zaman Rasulullah s.a.w., maka diklasifikasikan ke dalam maksud dan pengertian bidaah atau terkeluar dari landasan Islam itu sendiri. Keadaan ini boleh dijelaskan lagi dengan keterangan yang telah diberikan oleh Syeikh Abu Husayn al-Busanji (w. 348 H) yang menyatakan bahawa tasawwuf yang wujud pada hari ini (zaman kehidupan Syeikh Abu Husayn al-Busanji) hanya wujud pada nama sahaja, sedangkan pada hakikatnya tidak wujud, pada hal pada zaman sebelumnya (Nabi, para sahabat, tābi‛in dan tābi‛ al-tābi‛in) ada hakikatnya tidak ada namanya. Hakikat ini tentu sahaja lebih serius jika dibandingkan dengan zaman kita sekarang. Di mana-mana kita dengar orang begitu ghairah memperkatakan tentang tasawwuf. Ada yang ghairah mempertikai kedudukan dan kepentingan ilmu dan amalan tasawwuf. Dalam konteks ini nampaknya pihak yang berwajib sepatutnya duduk sebagai pemurni kepada masalah ini, namun terlibat secara langsung menyulit dan menyukarkan lagi keadaan. Sewajarnya pihak berkenaan yang dipertanggungjawabkan dalam hal ini memahami dengan mendalam selok belok yang berkaitan dengan disiplin ilmu tasawwuf tersebut.Agak malang bagi kita untuk menghukum salah sesuatu amalan yang telah dilakukan di dalam masyarakat Islam sedang kita jahil mengenainya. Kita jahil tentang sesuatu perkara yang perlu untuk diselesaikan, maka jalan yang paling mudah bagi kita ialah dengan mengatakan ia bertentangan dengan ajaran Islam. Dalam waktu yang sama kita tidak pernah belajar atau cuba memahami kandungan kitab-kitab turāth peninggalan ulama tasawwuf yang begitu berharga untuk kita jadikan panduan dalam menyelesaikan persoalan ini. Secara kronologinya, bagi menyelesaikan permasalahan yang berkait dengan sejarah, kita seharusnya merujuk buku sejarah, bukan merujuk buku matematik. Begitulah keadaannya apabila kita berhadapan dengan masalah ini, kita sewajarnya merujuk segala peninggalan ulama tasawwuf untuk menerangkan permasalahan tasawwuf. Di mana kedudukan kitab Ihyā’ ‘Ulum al-Din oleh al-Ghazāli Siyar al-Sālikin oleh al-Palembāni, al-Luma‘ oleh al-Tusi dan sebagainya lagi. Jika ini dilakukan dengan pertimbangan yang wajar dan rasional, kita berkeyakinan dapat menemui jalan yang mudah dan benar bagi menyelesaikan permasalahan yang timbul.Dari sini dapat kita membuat kesimpulan bahawa apabila kita mahu membicarakan tentang sesuatu disiplin keilmuan tidak semestinya ia wujud sejak dari zaman Rasulullah s.a.w. untuk dijadikan contoh dan ikutan. Apabila didapati telah wujud dengan bukti dan nas yang sahih maka ketika itu barulah kita dibolehkan untuk membicarakannya, maka sudah tentu banyak perkara yang tidak boleh dilakukan oleh umat yang terkemudian disebabkan tiada nas dan bukti yang ia telah wujud pada zaman Rasulullah s.a.w. Alasan ini tidak praktikal dalam menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan dan umat itu sendiri. Sedangkan pendisiplinan tidak diperlukan pada zaman awal kerana kedua-dua sumber utama masih wujud, iaitu penurunan wahyu dan Rasulullah s.a.w. itu sendiri dalam menyelesaikan berbagai masalah yang timbul di kalangan masyarakat.Begitulah juga dengan ilmu tasawwuf yang tidak terlepas dari melalui proses pendisiplinan tersebut. Sehingga ia mampu berdiri tegak dengan mempunyai prinsip-prinsipnya yang tersendiri seperti yang diterangkan di bawah ini:
1.5.1 Taqwā.
Kalimah taqwā (B.M takwa ) yang dilihat dari huruf asalnya Qāf, Waw dan Yā’ membawa kepada tiga pengertian : Pertama membawa maksud quwwah. Sama ada yang bersifat māddi atau yang bersifat ma‘nawiyyah. Ini dapat kita lihat dengan jelas dari keterangan Allah S.W.T dalam firmanNya:يا يحيى خُذْ الْكِتَابَ بِقُوَّةٍ وَآتَيْنَاهُ الْحُكْمَ صَبِيًّا . Maksudnya:Wahai Yahya, terimalah kitab itu (serta amalkanlah) dengan bersungguh-sungguh. Ayat di atas boleh dirujuk kepada makna māddi dan ruhi. Kekuatan yang bersifat māddi dapat dirujuk kepada maksud bersungguh-sungguh mengamalkan isi kandungannya. Sedang kekuatan yang bersifat ruhi pula dapat dirujuk kepada kekuatan hati ketika menerimanya. Keduanya, membawa maksud wiqāyah. Takwa di sini lebih bersifat untuk mencapai maksud al-hasanah dan al-amn, iaitu terpelihara, aman dan sejahtera. Maksud ini dapat dilihat dengan lebih jelas dari firman Allah S.W.T:فَوَقَاهُمْ اللَّهُ شَرَّ ذَلِكَ الْيَوْمِ وَلَقَّاهُمْ نَضْرَةً وَسُرُورًا . Maksudnya:Dengan sebab (mereka menjaga diri dari kesalahan), maka Allah S.W.T. selamatkan mereka dari kesengsaraan di hari yang demikian keadaannya serta memberikan kepada mereka keindahan yang berseri-seri (di muka) dan perasaan ria di hati. Ketiganya membawa maksud al-itqā’ dengan pengertian al-tabā‘ud (menjauhkan) dan al-ijtināb (menghindarkan). Maksud ini lebih jelas dari keterangan sebuah hadis Rasulullah s.a.w. yang diriwayatkan dari Abi ‘Abdillah al-Nu‘mān bin Bashir, beliau berkata " Aku telah mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda (maksudnya) :Sesungguhnya sesuatu yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas, di antara keduanya ada perkara yang samar yang kebanyakan orang tidak mengetahuinya maka sesiapa yang menjaga dirinya dari perkara yang samar itu maka ia telah membersihkan agamanya dan kehormatannya, dan sesiapa yang jatuh dalam melakukan perkara yang samar itu, maka ia telah jatuh dalam perkara yang haram. Hadis di atas memberikan satu pertunjuk tentang kesempurnaan makna al-taqwā. Kenyataan ini dapat kita perhatikan dengan meneliti kepada perkataan اتق الشبهات yang merangkumi makna suci hati dari sebarang bentuk keraguan dan kebimbangan. Ini adalah bentuk kesucian hati yang menjadi dasar kepada makārim al-akhlāq dan sumber segala kebaikan.Dari ketiga-tiga makna takwa di atas, sesuai benar takwa sebagai prinsip yang pertama di dalam disiplin tasawwuf. Ini bermakna seseorang yang melibatkan diri dengan amalan tasawwuf mestilah sentiasa istiqāmah dalam sifat takwa. Malahan ia mesti berusaha untuk mempertingkatkan sifat ketakwaannya itu. Ini selaras dengan arahan dan seruan dari Allah S.W.T. dengan kalimah الله اتقواyang terdapat sebanyak sepuluh kali dalam kitab suciNya. Istiqamah dalam takwa ini dikenali juga sebagai al-karāmah al-ma‛nawiyyah atau al-karāmah al-haqiqiyyah dan al-karāmah al-kubrā. Dari sifat tersebut akan menyebabkan seorang yang sālik itu sentiasa berada dalam ketakwaan zahir dan batin sehingga terbuka hijab hati dan mencapai ma‛rifah. Di samping itu seorang yang sālik dapat menguasai diri dan berupaya menentang serta menolak berbagai kehendak dorongan hawa dan nafsu. Keadaan ini juga berupaya mengukuhkan keimanan seorang yang sālik dengan kehendak dan kekuasaan daripada Allah S.W.T. Dengan kekeramatan tersebut membolehkan seorang yang sālik meletakkan dirinya hampir dengan Allah S.W.T. dan keredaanNya . Perspektif tasawwuf melihat takwa itu sebagai bekalan yang sangat penting sesuai dengan firman Allah S.W.T. :وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِي يا أولي الألباب . Maksudnya:Dan ambillah oleh kamu akan bekal yang dibawa ke dalam akhirat itu, maka bahawasanya yang terlebih baik bekal yang dibawa ke dalam akhirat itu ialah takut akan Allah S.W.T. (takwa). Dan bertakwalah kepadaKu wahai orang-orang yang berakal yang dapat memikir dan memahaminya. Sayyid Qutb di dalam tafsir Fi Zilāl al-Qur’ān menyatakan bahawa takwa itu boleh mempertingkatkan hati dan roh, menurut beliau lagi, dengan sifat takwa akan membolehkan seseorang yang sālik itu menerima pancaran cahaya Ilahi dan mendapat anugerah kemuliaan dari Allah S.W.T. di samping membolehkan seorang yang sālik itu mencapai tahap wusul kepada Allah S.W.T.
1.5.2 Zikrullah dan Murāqabah.
1.5.2.1 Zikrullah
Untuk menjelaskan prinsip di atas ada baiknya jika kita meneliti firman Allah S.W.T di bawah ini ,
اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ والأرض مَثَلُ نُورِهِ كَمِشْكَاةٍ فِيهَا مِصْبَاحٌ الْمِصْبَاحُ فِي زُجَاجَةٍ الزُّجَاجَةُ كَأَنَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّيٌّ يُوقَدُ مِنْ شَجَرَةٍ مُبَارَكَةٍ زَيْتُونِةٍ لاَ شَرْقِيَّةٍ وَلاَ غَرْبِيَّةٍ يَكَادُ زَيْتُهَا يُضِيءُ وَلَوْ لَمْ تَمْسَسْهُ نَارٌ نُورٌ عَلَى نُورٍ يَهْدِي اللَّهُ لِنُورِهِ مَنْ يَشَاءُ وَيَضْرِبُ اللَّهُ الأمثال لِلنَّاسِ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ . فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللَّهُ أَنْ تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ فِيهَا بِالْغُدُوِّ والآصال . وَإِقَامِ الصَّلاَةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ والأبصار. Maksudnya:"Dan sesungguhnya, Kami telah menurunkan kepada kamu, ayat-ayat keterangan yang menjelaskan (hukum-hukum suruh dan tegah), serta contoh teladan (mengenai kisah-kisah dan berita) orang-orang yang telah lalu sebelum kamu, serta nasihat pengajaran bagi orang-orang yang (mahu) bertakwa. Allah S.W.T. yang menerangi langit dan bumi. Bandingan nur hidayat pertunjuk Allah S.W.T. (kitab suci al-Qur’an) adalah sebagai sebuah misykat yang berisi sebuah lampu, lampu itu dalam gelok kaca (qandil), gelok kaca itu pula (jernih terang) laksana bintang yang bersinar cemerlang, lampu itu dinyalakan dengan minyak dari pokok yang banyak manfaatnya, (iaitu) pokok zaitun yang bukan sahaja disinari matahari semasa naik dan bukan sahaja semasa turun (tetapi sentiasa terdedah kepada matahari), hampir-hampir itu dengan sendirinya memancarkan cahaya bersinar (kerana jernihnya) walaupun ia tidak disentuh api, (sinaran nur hidayat yang demikian bandingannya adalah sinaran yang berganda-ganda). Cahaya berlapis cahaya Allah S.W.T. memimpin sesiapa yang dikehendaki Nya (menurut undang-undang dan peraturan Nya) kepada nur hidayat itu, dan Allah S.W.T. mengemukakan berbagai-bagai misal perbandingan untuk umat manusia, dan Allah S.W.T. Maha Mengetahui akan tiap-tiap sesuatu. ( Nur hidayah pertunjuk Allah S.W.T. itu bersinar dengan nyatanya terutama sekali ) di rumah-rumah ibadat yang diperintahkan oleh Allah S.W.T. supaya dimuliakan keadaannya dan disebut serta diperingat nama Allah S.W.T. padanya, di situ juga dikerjakan ibadat untuk mensuci dan memuji Allah S.W.T. pada waktu pagi dan petang. (Ibadat itu dikerjakan oleh) orang-orang yang kuat imannya yang tidak dilalaikan oleh perniagaan atau berjual beli daripada menyebut serta mengingat Allah S.W.T., dan mendirikan sembahyang serta memberikan zakat, mereka takutkan hari (qiamat) yang padanya berbalik-balik hati dan pandangan. "Merujuk kepada ayat di atas, khusus ayat 36 dan 37 menunjukkan dengan jelas hubungan di antara amalan syariah dengan nur Ilahi yang melimpahi hati orang yang mukmin. Dalam ayat di atas dengan terang disebutkan bahawa amalan zikrullah, bertasbih, mendirikan solat, mengeluarkan zakat, takut serta bimbang akan hari kiamat dan sentiasa menggantungkan hati dengan masjid adalah antara beberapa rangkaian amalan yang telah disebutkan sebagai berupaya untuk menyinari hati seorang yang mukmin.Dalam perbincangan ini kita lihat bagaimana zikrullah sebagai prinsip kedua dalam disiplin ilmu dan amalan tasawwuf itu memainkan peranan yang cukup besar untuk menerangi hati seorang yang sālik. Dengan zikrullah juga dapat dibezakan martabat dan kedudukan seorang hamba dengan hambaNya yang lain. Gambaran tersebut lebih jelas dari ungkapan Ibn ‘Atā’illah al-Iskandari yang antara lain menyebutkan :
قوم تسبق أنوارهم أذكارهم , وقوم تسبق أذكارهم أنوارهم , وقوم تتساوى أذكارهم وأنوارهم وقوم لا أذكار ولا أنوار نعوذ بالله من ذلك . Maksudnya:"Sekelompok hamba Allah S.W.T. di mana nur-nur mereka mendahului zikir-zikir mereka. Sekelompok hamba Allah S.W.T. di mana zikir-zikir mereka mendahului nur-nur mereka. Sekelompok hamba Allah S.W.T. di mana zikir-zikir dan nur-nur mereka seimbang dan sekelompok hamba Allah S.W.T. tidak ada zikir dan tidak ada nur. Kita berlindung dengan Allah S.W.T. dari yang demikian itu."Jika kita teliti kata-kata hikmah di atas maka kita akan dapati empat kelompok utama hamba Allah S.W.T.dalam konteks zikrullah. Mereka itu ialah:i) Golongan yang dikenali sebagai المريدون المجذوبون atau dengan istilah yang lain ia dikenali sebagai الواصلون . Golongan ini mencapai matlamat dan cita-cita mereka untuk hampir kepada Allah S.W.T. tanpa melalui proses perjuangan (mujāhadah) seperti perjuangan para hamba Allah S.W.T. yang telah disebut oleh Ibn ‘Atā’illah pada kumpulan yang kedua di atas tadi. Mereka dekat dengan Allah S.W.T. ketika dalam ibadah dan di luar ibadah. Tidak ada unsur memaksa diri, dan tidak pula menyusahkan diri (dalam erti kata mujāhadah dengan melakukan riyādat al-nafs). Hal ini terjadi disebabkan kerana hati mereka telah wujud nur Ilāhiyyah sejak azali lagi. Keadaan ini telah dijelaskan lagi dengan firman Allah S.W.T .
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ. Maksudnya:"Dan (ajarlah wahai Muhammad) ketika Tuhanmu mengeluarkan zuriat anak-anak Adam (turun temurun) dari (tulang) belakang mereka, dan Ia jadikan mereka saksi terhadap diri mereka sendiri (sambil Ia bertanya dengan firman Nya): “Bukankah Aku Tuhan kamu? Mereka menjawab: “Benar (Engkaulah Tuhan kami). Kami menjadi saksi yang demikian supaya kamu tidak berkata pada hari kiamat kelak, “Sesungguhnya kami adalah lalai (tidak diberi peringatan) tentang hakikat tauhid ini." Ayat al-Qur’an di atas memberikan penjelasan kepada kita bahawa nur Ilāhiyyah itu telahpun berada pada roh insan ketika di azali lagi. Roh pada saat tersebut telah mengakui dan mengenali tentang hakikat rububiyyah dan uluhiyyah Allah S.W.T. Pengakuan tersebut telah dibuat ketika berada di alam arwah lagi. Menurut al-Palembāni dan juga al-Ghazāli, pengenalan langsung terhadap Allah S.W.T. itu sebenarnya tidak mustahil untuk dicapai di atas dunia ini. Menurut mereka lagi, pengenalan langsung atau dengan istilah tasawwuf sebagai ma‛rifah akan Tuhan itu boleh dicapai dengan nur yang diturunkan oleh Allah S.W.T dalam hati hamba-hambaNya yang dikehendaki melalui ilmu laduni.
Al-Palembāni merujuk kata-kata Ibn ‘Ibād menyebutkan bahawa:Adalah syurga di dunia ini, sesiapa yang masuk akan dia nescaya tiada ingat ia akan syurga di akhirat. Kenyataan ini adalah merujuk kepada maksud ma‛rifah yang didapati melalui ilmu laduni seperti yang diterangkan oleh al-Palembāni di atas tadi. Sedangkan inti terdalam dari apa yang disebutnya ma‛rifah itu, nampaknya ialah tauhid tingkat tertinggi yang telah diterangkan oleh al-Ghazāli dan para ahli sufi pada abad ketiga Hijri.ii) Golongan atau kelompok yang kedua pula dikenali sebagai المريدون السالكون . Kelompok ini terdiri dari satu golongan manusia yang terpaksa melalui keadaan yang sukar untuk mencapai martabat wusul ilā Allah. Ini disebabkan adanya berbagai bentuk hijāb yang ada pada diri seorang yang sālik tersebut. Untuk menghilangkannya ia terpaksa melalui proses mujāhadat al-nafs. Keadaan tersebut dijelaskan oleh Ibn ‘Atā’illah dalam kata-kata hikmahnya yang antara lain menyebutkan:فرغ قلبك من الأغيار تملأ ه بالمعارف والأسرار Maksudnya:"Kosongkan hati anda dari segala sesuatu selain Allah S.W.T., nescaya Dia akan memenuhi hati anda itu dengan ilmu-ilmu makrifat (ilmu mengenal Allah S.W.T. dan rahsia-rahsia alam) ketuhanan." Menurut pandangan syariat kita dibolehkan untuk mencari seberapa banyak harta di dunia ini. Sedangkan menurut pandangan hakikat, di samping keterangan di atas tadi, hati kita juga tidak boleh sama sekali dipengaruhi oleh harta kekayaan kita, pangkat, isteri-isteri, anak-anak dan lain-lainnya. Selain daripada Allah S.W.T. menurut pandangan hakikat tidak sewajarnya berada di dalam hati seorang yang sālik. Oleh yang demikian bagi seorang sālik yang berada pada kelompok ini sewajarnya berusaha agar dapat memenuhkan hatinya hanya dengan Allah S.W.T. semata-mata. Keadaan ini dilakukan sama ada dalam ibadah atau luar dari ibadah. Hal ini kelihatan agak sukar, kerana secara umum ibadah solat yang dilakukan itu tidak boleh dihayati oleh hati dan tidak sejalan pula dengan solat atau ibadat yang dilakukan itu. Di sini perlu amalan zikrullah itu bagi mendisiplinkan anggota yang zahir itu agar sejalan dan selari dengan anggota yang batin ketika menuju Allah S.W.T. iii) Kelompok yang ketiga ialah mereka yang seimbang di antara zikr dan nur Ilahi. Dia mendapat pertunjuk ke jalan Allah S.W.T. dengan zikirnya sedangkan ia dapat melaksanakan ketaatan dan kepatuhan kepada Allah S.W.T. adalah disebabkan oleh nur Ilahi yang terpancar di dalam batinnya. Dalam konteks ini bukan zikir yang dahulu dan bukan pula nur Ilahi yang terdahulu menyebabkan ia sentiasa berzikir kepada Allah S.W.T. Dalam konteks ini dapat kita katakan bahawa kelompok yang ketiga ini adalah mereka yang berada di antara kelompok yang pertama dan yang kedua .iv) Kelompok yang keempat terdiri di kalangan mereka yang tidak pernah mengingati Allah S.W.T. dari sudut zahir dan batinnya. Tidak ada zikir di kalangan mereka dan tidak ada pula nur Ilahi yang diturunkan untuk mereka. Hati mereka tidak pernah tersentuh dengan nur Ilahi disebabkan maksiat yang telah mereka lakukan. Gambaran ini telah diterangkan oleh Ibn ‘Atā’illah al-Iskandari dalam kata-kata hikmahnya yang antara lain menyebutkan:ربما وردت عليك الأنوار , فوجدت القلب محشوا بصور الآثار , فارتحلت من حيث نزلت . Maksudnya:"Kadangkala muncullah anwār(cahaya Ilahi) pada anda, lantas anwār (cahaya Ilahi) itu mendapati hati (anda) dipenuhi dengan gambaran alam maya, maka pergilah anwār (cahaya Ilahi) itu dari tempat (hati) di mana ia telah turun tadi. " Dari beberapa keterangan yang telah dibentangkan di atas jelas kepada kita bahawa zikrullah sangat berperanan dalam proses pembersihan hati bagi seorang yang sālik sehingga mencapai nur Ilāhiyyah daripada Tuhannya. Dengan zikrullah dan nur Ilāhiyyah ini akan memudahkan seseorang yang sālik itu mencapai martabat wusul ilā Allah S.W.T. Zikrullah yang dimaksudkan dalam prinsip tasawwuf yang kedua di sini ialah dhikr al-darajāt iaitu zikrullah yang mempunyai kayfiyyah (cara dan kaedah) peraturan dan adab-adabnya seperti adab sebelum zikrullah, adab semasa berzikir dan adab selepas berzikir. Dhikr al-darajāt merupakan zikrullah yang ditalqinkan atau dibaiahkan oleh seorang murshid kepada seorang yang bergelar murid. Amalan ini berlaku di dalam disiplin ilmu dan amalan tasawwuf yang diimplimentasikan oleh para mashā’ikh dalam berbagai aliran tariqat. Tegasnya, dhikr al-darajāt itu ialah zikrullah yang diamalkan dalam berbagai aliran tariqat seperti Tariqat Ahmadiyyah, Tariqat Naqshabandiyyah, Tariqat Shādhiliyyah dan sebagainya lagi. Amalan zikrullah yang telah dilakukan sebenarnya mempengaruhi perjalanan rohaniah seorang yang sālik kepada Allah S.W.T. Peningkatan pengalaman rohaniah sesuai dengan peningkatan zikrullah itu sendiri. Sebagai contoh peningkatan dari dhikr ghaflah (hati lalai mengingati Allah S.W.T. ketika berzikir) kepada dhikr yaqazah (ketika berzikir hati telah sedar, bangun terhadap Allah S.W.T.). Zikir ini terus meningkat kepada dhikr hudur (hati sentiasa hadir dengan Allah S.W.T.semasa berzikir) dan akhirnya akan meningkat kepada dhikr al-ghaybah (yang lain daripada Allah S.W.T. akan lenyap dari hati dan yang ada hanya Allah S.W.T. dalam hati). Peningkatan ini dijelaskan oleh Ibn ‘Atā’illah dalam kata-kata hikmahnya:ل
ا تترك الذكر لعدم حضورك مع الله فيه لان غفلتك عن وجود ذكره أشد من غفلتك فى وجود ذكره .فعسى أن يرفعك من ذكر مع وجود غفلة إلى ذكر مع وجود يقظة ومن ذكر مع وجود يقظة الى ذكر مع زجزد حضور ومن ذكر مع وجود حضور الى ذكر مع وجود غيبة عما سوى المذكور وما ذلك على الله بعزيز . Maksudnya:"Jangan anda meninggalkan zikir (menyebut atau mengingati Allah), kerana tidak hadir (hati) anda serta Allah S.W.T. dalam zikir itu. Kerana bahawasanya kelalaian anda daripada mengingatNya lebih berat dari kelalaian anda pada mengingatiNya. Mudah-mudahan Allah S.W.T akan mengangkat anda dari zikir di samping ada kelalaian kepada zikir di mana hatinya juga (tidak lalai). Dan mudah-mudahan Allah S.W.T. mengangkat anda dari zikir yang berserta kehadiran Allah S.W.T. di dalam hati kepada zikir di mana lenyap selain Allah S.W.T. Dan itu semua tidak sukar bagi Allah S.W.T. "Dari kata-kata hikmah Ibn ‘Atā’illah di atas tadi menunjukkan adanya peningkatan pengalaman rohaniah dari satu kedudukan kepada satu kedudukan yang lebih tinggi. Peningkatan ini sesuai dengan peningkatan zikrullah itu sendiri. Atau peningkatan itu mahu dilihat dari sudut lisan ke hati. Atau lebih mudah kita memahami dhikir al-lisān kepada dhikr al-qalb. Kemudian peningkatan ini terus berlaku dengan dhikr al-qalb kepada dhikr al-jubāb. Zikir di peringkat yang terakhir ini akan membolehkan zikir itu tetap di dalam hati seorang yang sālik.
1.5.2.2 Murāqabah Dari segi definisi, istilah murāqabah membawa maksud yang berbagai dengan mengikut kesesuaian bentuk wazan dan perbezaan dalam konteks penggunaannya. Sebagai contoh firman Allah S.W.T.:إِنَّا مُرْسِلُو النَّاقَةِ فِتْنَةً لَهُمْ فَارْتَقِبْهُمْ وَاصْطَبِرْ . Maksudnya:"Sesungguhnya Kami menghantar unta betina (yang menjadi mukjizat) sebagai satu ujian bagi mereka . Lalu Kami (perintahkan Rasul Kami): Tunggulah (apakah yang mereka akan lakukan) serta bersabarlah (terhadap tentangan mereka). "Istilah فارتقبهم yang terkandung dalam ayat di atas membawa maksud: menanti dan menunggu sesuatu yang akan berlaku kepada mereka. Dalam firman Nya yang lain Allah S.W.T. menjelaskan:فَأَصْبَحَ فِي الْمَدِينَةِ خَائِفًا يَتَرَقَّبُ فَإِذَا الَّذِي اسْتَنصَرَهُ بِالاَْمْسِ يَسْتَصْرِخُهُ . Maksudnya:"Semenjak itu, tinggallah ia di bandar (Mesir) dalam keadaan cemas sambil mendengar-dengar (berita mengenai dirinya)." Istilah يترقب yang terkandung dalam ayat di atas membawa pengertian: Menanti-nanti akan mencapai sesuatu yang dituntut dengannya. Kedua-dua ayat di atas digunakan bagi menunjukkan makna intizār. Sedang dalam ayat yang lain pula Allah S.W.T. menjelaskan dengan firmanNya: كَيْفَ وَإِنْ يَظْهَرُوا عَلَيْكُمْ لاَ يَرْقُبُوا فِيكُمْ إِلا وَلاَ ذِمَّةً يُرْضُونَكُمْ بِأَفْوَاهِهِمْ وَتَأْبَى قُلُوبُهُمْ وَأَكْثَرُهُمْ فَاسِقُونَ Maksudnya:"Bagaimana (boleh dikekalkan perjanjian kaum kafir musyrik itu) padahal kalau mereka dapat mengalahkan kamu mereka tidak akan menghormati perhubungan kerabat terhadap kamu dan tidak akan menghormati perjanjian setianya."Perkataan يرقبوا (yarqabu) dalam ayat di atas membawa maksud: Jika mereka berjaya mengalahkan kamu, mereka tidak akan menjaga kamu dan memelihara hubungan kekeluargaan dan perjanjian. Dari keterangan di atas maka dapatlah kita membuat tanggapan terhadap istilah murāqabah itu sebagai satu kalimah yang membawa makna yang berbagai sesuai dengan konteks penggunaannya.
Manakala murāqabah dari sudut istilah pula dapat dilihat dari berbagai sudut antaranya:a) Murāqabah dari sudut akhlak ialah:Mengawasi diri dari sudut perbuatan, perkataan, pergerakan dan lintasan hati bagi tujuan memperbaiki segala kepincangan untuk menuju jalan yang lurus. Dengan mengabaikan pengawasan tersebut akan membawa kepada kehancuran dan kebinasaan. b) Murāqabah dari sudut tasawwuf ialah:Keadaan hāl bagi hati hasil dari ma‛rifah kepada Allah S.W.T. Sifat hāl ini akan membuahkan berbagai sifat mahmudah zahir dan batin. c) Murāqabah dari segi konsep ialah : Kesedaran rohaniah seorang sālik yang berterusan dengan satu keyakinan bahawa Allah S.W.T. melihat dan mengetahui semua hal keadaan dirinya. Menurut Syeikh al-Muhāsibi (w. 243 H) murāqabah itu mempunyai permulaan dan kesudahan (kemuncak). Permulaan murāqabah menurut al-Muhāsibi ialah lahir rasa kesedaran hati rohani (seorang yang sālik) bahawa Allah S.W.T. itu hampir dengan dirinya. Perasaan hampir itu tidak boleh digambarkan. Keadaan ini telah dijelaskan oleh Allah S.W.T. dengan firmanNya:وَلَقَدْ خَلَقْنَا الإنسان وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ Maksudnya:"Demi sesungguhnya, Kami telah menciptakan manusia dan Kami sedia mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, sedang (pengetahuan) Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya. "Sedang kemuncak atau hakikat murāqabah menurut Syeikh al-Muhāsibi ialah kesedaran hati rohani yang tetap bahawa Allah S.W.T. mengetahui tentang dirinya dalam apa juga keadaan. Dengan keyakinan yang bersih dari unsur yang merosakkan dan mengotorkan. Dengan demikian akan terbuka hijab hati dari berbagai kegelapan dan akhirnya akan dapat mushāhadah terhadap Allah S.W.T. Dalam konteks amalan tasawwuf, murāqabah biasanya dilakukan seiring dengan amalan zikrullah. Kedua-dua amalan tersebut saling berkait antara satu dengan yang lain untuk mencapai matlamat wusul ilā Allah S.W.T. Dalam konteks ini, zikrullah dilakukan dengan tujuan untuk mengingati Allah S.W.T., sedangkan murāqabah pula dilakukan untuk merasa-rasakan kewujudan Allah S.W.T., sifat-sifatNya, af‛ālNya dan sebagainya sehingga jelas dan terang konsep كأنك تراه seperti yang telah diterangkan oleh Rasulullah s.a.w. dalam hadisnya itu.Kaedah zikrullah dan murāqabah ini adalah didasarkan kepada firman Allah S.W.T. di bawah ini:الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ والأرض رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلاً يسبحانك فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. Maksudnya:"(Iaitu) orang-orang yang menyebut dan mengingati Allah S.W.T. semasa mereka berdiri dan duduk dan semasa mereka berbaring mengiring, dan mereka pula memikirkan tentang kejadian langit dan bumi (sambil berkata): Wahai Tuhan kami! Tidaklah Engkau menjadikan benda-benda ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari azab neraka."Ayat di atas menceritakan tentang amalan khusus bagi orang-orang yang bersifat ulul-albāb. Antara sifat-sifat orang yang ulul-albāb itu ialah sentiasa berzikrullah dan bermurāqabah. Kedua-dua amalan tersebut akan membawa seorang yang sālik sampai kepada hakikat tauhid rububiyyah dan uluhiyyah di samping dapat merasakan hakikat kehambaan diri kepada Allah S.W.T. Perkataan mereka yang terdapat dalam ayat di atas adalah gambaran terhadap kenyataan tersebut. Dari perkataan mereka yang telah Allah S.W.T. rakamkan itu maka dapatlah kita menyimpulkan di sini sebagai berikut:Ungkapan: ربنا ما خلقت هذا باطلا yang bermaksud:Wahai Tuhan Kami ! Tidaklah Engkau menjadikan benda-benda ini dengan sia-sia. Ada sebagai lambang kepada pengakuan mereka terhadap hakikat tauhid rububiyyah Allah S.W.T. Manakala ungkapan سبحنك yang bermaksud: Maha Suci Engkau itu sebagai lambang sampainya mereka kepada hakikat tauhid uluhiyyah Allah S.W.T. Manakala ungkapan فقنا عذاب النار yang bermaksud: Maka peliharalah kami dari azab neraka adalah lambang kelemahan diri insan. Kelemahan tersebut dilahirkan dengan sifat-sifat kehambaan diri seperti sifat kekurangan, miskin, fakir, jahil, dan sebagainya lagi sehingga terserlah pada diri mereka sifat ketergantungan dan keterikatan hati rohani hanya semata-mata kepada Allah S.W.T. seperti yang tergambar dari firmanNya:وَلَوْلاَ إِذْ دَخَلْتَ جَنَّتَكَ قُلْتَ مَا شَاءَ اللَّهُ لاَ قُوَّةَ إلا بِاللَّهِ إِنْ تُرَنِي أَنَا أَقَلَّ مِنْكَ مَالاً وَوَلَدًا Maksudnya:" Dan mengapa kamu tidak mengucapkan بالله إلا ما شأ الله لا قوة Sekiranya kamu anggap aku lebih sedikit dari padamu dalam hal harta dan keturunan."Oleh yang demikian maka benarlah anggapan serta keyakinan para ahli tariqat bahawa amalan zikrullah dan murāqabah itu sebagai الأقرب الطريق (jalan yang paling dekat) untuk sampai kepada Allah S.W.T. Sebab itulah apabila Saidina ‘Ali bin Abi Tālib k.w. memohon kepada Nabi Muhammad s.a.w. supaya baginda mengajarkan amalan khusus yang cepat wusul kepada Allah S.W.T. dan yang paling afdal, maka Nabi s.a.w. menjawab dengan sabdanya: Maksudnya:"Wajiblah ke atas kamu sentiasa berzikrullah di tempat-tempat yang sunyi. "Oleh yang demikian antara aspek penting yang menonjol dalam disiplin ilmu dan amalan tasawwuf untuk mendidik jiwa yang berkarat kerana dosa dan maksiat dengan mengamalkan zikrullah. Malahan lebih dari itu ada sesetengah daripada tokoh sufi meletakkannya sebagai salah satu dari prinsip dalam ilmu dan amalan tasawwuf. Antara mereka ialah Syeikh Abu ‘Ali al-Daqqāq yang menganggap zikrullah adalah satu rukun yang penting sebagai jalan untuk menuju Allah S.W.T., bahkan zikrullah itu merupakan asas yang sangat kuat dipegang ketika dalam perjalan tersebut, seseorang tidak akan sampai kepada Allah S.W.T. dan keredaanNya kecuali dengan cara sentiasa melaksanakan amalan zikrullah.
1.5.3 Murshid.

MURSHID
Murshid adalah satu istilah yang sinonim dengan sheikh dalam disiplin ilmu dan amalan tasawwuf, atau murabbi, guru yang mengajar, mendidik serta mengasuh zahir dan batin seorang yang sālik. Untuk menjelaskan lagi kedudukan prinsip yang ketiga ini kita lihat pandangan yang diberikan oleh Syeikh ‘Abd Samad al-Palembāni yang antara lain menyebutkan:Dan syarat yang keempat ialah mu‛allim yang menunjukkan jalan yang murad (yang hendak dituju) daripada mu’allim itu ialah guru yang murshid yang mengetahui akan jalan (kepada Allah S.W.T.). Syeikh al-Azhar, Dr. ‛Abd al-Halim Mahmud ada menghuraikan pandangannya tentang kedudukan syeikh murshid seperti yang diamalkan oleh ajaran tasawwuf adalah sebagai syarat penting yang mesti ada dalam tasawwuf itu ialah kesan rohani atau dengan kata lain lebih tepat lagi ialah barakah. Barakah itu tidak akan ada kecuali dengan wāsitah (perantaraan) seorang yang bergelar syeikh.
1.5.4 Raf‛ al-Himmah

Raf al -Himmah Prinsip yang keempat ialah الهمة رفع. Menurut keterangan yang telah diberikan oleh al-Palembāni الهمة رفع itu ialah : "Bersungguh menjalani akan jalan (Allah S.W.T.) ini seumur hidupnya iaitu sekira-kira jangan lalai dan jangan lupa dan jangan segan dan jangan letih supaya sampai kepada martabat yang tinggi dan maqam yang tertinggi. " Dalam maksud yang lain, الهمة رفع itu juga membawa maksud cita-cita, tekad dan keazaman yang kuat untuk bersungguh-sungguh melaksanakan mujāhadat al- nafs. Kesungguhan yang demikian merupakan satu tuntutan daripada Allah S.W.T. terhadap seorang yang sālik seperti firman Allah S.W.T. وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ . Maksudnya:"Dan mereka yang bersungguh-sungguh bermujāhadah dalam (jalan untuk ma‛rifah) Kami, nescaya Kami akan hidayatkan kepada mereka itu jalan-jalan (ma‛rifah) Kami itu."Para ulama tasawwuf memang sangat menekankan kepentingan mujāhadah untuk mencapai martabat wusul. Malahan mereka menetapkan agar seorang yang sālik itu hendaklah melakukan atau menjalani mujāhadah dengan bersungguh-sungguh. Tanpa mujāhadah seorang yang sālik tidak akan mencapai sebarang natijah terhadap rohaninya. Ini kerana sesiapa yang menyangka bahawa sebuah tariqat akan mengurniakan kepada dirinya atau akan dikashafkan untuk dirinya tanpa mengekalkan mujāhadah maka anggapan tersebut adalah salah. Dari mujāhadah yang bersungguh-sungguh itu, tentu ada faktor yang mendorong dan memberangsangkan seorang yang sālik itu bermujāhadah. Tanpa faktor tersebut tentu mujāhadah tidak dapat dilakukan dengan jayanya. Oleh yang demikian faktor pendorong itu adalah dikira sebagai sebahagian dari maksud himmah atau kegigihan dan kesungguhan mujāhadah tersebut. Di antara faktor tersebut ialah niat atau qasad yang benar, tujuan seorang yang sālik itu bermujāhadah mesti bersih. Tidak ada sebarang tujuan yang lain selain daripada kerana Allah S.W.T. Mujāhadah dilakukan semata-mata untuk taqarrub kepada Allah S.W.T., bukan untuk mencapai kashaf, karāmah atau untuk mencapai berbagai maqāmāt dan kepentingan diri dan sebagainya, tetapi untuk mencapai keredaan Allah S.W.T sehingga mencapai hakikat tauhid uluhiyyah dan tauhid rububiyyah yang sebenar. Sebab itu dalam amalan tasawwuf dan tariqat agenda membetulkan qasad ini sering dilahirkan dengan berbagai ungkapan sama ada dalam bentuk doa dan munājāt, antaranya seperti ungkapan:الهى أنت مقصودى ورضاك مطلوبى . Maksudnya:"Ya Allah, ya Tuhanku! Engkau adalah yang aku tuju dan keredaanMu adalah yang ku cari."Jika kita perhatikan ungkapan munājat di atas, kita dapati ia sebagai kaedah penting untuk membetulkan qasad dan tujuan di awal mula mujāhadah seorang yang sālik. Dengan munājāt ini juga diharapkan akan dapat membetulkan setiap ibadah yang dilakukan oleh seorang sālik bagi mencapai matlamat wusul.
1.5.5 Menuntut ilmu.
Menuntut IlmuPrinsip yang kelima dalam ajaran dan amalan tasawwuf ialah menuntut ilmu. Bagi seorang yang sālik adalah menjadi kewajipan untuk mencari dan menuntut ilmu dari ketiga-tiga cabang ilmu Islam. Seperti ilmu tauhid, fikah dan ilmu tasawwuf dan tariqat. Sekurang-kurangnya melepasi kewajipan fardu ‘ain. Sesuai dengan kedudukan ketiga-tiga cabang ilmu tersebut seperti yang telah dijelaskan oleh Baginda Rasulullah s.a.w. dalam sebuah hadis yang menyentuh soal Iman, Islam dan Ihsān. Tuntutan supaya mencari ilmu pengetahuan dalam Islam itu sudah bermula dengan penurunan wahyu yang pertama yang berbunyi اقرأ .Konsep yang terkandung dalam kalimah iqra’ itu memberikan satu gambaran berhubung dengan kegiatan dan perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri. Justeru kerana itu Imam al-Ghazāli berpendapat masalah yang berhubung dengan ilmu merupakan halangan pertama yang mesti diselesaikan oleh seorang yang sālik. Hanya dengan ilmu sahaja seorang sālik itu akan berjaya untuk melaksanakan ‘ubudiyyahnya terhadap Allah S.W.T. Dalam sebuah hadis Rasulullah s.a.w. ada menyebutkan tentang pentingnya menuntut dan mencari ilmu di samping peringatan dan ancaman bagi mereka yang tidak mahu berbuat demikian. Rasulullah s.a.w. bersabda yang maksudnya:"Hendaklah anda menjadi orang yang alim (yang mengetahui dan mengajar) atau orang yang belajar atau orang yang mendengar atau orang yang cintakan ilmu dan jangan anda jadi orang yang kelima, jika kamu menjadi orang yang kelima itu maka anda akan binasa." Dari penjelasan hadis di atas menunjukkan bahawa perintah untuk menuntut dan mencari ilmu adalah berterusan. Dalam konteks ilmu tasawwuf seorang yang sālik amat dituntut untuk berbuat demikian bagi menjamin keselamatan mujāhadah di samping mencapai kejayaan dalam perjalanan menuju Allah S.W.T. Di sini sering terjadi salah faham di kalangan pengamal amalan tasawwuf yang beranggapan bahawa Allah S.W.T. akan menganugerahkan berbagai ilmu laduni secara langsung tanpa diiringi usaha dan ikhtiar dengan menuntut ilmu. Sikap yang demikian tentu sahaja berlawanan dengan sarih hadis yang menuntut supaya setiap mukmin menuntut dan mencari ilmu seperti yang disabdakan oleh Baginda s.a.w. dalam sebuah hadisnya:اطلب العلم فريضة على كل مسلم Maksudnya:" Menuntut ilmu itu adalah wajib ke atas tiap-tiap lelaki Islam." Ibn ‘Atā’illah al-Iskandari r.a. dalam kata hikmahnya ada memberikan panduan kepada seorang sālik ketika berada di peringkat asbāb supaya berusaha mencari dan menuntut ilmu pengetahuan seperti biasa, sama juga dengan usaha mencari rezeki. Hal ini diterangkan oleh beliau dengan kata-kata hikmahnya :ارادتك التجريد مع اقامة الله اياك فى الأسباب من الشهوة الخفية Maksudnya:"Anda mahukan tajrid (beribadah secara melulu dan masalah rezeki dan ilmu diserahkan bulat-bulat kepada Allah S.W.T.), sedang Allah S.W.T. menentukan anda di peringkat asbāb, bermakna kehendak anda itu adalah di dorong oleh nafsu yang tersembunyi."
1.5.6 Khalwah, ‛Uzlah dan Suluk.
Khalwah, ‛Uzlah dan Suluk. Prinsip ilmu tasawwuf yang keenam ialah khalwah, ‘uzlah dan suluk. Menurut keterangan yang diberikan oleh Abd al-Samad al-Palembāni, al-khalwah yang dimaksudkan di sini ialah dengan melazimkan diri dengan duduk dalam khalwah (berada di tempat yang sunyi). Pengasingan diri ini hanya mengambil masa yang tertentu sahaja. Dalam waktu tertsebut seorang yang sālik tidak terlibat dengan aktiviti yang bersifat kemasyarakatan. Ini tidak bererti meninggalkan kewajipan sebagai anggota masyarakat, tetapi diambil untuk tujuan islāh al-nafs. Bagi seorang sālik yang bertaraf al-muridun, amalan khalwah itu hendaklah dilakukan serentak dengan anggota yang zahir. Manakala seorang sālik yang bertaraf ‛ārifin pula amalan khalwah hanya dilakukan dengan hati sahaja. Dari keterangan di atas maka dapat kita membuat kesimpulan bahawa khalwah, ‛uzlah dan suluk itu terbahagi kepada dua bahagian:a) Golongan sālik yang baru memulakan riyādat al-nafs. Golongan ini lebih dikenali dalam ilmu tasawwuf sebagai al-muridun. Golongan ini perlu melakukan khalwat dengan mengasingkan dirinya yang zahir di tempat sunyi untuk melakukan amalan zikrullah, murāqabah dan tafakkur kepada Allah S.W.T.b) Manakala golongan yang kedua pula ialah mereka yang telah mencapai martabat wusul ilā ma‛rifat Allah. Atau dikenali juga sebagai golongan yang ‛ārifin dalam ilmu tasawwuf. Khalwah bagi golongan ini sama sekali tidak melibatkan anggota yang zahir tetapi hanya memadai dengan hati sahaja. Sekali pun terjadi pergaulan dan perhubungan dengan masyarakat. Keadaan ini tidak mejejaskan dan menghalang dirinya dari mengingati Allah S.W.T. Dalam konteks ini al-Jurjāni menjelaskan khalwah jenis kedua ini disifatkan sebagai bisikan sirr berserta dengan Allah S.W.T. semata-mata.
1.5.7 Rakan seperguruan.
Rakan seperguruan. Prinsip yang ketujuh dalam ajaran tasawwuf ialah rakan atau kawan seperguruan. Antara tujuan dan matlamatnya ialah untuk merealisasikan tuntutan Allah S.W.T. seperti yang terdapat dalam firman Nya:وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُوا عَلَى الإثم وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ Maksudnya:"Dan hendaklah kamu tolong-menolong untuk berbuat kebajikan dan takwa, dan janganlah kamu tolong-menolong dalam kerja-kerja dosa dan permusuhan. Dan bertakwalah kepada Allah S.W.T., kerana sesungguhnya Allah S.W.T. Maha Berat azab seksaNya (bagi sesiapa yang melanggar perintah Nya)."Syeikh ‘Abd al-Samad al-Palembāni berpendapat, antara tujuan rakan seperjuangan dalam amalan tasawwuf ialah untuk dijadikan rakan dan kawan ketika melaksanakan ibadat. Seperti ibadat solat lima waktu sehari semalam dengan berjamaah, melakukan rātib dan zikir secara beramai-ramai. Sentiasa ingat-mengingat dari berbuat dosa dan maksiat. Amalan-amalan tersebut sangat diutamakan ketika seorang sālik menjalani suluknya .Dalam amalan tasawwuf rakan seperjuangan sangat berperanan dan amat memberi kesan dalam pembentukan peribadi seorang yang sālik. Kesan tersebut sama ada yang bersifat lahiriah mahupun yang bersifat ma‘nawiyyah. Kenyataan ini diperjelaskan lagi dengan sebuah hadis Baginda s.a.w. قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : إنما مثل الجليس الصالح والجليس السؤ كحامل المسك ونافخ الكير فحامل المسك اما ان يحذيك واما ان تبتاع منه واما ان تجد منه ريحا طيبة ونافخ الكير إما أن يحرق ثيابك واما أن تجد ريحا خبيثة Maksudnya:"Bahawa sesungguhnya bandingan kawan yang soleh dengan kawan yang jahat itu adalah seperti penjual minyak wangi dengan tukang besi yang meniup api, penjual minyak wangi itu mungkin akan memberi (minyak wangi) itu kepada anda atau anda membelinya atau anda (sekurang-kurangnya) akan dapat bau yang harum, sedang peniup api itu pula sama ada akan membakar pakaian anda atau anda akan mendapat bau yang busuk. "Dalam sebuah hadisnya yang lain Baginda s.a.w. menjelaskan dengan sabdanya yang bermaksud:"Seseorang itu berada (di bawah pengaruh) agama kawannya, maka oleh itu hendaklah seseorang daripada kamu mempastikan orang yang akan dijadikan sebagai kawannya. "
1.5.8 Menjaga adab.
Menjaga adab Prinsip ilmu dam amalan tasawwuf yang kelapan ialah menjaga adab. Dalam konteks ini al-Jurjāni ada menjelaskan di antara salah satu dari tanggungjawab yang perlu dilakukan oleh seorang yang sālik yang sedang menjalani suluknya ialah menjaga beberapa adab. Antaranya beliau menjelaskan:التصوف : الوقوف مع الآداب الشرعية ظاهرا فيرى حكمها من الظاهر في الباطن, وباطنا فيرى حكمها من الباطن فىالظاهر , فيحصل للمتأدب بالحكمين كمال. Maksudnya:Tasawwuf ialah berpegang (terus) dengan adab syarak dari sudut zahirnya, akan dirasakan hukumnya di dalam batin dari zahir itu. Dan berpegang (terus) dengan adab syarak dari sudut batinnya, maka akan dirasakanlah hukumnya pada zahir dari yang batin itu. Maka dengan kedua-dua hukum tersebut orang yang beradab itu pun dapat mencapai kesempurnaan.Adab yang cuba diketengahkan oleh disiplin tasawwuf di sini merangkumi adab kepada Allah S.W.T., Rasul, murshid atau syeikh, rakan seperjuangan, sesama manusia dan makhluk seluruhnya. Prinsip ini sesuai dengan tujuan dan maksud dari firman Allah S.W.T.:ضُرِبَتْ عَلَيْهِمْ الذِّلَّةُ أَيْنَ مَا ثُقِفُوا إِلا بِحَبْلٍ مِنْ اللَّهِ وَحَبْلٍ مِنْ النَّاسِ وَبَاءُوا بِغَضَبٍ مِنْ اللَّهِ وَضُرِبَتْ عَلَيْهِمْ الْمَسْكَنَةُ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَانُوا يَكْفُرُونَ بِآيَاتِ اللَّهِ وَيَقْتُلُونَ الأنبياء بِغَيْرِ حَقٍّ ذَلِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا يَعْتَدُونَ . Maksudnya:"Mereka ditimpakan kehinaan (dari segala jurusan) di mana sahaja mereka berada, kecuali dengan adanya sebab dari Allah S.W.T. dan adanya sebab dari manusia. Dan sudah sepatutnya mereka beroleh kemurkaan daripada Allah S.W.T., dan mereka ditimpakan kemiskinan (daripada segala jurusan). Yang demikian itu, disebabkan mereka sentiasa kufur dan ingkar akan ayat-ayat Allah S.W.T. (perintah-perintahNya), dan mereka membunuh Nabi dengan tiada alasan yang benar. Semuanya itu di sebabkan mereka derhaka dan sentiasa mencerobohi (hukum-hukum Allah S.W.T.)."Ayat di atas menceritakan tentang beberapa bentuk kehinaan yang ditimpakan oleh Allah S.W.T. ke atas umat manusia. Kehinaan tersebut terjadi disebabkan gagalnya umat manusia menjaga adab-adab yang telah ditetapkan oleh Allah S.W.T ke atas mereka. Sama ada adab yang bersifat hubungan dengan Allah S.W.T seperti memelihara segala perintahNya, dan menjauhi segala larangan dan tegahanNya. Atau adab-adab yang bersifat hubungan sesama manusia. Jika adab seumpama ini tidak dijaga oleh seorang yang sālik, maka ia akan ditimpakan kehinaan dengan gagal wusul kepada Allah S.W.T.Di antara beberapa bentuk adab yang terdapat dalam disiplin ilmu dan amalan tasawwuf ialah ādāb al-tafwid, ādāb al-talab, ādāb al-a‛māl wa al-‛ibādah dan sebagainya lagi. Adab-adab ini seharusnya dijaga dan dipatuhi oleh setiap yang sālik ketika ia menjalani suluknya.
IMAN
Iman ini dibina atas asas kesaksian bahawa tiada Tuhan atau sembahan yang sebenarnya selain daripada Allah S.W.T. dan Nabi Muhammad s.a.w. itu adalah pesuruh Allah S.W.T. Perkataan kesaksian mengandungi maksud yang lebih luas dan mendalam dari perkataan iman , ini di sebabkan istilah kesaksian atau syahadah itu bukan hanya sekadar menyatakan atau menerangkan dengan lidah, tetapi ia mengandungi maksud mengetahui, mengakui dan mengiktikadkan kebenaran itu dari apa yang telah diterangkan atau dinyatakan dengan lidahnya. Oleh sebab itu sebahagian ulama berpendapat semua yang berhubung dengan aqidah dan iman itu tidak dibenarkan bertaqlid. Atas dasar kesaksian atau syahadat inilah kita beriman dengan seluruh rukun iman dan apa juga yang bersifat ghaib yang telah disampaikan oleh Baginda Rasulullah s.a.w. seperti yang terkandung dalam Kitab al-Quran dan al-Sunnah. Atas dasar iman, iaitu beriman kepada Allah S.W.T. dan beriman kepada kerasulan Muhammad s.a.w., sudah secara langsung kita mengibadati Allah S.W.T., dengan mematuhi syari’atNya dengan melaksanakan segala yang diperintahkan dan menjauhi segala yang dilarang olehNya seperti yang telah disampaikan kepada kita oleh Baginda Rasulullah s.a.w. dan yang terkandung dalam al-Quran dan al-Sunnah. Antara beberapa bentuk perintah Allah S.W.T. tersebut ada yang terkandung dalam rukun Islam, ada juga yang tidak termasuk di dalamnya tetapi terkandung dalam segala peraturanNya yang merangkumi segala aspek kehidupan manusia seperti yang telah diterangkan oleh Allah S.W.T dalam al-Quran, surah al-An’am ayat 38.
IHSAN
Apa yang dimaksudkan dengan ihsān di sini ialah sebagaimana yang telah disabdakan oleh Rasulullah s.a.w. bahawa kita beribadat kepada Allah S.W.T. itu seolah-olah kita melihatNya, kerana jika kita tidak melihatNya, sesungguhnya Ia melihat kita. Mengibadati Allah S.W.T. dalam kontek di atas membawa maksud melaksanakan segala yang diperintah dan menjauhi segala yang dilarang dengan penuh kesempurnaan yang merangkumi seluruh syari’atNya. Justeru dari sini dapat kita memahami bahawa ihsān tersebut adalah gabungan di antara iman dan Islam. Atau dalam erti kata yang lain melaksanakan syari’at dengan penghayatan aqidah dalam bentuk kesepaduan, keadaan ini merupakan kemuncak kesempurnaan iman dan Islam. Dari keterangan tersebut, maka dapatlah kita membuat kesimpulan bahawa iman yang juga disebut sebagai Ilmu Tauhid atau ilmu Usul al-Din ialah ilmu yang membicara dan membahaskan tentang dasar keimanan dan kepercayaan. Sedang ilmu yang membicarakan masalah Islam atau syari’at pula dikenali sebagai Ilmu fiqh dan ilmu yang membahas masalah ihsān pula dikenali dengan ilmu Tasawwuf atau Ilmu Tariqat. Semua perbahasan tersebut mestilah bersumberkan kepada wahyu yang telah diturunkan oleh Allah S.W.T. kepada Nabi Muhammad s.a.w. sama ada yang terkandung dalam al-Qur’an mahu pun dalam Sunnah Rasulullah s.a.w.
AYAT-AYAT KAWNIYYAH
Ayat-ayat kawniyyah yang terdapat dalam al-Quran sebenarnya mengajak manusia untuk berfikir dan seterusnya menghayati dan merasakan keagungan sifat-sifat Allah S.W.T. Dengan demikian ia akan dapat menerima satu hakikat bahawa alam ini adalah ciptaan Allah S.W.T. dan seterusnya manusia harus menginsafi bahawa kehadirannya di atas muka bumi hanya sebagai khalifah yang tunduk dan patuh kepada peraturan daripada Allah S.W.T. Antaranya firman Allah S.W.T. dalam surah al-Ghasyiah ayat 17-20 yang menggambarkan hal tersebut.أَفَلَا يَنْظُرُونَ إِلَى الْإِبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ . وَإِلَى السَّمَاءِ كَيْفَ رُفِعَتْ . وَإِلَى الْجِبَالِ كَيْفَ نُصِبَت . وَإِلَى الأَرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْ .
TAUBAT DARI SEGI ILMU TASAWUF
al-Tawbah bererti kembali kepada Allah S.W.T. dengan melepaskan ikatan dosa di dalam hati kemudian melaksanakan hak Allah S.W.T. ke atas dirinya seperti yang dijelaskan oleh al-Jurjāni dalam al-Ta‛rifāt . Sebab itu orang yang melakukan dosa dan maksiat itu sering dikaitkan dengan istilah jauh daripada Allah S.W.T. al-Hujwiri ada menjelaskan tentang hakikat al-tawbah itu dengan katanya yang bermaksud: Kembali dari melakukan larangan Allah S.W.T. kepada suruhan Allah S.W.T. Inilah hakikat al-tawbah seperti yang terdapat dalam Kashf al-Mahjub oleh al-Hujwiri, . Sehubungan dengan perbincangan di atas dapat kita lihat dengan jelas perintah daripada Allah S.W.T dalam al-Qur’an tentang al-tawbah. Di samping banyak ayat al-Qur’an yang menggalakkan umat manusia supaya bertaubat dan kembali kepada Allah S.W.T. Antaranya Allah S.W.T. berfirman dalam surah al-Nur ayat 31, al-Baqarah ayat 54, al-Tahrim ayat 8, al-Hujurat ayat 3, Hud ayat 3, 52, 61 dan 80. Pada umumnya ayat-ayat di atas secara langsung memerintahkan agar umat manusia bertaubat kepada Allah S.W.T. di samping melambangkan sifat-sifat Pengampun Allah S.W.T. Daripada firman Allah S.W.T. di atas kita dapati perintah bertaubat itu adalah bersifat kāffah atau menyeluruh di dalam semua peringkat kehidupan umat manusia. Sebagai contoh: Bagi seorang yang ‘āsi. Taubat dalam konteks ini ialah dengan meninggalkan segala perbuatan maksiat di samping menggantikan tempatnya dengan perbuatan taat dan kebajikan. Bagi seorang yang taat. Tawbat yang perlu dilakukan dalam konteks ini ialah dengan meninggalkan perbuatan melihat perbuatan taat kepada melihat akan segalanya itu adalah taufik daripada Allah S.W.T., kerana perbuatan melihat dan bersandar kepada amalan tersebut adalah bersifat syirik khafi. Sedang orang yang berada di tahap khās al-khās. Taubat dalam konteks ini ialah meninggalkan melihat taufik kepada mushāhadat al-muwaffiq ( Allah S.W.T. yang memberikan taufik). Justeru kerana itu Abu Tālib Makki seperti yang terdapat dalam kitabnya Qut al-Qulub, menyifatkan taubat ahli-ahli tasawwuf itu adalah taubat dari perbuatan kebaikan. Ini membawa maksud apabila berlakunya kekurangan-kekurangan ketika melakukan amal kebajikan tersebut. Tidak ketinggalan juga dengan al-Tusi yang telah menjelaskan tentang beberapa peringkat taubat yang terdapat di kalangan umat manusia seperti yang terdapat di dalam kitabnya al-Luma‛, . Antaranya seperti yang terangkum dalam kata-kata beliau di bawah ini:“Sebahagian orang yang bertaubat itu, bertambah dari dosa dan keburukan, ada pula orang yang bertaubat kerana kelalaian dan sebahagiannya pula bertaubat kerana melihat kebajikan dan ketaatan yang dilakukan”.
BAB II TARIQAT DAN SULUK

2.1 PENGENALAN
Dalam bab kedua ini, penulis cuba membincangkan beberapa aspek yang berkaitan dengan istilah tariqat, konsep tariqat, kepentingan tariqat serta kedudukannya dalam Islam. Dalam masa yang sama akan disentuh juga masalah yang berhubung dengan suluk atau khalwat yang menjadi dasar kepada disiplin ilmu dan amalan tariqat tasawwuf dan hubungannya dengan amalan rābitah.
2.2.2 Tariqat Menurut Istilah Tasawwuf.
2.2.2 Tariqat Menurut Istilah Tasawwuf. Setelah kita bincangkan perkataan tariqat dari sudut bahasa di samping penggunaan al-Qur’an terhadap kalimah tersebut, maka tiba masanya untuk kita membicarakan tentang perkataan tariqat yang cuba dilihat dari perspektif ilmu dan amalan tasawwuf. Perkataan tariqat menurut disiplin ilmu ini telah didefinisikan secara berbeza-beza oleh tokoh-tokoh yang terlibat secara langsung dengan amalan tasawwuf atau oleh para penyelidik ilmu tersebut. Sebagai contoh kita ambil seorang penyelidik ilmu tasawwuf, iaitu Syeikh Ahmad Khātib bin Abdul Latif telah mendefinisikan tariqat itu dengan katanya: Jalan kepada Allah dengan mengamalkan ilmu yang tiga iaitu Tauhid, Fiqh dan Tasawwuf. Definisi ini nampaknya begitu umum, malah tidak memberikan gambaran dan realiti yang sebenar terhadap istilah tariqat dan tasawwuf itu. Ini kerana tasawwuf dan tariqat itu adalah merujuk kepada ihsān seperti yang terdapat dalam hadis Nabi s.a.w. yang masyhur itu. Tariqat, tasawwuf dan ihsān itu lebih khusus sifatnya, justeru ia tidak boleh didefinisikan dengan suatu definisi yang umum. Sedang definisi yang dikemukakan oleh Ahmad Khātib ini lebih bersifat penjelas terhadap struktur Islam, bukan makna atau takrif tasawwuf dan tariqat secara khusus. Sememangnya kita menyedari, untuk menjadi manusia yang sempurna, kita mestilah berpegang teguh terhadap Iman, Islam dan Ihsān. Atau yang disebutkan oleh Syeikh Ahmad Khātib sebagai Ilmu Tauhid, Ilmu Fiqh dan Ilmu Tasawwuf. Tetapi kita merasakan ini bukan takrif dan definisi kepada tasawwuf dan tariqat yang sebenar, tetapi hanya sekadar penjelasan terhadap bagaimana cara untuk mengamalkan syariat Islam yang syumul itu. Oleh yang demikian kita mesti mencari satu definisi yang lebih tepat dan khusus sifatnya bagi memperjelaskan lagi makna dan maksud yang terkandung dalam kalimah tariqat tersebut. Adalah diharapkan dengan pendefinisian itu nanti mengurangkan kesilapan dan kekeliruan terhadap maksud sebenar yang berhubung dengan kalimah tariqat dan ajaran yang terkandung dalamnya. Untuk tujuan tersebut kita mengutip keterangan yang diberikan oleh al-Jurjāni (w. 816H) dalam mendefinisikan perkataan tariqat dalam konteks yang lebih khusus beliau menjelaskan dengan katanya:الطريقة هى السيرة المختصة بالسالكين الى الله تعالى من قطع المنازل والترقى فى المقامات Maksudnya:Tariqat itu ialah perjalanan kerohanian yang khusus bagi orang-orang yang berjalan menuju Allah S.W.T. yang pasti akan mengharungi beberapa rintangan dan melalui peningkatan rohani di dalam berbagai maqāmāt. Menurut Syeikh Najm al-Din Kubrā (w. 618H) yang memberikan definisi tariqat itu dengan katanya:الطريقة هى التقوى والتقرب إلى الله تعالى من قطع المنازل والترقى فى المقامات. Maksudnya:Adapun tariqat itu ialah melakukan takwa dan perkara-perkara yang dapat mendekat dan menghampirkan diri kepada Allah S.W.T. dengan melalui berbagai rintangan dan berbagai maqāmāt. Dari tiga definisi di atas, kita dapati semua definisi tersebut membawa maksud yang sama, hanya Syeikh Ahmad Khātib mendefinisikan istilah tariqat itu dengan menyentuh aspek Islam Iman dan Ihsan secara zahir. Sedang dua orang tokoh yang berikutnya memberikan pendefinisian yang lebih tepat dan memenuhi kehendak istilah tariqat tersebut. Definisi ini juga menepati makna sebenar seperti yang terdapat dalam disiplin ilmu dan amalan tasawwuf dan tariqat. Jika kita tinjau selanjutnya, kita akan dapati bahawa Syeikh Najm al-Din Kubrā ada menjelaskan tentang kedudukan dan hubungan istilah tariqat itu dengan syariah dan haqiqat. Hal ini telah diterangkan oleh beliau supaya konsep tariqat tersebut lebih jelas dan dapat difahami dengan mudah di samping tidak menimbulkan sebarang kekeliruan. Beliau berpendapat bahawa syariah seumpama kapal, tariqat seperti lautan manakala haqiqat pula seperti mutiara. Sesiapa yang mahukan mutiara itu, ia mesti menaiki kapal kemudian dia belayar mengharungi lautan itu. Kemudian barulah dia sampai kepada mutiara tersebut. Sesiapa yang meninggalkan urutan perjalanan ini, maka ia tidak akan sampai ke mutiara itu. Dari keterangan Syeikh Najm al-Din Kubrā di atas, memperjelaskan lagi kepada kita tentang konsep serta hubungan antara istilah tariqat dengan syariah dan haqiqat itu. Tidak cukup dengan kenyataan tersebut, beliau memperjelaskan lagi dengan memberikan beberapa contoh tentang hubungan tersebut. Antaranya beliau menghuraikan tentang bersuci: Jika dilihat dari sudut ketiga tiga aspek tersebut (dari aspek syariah, tariqat dan haqiqat) . Menurut beliau bersuci pada tahap syariah ialah dengan menggunakan air mengikut syarat dan rukun yang tertentu, manakala di tahap tariqat pula bersuci itu dilihat dari aspek berusaha membuangkan segala dorongan hawa nafsu (takhalli) dan pada tahap haqiqat pula bersuci itu adalah bersih hati dari apa juga yang selain daripada Allah S..W.T. (tahalli). Pandangan Syeikh Najm al-Din itu tadi dapat kita perjelaskan begini: Seseorang yang mahu sampai kepada hakikat tauhid yang sebenar, baik yang berhubung dengan uluhiyyah mahupun rububiyyah sehingga memperolehi mushāhadah terhadap hakikat tauhid tersebut, mestilah ia bersih dari apa juga bentuk najis, hadas kecil mahupun hadas besar, zahir mahupun yang batin. Setelah itu hendaklah bermujāhadah membersihkan hati dari berbagai sifat tercela (madhmumah) dan menghiasi hati itu dengan sifat-sifat yang terpuji (mahmudah). Setelah kedua-dua aspek itu dapat dilakukan dengan jayanya barulah orang itu akan sampai ke martabat suci pada haqiqatnya. Benar kata-kata Ibn ‛Atā`illah yang menyebutkan:كيف يشرق قلب صور الأكوان منطبعة فى مرآته , أم كيف يرحل إلى الله وهو مكبل بشهواته , أم كيف يطمع أن يدخل حضرة الله ولم يتطهر من جنابة غفلاته, أم كيف يرجو أن يفهم دقائق الأسرار وهو لم يتب من هفواته . Maksudnya: Bagaimana hati akan dapat disinari sedangkan gambar- gambar alam maya ini tercap dalam kaca hatinya. Atau bagaimanakah seseorang boleh berjalan kepada Allah S.W.T., sedangkan ia terikat dengan syahwat-syahwatnya. Atau bagaimana seseorang berkeinginan kuat untuk masuk ke hadirat Allah S.W.T., sedangkan ia masih belum suci dari junub kelalaiannya. Atau bagaimana seseorang mengharapkan agar dapat memahami rahsia rahsia yang halus sedangkan ia belum taubat dari dosa-dosanya.Kata-kata hikmah Ibn ‛Atā’illah di atas memberikan satu gambaran tentang betapa pentingnya peranan seorang insan untuk membersihkan hati sanubari supaya berjaya mencapai martabat wusul ilā Allah S.W.T. Hanya manusia yang bersih lahir dan batinnya sahaja yang akan berjaya melalui perjalanan ini. Oleh yang demikian tidak ada sebab mengapa kita harus memisahkan antara amalan syariat dengan tariqat dan haqiqat seperti yang sering kita dengar tentang tuduhan dan tohmahan apabila membicarakan tentang tariqat dan tasawwuf. Manakala bagi Syeikh Mawlana Zakariyya al-Kandahlawi, tariqat itu adalah nama kedua bagi ihsān seperti yang terkandung dalam hadis Jibril a.s yang telah diriwayatkan oleh ‘Umar al-Khattāb r.a. Atau menurut beliau lagi, berikanlah apa sahaja nama yang anda sukai terhadap istilah ihsān tersebut. Menurut beliau perbezaan hanya pada nama sedangkan pada hakikatnya adalah sama. Hal ini menurut beliau adalah disebabkan tariqat itu adalah jalan yang dengannya membolehkan seseorang insan mencapai martabat atau sifat ihsān. Ihsān itulah juga yang disebutkan dengan istilah tasawwuf atau suluk. Dari beberapa definisi yang telah kita kemukakan di atas tadi, dapat kita menyatakan di sini bahawa definisi yang telah dikemukakan oleh Maulana Muhammad Zakariyya al-Kandahlawi nampaknya lebih tepat dan jelas. Hal ini kita katakan demikian kerana definisi yang dikemukakan itu merujuk langsung kepada ihsān seperti yang dikehendaki dalam hadis tersebut. Sedangkan ihsān itu sangat dituntut di kalangan umat Islam untuk mempertingkatkannya ke tahap yang paling sempurna sehingga mencapai martabat muhsin atau dengan kata jamaknya muhsinin. Lantaran dengan sifat tersebut seorang mukmin itu dekat dengan Allah S.W.T. di samping mendapat kasih dan sayang daripadaNya.
2.3 KEPENTINGAN TARIQAT
2.3 KEPENTINGAN TARIQATDari perbincangan terhadap fakta-fakta yang telah dikemukakan berhubung dengan definisi tariqat dan konsepnya, maka dapatlah bagi kita melihat dengan jelas kepentingan tariqat dalam kehidupan manusia menuju Allah S.W.T. Untuk lebih jelas lagi kepentingan tersebut ada baiknya jika kita membuat penelitian semula terhadap hadis Jibril a.s. mengenai struktur Islam, iaitu Iman, Islam dan Ihsān. Dari ketiga tiga struktur tersebut, Nabi s.a.w. menyebutkan apabila ditanya tentang pengertian ihsān dengan sabdanya:أن تعبد الله كأنك تراه فان لم تكن تراه فإنه يراك . Maksudnya:"Ihsān ialah anda beribadat kepada Allah S.W.T. seolah- olah anda melihatNya, jika anda tidak dapat melihatNya maka sesungguhnya Allah S.W.T. melihat anda. "Berdasarkan hadis di atas, para ulama Islam telah mengijmakkan bahawa kesempurnaan agama Islam itu berada dalam tiga strukturnya yang asas iaitu, Iman, Islam dan Ihsān. Apabila kita memahami tentang ihsān sebagaimana yang disebutkan oleh Baginda Rasulullah s.a.w. itu, maka dapatlah kita membuat kesimpulan bahawa ihsān ialah peningkatan iman dan Islam dalam penghayatan kedua-duanya, sehingga sampai ke tahap atau darjat yang paling sempurna. Apabila ibadat yang diasaskan kepada Islam dan iman itu sudah sampai ke tingkat ihsān, bererti ibadat itu telah sampai ke tahap haqiqat. Justeru tariqat dalam konteks ini merupakan wasilah atau jalan yang boleh menyampaikan iman dan Islam itu ke tingkat ihsān atau haqiqat tersebut. Dari keterangan tersebut jelas kepada kita kedudukan tariqat secara tepat menurut perspektif Islam yang syumul itu. Namun agak malang pada zaman yang mutakhir ini disiplin ilmu dan amalan tasawwuf itu dihambat dan diabaikan malah dianggap sebagai sesat dan tidak sesuai dengan keadaan zaman moden yang serba mencabar. Gambaran tersebut terjawab kerana al-Qur’an telah membayangkan bahawa ilmu dan amalan tersebut antara yang mula-mula akan dihapuskan oleh Allah S.W.T. melalui firmanNya:أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آمَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنْ الْحَقِّ وَلاَ يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمْ الاَْمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ . Maksudnya:"Belum sampaikah lagi masanya bagi orang-orang yang beriman, untuk khusyuk hati mereka bagi mengingati Allah S.W.T. dan mematuhi kebenaran al-Qur’an yang diturunkan kepada mereka. Dan janganlah pula mereka menjadi seperti orang orang yang telah diberikan kitab sebelum mereka, setelah orang-orang itu melalui masa yang lanjut maka hati mereka menjadi keras, dan banyak antaranya orang-orang yang fasik atau derhaka." Ayat ayat di atas diturunkan ke atas sebahagian dari umat Islam generasi sahabat di akhir zaman Rasulullah s.a.w. Mereka mengabaikan amalan zikir kepada Allah S.W.T. dan perintah agama. Keadaan ini terjadi kerana di akhir zaman Rasulullah s.a.w. negara Madinah telah aman, seluruh Semenanjung Tanah Arab sudah dapat dikuasai oleh pemerintahan Islam. Dengan demikian, sebahagian sahabat berpendapat dan merasakan bahawa tugas jihad fi sabilillah di medan perang sudah tamat dan tidak ada lagi. Lalu mereka mempunyai masa lapang yang agak luas dan lahirlah idea dan kecenderungan untuk bergiat semula di lapangan perniagaan dan ekonomi seperti dahulu. Lantas para pedagang mahu berdagang, para petani mahu bersungguh-sungguh untuk membangunkan ladang-ladang mereka. Justeru persekitaran dan perbualan mereka berkisar di sekitar perniagaan. Keadaan ini sedikit sebanyak menyebabkan kealpaan dan kelalaian mereka dalam urusan berzikrullah seperti yang mereka telah lakukan secara rutin sebelumnya. Lalu Allah S.W.T. menegur dengan menurunkan ayat di atas sebagai peringatan agar tidak terjadi ke atas golongan Yahudi yang Allah S.W.T. turunkan kepada mereka kitab Taurat kepada mereka tetapi diabaikan sehingga akhirnya mereka menjadi orang yang fasik. Ayat di atas membayangkan kepada kita bahawa amalan tariqat yang berasaskan kepada khusyuk hati mengingati Allah S.W.T. itu telah menjadi ilmu dan amalan yang mula mula dihapuskan oleh Allah S.W.T., kerana ternyata di zaman awal itu pun amalan zikrullah itu telah diabaikan oleh para sahabat lantas mendapat teguran dari Allah S.W.T. Ilmu khusyuk yang berasaskan kepada amalan zikrullah adalah ilmu yang mula-mula akan dihapuskan oleh Allah S.W.T. daripada kalangan manusia. Pada saat itu tidak ada seorangpun yang khusyuk ketika mendirikan solat berjamaah. Justeru, kita tidak merasa hairan jika terdapat pada hari ini disiplin ilmu dan amalan tasawwuf dan tariqat itu telah dilupa dan diabaikan oleh umat Islam. Malahan dengan berdasarkan kepada ayat al-Qur’an dan kata-kata ‛Ubādah ibn al-Sāmit di atas tadi tidak hairan jika ada di kalangan umat Islam yang mempersoalkan hakikat kebenaran disiplin ilmu dan amalan tersebut.
2.4. SULUK DAN KHALWAH
2.4. SULUK DAN KHALWAH Menurut Ibn ‛Atā`illah al-Iskandari (w.709H/1309M) khalwah dan suluk itu ialah محادثة السر مع الحق bermaksud perbualan sirr dengan Allah s.w.t. Bagi al-Jurjāni pula khalwah dan suluk itu didefinisikan السر مع الحق حيث لا أحد ولا ملك محادثة bermaksud perbualan sirr dengan Allah S.W.T. tanpa ada seorang dan malaikat bersamanya. Manakala khalwah dan suluk yang khas beliau definisikan sebagai: هى غلق الرجل الباب على منكوحته بلا مانع وطء bermaksud khalwat dan suluk itu ialah seorang lelaki menutup pintu biliknya supaya tidak ada gangguan untuk melakukan persetubuhan. Antara tujuan suluk dan khalwah dalam disiplin ilmu dan amalan tasawwuf ialah untuk belajar menetapkan hati supaya sentiasa berkekalan ingat kepada Allah S.W.T., di samping berpanjangan memperhambakan diri kepadaNya. Dalam khalwah dan suluk para sālik sentiasa dilatih agar sentiasa murāqabah terhadap diri dan mengawasi fikirannya dari gangguan dan kesibukan yang bersifat dunyawiyyah. Berusaha menjaga hati dan lahiriahnya dari bergantung kepada manusia. Dengan lain perkataan, jika ibadat itu dilakukan kerana hawa nafsu atau kerana selain dari mematuhi perintah Allah S.W.T., tentulah amalan tersebut tidak diterima oleh Allah S.W.T., seperti yang dijelaskan oleh Allah S.W.T. dalam firmanNya:وَمَا أُمِرُوا إِلاّ لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاَةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ . Maksudnya:"Pada hal mereka tidak diperintahkan melainkan supaya menyembah Allah S.W.T. dengan mengikhlaskan ibadat kepada Nya, lagi teguh tetap di atas tauhid, dan supaya mereka mendirikan sembahyang serta memberikan zakat. Dan yang demikian itulah agama yang benar. " Untuk menepati kehendak dari ayat di atas maka disiplin ilmu dan amalan tasawwuf telah memilih dan menetapkan agar seseorang yang sālik hendaklah melakukan suluk atau khalwah bagi mencapai maksud tersebut. Tanpa khalwah dan suluk ini, (menurut pengalaman disiplin ilmu dan amalan tasawwuf) sukar bagi seorang yang sālik mencapai martabat wusul kepada Allah S.W.T. Fakta ini dijelaskan oleh Muhammad Amin al-Kurdi dengan katanya: اعلم أنه لا يمكن الوصول إلى معرفة الوصول وتنوير القلوب لمشاهدة المحبوب إلا بالخلوة . Maksudnya:Ketahuilah bahawasanya seseorang itu tidak mungkin akan mencapai martabat wusul ilā ma‛rifat al-wusul dan menerangkan hati bagi mushāhadat al-Mahbub kecuali dengan melakukan khalwah dan suluk. Dari sudut asas, amalan khalwah dan suluk ini sememangnya terdapat dalam ajaran Islam. Terdapat asas yang kukuh dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah s.a.w. Antaranya Allah S.W.T. berfirman:وَاذْكُرْ اسْمَ رَبِّكَ وَتَبَتَّلْ إِلَيْهِ تَبْتِيلا . Maksudnya:"Dan sebutlah (dengan lidah dan hati) akan nama Tuhan mu (terus menerus siang dan malam), serta tumpukanlah (amal ibadat) kepadaya dengan sebulat-bulat tumpuan. " Ayat di atas mengandungi dua perkara yang diperintahkan oleh Allah S.W.T. kepada Baginda Rasulullah s.a.w. Pertama, perintah agar sentiasa ingat kepada Allah S.W.T., manakala perintah kedua ialah memutuskan hubungan selain daripada Allah S.W.T. bagi tujuan beribadah kepadaNya. Dalam hal ini, kita diperingatkan oleh Ibn ‛Atā`illah dengan kata-kata hikmahnya:أم كيف يرحل إلى الله وهو مكبل بشهواته . Maksudnya:Bagaimana seseorang itu boleh menuju kepada Allah S.W.T. sedangkan dia diselubungi oleh syahwatnya. Sehubungan dengan itu, seseorang yang melaksanakan ibadat haruslah melatih diri dan nafsunya untuk memutuskan ketergantungan hatinya kepada selain daripada Allah S.W.T., seperti yang telah dikatakan oleh Ibn ‛Atā`illah di atas tadi. Dalam kata-kata hikmatnya itu beliau menggunakan istilah يرحل yang membawa maksud perpindahan dan perjalanan dari satu tempat ke satu tempat. Makna ini jika dilihat dari sudutnya yang zahir, manakala jika mahu dilihat dari sudut maknanya yang batin boleh diertikan sebagai dari melihat alam benda kepada melihat Pencipta alam kebendaan. Dalam konteks ini hati mestilah dilatih agar sentiasa melihat Allah S.W.T. dan bergantung hanya kepadaNya. Khalwah dan suluk dalam bentuk ini sebenarnya dapat membantu membetulkan ‛ubudiyyah (penghambaan) seorang yang sālik kepada Khāliknya, di samping itu dapat membetulkan ma‛rifah terhadap Tuhannya. Sebagai contoh Abu Jamrah berpendapat, jika khalwah dan suluk Nabi Muhammad s.a.w. di Gua Hira` itu membuahkan kurnia Nubuwwah daripada Allah S.W.T., maka seseorang yang mengikuti jejak langkahnya dengan melakukan khalwah dan suluk itu akan dianugerahkan oleh Allah S.W.T. dengan sifat-sifat kewalian atau wilāyah kepadanya. Dari keterangan dan fakta di atas maka dapat kita nyatakan di sini bahawa amalan suluk dan khalwah itu sebenarnya merupakan kerja yang bersifat amali atau latihan (riyādat al-nafs) dalam melaksanakan disiplin yang telah ditetapkan dalam sesebuah tariqat dan tasawwuf. Dengan latihan tersebut, memudahkan seseorang yang sālik itu mencapai martabat wusul ilā Allah S.W.T. Hal ini telah dinyatakan oleh Ibn‛Atā`illah dengan kata kata hikmahnya:لو لا ميادين النفوس ما تحقق سير السائرين . Maksudnya:Jikalau tidak adanya lapangan-lapangan melawan hawa nafsu, pastilah tidak akan mantap perjalanan orang-orang yang menuju kepada Allah S.W.T. Dari kata-kata hikmah di atas jelas memberikan gambaran kepada kita bahawa kejayaan untuk mencapai martabat wusul itu mestilah melalui medan atau lapangan perjuangan melawan dan melatih hawa nafsu, yang disebutkan oleh Ibn‛Atā`illah sebagai mayādin al-nufus. Lapangan dan medan untuk melawan dan melatih nafsu itu dapat kita ertikan sebagai khalwah dan suluk seperti yang terdapat dalam disiplin ilmu dan amalan tasawwuf. Riyādah yang dilakukan ini jelas termasuk dalam pengertian amal soleh yang boleh mendekatkan diri kepada Allah S.W.T. Fakta ini telah dijelaskan oleh Allah S.W.T. dengan firmanNya:قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحًا وَلاَ يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا . Maksudnya:"Oleh yang demikian itu, sesiapa yang percaya dan berharap akan pertemuan dengan Tuhannya, hendaklah ia mengerjakan amal yang soleh, dan janganlah ia mempersekutukan sesiapa pun dalam ibadatnya kepada Tuhannya."
Kesimpulan yang dapat dinyatakan di sini bahawa amalan khalwah dan suluk yang terdapat dalam displin ilmu dan amalan tasawwuf itu merupakan kesinambungan dari amalan para Nabi dan Rasul yang terdahulu. Amalan tersebut sebenarnya mempunyai kesan yang sangat positif kepada jiwa seorang sālik ketika menjalani mujāhadat al-nafs.
3.1 PENGENALAN AL-RABITAH
Dalam bab yang ketiga ini akan dibincangkan latarbelakang yang berkaitan dengan al-rābitah secara ringkas. Dengan penjelasan itu nanti akan memudahkan untuk kita memberikan pandangan dan ulasan khususnya yang berkaitan dengan definisi, konsep dan apa juga yang ada kaitan dengan perbahasan ini. Dalam bab ini juga akan dibincangkan peranan seorang syeikh dalam mengasuh dan mendidik seseorang murid, begitu juga akan dibincangkan peranan seseorang murid terhadap gurunya. Tujuan perbincangan ini adalah untuk melihat dengan secara mendalam bagaimana hubungan di antara syeikh dengan murid itu akan menimbulkan satu konsep yang tersendiri di dalam disiplin ilmu dan amalan tasawwuf iaitu al-rābitah.
3.2 DEFINISI AL-RĀBITAH.3.2.1 Al-Rābitah dari sudut bahasa.
Al-Rābitah dari sudut bahasaIstilah al-rābitah jika ditinjau dari sudut bahasa, ia diambil dari perkataan الربط. Perkataan ini berasal dari katakerja ربط , يربط , ربطا , مربوط , ربيط . Sedang kata jamaknya pula ialah ربط . Istilah al-rābitah ini biasanya digunakan mengikut kesesuaian yang berdasar kepada berbagai bentuk , sama ada dilihat dari sudut perbezaan wazannya atau pun dari sudut perbezaan dalam konteks penggunaan dan pemakaiannya. Sebagai contoh apabila dikatakan :1- ربط الشيىء ربطا فهو مربوط وربيطAyat di atas membawa maksud memeperkemaskan sesuatu ikatan.2- رباط الشيىء Ungkapan di atas membawa kepada beberapa maksud antaranya :a) Ayat di atas membawa maksud sesuatu yang diikat . Dalam ertikata lain ia juga dikatakan sebagai تشد به القربة yang membawa maksud mengikat dengannya akan tempat air.b) Ayat di atas juga membawa maksud : مواظبة على الأمر yang bererti: sentiasa berterusan di dalam membuat sesuatu urusan.c) Seterusnya ia membawa kepada makna :ملازمة ثغر العدو كا لمواظبة yang bererti: sentiasa berwaspada terhadap musuh. 3- Sedang kalimah al-murābitah pula pada asalnya membawa maksud setiap satu kumpulan mempunyai tempat khas untuk menambat kuda-kuda mereka. Dari sini dinamakan tempat menambat kuda itu dengan nama رباطا . Dalam al-Qur’an Allah S.W.T berfirman:يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اصْبِرُوا وَصَابِرُوا وَرَابِطُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ . Maksudnya:Wahai orang-orang yang beriman! Bersabarlah kamu (menghadapi segala kesukaran dalam mengerjakan perkara-perkara yang berkebajikan), dan kuatkanlah kesabaran kamu (lebih dari kesabaran musuh di medan perjuangan) dan bersedialah (dengan kekuatan pertahanan di daerah-daerah sempadan) serta bertaqwalah kamu kepada Allah S.W.T., supaya kamu berjaya (mencapai kemenangan).Dalam firman Allah S.W.T di atas tadi, terdapat tiga kata kerja suruh (fi‘l al-amr) di antaranya:اصبروا : Membawa maksud bersabar di atas segala kesukaran dan kesusahan yang dihadapi ketika akan, sedang dan selepas melaksanakan ibadah dan musibah. وصابروا: Membawa maksud perangilah musuh-musuh Allah S.W.T. dengan penuh kesabaran ketika dalam peperangan. Demikian juga ketika memerangi musuh al-nafs, al-hawā dan syaitan. ورابطوا: Membawa maksud kuatkan semangat jihad ke atas musuh-musuh kamu semasa peperangan di samping kuatkan persediaan untuk hari peperangan tersebut. Perkataan rābitu dengan kata jamak itu juga terkadang membawa maksud muhāfazah iaitu menjaga, memelihara,mengawasi dan berhati-hati dengan waktu solat. Perkataan ini digunakan juga kepada maksud muwāzabah iaitu pengawasan, penelitian dan penjagaan ke atas solat. 4- Kadangkala digunakan perkataan al-ribāt kepada makna intizār iaitu menunggu dari satu waktu solat ke waktu solat yang lain. Ini dapat kita lihat dengan jelas dari sabda Rasulullah s.a.w:ألا أدلكم على ما يمحو الله به الخطايا ويرفع به الدرجات , قالوا بلى يا رسول الله قال اسبغ الوضوء على المكاره وكثرة الخطأ إلى المساجد , وانتظار الصلاة بعد الصلاة فذلكم الرباط فذلكم الرباط فذلكم الرباط . Maksudnya:Adakah tidak mahu aku tunjukkan kepada kamu tentang sesuatu yang boleh menghapuskan kesalahan-kesalahan di samping mengangkat darjat kamu? Mereka menjawab: Bahkan wahai Rasulullah. Baginda s.a.w menjawab dengan sabdanya: Sempurnakanlah wuduk walaupun dalam keadaan susah (di waktu sakit dan sejuk) dan perbanyakkanlah langkah untuk menuju ke masjid, dan menanti waktu solat selepas waktu solat. Demikian itulah al-ribāt, demikian itulah al-ribāt, demikian itulah al-ribāt.Dalam hadis yang tersebut di atas jelas segala amal-amal soleh itu diumpamakan dengan perkataan al-ribāt yang membawa maksud lazamtu. Ayat di atas membawa maksud melazimkan atau membiasakan diri ke atas amal-amal soleh. Oleh yang demikian perkataan al-ribāt di sini sebenarnya mengandungi maksud lazamtu yang melambangkan kepada ikatan di antara dua hubungan. Sebagai contoh: Menyempurnakan wuduk, pergi ke masjid dan sebagainya akan mengikat pelakunya dari melakukan maksiat dan memelihara dari beberapa perkara yang diharamkan. 5- Perkataan al-rābitah juga membawa makna العلقة dan الوصلة. Yang membawa maksud ketergantungan dan kesampaian. Seterusnya kita dapat lihat dari keterangan yang dikemukakan oleh al-Qur’an tentang perkataan al-ribāt yang membawa maksud demikian seperti di dalam firmanNya:وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ وَآخَرِينَ مِنْ دُونِهِمْ لاَ تَعْلَمُونَهُمْ اللَّهُ يَعْلَمُهُمْ وَمَا تُنفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنْتُمْ لاَ تُظْلَمُونَ . Maksudnya: Dan sediakanlah untuk menentang mereka (musuh yang menceroboh) dengan segala kekuatan yang dapat kamu sediakan dan dari pasukan-pasukan berkuda yang lengkap bersedia untuk menggerunkan dengan persediaan itu akan musuh-musuh Allah S.W.T. dan musuh kamu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah S.W.T. mengetahuinya.Perkataan al-ribāt yang terdapat dalam ayat di atas jelas membawa maksud berwaspada dan bersedia. Ayat ini juga memperlihatkan kepada kita adanya hubungan di antara dua aspek, iaitu hubungan di antara kekuatan tentera dan pasukan berkuda dengan kejayaan dan kesampaian (al-wuslah). Hubungan tersebut jelas akibat dari penggunaan perkataan al-ribāt seperti yang terdapat dalam ayat di atas.
3.2.2 Al-Rābitah Dari Sudut Istilah
Al-Rabitah Dari Sudut IstilahMenurut pandangan Syeikh ‘Abd al-Ghāni al-Nāblusi, perkataan al-rābitah dari sudut istilah al-sufiyyah ialah:ربط المريد قلبه بالشيخ الكامل الذى وصل بروحه وقلبه إلى مقام المشاهدة وتحقق في نفسه بالصفات الذاتية المنسوبة إلى ذات الله تعالى من غير كيف ولا كيفية على التنزيه المطلق . Maksudnya:Murid itu menambat atau menggantungkan hatinya dengan seorang syeikh yang kāmil (sempurna atau telah wusul kepada Allah S.W.T.) iaitu syeikh yang roh dan hatinya telah mencapai maqām mushāhadah dan tahqiq (benar-benar ada) di dalam dirinya (diri batinnya) berbagai sifat zat yang dinisbahkan kepada zat Allah Ta’ala, tanpa rupa dan keadaanya, didasarkan kepada kesucian yang mutlak.Ungkapan beliau di atas jelas menunjukkan makna dan maksud al-rābitah. Perkataan al-rābitah di sini menggambarkan satu keadaan di mana wujudnya cetusan rasa kasih sayang dan perasaan cinta yang mendalam terhadap seorang yang bergelar syeikh atau guru itu. Untuk memperjelaskan lagi hubungan kasih dan sayang di antara keduanya (syeikh dan al-sālik) marilah kita lihat apa yang telah dinyatakan oleh Ustaz Abdullah Abdul Talib seperti yang telah beliau ceritakan kepada Zulkarnain Zakaria seperti berikut:Kita ni kalau menuntut ilmu, kita mesti beramal. Kerana berkatnya ilmu itu, mesti kita nampak guru kita tu masa kita beramal. Begitulah istimewanya Allahyarham di mata saya. Sehingga sekarang bila saya angkat saja tangan untuk takbir bagi memulakan sembahyang dan kemudian masuk niat, saya mesti terbayangkan wajah Allahyarham. Setiap kali saya hadap tikar sembahyang, seperti dia ada di sebelah. Bila pegang tasbih, nampak muka arwah. Belum pernah satu hari pun saya terlupakan dia (menangis). Syeikh Husayn Ahmad al-Dawsuri memberikan definisi al-rābitah tersebut dengan katanya:أن من جالس شخصا سيما إذا كان الجلوس على طريق المحبة والاعتقاد لا بد أن ترسم صورته فى ذهنه , فمهما تذكره تخيل صورته فإن كان الشخص من أحبأ الله فتخيل صورته يدعوا إلى محبته و الشوق اليه ومحبته مطلوبة والشوق إليه محبوب فتخيل صورته محبوب إذ من تصور موصوفا تصور صفاته فإذا كان صفاته محبوبة عند الله فتصوره الموجب لتصور صفاته المحبوبة محبوب , ولا معنى للرابطة سوى هذا . Maksudnya:Sesungguhnya sesiapa yang berhubung rapat dengan seseorang, terutamanya jika perhubungan itu dalam suasana kasih sayang dan iktikad (yang baik), sudah pastilah rupa orang itu akan tergambar di dalam ingatannya. Bila ia ingatkan orang itu maka tergambarlah rupanya. Jika orang yang tersebut dari kalangan orang-orang yang dicintai Allah S.W.T. , maka menggambarkan rupanya (dalam ingatan) itu akan mendorongkan untuk mencintai Allah S.W.T. dan rindukanNya. Mencintai Allah S.W.T. itu sememangnya dituntut dan rindu kepada Allah S.W.T. itu adalah (merupakan sifat) yang dikasihi. Oleh itu menggambarkan orang yang tersebut itu juga adalah (merupakan sifat) yang dikasihi juga kerana sesiapa yang menggambarkan (rupa) seseorang maka akan tergambarlah sifat-sifatnya. Jika sifat-sifat orang itu dikasihi di sisi Allah S.W.T. maka menggambarkan rupanya yang boleh memestikan tercapainya gambaran sifat-sifatnya itu adalah merupakan (perbuatan) yang dikasihi (oleh Allah S.W.T.) juga. Tidaklah ada makna rābitah itu kecuali (yang tersebut) ini. Terdapat sebahagian daripada ulama tasawwuf memberikan definisi al-rābitah. تعلق قلب المريد بشيخه على وجه المحبة Maksudnya:Menggantungkan hati murid dengan syeikhnya di atas dasar kasih dan sayang.Apabila seorang al-sālik tidak berada di samping syeikhnya, kerana berjauhan atau kematian tentu sahaja dia akan teringatkan syeikhnya itu. Apabila ingatan itu terjadi yang pastinya rupa syeikhnya itu juga akan terbayang dalam ingatan atau khayalannya. Jika seorang itu telah jatuh kasih sayangnya (jatuh cinta) dengan seorang perempuan, tentu sahaja ia akan terbayang-bayang dan teringatkan orang yang dikasihi itu, sedang yang diharapkan hanyalah tubuh badannya sahaja. Oleh yang demikian apatah lagi bagi seorang yang al-sālik itu yang menaruh harapan sepenuhnya terhadap asuhan, didikan dan bimbingan daripada syeikhnya yang bakal dapat menyempurnakan kehidupan rohaniahnya sudah tentulah keadaan ini lebih hebat jika dibandingkan dengan cinta kepada seorang perempuan itu. Kalau kita lihat dan teliti segala peristiwa ini tentu dapat kita menukilkan beberapa peristiwa yang berlaku di kalangan sahabat Rasulullah s.a.w. yang menggambarkan hubungan kasih dan sayang ini, di antaranya ialah satu peristiwa yang berlaku kepada Saidina Abu Bakr al-Siddiq yang dilaporkan kepada kita oleh Imam al-Bukhāri:إن أبا بكر الصديق اشتكى إلى النبى صلى الله عليه وسلم عدم انفكاكه عنه حتى كأنه يراه فى بيت الخلأ. Maksudnya:Sesungguhnya Abu Bakr al-Siddiq telah mengadu kepada Nabi s.a.w tentang (pengalamannya yang mana beliau) terasa tidak bercerai daripada Nabi sehingga di dalam bilik air pun dia masih seolah-olahnya melihat wajah Nabi itu.Manakala menurut pandangan Syeikh Muhammad ibn ‘Abdillah al-Khāni al-Khālidi dalam kitabnya antara lain menyatakan:الطريقة الثانية : الرابطة وهي طريقة مستقلة للوصول وعبارة عن ربط القلب بالشيخ الواصل إلى مقام المشاهدة التى تحقق بالصفات الذاتية وحفظ صورته فى الخيال ولو بغيبته فرؤيته بمقتض " الذين إذا رؤا ذكر الله . Maksudnya:Jalan yang kedua: al-Rābitah merupakan satu jalan yang tersendiri untuk mencapai tahap al-wusul. Suatu keadaan di mana seorang al-sālik menambatkan hatinya dengan syeikhnya yang telah mencapai maqām al-mushāhadah. Dan tahqiq (benar-benar adanya) di dalam dirinya (diri batinnya) dengan sifat al-dhātiyyah. Dan hendaklah murid itu mengingati rupa gurunya (syeikhnya) di dalam khayalannya sekalipun pada waktu ketiadaannya (syeikhnya) Melihat dan menggambarkan ini adalah sesuai dengan hadis Nabi Muhammad s.a.w: Mereka yang dipandang maka orang yang memandang itu akan ingat kepada Allah S.W.T. Menurut pandangan ‘Abd al-Mājid bin Muhammad al-Khāni pula, al-rābitah itu seperti yang beliau nyatakan sebagai:وهى أن يستحضر المريد صورة شيخه الكامل المشهود بالوصول إلى مقام الفنأ والبقأ الاتمين مستمدا من روحانيته وأنواره . Maksudnya:Al-Rābitah itu ialah seorang yang al-sālik menghadirkan atau membayangkan rupa guru syeikhnya yang kāmil yang telah wusul ke maqām al-fanā` dan al-baqā` dengan berpegang kepada rohaniah dan cahayanya.Rasa kasih sayang, hormat, taat, sangat memerlukan bimbingan dan asuhan daripada syeikhnya itu antara sebab yang mendorong seorang yang sālik sentiasa teringat dan terbayang-bayang rupa wajah syeikhnya. Semua keadaan tersebut adalah konsep paling asas yang menjadi dasar kepada amalan al-rābitah yang dianggap sebagai ciri penting dalam disiplin ilmu dan amalan tasawwuf. Disiplin ini telah diakui dan ditegaskan kepentingannya oleh para ulamak tasawwuf sendiri.Dari beberapa definisi al-rābitah yang telah disebutkan di atas tadi memperlihatkan dengan jelas kepada kita tentang hakikat daripada hadis Baginda Rasulullah s.a.w tentang ihsān seperti yang disabdakannya:أن تعبد الله كأنك تراه . Maksudnya:Jika kamu menyembah Allah S.W.T., maka sembahlahlah seolah-olah kamu melihatNya.Hadis di atas memerintahkan kepada kita agar setiap pengabdian itu hendaklah dilakukan seolah-olah kita berhadapan dan melihat Allah S.W.T. Kenyataan ini lebih jelas dengan penggunaan kalimah كأنك yang melambangkan maksud seolah-olah atau seakan-akan. Dari kenyataan tersebut tentu dapat membantu kita dalam memahami kalimah كأنك تراه . Kerana apa yang cuba digambarkan dalam hadis tersebut ialah satu suasana atau keadaan di mana rohaniah seseorang itu merasakan seolah-olah atau seakan-akan melihat Allah S.W.T., bukan dalam erti berhubung yang membawa maksud ittisāl, atau apa jua yang melibatkan perhubungan yang bersifat jasmaniyyah, namun apa yang cuba dikemukakan di sini ialah rohaniah yang menjadi hakikat kemanusiaan itu sebenarnya boleh mencapai ke tahap kesempurnaan sehingga mencapai ke maqām ihsān itu. Justeru kerana itu, amalan al-rābitah ini ialah satu amalan yang cuba menjelaskan tentang konsep كأنك تراه yang tersebut dalam hadis itu tadi. Dengan konsep al-rābitah itu juga seorang yang al-sālik akan dapat merasa-rasakan melihat Allah S.W.T. dengan penglihatan batin yang bersifat al-shuhudiyyah seperti yang dikehendaki oleh hadis Rasulullah s.a.w itu tadi. Oleh itu para ulamak tariqat dan tasawwuf telah menjelaskan kepada kita tentang apa yang dimaksudkan dengan al-rābitah itu dengan kata mereka:فالرابطة عند أهل الطريقة هى الخلا الحميدة والآداب الشريفة التي تربط قلب العبد على الحضور فى حضؤر الحق تعالى بما ينبغى له من كمال المحبة والتقديس والتنزيه. أو حضرة الرسول صلى الله عليه وسلم أو حضرة ورثته الكامل المرشدين ( الذين إذا رؤوا ذكر الله تعالى ) Maksudnya: Al-Rābitah yang diamalkan di kalangan ahli tariqat itu ialah sifat yang terpuji dan sebahagian dari adab-adab al-syari’at. Amalan ini boleh mengikat hati seorang al-sālik agar hudur dengan hadirat Allah S.W.T dengan sesuatu yang sesuai dengan sifat Allah S.W.T seperti kesempurnaan mahabbah, taqdis dan tanzih. Atau hudur ke hadirat Rasul s.a.w atau hudur dengan para pewaris Rasulullah s.a.w yang bersifat dengan sifat kesempurnaan dan yang memberikan petunjuk: Mereka yang dipandang maka orang yang memandang itu akan ingat kepada Allah S.W.T.
3.3 SEJARAH RINGKAS AMALAN AL-RĀBITAH.
SEJARAH RINGKAS AMALAN AL-RĀBITAH.Seperti yang tercatat dalam sejarah bahawa pengalaman sesetengah daripada para sahabat ketika mereka berada di hadapan Nabi s.a.w. menunjukkan terdapatnya perbezaan jika dibandingkan dengan pengalaman ketika mereka berada jauh daripada Baginda s.a.w. Sebagai contoh, pengalaman yang dialami oleh Hanzalah r.a dan Abu Bakr al-Siddiq r.a. Kisah ini diceritakan sendiri oleh Hanzalah r.a. dengan katanya:عن حنظلة رضى الله عنه قال : لقينىأبوبكر رضى الله عنه قال : كيف أنت يا حنظلة ؟ قلت : نافق حنظلة . قال سبحان الله ما تقول ؟ ! قلت : نكون عند رسول الله صلى الله عليه وسلم يذكر بالجنة والنار كأنا رأى عين , فإذا خرجنا من عند رسول الله صلى الله عليه وسلم عافسنا الأزواج والأولاد والضيعات نسينا كثيرا قال أبو بكر رضى الله عنه : فوالله إنا لنلقى مثل هذا . Maksudnya:"Daripada Hanzalah r.a., ia berkata: Abu Bakr r.a telah menemui aku lalu ia bertanya: Bagaimana (keadaan iman) engkau wahai Hanzalah? Aku pun menjawab: Hanzalah telah munafik. Abu Bakr menjawab: Subhānallāh, apakah yang engkau katakan ini wahai Hanzalah?! Aku berkata: Kita ketika berada di sisi Rasulullah s.a.w., baginda itu mengingatkan kita tentang syurga dan neraka, kita seolah-olah melihat (syurga dan neraka itu) dengan mata kepala kita; bila kita berpisah daripada Rasulullah s.a.w., kitapun sibuk dengan isteri-isteri, anak-anak dan kerja-kerja kita, maka ketika itu kita lupa semuanya (tidak boleh ingat seperti berada di hadapan baginda lagi). Abu Bakr berkata: Demi Allah kamipun mengalami seperti (cerita engkau) ini."Dari pengalaman dua orang sahabat yang tersebut di atas tadi menjelaskan kepada kita bahawa dengan bersama-sama Nabi Muhammad s.a.w. itu sebenarnya mereka telah mendapat taufik dan hidayah daripada Allah S.W.T. Sehingga dengan taufik dan hidayah tersebut, Allah S.W.T. mengurniakan kepada mereka dengan terbuka hijāb hati dan dapat mushāhadah terhadap hakikat sebahagian dari apa yang telah diajarkan oleh Baginda s.a.w. kepada mereka. Namun sifat hāl tersebut tidak kekal lama apabila mereka berjauhan dengan Nabi Muhammad s.a.w., malahan mereka terasa sukar mendapatkan kurnia Allah S.W.T. itu. Dari pengalaman yang telah dilalui oleh sahabat itu tadi, maka sesetengah sahabat apabila ia berjauhan dari Nabi Muhammad s.a.w. maka mereka akan cuba sedaya upaya mengingatkan paras rupanya. Bukan sekadar itu tetapi para sahabat tersebut sentiasa teringat-ingat dan terbayang-bayangkan Baginda s.a.w., sentiasa memikir-mikirkan kehidupan dan makan minumnya, sihat atau sakitnya, senang atau susahkah ia, dan sebagainya lagi adalah tanda kasih dan sayang mereka terhadap Nabi Muhammad s.a.w. Kisah-kisah tentang para sahabat yang menyentuh keadaan itu sememangnya banyak kita temui dalam sirah Rasul s.a.w. yang rasanya tidak perlu untuk diperturunkan di sini. Keadaan tersebut adalah lahir dari sebab keyakinan dan ketergantungan hati para sahabat yang cukup kuat dan kental terhadap Baginda s.a.w., malahan perasaan kecintaan yang tidak berbelah bagi terhadap diri Rasulullah s.a.w itulah yang menyebabkan mereka mencapai maqām yang tinggi di sisi Allah S.W.T. Demikianlah seterusnya, kesinambungan suasana ketergantungan dan kecintaan hati terhadap seseorang yang dekat dengan Allah S.W.T. seperti yang berlaku antara para sahabat dengan Baginda s.a.w., telah diteruskan dalam amalan tasawwuf dengan menjaga suasana hubungan yang baik antara seorang yang bergelar syeikh dengan para muridnya.
3.4 RĀBITAT AL-SYEIKH.
RĀBITAT AL-SYEIKHMasalah yang berhubung dengan amalan rābitah di kalangan ahli tariqat dan tasawwuf merupakan masalah yang bersifat kontradik yang hangat dibicarakan dan dipersoalkan oleh umat Islam, dahulu dan sekarang, terutama di kalangan mereka yang rasa bertanggungjawab dalam menjaga keharmonian dan kesucian agama Islam dari tercemar dengan unsur-unsur negatif. Antaranya seperti Jabatan-jabatan Agama negeri dan Pusat Islam sebagai contohnya. Bahagian Hal Ehwal Islam, Jabatan Perdana Menteri, pada tahun 1988 telah memberikan pandangannya mengenai amalan rābitah tersebut seperti yang tersebut di bawah ini: Perbuatan menggambarkan wajah guru semasa berzikir dan beribadat samalah seperti amalan pengikut-pengikut Nabi Nuh a.s. yang menyembah patung-patung besar mereka iaitu Wadd, Suwā‘, Yaghuth, Ya‘uq dan Nasr. Allah S.W.T telah berfirman dalam surah Nuh ayat 23; maksudnya: Dan ketua-ketua mereka menghasut dengan berkata: Jangan kamu meninggalkan penyembahan tuhan-tuhan kamu, terutama penyembahan Wadd, Suwā‘, Yaghuth, Ya‘uq dan Nasr. Menurut keterangan dari Ahmad ibn Ahmad al-Sāwi dalam tafsirnya Hāshiyat al-‘Allāmah al-Sāwi ‘Alā Tafsir Jalālayn, antara lain menjelaskan bahawa sesungguhnya Nabi Adam a.s itu mempunyai lima orang anak lelaki, mereka ialah Wadd, Suwā‘, Yaghuth, Ya‘uq dan Nasr. Mereka merupakan ahli ibadah yang ikhlas hanya kepada Allah S.W.T. Namun pada suatu ketika salah seorang dari mereka telah meninggal dunia. Sedangkan keempat-empat saudaranya sangat-sangat menyayangi dan mengasihinya. Mereka berdukacita di atas kematian tersebut. Dalam keadaan bersedih dan berdukacita ini syaitan telah memainkan peranannya dengan memujuk mereka supaya tidak bersedih dan berduka cita dengan memberikan satu cadangan agar ia (syaitan) melukiskan gambar patung saudara mereka yang telah meninggal dunia itu supaya dapat dijadikan sebagai satu peringatan dan kenangan yang boleh menghilangkan kesedihan dan kedukacitaan mereka. Syaitan telah melakukan segala tipu dayanya sehingga berjaya merupakan sebuah patung yang benar-benar serupa dengan saudara mereka yang telah meninggal dunia itu. Justeru dengan patung tersebut dapatlah mereka menghilangkan kesedihan dan kedukacitaan mereka. Patung ini mereka letakkan dalam masjid. Demikian seterusnya apabila berlaku kematian di kalangan mereka, syaitan akan membuatkan kepada mereka patung lagi yang serupa dengan saudara mereka yang meninggal itu. Akhirnya apabila kelima-lima mereka meninggal dunia maka syaitan telah mengukir kelima-lima patung yang serupa dengan mereka lalu dinamakan dengan Wadd, Suwā‘, Yaghuth, Ya‘uq dan Nasr. Semua patung anak Adam tersebut diletakkan di dalam masjid. Sehingga sampai pada satu ketika semua manusia tidak lagi menyembah dan beribadah kepada Allah S.W.T. lalu syaitan berkata: Mengapa kamu sekelian tidak mempunyai sebarang sembahan yang kamu sembah yang dengannya boleh memenuhi segala kehendak kamu. Lalu manusia bertanya: Wahai syaitan apakah yang perlu kami sembah? Lalu syaitan menjawab dengan katanya: Apakah kamu menyedari bahawa yang kamu sembah sekarang adalah berhala-berhalamu dan berhala orang tuamu pada zaman dahulu. Apakah kamu tidak mengerti bahawa sembahanmu dan sembahan orang tuamu dahulu itu adalah berhala-berhala yang ada di dalam masjid tersebut . Selepas peristiwa ini seluruh manusia menyembah berhala-berhala tersebut tanpa menyembah Allah S.W.T. Sehinggalah Allah S.W.T. mengutus Nabi Nuh a.s untuk memperbaiki kerosakan akidah kaumnya dengan menasihati dengan katanya: Wahai kaumku hendaklah kamu menyembah Allah S.W.T. dengan seikhlas-ikhlasnya dan janganlah kamu menyembah berhala-berhala itu. Lalu dijawab oleh ketua-ketua dari kaumnya dengan berkata: Janganlah kamu meninggalkan pusat-pusat berhala tersebut kerana dialah yang menjadi sebab (adanya kita semuanya ini) iaitu berhala Wadd, Suwā‘, Yaghuth, Ya‘uq dan Nasr.Setelah sekian lama semua manusia yang dipimpin oleh Nabi Nuh a.s meninggalkan penyembahan Allah S.W.T, lalu Allah S.W.T. menghancurkan mereka dengan banjir besar yang terkenal itu. Tidak ada yang terselamat kecuali yang beriman dengan Allah S.W.T. dan bersama dengan Nabi Nuh a.s dalam bahteranya.Situasi dan kondisi seperti itu terus berulang dan berlalu, penyembahan semakin menggila meskipun Allah S.W.T. telah mengutuskan beberapa orang Nabi dan RasulNya sesudah dari Nuh a.s. seperti Nabi Hud a.s, Nabi Saleh a.s., Nabi Daud a.s., Nabi Musa a.s, dan Nabi Isa a.s. Setelah Nabi Isa a.s diangkatkan oleh Allah S.W.T ke sisiNya, manusia masih tetap berada dalam lingkungan dan situasi kekufuran dan kesyirikan terhadap Allah S.W.T, tiada pegangan hidup yang benar yang mereka anuti. Dalam jiwa mereka hanya ada kekufuran dan kemusyrikan. Penyembahan berhala semakin meningkat di kalangan masyarakat sesuai dengan kedudukan masing-masing, yang kaya mengukir emas untuk dijadikan patung manakala yang separuh kaya mengukir perak untuk dijadikan patung sedang yang miskin pula mengukir kayu untuk dijadikan tuhan sembahan. Begitulah meluasnya kegiatan penyembahan berhala bahkan setiap individu membuat berhala sendiri dan disembahnya sendiri.Gambaran yang diberikan oleh al-Sawi di atas tadi menunjukkan kepada kita rentetan peristiwa penyelewengan manusia dari penyembahan Tuhan Esa kepada penyembahan berhala, bukan persoalan rābitah. Peristiwa tersebut menggambarkan bahawa amalan rābitah tidak ada hubungan dari sudut konsep,ciri-ciri dan kaedah dengan amalan kaum Nabi Nuh a.s. di atas, malahan di antara keduanya tidak mempunyai sebarang kaitan. Rābitah dalam amalan tasawwuf mempunyai konsep, ciri dan kaedah yang tertentu bertepatan dengan hukum syarak, sedangkan amalan kaum Nabi Nuh a.s. seperti yang dibentangkan oleh al-Sāwi di atas tadi jelas perbuatan syirik yang dilarang dalam agama. Untuk mengaitkan amalan orang-orang musyrikin kaum Nabi Nuh a.s. dengan amalan rābitah di kalangan tasawwuf adalah tidak tepat dan menyalahi kaedah dalam Islam.
Selanjutnya Allah S.W.T mengutus rasulNya yang terakhir untuk membersihkan ciri-ciri kekufuran dan kemusyrikan yang sudah sekian lama bertapak di dalam jiwa mereka. Kehadiran Baginda s.a.w adalah penyelamat kepada seluruh umat manusia dan alam ini lantaran syari’at yang dibawanya itu adalah daripada Allah S.W.T. Larangan menyembah berhala mulai dirintis oleh baginda s.a.w. Seluruh umat manusia diperintahkan agar menyembah hanya kepada Allah S.W.T yang Esa, bukan kepada berhala, kerana menyembah berhala bererti mengikut perintah daripada syaitan, sebagaimana yang telah difirmankan oleh Allah S.W.T:قُلْ أَرَأَيْتُمْ شُرَكَاءَكُمْ الَّذِينَ تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَرُونِي مَاذَا خَلَقُوا مِنْ الاَْرْضِ أَمْ لَهُمْ شِرْكٌ فِي السَّمَاوَاتِ أَمْ آتَيْنَاهُمْ كِتَابًا فَهُمْ عَلَى بَيِّنَةٍ مِنْهُ بَلْ إِنْ يَعِدُ الظَّالِمُونَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا إِلاّ غُرُورًا . Maksudnya:"Katakanlah (Wahai Muhammad): Sudahkah kamu mengetahui kekuasaan dan kelayakan makhluk-makhluk yang kamu jadikan sekutu-sekutu, yang kamu seru dan sembah selain Allah S.W.T.? Tunjukkanlah kepadaku apa yang mereka telah ciptakan dari bahagian bumi ini? Atau adakah mereka mempunyai sebarang perkongsian (dengan Allah S.W.T.) dalam menciptanya dan mengurus langit? Atau pernahkan Kami memberi sebuah kitab (mengakui mereka menjadi kongsi Kami), maka (dengan itu menjadilah) perkongsian mereka berdasarkan keterangan yang terdapat dari kitab itu? (Tidak ada sesuatu alasanpun) bahkan orang-orang yang zalim itu, terpedaya dengan kata-kata yang di sebutkan oleh setengahnya dari yang lain, kata-kata yang hanya menjanjikan perkara yang tidak benar."Mendengar firman Allah S.W.T. yang disampaikan oleh Nabi Muhammad s.a.w itu, orang-orang kafir dan musyrik tidak dapat memberikan sebarang jawapan terhadap pertanyaan daripada Allah S.W.T itu selain dari pernyataan yang batil. Mereka berkata semua berhala itu dapat memberikan syafaat dan kita menyembah mereka (berhala) hanya sebagai perantara yang boleh mendekatkan kami kepada Allah S.W.T. Pernyataan ini segera dijawab oleh Allah S.W.T dengan firmanNya:أَلاَ لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلاّ لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ فِي مَا هُمْ فِيهِ يَخْتَلِفُونَ إِنَّ اللَّهَ لاَ يَهْدِي مَنْ هُوَ كَاذِبٌ كَفَّارٌ Maksudnya:"Ingatlah! (Hak yang wajib dipersembahkan) kepada Allah S.W.T. ialah segala ibadat dan bawaan yang suci bersih (dari segala rupa syirik). Dan orang-orang musyrik yang mengambil selain dari Allah S.W.T. untuk menjadi pelindung dan penolong (sambil berkata):"Kami tidak menyembah atau memujanya melainkan supaya mereka mendampingkan kami kepada Allah S.W.T. sedamping-dampingnya”. Sesungguhnya Allah S.W.T. akan menghukum di antara mereka (dengan orang-orang yang tidak melakukan syirik) tentang apa yang mereka perselisihkan padanya. Sesungguhnya Allah S.W.T. tidak memberi hidayah petunjuk kepada orang-orang yang tetap berdusta (mengatakan yang bukan-bukan,) lagi sentiasa kufur(dengan melakukan syirik)." Secara umumnya ayat di atas dapat kita lihat bahawa orang-orang yang kufur dan syirik itu menjadikan berhala-berhala itu sebagai tempat bergantung dan bersandar di samping suatu keyakinan bahawa berhala-berhala tersebut mempunyai kuasa yang boleh mendatangkan manfaat dan memberikan pertolongan kepada mereka bukannya daripada Allah S.W.T. Dari peristiwa di atas memperlihatkan kepada kita tentang sejarah awal orang-orang yang musyrik dan kufur kepada Allah S.W.T dengan menggunakan pendekatan tawassul dan rābitah yang salah terhadap Allah S.W.T. Persoalannya apakah terdapat suatu keharusan dan kebenaran daripada Allah S.W.T untuk melakukan tawassul dan rābitah di dalam melakukan ibadah terhadapNya?. Persoalan ini perlu kepada penjelasan dan huraian terhadap beberapa peristiwa yang berlaku terhadap umat yang terdahulu bagi memudahkan kita melihat dan menilai dari sudut keharusannya. Antaranya suatu peristiwa yang masyhur ketika Nabi Adam a.s melanggar perintah Allah S.W.T yang termuat dalam firmanNya:وَقُلْنَا يَاآدَمُ اسْكُنْ أَنْتَ وَزَوْجُكَ الْجَنَّةَ وَكُلاَ مِنْهَا رَغَدًا حَيْثُ شِئْتُمَا وَلاَ تَقْرَبَا هَذِهِ الشَّجَرَةَ فَتَكُونَا مِنْ الظَّالِمِينَ Maksudnya:"Dan Kami berfirman: Wahai Adam! Tinggallah engkau dan isterimu dalam syurga dan makanlah dari makanannya sepuas-puasnya apa saja yang kamu berdua sukai dan janganlah kamu hampiri pokok ini; (jika kamu menghampirinya) maka akan menjadilah kamu dari golongan orang-orang yang zalim. "Permusuhan yang sudah berputik sekian lama di antara manusia dan syaitan telah di jadikan asas oleh iblis untuk melakukan sesuatu ke atas Nabi Adam a.s. dan isterinya untuk melanggar arahan dan peraturan dari Allah S.W.T tersebut. Dengan demikian iblis telah berusaha menggoda dan memperdaya kedua-duanya seperti yang diterangkan oleh Allah S.W.T dengan firmanNya:فَأَزَلَّهُمَا الشَّيْطَانُ عَنْهَا فَأَخْرَجَهُمَا مِمَّا كَانَا فِيهِ وَقُلْنَا اهْبِطُوا بَعْضُكُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ وَلَكُمْ فِي الأرْضِ مُسْتَقَرٌّ وَمَتَاعٌ إِلَى حِينٍ . Maksudnya:"Setelah itu syaitan telah menggelincirkan mereka berdua dari syurga itu dan menyebabkan mereka berdua dikeluarkan dari nikmat yang mereka telah berada di dalamnya; dan Kami berfirman: Turunlah kamu! Sebahagian dari kamu menjadi musuh kepada sebahagian yang lain; dan bagi kamu semua disediakan tempat kediaman di bumi, serta mandapat kesenangan hingga suatu masa (mati). "Begitulah lumrah kehidupan manusia sejak dari Nabi Adam a.s sehingga ke hari kiamat, pelanggaran terhadap hukum Allah S.W.T. sentiasa berlaku namun dengan sifat Pengasih dan PenyayangNya, maka Allah S.W.T telah membuka ruang taubat yang begitu luas di kalangan hambanya. Justeru dengan peristiwa tersebut Allah S.W.T. mengajarkan kepada Adam a.s bagaimana untuk memohon keampunan dari Nya. Allah S.W.T. berfirman:فَتَلَقَّى آدَمُ مِنْ رَبِّهِ كَلِمَاتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ . Maksudnya:" Kemudian Nabi Adam menerima daripada Tuhannya beberapa kalimah (kata-kata pengakuan taubat yang diamalkannya), lalu Allah S.W.T. menerima tawbatnya; sesungguhnya Allah S.W.T., Dialah Yang Maha Pengampun (Penerima taubat), lagi Maha Mengasihi."Sebahagian mufassir dan muhaddith memberikan pentafsiran terhadap kata kalimat yang terkandung dalam firman Allah S.W.T tersebut dengan bersandarkan kepada riwayat berikut. Maksud penulis dengan memperhatikan matannya, tentu sahaja akan memperjelaskan lagi maksud dan tujuannya. Al-Tabrāni dalam al-Mu‘jam al-Saghir, al-Hākim al-Naysaburi dalam Mustadrak al-Sihāh, Abu Nu‘aym dan al-Bayhaqi dalam Dalā’il al-Nubuwwah, Ibn ‘Asākirdalam Tārikhnya, al-Suyuti dalam al-Durr al-Manthur serta al-Ālusi dalam Ruh al-Ma‘āni dengan sanad dari ‘Umar bin al-Khattāb menukilkan bahawa Nabi Muhammad s.a.w. bersabda: لما أذنب آدم الذي أذنبه , رفع رأسه إلى السماء فقال: أسلك بحق محمد إلا غفرت لي . فأوحى الله إليه : ومن محمد؟ فقال: تبارك اسمك , لما خلقت رفعت رأسي إلى عرشك فإذا فيه مكتوب : لا إله إلا الله ومحمد رسول الله .فقلت : ليس أحد أعظم عندك قدرا ممن جعلت اسمه مع اسمك , فأوحى إليه : إنه آخر النبيين من ذريتك, ولو لا هو لما خلقتك. Maksudnya:"Ketika Adam melakukan dosa, ia mendongakkan kepalanya ke langit dan berkata: Wahai Tuhan! Aku memohon kepadamu dengan hak Muhammad agar Engkau mengampuniku. Allah S.W.T. mewahyukan kepadanya: Siapakah Muhammad? Adam menjawab: Ketika Engkau menciptakan aku, aku mengangkat kepala ke arah ‘arasyMu dan aku melihat di sana tertulis: Tiada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah S.W.T. dan Muhammad adalah utusan Allah S.W.T. Akupun berkata kepada diriku, bahawa seorangpun tidak ada yang lebih agung daripada orang yang namanya Engkau tuliskan di samping nama Mu. Ketika itu Allah S.W.T. mewahyukan kepadanya: Dialah nabi terakhir daripada keturunanmu dan jika tidak kerananya (Muhammad) nescaya Aku tidak akan menciptakanmu. "Syeikh Ja‘afar al-Subhāni dalam kitabnya al-Wahhābiyyun fi al-Mizān mengulas tentang hadis di atas dengan memberikan beberapa pandangan. Antaranya beliau menjelaskan : a) Dalam al-Qur’an penggunaan perkataan kalimāt nampaknya merujuk kepada peribadi-peribadi dan zat-zat yang sama sekali bertentangan dengan erti yang berlaku di kalangan kita semua. Sebagai contoh seperti firman Allah S.W.T:فَنَادَتْهُ الْمَلاَئِكَةُ وَهُوَ قَائِمٌ يُصَلِّي فِي الْمِحْرَابِ أَنَّ اللَّهَ يُبَشِّرُكَ بِيَحْيَى مُصَدِّقًا بِكَلِمَةٍ مِنْ اللَّهِ وَسَيِّدًا وَحَصُورًا وَنَبِيًّا مِنْ الصَّالِحِينَ . Maksudnya:" Lalu ia diseru oleh Malaikat sedang ia berdiri di Mihrab, (katanya): Bahawasanya Allah S.W.T. memberi khabar yang menggembirakanmu, dengan (mengurniakanmu seorang anak lelaki bernama) Yahya, yang akan beriman kepada kalimah daripada Allah S.W.T. dan akan menjadi ketua dan juga akan menahan diri dari berkahwin dan akan menjadi seorang nabi daripada orang-orang yang soleh."Manakala dalam ayat yang lain pula Allah S.W.T berfirman memperihalkan tentang ‘Isā dan ibunya Maryam:إِذْ قَالَتْ الْمَلاَئِكَةُ يَا مَرْيَمُ إِنَّ اللَّهَ يُبَشِّرُكِ بِكَلِمَةٍ مِنْهُ اسْمُهُ الْمَسِيحُ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ وَجِيهًا فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَمِنْ الْمُقَرَّبِينَ . Maksudnya:"Ingatlah ketika malaikat berkata: Wahai Maryam! Bahawasanya Allah S.W.T. memberikan khabar yang menggembirakanmu, dengan (mengurniakan seorang anak yang engkau akan kandungkan semata-mata dengan kalimat daripada Allah S.W.T., nama anak itu: al-Masih‘Isā Ibn Maryam, seorang yang terkemuka di dunia dan di akhirat dan ia juga dari orang-orang yang didampingkan (diberi kemuliaan daripada Allah S.W.T.). "Selanjutnya Allah S.W.T. menjelaskan lagi tentang mereka berdua:يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لاَ تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ وَلاَ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ إِلاّ الْحَقَّ إِنَّمَا الْمَسِيحُ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ رَسُولُ اللَّهِ وَكَلِمَتُهُ أَلْقَاهَا إِلَى مَرْيَمَ وَرُوحٌ مِنْهُ فَآمِنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ وَلاَ تَقُولُوا ثَلاَثَةٌ انتَهُوا خَيْرًا لَكُمْ إِنَّمَا اللَّهُ إِلَهٌ وَاحِدٌ سُبْحَانَهُ أَنْ يَكُونَ لَهُ وَلَدٌ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الاَْرْضِ وَكَفَى بِاللَّهِ وَكِيلاً . Maksudnya" Wahai Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani)! Janganlah kamu melampaui batas dalam perkara agama kamu, dan janganlah kamu mengatakan sesuatu terhadap Allah S.W.T. melainkan yang benar, sesungguhnya Al-Masih ‘Isā ibn Maryam itu hanya seorang pesuruh Allah S.W.T. dan kalimah Allah S.W.T. yang telah disampaikanNya kepada Maryam dan (ia juga tiupan) roh daripada Nya. Maka berimanlah kamu kepada Allah S.W.T. dan Rasul-rasulNya dan janganlah kamu mengatakan: (Tuhan itu) tiga. Berhentilah (dari mengatakan yang demikian), supaya menjadi kebaikan kepada kamu."Dalam ayat yang lain Allah S.W.T menerangkan:قُلْ لَوْ كَانَ الْبَحْرُ مِدَادًا لِكَلِمَاتِ رَبِّي لَنَفِدَ الْبَحْرُ قَبْلَ أَنْ تَنفَدَ كَلِمَاتُ رَبِّي وَلَوْ جِئْنَا بِمِثْلِهِ مَدَدًا . Maksudnya:" Katakanlah (wahai Muhammad):Kalaulah semua jenis lautan menjadi tinta untuk menulis kalimah -kalimah Allah S.W.T. Tuhanku, sudah tentu habis kering lautan itu sebelum habis kalimah-kalimah Tuhanku. Walaupun Kami tambahi lagi dengan lautan yang sebanding dengannya sebagai bantuan."Dengan isu yang serupa dengan isu di atas Allah S.W.T menjelaskan lagi:وَلَوْ أَنَّمَا فِي الارْضِ مِنْ شَجَرَةٍ أَقْلاَمٌ وَالْبَحْرُ يَمُدُّهُ مِنْ بَعْدِهِ سَبْعَةُ أَبْحُرٍ مَا نَفِدَتْ كَلِمَاتُ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيم ٌ Maksudnya:" Dan sekiranya segala pohon yang ada di bumi menjadi pena dan segala lautan (menjadi tinta) dengan dibantu kepadanya tujuh lautan lagi sesudah itu, nescaya tidak akan habis kalimah-kalimah Allah S.W.T. itu ditulis. Sesungguhnya Allah S.W.T. Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana."Secara umumnya keseluruhan ayat-ayat al-Qur’an yang diperturunkan di atas mengandungi perkataan kalimāt, justeru apakah yang boleh kita kaitkan dengan perkataan tersebut dalam kontak perbahasan kita di sini? Dari ayat-ayat di atas jelas perkataan kalimāt itu menunjukkan kepada segala ciptaan di dunia ini yang semuanya menunjuk dan mengisahkan kepada pengetahuan dan kekuasaan Allah S.W.T.Oleh yang demikian boleh kita katakan bahawa maksud yang terkandung dalam firman Allah S.W.T. yang bermaksud; kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah S.W.T. menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah S.W.T. Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang, adalah merujuk kepada peribadi-peribadi yang terhormat (zat-zat yang suci) yang boleh dijadikan sebagai wasilah dan rābitah.Berdasarkan kepada perbincangan di atas maka dapat kita nyatakan di sini bahawa amalan tawassul dan rābitah itu sebenarnya telah mempunyai asas dan sejarah awal sejak manusia yang pertama lagi. Cuma apa yang perlu diperjelaskan di sini ialah tawassul dan rābitah itu merangkumi dua aspek, iaitu yang dilarang oleh syarak dan satu aspek yang lain pula dibenarkan oleh syarak.
3.5 AL-RĀBITAH, AL-WASILAH, AL-WĀSITAH DAN AL-BARZAKH.
3.5 AL-RĀBITAH, AL-WASILAH, AL-WĀSITAH DAN AL-BARZAKH bahagian 1Dalam disiplin ilmu dan amalan tasawwuf istilah-istilah seperti al-rābitah, al-wasilah, al-wāsitah dan al-barzakh sering digunakan. Apakah terdapat hubungan secara langsung atau tidak antara istilah-istilah tersebut. Untuk memperjelaskan kedudukan ini kita lihat apa yang telah dikemukakan oleh Syeikh Muhammad Zakariyya al-Kandahlawi dalam kitabnya al-Shari‘ah wa al-Tariqah antara lain menyebutkan:ويقال أيضا شغل الرابطة , والبرزخ , والواسطة, كذا فى تعليم الدين . وهو عند مشايخ السلوك من الأشغال الهامة جدا . Maksudnya: Membayangkan atau menggambarkan rupa syeikh dan yang disebut juga dengan amalan rābitah, al-barzakh dan al-wāsitah begitulah yang terdapat dalam kitab Ta‘lim al-Din. Amalan ini sangat penting menurut Mashā’ikh suluk.Dari keterangan di atas jelas menunjukkan bahawa kalimat al-rābitah, al-barzakh dan al-wāsitah mempuyai makna yang serupa yang merujuk kepada makna menghadirkan rupa guru atau syeikh ketika hendak melakukan zikir. Amalan ini merupakan suatu disiplin yang sangat penting dalam ilmu dan amalan tasawwuf yang akan menyusul perbincangannya. Menghadirkan rupa guru atau rābitah itu yang menurut Syeikh Muhammad ibn ‘Abdillah al-Khāni al-Khālidi dalam kitabnya al-Bahjah al-Saniyyah antara lain menerangkan enam bentuk dan cara untuk menghadirkan rābitah itu, antaranya: 1. Menghadirkannya di hadapan mata dengan sempurna.2. Membayangkannya di kiri dan kanan, dengan memusatkan perhatian kepada rohaniahnya sampai terjadi sesuatu yang ghaib. Apabila rohaniah guru murshid yang dijadikan rābitah itu lenyap, maka murid itu dapat menghadapi peristiwa yang terjadi. Tetapi jika peristiwa itu lenyap, maka murid harus berhubungan kembali dengan rohaniah guru murshid, sampai peristiwa yang dialami tadi atau peristiwa yang sama dengan itu muncul kembali. Demikianlah dilakukan oleh murid berulang kali, sampai ia fanā’ dan menyaksikan peristiwa ghaib sebagai tanda kebesaran daripada Allah S.W.T. Rābitah menghubungkannya dengan Allah S.W.T. manakala murid pula diasuh dan dibimbing terus menerus, sekalipun di antara keduanya berada dalam jarak yang jauh. 3. Mengkhayalkan rupa guru di tengah-tengah dahi. Memandang rābitah di tengah-tengah dahi itu. Cara ini menurut kalangan ahli tariqat lebih berkesan untuk menolak getaran dan lintasan dalam hati yang melalaikan ingatan kepada Allah S.W.T.4. Menghadirkan rupa guru di tengah-tengah hati.5. Mengkhayalkan rupa guru di kening kemudian menurunkannya ke tengah hati. Menghadirkan rupa syeikh dalam bentuk ini agak sukar untuk melakukannya namun ia lebih berkesan dari cara-cara yang sebelumnya.6. Menafikan (meniadakan) dirinya dan menthabitkan (menetapkan) keberadaan guru. Cara ini lebih kuat untuk menangkis aneka ragam ujian dan gangguan.Dari perbincangan yang telah dikemukakan oleh al-Kandahlawi di atas nampaknya tiada sebarang perbezaan yang terdapat antara kalimah-kalimah tersebut, namun agak berbeza dengan pendapat yang dikemukakan oleh Muhammad Zakariyya Ibrāhim dalam kitabnya yang berjudul Mas’alat al-Wasilah antara lain beliau menjelaskan bahawa wasilah ialah meminta daripada Allah S.W.T secara langsung yang berserta dengan istishfā’ daripada orang yang dikasihi oleh Allah S.W.T. Justeru dalam hal ini Allah S.W.T. adalah maksud dan tujuan dengan pemberian tersebut, Dialah satu-satunya tempat memohon. Sedang apa yang dimaksudkan dengan wāsitah ialah memohon kepada zat al-wāsit di samping berkeyakinan bahawa al-wāsit berupaya untuk berbuat dan meninggalkan sesuatu tanpa melihat Allah S.W.T.
Penulis berpendapat penggunaan istilah yang berbagai dalam hal ini tidaklah menjadi masalah yang besar, namun yang lebih utama ialah pelaksanaan ibadah dan konsep ‘ubudiyyah itu sendiri yang perlu jelas dan memerlukan kepada ketulusan dan pemurnian hanya kepada Allah S.W.T . Allah S.W.T telah menggariskan satu panduan yang cukup sempurna untuk dijadikan landasan seperti firmanNya:وَمَا أُمِرُوا إِلاّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاَةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ . Maksudnya:"Pada hal mereka tidak diperintahkan melainkan supaya menyembah Allah S.W.T. dengan mengikhlaskan ibadat kepadaNya, lagi tetap teguh di atas tauhid; dan supaya mendirikan solat serta memberikan zakat. Dan yang demikian itulah agama yang sebenar."Selanjutnya cuba kita lihat pula kalimah-kalimah al-rābitah, al-wāsitah dan al-barzakh dengan kalimah al-wasilah, apakah antara kalimah-kalimah tersebut terdapat perbezaan ataupun tidak untuk memudahkan bagi kita memahami istilah-istilah ini dalam konteks ilmu dan amalan tasawwuf.Secara literalnya kalimah wasilah adalah berasal dari kata kerja wasala, yasilu dan wasilatan. Perkataan wasilah membawa maksud al-manzilah ‘ind al-malik iaitu suatu kedudukan di sisi raja atau penguasa. Perkataan ini juga membawa pengertian al-darajah dan al-qurbah. Apabila dikatakan wassala fulānun ilā Allah wasilatan ertinya idhā ‘amila ‘amalan taqarraba bihi ilayhi. Kata jamaknya al-wusul, al-wasā’il, al-tawsil dan al-tawassul merupakan kalimah-kalimah yang membawa maksud yang sama. Sedang kata al-tawassul sering diguna pakai untuk menjelaskan konsep yang terdapat dalam istilah al-wasilah. Dalam sebuah hadis, Rasulullah s.a.w. ada menyebutkan perkataan al-wasilah seperti sabda Baginda s.a.w: Allāhumma āti Muhammad al-wasilah wa al-fadilah. Maksud dari hadis ini ialah al-qurb min Allah. Sesetengah pendapat mengatakan bahawa ia bermaksud al-shafā‘ah yawm al-qiyāmah . Dari keterangan di atas memperlihatkan kepada kita bahawa istilah wasilah itu digunakan untuk suatu pengertian yang membawa maksud al-qurbah dan al-wuslah yang bersandarkan kepada firman Allah S.W.T:يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ . Maksudnya:"Wahai orang-orang yang beriman bertaqwalah kamu kepada Allah S.W.T. dan carilah jalan yang boleh menyampaikan kepadaNya (dengan mematuhi perintahNya dan meninggalkan laranganNya) dan berjuanglah di jalan Allah S.W.T. (untuk menegakkan Islam) supaya kamu beroleh kejayaan. "Oleh yang demikian penggunaan istilah al-rābitah, al-wāsitah dan al-barzakh itu hanyalah merupakan beberapa kaedah dan bentuk yang digunakan dalam ilmu dan amalan tasawwuf sebagai wasilah bagi merialisasikan tuntutan Allah S.W.T. yang terkandung dalam firmanNya:يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ . Maksudnya:"Wahai orang-orang yang beriman! Bertaqwalah kepada Allah S.W.T. dan carilah jalan yang boleh menyampaikan kepadaNya. Dan bersungguh-sungguhlah di jalan agamaNya agar kamu beroleh kejayaan."Syeikh Muhammad ibn ‘Abdillah al-Khāni ada menjelaskan bahawa al-rābitah itu sebenarnya adalah salah satu dari cara yang paling afdal (terbaik) untuk berwasilah. Fakta ini telah dijelaskan beliau dengan katanya:قال الله تعالى: وابتغوا إليه الوسيلة , فإن قيل المراد غير الرابطة قلنا المفهوم عام وإذا ثبت الأمر بطلب الوسيلة , فالرابطة أفضل الوسائل . Maksudnya:Telah berfirman Allah S.W.T : Dan hendaklah kamu cari wasilah (jalan yang boleh menyampaikan kepadaNya)”. Jika ada yang mengatakan bahawa ayat ini bukan membawa maksud kepada makna al-rābitah, maka kami berpendapat bahawa ayat ini membawa mafhumnya yang umum, dan apabila thābit tuntutan untuk mencari wasilah (jalan yang boleh menyampaikan kepadaNya), maka al-rābitah adalah seafdal-afdal wasā’il untuk tujuan tersebut.
3.6 SYEIKH, AL-SĀLIK DAN AL-RĀBITAH.

Untuk menjelaskan lagi kedudukan al-rābitah dalam ilmu dan amalan tasawwuf ada baiknya jika diterangkan secara ringkas aspek-aspek yang ada kaitan dengannya. Antara yang terpenting dalam amalan ilmu dan amalan tasawwuf sehingga muncul istilah al-rābitah itu ialah syeikh atau dikenali juga dengan guru yang murshid. Dalam ilmu tasawwuf, syeikh memainkan peranan yang amat penting untuk memimpin seorang sālik untuk mencapai ke tahap kesempurnaan di sisi Allah S.W.T. Dengan kedudukannya yang penting inilah maka amalan al-rābitah itu wujud dalam amalan tasawwuf. Justeru ada baiknya jika kita kemukakan kedudukan syeikh dalam disiplin ilmu tasawwuf. Semoga dengan penerangan ini dapat kita lihat hubungan di antara syeikh dan al-sālik dengan menggunakan kaedah al-rābitah untuk bertawassul ketika seorang murid berada di bawah asuhannya.
3.6.1 Kedudukan Syeikh
3.6.1 Kedudukan SyeikhDalam kita membicarakan syeikh, antara aspek yang perlu kita lakukan dalam memperjelaskan lagi kedudukannya menurut perspektif Islam dan amalan tasawwuf ialah dengan cara melakukan pengamatan, penelitian yang mendalam dari berbagai sudut dan aspek definisinya. Kedua, mengumpulkan fakta-fakta dan huraiannya yang berkaitan dengan syarat-syarat dan adab-adab bagi seorang syeikh. Manakala yang ketiga pula ialah merujuk kepada al-Qur’an dan al-Sunnah sebagai landasan untuk melihat kedudukan syeikh, di samping merujuk semula sejarah kehidupan manusia, agama, pendapat dan pandangan para ulamak tasawwuf yang sama-sama boleh membantu memperjelaskan lagi kedudukan syeikh dalam ilmu dan amalan tasawwuf. Berlandaskan sumber-sumber dan maklumat di atas, dapatlah kita menerangkan kedudukan syeikh itu dengan lebih jelas menurut perspektif Islam dan ilmu dan amalan tasawwuf. Menurut Prof Madya Dr. Jahid bin Sidek dalam Tesis Ph.D beliau yang bertajuk al-Syeikh Dalam Ilmu Tariqah menyebutkan terdapat tujuh kedudukan syeikh antaranya ialah: 1. Syeikh itu berada pada posisi pewaris Rasulullah s.a.w, sama ada dari sudut zahir mahupun yang batin. Sebagai posisinya seorang waris tentu sahaja ia mewarisi khazanah yang pernah dimiliki oleh Baginda Rasulullah s.a.w berupa ilmu, makrifah, iman, akhlak yang mulia, sifat-sifat takwa dan sebagainya lagi yang merangkumi seluruh ajaran al-Qur’an seperti yang dijelaskan oleh Saidatina ‘Aisyah ra apabila beliau ditanya tentang akhlak Baginda s.a.w. beliau berkata: Adalah akhlak Baginda s.a.w itu ialah al-Qur’an. Posisi dan status syeikh sebagai pewaris Rasulullah s.a.w yang tersebut itu sememangnya banyak disebutkan dan dihuraikan oleh ulamak-ulamak tasawwuf, sehingga dapat memberikan satu gambaran yang jelas bahawa para ulamak tasawwuf itu seolah-olah telah mengijmakkan perkara tersebut. Sebagai contoh apa yang dikemukakan oleh Syeikh ‘Abd al-Qādir ‘Isā menegaskan tentang kedudukan syeikh sebagai pewaris Nabi s.a.w. dengan katanya:وبما أن رسالة سيدنا محمد عليه السلام عامة خالدة إلى قيام الساعة فإن لرسول الله صلى الله وارثا من العلماء العارفين بالله . ورثوا عن نبيهم العلم والخلق والإيمان والتقوى .فكانوا خلفا عنه في الهداية والإرشاد والدعوة إلى الله يقتبسون من نور ليضيئوا للإنسانية طريق الحق والرشاد . Maksudnya: Oleh sebab risalah junjungan Nabi Muhammad s.a.w itu keadaannya adalah menyeluruh (untuk semua manusia) dan kekal pula hingga sampai hari kiamat, maka sudah pastilah Rasulullah s.a.w itu mempunyai para pewaris dari kalangan ulamak ‘ārif billah yang telah mewarisi ilmu, akhlak, iman dan takwa daripada nabi mereka itu. Para pewaris itu adalah merupakan para khalifahnya dalam (kepimpinan ke pintu) hidayat, asuhan dan dakwah kepada Allah S.W.T. Mereka itu sentiasa dapat mengambil sebahagian dari nur risalah Nabi s.a.w untuk mereka gunakan bagi menerangi jalan kebenaran dan kebaikan bagi kehidupan kemanusiaan.Jika kita cuba bandingkan ungkapan di atas dengan maksud dari sebuah hadis Rasulullah s.a.w, kita akan dapati ia menepati kehendak dari hadis tersebut. Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dardā’ antara lain meyebutkan:أَخْبَرَنَا نَصْرُ بْنُ عَلِيٍّ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ دَاوُدَ عَنْ عَاصِمِ بْنِ رَجَاءِ بْنِ حَيْوَةَ عَنْ دَاوُدَ بْنِ جَمِيلٍ عَنْ كَثِيرِ بْنِ قَيْسٍ قَالَ كُنْتُ جَالِسًا مَعَ أَبِي الدَّرْدَاءِ فِي مَسْجِدِ دِمَشْقَ فَأَتَاهُ رَجُلٌ فَقَالَ يَا أَبَا الدَّرْدَاءِ إِنِّي أَتَيْتُكَ مِنَ الْمَدِينَةِ مَدِينَةِ الرَّسُولِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِحَدِيثٍ بَلَغَنِي عَنْكَ أَنَّكَ تُحَدِّثُهُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَمَا جَاءَ بِكَ تِجَارَةٌ قَالَ لاَ قَالَ وَلاَ جَاءَ بِكَ غَيْرُهُ قَالَ لاَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ بِهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ بِهِ طَرِيقًا مِنْ طُرُقِ الْجَنَّةِ وَإِنَّ الْمَلاَئِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ وَإِنَّ طَالِبَ الْعِلْمِ لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَاءِ وَالاَْرْضِ حَتَّى الْحِيتَانُ فِي الْمَاءِ وَإِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ عَلَى سَائِرِ النُّجُومِ إِنَّ الْعُلَمَاءَ هُمْ وَرَثَةُ الاَْنْبِيَاءِ إِنَّ الاَْنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلاَ دِرْهَمًا وَإِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَ بِهِ أَخَذَ بِحَظِّهِ أَوْ بِحَظٍّ وَافِرٍ. Maksudnya:Dan sesungguhnya para ulama itu adalah pewaris para nabi, dan sesungguhnya para nabi itu tidak mewariskan (wang) dirham dan dinar, tetapi mereka itu mewariskan ilmu, sesiapa yang telah mendapatkan ilmu itu berertilah ia telah mendapat bahagian yang sebanyak-banyaknya.Dari keterangan di atas maka dapatlah kita membuat kesimpulan bahawa syeikh itu merupakan sebahagian daripada mereka yang tergolong ke dalam al-‘ulamā’ warathat al-anbiyā’ yang sebenar. Mengapa tidak, kerana pewaris inilah yang dimaksudkan oleh Saidina ‘Ali ibn Abi Tālib k.w. sebagai orang alim yang benar-benar kenalkan Allah S.W.T. dan takutkanNya (al-‘ālim al-rabbāni) yang tetap terus hidup sepanjang masa dan ajaran-ajarannya sentiasa segar di dalam hati manusia, sekalipun jasadnya telah lenyap di dalam tanah. Mungkin juga orang alim tersebutlah yang dimaksudkan oleh Syeikh Sahl ibn ‘Abdillah al-Tustari (w 282H/867M) sebagai ulamak yang memiliki hati yang hidup dan sedar serta takutkan Allah S.W.T. dan sentiasa mendapatkan rahmat daripadaNya, sentiasa cintakan Allah S.W.T., mempunyai sifat malu dan sentiasa mengutamakan Allah S.W.T.dalam segenap situasi dan kondisi.
Sebagai posisinya pewaris kepada nabi, al-syeikh itu juga telah mewarisi ilmu yang bersifat ilhāmiyyah atau yang dikenali juga dengan nama ilmu laduniyyah atau dengan nama hikmah ilāhiyyah yang sesuai dengan al-Qur’an dan al-Sunnah. Sebahagian dari ilmu ilhāmiyyah atau ilmu laduniyyah atau hikmah ilāhiyyah yang telah dikurniakan kepada para mashā’ikh yang terkenal dalam bidang tasawwuf dan tariqah ada diabadikan dalam kitab-kitab yang mereka susun seperti kitab al-Hikam yang dikarang oleh Ibn ‘Atā’illah al-Iskandari (w 709 H), Kashf al-Mahjub oleh Syeikh al-Hujwiri (w.465H), al-Fath al-Rabbāni oleh Syeikh ‘Abd al-Qādir al-Jilāni (w.562 H/1147M) dan sebagainya lagi. Semua kitab tersebut apabila kita baca dan renungkan secara mendalam dengan mata hati (al-basirah) nescaya kita akan dapat menyaksikan bagaimana ilmu ilhāmiyyah atau ilmu laduniyyah tersebut mengalir dari lautan ilmu Allah S.W.T. ke dalam hati para mashā’ikh yang mengarang kita-kitab tersebut. Begitu juga apabila kita mendengar kata-kata para mashā’ikh itu, kita akan merasakan keadaan pengalaman yang serupa iaitu ada kalanya kata-kata mereka dipenuhi oleh ilmu tersebut yang terus mengalir dari lautan ilmu Allah S.W.T. menuju ke hati dan keluar ke lidah mereka. Syeikh Ibn ‘Atā’illah sendiri pernah merasakan pengalaman seperti itu semasa beliau mendengar buat kali pertama syarahan gurunya lalu beliau berkata bahawa orang itu (yang dimaksudkan ialah Syeikh Abu ‘Abbās al-Mursi) benar-benar telah menghirup ilmu dari limpahan lautan Ilāhi. Pada ketika itu Allah S.W.T. telah menghapuskan perasaan yang tidak mempercayai terhadap ilmu tasawwuf pada diri Ibn ‘Atā’illah. Kalau dilihat dari latarbelakang sejarah kehidupan Ibn ‘Atā’illah, beliau merupakan seorang faqih yang terkenal dalam mazhab Maliki, pada mulanya menentang pengajaran ilmu tasawwuf, hal ini disebabkan kerana beliau menolak kewujudan ilmu tasawwuf dalam Islam, terutamanya ajaran tasawwuf yang dibawa oleh Syeikh Abu ‘Abbās al-Mursi. Namun dengan kehendak daripada Allah S.W.T segala pengalaman beliau ketika mendengar syarahan Syeikh Abu ‘Abbās al-Mursi menyebabkan beliau menerima ilmu tasawwuf dan terus menjadi muridnya. Akhirnya beliau merupakan pendokong dan tokoh yang bertanggungjawab dalam menyebarluaskan ajaran tasawwuf di bawah payung Tariqat al-Shādhiliyyah. Secara terus terang beliau mengakui kewujudan ilmu laduniyyah tersebut dan akhirnya dapat mengarang kitab al-Hikam yang secara keseluruhannya mengandungi ajaran tasawwuf.
2. Syeikh merupakan seorang yang mempunyai hubungan yang erat dan rapat dengan Rasulullah s.a.w., kerana syeikh itu berada pada posisi waris yang berhak mewarisi berbagai pusaka yang telah ditinggalkan oleh Baginda Rasulullah s.a.w. Tegasnya syeikh mempunyai hubungan nasab atau keturunan yang erat dan hampir dengan Baginda s.a.w. sehingga layak ia menerima pusaka daripadanya. Bagaimanapun bukanlah merupakan nasab atau keturunan yang hakiki atau keturunan darah yang sebenar, tetapi keturunan atau nasab yang bersifat ma‘nawi. Boleh kita katakan di sini, yang dimaksudkan dengan nasab ma‘nawi tersebut ialah ilmu, iman, sifat-sifat takwa, ma‘rifah dan sebagainya lagi yang wujud pada diri syeikh itu benar-benar berasal daripada Rasulullah s.a.w. Persoalannya bagaimana hal ini boleh terjadi? Tentu saja jawapannya bahawa syeikh tersebut mewarisi daripada syeikhnya, sedangkan syeikhnya pula mewarisi daripada syeikhnya yang lebih dahulu darinya. Begitulah seterusnya, apa yang berlaku dalam disiplin ta‘lim dan tarbiyah ilmu dan amalan tasawwuf, sambung-menyambung daripada seorang kepada seorang yang lain hinggalah sampai kepada Rasulullah s.a.w. Keadaan yang berlaku dalam disiplin serta tradisi ilmu dan amalan tersebut seolah-olah serupa dengan hubungan darah seseorang yang sebenar. Penulis merasakan tidak ada sebarang keganjilan yang terdapat dalam disiplin ilmu dan amalan tasawwuf dalam hal ini, malahan disiplin ilmu Islam yang lain juga menekankan hal ini demi menjaga kesahihan sesuatu ilmu seperti yang dilakukan oleh ulamak muhaddithin dengan disiplin mustalahnya.Hubungan nasab ma‘nawi dengan Rasulullah s.a.w yang begitu erat merupakan asas dan dasar yang sangat penting dalam disiplin ilmu dan amalan tasawwuf . Ulamak-ulamak tasawwuf memberikan penekanan yang sangat utama tentang adanya hubungan nasab ma‘nawi ini di antara seorang syeikh dengan Rasulullah s.a.w sehingga hubungan nasab tersebut dijadikan salah satu syarat penting yang mesti ada pada seseorang syeikh itu. Dengan adanya hubungan nasab ma‘nawi di antara seorang syeikh dengan Rasulullah s.a.w maka ilmu dan amalan Islam yang bersifat zahir mahupun yang batin dapat dipelihara keutuhan, kebenaran dan semua adab-adabnya, kerana ia berasal daripada sumbernya yang sah dan sebenar. Semasa hayat Rasulullah s.a.w., Baginda merupakan sumber hidayat dan keberkatan yang datang daripada Allah S.W.T, kemudian mengalir ke dada para sahabatnya. Justeru itu, apabila wafat Baginda s.a.w, tempat Baginda diambil alih oleh para sahabat, tābi‘in, tābi‘ al-tābi‘in dan seterusnya hingga ke hari ini yang menurut istilah ilmu dan amalan tasawwuf dikenali sebagai syeikh. Hidayat dan keberkatan akan mudah mengalir daripada Allah S.W.T kepada syeikh dan seterusnya ke dada para muridnya. Oleh sebab itulah para ulamak menegaskan bahawa seorang syeikh yang terputus silsilahnya (tidak sampai kepada Rasulullah s.a.w) bererti terputuslah keberkatannya dan ia bukanlah orang yang berhak berada pada posisi pewaris Baginda s.a.w. yang sah. Dalam hal ini Syeikh Muhammad Amin al-Kurdi ada menegaskan pandangannya mengenai fakta ini dengan katanya:فمن لم تتصل سلسلته إلى حضرة النبوية فإنه مقطوع الفيض ولم يكن وارثا لرسول الله صلى الله عليه وسلم . Maksudnya:"Maka sesiapa yang silsilahnya tidak bersambung sampai kepada kehadirat kenabian itu, sesungguhnya ia terputus dari limpahan rohani itu dan bukanlah waris Rasulullah s.a.w (yang sebenarnya)." Justeru kerana itu para ulama tasawwuf telah menyimpulkan bahawa seseorang yang sālik itu mestilah mengetahui kedudukan silsilah syeikhnya supaya dapat memastikan nasab atau keturunan ma‘nawinya benar-benar sampai kepada Rasulullah s.a.w. Jika tidak, ini bererti ia tidak kenalkan bapa dan datuknya yang ma‘nawi. Manakala perjalanan kerohaniannya pula seperti perjalanan orang buta yang tentu sahaja akan mengalami berbagai masalah dan kesukaran yang mengakibatkan gagalnya wusul kepada Allah S.W.T. Syeikh ‘Abd al-Wahhāb al-Sha‘rāni ada menjelaskan hal ini dengan katanya:اعلم أيها الطالب المريد من لم يعلم أباه وأجداد فى الطريق فهو أعمى وربما انتسب الى غير أبيه. Maksudnya:"Ketahuilah wahai murid! Sesiapa yang tidak kenalkan bapanya dan para datuknya dalam tariqah itu, maka ianya adalah buta dan mungkin juga nasabnya dihubungkan kepada orang lain yang bukan bapanya (yang sebenar)."Dengan keterangan dan perbincangan di atas dapat kita membuat kesimpulan bahawa kedudukan atau posisi syeikh sebagai kerabat ma‘nawi Rasulullah s.a.w. merupakan satu kedudukan yang sangat tinggi dan istimewa dalam Islam. Sebab keturunan ma‘nawi itu juga bererti sebagai bukti atbā‘ al-Rasul atau pengikut Rasulullah s.a.w. yang sebenar. Orang yang benar-benar mengikuti jejak Rasulullah s.a.w. zahir dan batin adalah dalam golongan orang yang dicintai oleh Allah S.W.T, seperti yang difirmankanNya:قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمْ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ Maksudnya:"Katakanlah wahai Muhammad! Jika kamu benar-benar mencintai Allah S.W.T., maka ikutilah aku, nescaya Allah S.W.T. mencintai kamu dan mengampuni dosa-dosa kamu. Allah S.W.T. Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."Dari keterangan ayat al-Qur’an di atas dapat kita fahamkan bahawa seorang yang dicintai oleh Allah S.W.T. adalah juga dikasihi oleh Rasulullah s.a.w, dengan kedudukan yang demikian tentu sahaja ia mendapat darjat yang tinggi di sisi Allah S.W.T di dunia mahupun di akhirat. Antara mereka yang mendapat darjat yang tinggi di sisi Allah S.W.T selain daripada Rasul dan para Anbiyā’ ialah golongan siddiqin, shuhadā’ dan sālihin yang setiap muslimin dan muslimat memohon ke hadrat Allah S.W.T untuk dimasukkan di kalangan mereka seperti yang diungkapkan dalam bacaan solat:اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ. صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ . Maksudnya:Tunjukilah kami jalan yang lurus. Iaitu jalan orang-orang yang Engkau telah kurniakan nikmat kepada mereka, bukan jalan orang-orang yang Engkau telah murkai dan bukan pula jalan orang-orang yang sesat.Jelas sekali, posisi dan kedudukan seorang syeikh seperti yang diterangkan adalah termasuk dalam salah satu daripada golongan yang tersebut.
3 Syeikh sebagai khalifat Rasulillah atau pengganti atau wakil Rasulullah s.a.w di dalam bidang tabligh atau penyebaran ajaran Islam dan tarbiyah serta asuhan dalam penghayatan ajaran Islam yang sebenarnya sama ada bersifat zahir mahupun yang batin. Kedudukan tersebut ada dijelaskan sendiri oleh Nabi s.a.w dalam sabdanya yang telah diriwayatkan oleh al-Tirmidhi dalam Sunannya antara lain menyebutkan:: لا يمس النار مسلما رآنى أو رأى من رآنى . Maksudnya: Tidak akan disentuh api neraka orang Islam yang melihat aku, dan tidak juga akan disentuh api neraka orang Islam yang melihat orang yang telah melihat aku.Syeikh ‘Abd al-Wahhāb al-Sha‘rāni menganggap syeikh itu sebagai pengganti atau wakil yang membawa syariat Nabi Muhammad s.a.w, ini dapat kita lihat dari ungkapan beliau yang antara lain menyebutkan:ان شيوخ رضى الله عنهم نواب الشارع صلى الله عليه وسلم. Maksudnya: Sesungguhnya para syeikh itu adalah naib (pengganti/wakil) bagi pembawa syariat s.a.w dalam (urusan) mendidik dan mengasuh seluruh manusia.Sedang Syeikh ‘Abd al-Qādir ada menjelaskan dengan katanya:فكانوا خلفأ عنه فى الهداية والارشاد والدعوة الى الله ,يقتبسون من نوره للانسانية طريق الحق والرشاد . Maksudnya:Mereka itulah para khalifahnya dalam (kepimpinan ke pintu) hidayat, asuhan dan dakwah kepada Allah S.W.T. Mereka itu sentiasa dapat mengambil sebahagian dari nur risalah Nabi s.a.w untuk mereka gunakan bagi menerangi kebenaran dan kebaikan bagi kehidupan manusia.Dari keterangan di atas, sama ada dari hadis yang disabdakan oleh Baginda s.a.w atau dari huraian dan pandangan para ulama tasawwuf, jelas menunjukkan kepada kita bahawa kedudukan syeikh dalam disiplin ilmu dan amalan tasawwuf sebagai seorang khalifah Rasulullah s.a.w atau wakilnya dalam kerja-kerja al-tabligh, al-tarbiyah al-ruhāniyyah dan menyebarkan ajaran Islam kepada seluruh umat manusia. Selepas kewafatan Baginda s.a.w., para sahabat berperanan sebagai pengganti kepada Rasul s.a.w. Setelah zaman sahabat berlalu, maka al-tābi‘in pula yang mengambil tempat mereka (sahabat) sebagai khalifah yang melaksanakan urusan al-tabligh dan al-tarbiyah. Seterusnya silih berganti hinggalah ke hari ini, para khalifahnya terus wujud dan terus melaksanakan tugas-tugas tersebut.
4 Syeikh jika dilihat dari sudut ilmu, merupakan orang yang benar-benar berada dalam golongan yang dimaksudkan oleh Baginda s.a.w sebagai al-‘Ulamā’ warathat al-anbiyā’ (ulamak pewaris para nabi). Kedudukan ini selayaknya bagi seorang syeikh jika kita timbang bahawa syeikh itu mempunyai tiga darjat di atas iaitu sebagai pewaris, khalifah dan kerabat Nabi s.a.w yang terdekat. Justeru bagi seorang yang mempunyai kedudukan sebagai ulamak pewaris nabi-nabi” tentu sahaja mereka memiliki ilmu dan ma‘rifah yang lebih sempurna dan lebih baik dari ilmu yang dimiliki oleh ulamak biasa. Begitu juga jika dilihat dari sudut akhlaknya tentu sahaja ia lebih baik dan lebih mulia dari akhlak ulamak biasa. Tegasnya berbagai aspek zahir dan batin seseorang syeikh adalah menggambarkan ciri-ciri sifat seorang ulamak yang sebenar di samping menepati dengan gelaran ulamak pewaris nabi seperti yang dimaksudkan oleh Baginda Rasulullah s.a.w. tersebut.Syeikh Abu Qāsim al-Qushayri ada menyebutkan kedudukan para mashāyikh tersebut dari sudut ilmu dan ma‘rifahnya dengan membandingkan mereka dengan ulamak-ulamak selainnya dengan katanya:فإن هؤلاء حججهم في مسائلهم أظهر من حجج كل أحد وقواعد مذاهبهم أقوى من قواعد كل مذهب والناس إما أصحاب النقل والآثر وإما أرباب العقل والفكر وشيوخ هذه الطائفة ارتقوا عن هذه الجملة فالذى للناس غيب فهو لهم ظهور والذي للخلق من المعارف مقصود فلهم من الحق سبحانه موجود فهم أهل الوصول والناس أهل الاستدلال . Maksudnya:Sesungguhnya para syeikh itu, hujah-hujah mereka tentang berbagai masalah adalah lebih jelas daripada hujah-hujah tiap-tiap orang (yang lain);kaedah-kaedah (dalam mazhab mereka juga lebih teguh daripada kaedah-kaedah mazhab lainnya; orang ramai itu sama ada mereka menjadi orang yang berpegang kepada (zahir) al-Qur’an, hadis dan kata-kata ulamak salaf ataupun menjadi orang bergantung kepada (kekuatan akal dan fikiran, padahal syeikh-syeikh golongan (al-sufiyyah) ini telahpun meningkat tinggi melintasi itu semua; perkara yang tidak dapat dilihat oleh orang ramai, dapat dilihat jelas oleh syeikh-syeikh itu; berbagai ma‘rifah yang sedang dicari-cari oleh orang ramai, bagi syeikh-syeikh itu pula ma‘rifah tersebut telah pun mereka perolehi daripada kurniaan Allah S.W.T.; syeikh-syeikh itu merupakan orang yang sudah sampai (kepada hakikat Allah S.W.T. yang sebenar) sedang orang ramai masih mencari-carinya menerusi dalil-dalil.Jelas dari pandangan dan ulasan daripada Syeikh Abu Qāsim al-Qushayri di atas menunjukkan kepada kita terdapat perbezaan dan kelebihan yang begitu ketara di antara kedua-dua golongan ulamak (ulamak tasawwuf dan ulamak zahir) dari sudut ilmu dan ma‘rifah. Menurut Prof Madya Dr.Jahid Sidek, antara kelebihan tersebut ialah:a) Dari sudut keupayaan untuk memberikan dalil-dalil ataupun bukti-bukti yang paling jelas mengenai sesuatu hukum yang timbul berkaitan dengan masalah-masalah agama, mereka lebih berupaya. Abu Tālib Makki memberikan penegasan dalam hal ini dengan menyatakan :وقد كان علمأ الظاهر إذا أشكل عليهم علم فى مسألة الاختلاف الأدلة سألوا أهل العلم بالله لأنهم أقرب إلى التوفيق وأبعد من الهوى والمعصية .Maksudnya: Dan sesungguhnya ulama-ulama zahir itu bila menghadapi kemusykilan agama mengenai sesuatu masalah disebabkan adanya dalil-dalil yang berlawanan, maka mereka itu meminta (penjelasan hukumnya) dari ahli-ahli ‘ilm billah itu, (kerana mereka itu lebih hampir kepada taufik dan jauh daripada hawa nafsu dan maksiat. Untuk membuktikan kenyataan beliau di atasو maka Abu Tālib Makki seterusnya mengatakan:منهم الشافعى رحمه الله تعالى كان إذا اشتبهت عليه المسألة لاختلاف أقوال العلماء فيها وتكافؤا لاستدلال عليها رجع إلى علماء أهل المعرفة .Maksudnya:Di antara mereka itu (ulama zahir yang merujukkan masalah yang mereka hadapi kepada syeikh) ialah Imam al-Syafi’i rahimahullah ta’ala. Bila beliau itu menghadapi kekaburan masalah, disebabkan kata-kata ulama yang bercanggah mengenai masalah tersebut dan jalan dalilnya sama kuatnya, maka beliau pun merujuk (masalah itu) kepada ulama’ ahli ma‘rifah itu. Seterusnya Syeikh Abu Tālib Makki menunjukkan kepada kita orang yang selalu dijadikan pakar rujuk dan guru tarbiyah oleh al-Imam al-Syafi’i. Orang yang dimaksudkan ialah Shubbān al-Ra’y. Beliau melaporkan kepada kita dengan katanya:وكان يجلس بين يدى شبان الراعى كما يجلس الصبى بين يدي المكتب ويسأله كيف يفعل فى كذا وكيف يصنع فى كذا .Maksudnya: Dan Imam al-Syafi’i itu duduk di hadapan Shubbān al-Ra’y seperti kanak-kanak duduk di hadapan guru tulisnya dan ia bertanya kepada Shubbān al-Ra’y itu: Macam mana hendak dibuat tentang (masalah) ini; dan bagaimana hendak dilakukan tentang (masalah) ini pula. a) Dari keterangan yang diberikan oleh al-Imam Abu Qāsim al-Qushayri di atas, dapat juga kita lihat bahawa kaedah-kaedah ilmu dan amalan yang ada di kalangan para al-mashā’ikh itu adalah lebih baik, lebih kuat dan berkesan. Sebagai contoh, dalam usaha untuk mengenal Allah S.W.T., kaedah ihsān menerusi zikrullah dan murāqabah digunakan oleh para mashā’ikh. Sedangkan para ulama mutakallimin menggunakan kaedah istidlāl dan rasional. Tentu sahaja kaedah ihsān yang digunakan oleh para mashā’ikh itu lebih baik, kerana kaedah ini selaras dengan kehendak dari al-Qur’an dan al-Sunnah. Sebagai contoh, menurut keterangan ayat 190 dan 191 dari surah Āli ‘Imrān bahawa zikrullah dan murāqabah itu adalah jalan untuk mencapai ma‘rifah yang sebenar. Jelas dari kaedah tersebut akan memudahkan terbukanya hijāb hati dan memudahkan mendapat jadhbah, kashaf dan ma‘rifah. Oleh sebab itu ulama-ulama tasawwuf menyimpulkan bahawa zikrullah adalan jalan yang paling dekat untuk segera sampai kepada Allah S.W.T. dan keredaanNya, tanpa zikrullah jalan menuju kepada Allah S.W.T. menjadi jauh dan langkahnya juga menjadi lambat sehingga mungkin tidak akan sampai sehingga seseorang itu mati. b) Seterusnya dapat juga kita fahamkan dari ungkapan al-Syeikh Abu Qāsim al-Qushayri tersebut bahawa para mashā’ikh itu sebenarnya mempunyai basirah atau mata hati yang terang dan awas kerana hijābnya telah dibukakan oleh Allah S.W.T. dan dikurniakan kashaf kepadanya. Dengan kashaf tersebut mereka dapat melihat berbagai perkara yang ghaib yang biasanya tidak dapat dilihat dan diperhatikan oleh orang biasa. Sebagai contoh, seorang syeikh memberi sejumlah wang kepada seorang muridnya untuk menyewa seorang perempuan yang tinggal di sebuah bilik, dengan rasa penuh keraguan dan tandatanya, pergilah murid itu seperti yang telah diperintahkan oleh syeikhnya. Akhirnya murid tersebut mendapati bahawa perempuan yang ada di dalam bilik itu adalah isterinya sendiri yang telah lama ditinggalkan kerana menuntut ilmu. c) Dari kata-kata Syeikh Abu Qāsim al-Qushayri itu juga dapat kita melihat bahawa syeikh itu merupakan seorang yang benar-benar ‘ārif billah yang telah sampai kepada hakikat Allah S.W.T. yang sebenar iaitu hakikat uluhiyyah dan rububiyyahNya. Inilah yang dimaksudkan oleh Syeikh Abu Qāsim al-Qushayri bahawa para mashāyikh itu adalah ahl al-wisāl. Ahl al-wisāl ini menurut keterangan yang dikutip daripada Ibn ‘Ajibah ialah orang-orang yang telah dipilih oleh Allah S.W.T. dengan diberi cintaNya, dijadikan sebagai wali Nya, dibukakan hijāb pintu hatinya, diperlihatkan kepadanya berbagai rahsia zatNya sehingga semua kesan-kesan kekuasaan dan kewujudanNya iaitu segala kejadian dan ciptaan Allah S.W.T. itu tidak menghalang pandangan basirah terhadap hakikat Allah S.W.T. dan kehambaan dirinya sendiri. Seterusnya, menurut Ibn ‘Ajibah lagi bahawa orang yang tersebut juga dikenali sebagai ahl al-‘irfān, ahl al-shuhud dan ahl al-‘ayyān yang tidak melihat wujudnya semua makhluk kerana ia shuhud terhadap Allah S.W.T. semata-mata. Oleh itu syeikh adalah orang yang telah sampai ke maqām fanā’ dan baqā’ billah. Dari kelima-lima sifat yang dimiliki oleh syeikh seperti yang telah dikatakan oleh Syeikh Abu al-Qāsim al-Qushayri itu jelas kepada kita bahawa syeikh itu merupakan seorang wali Allah S.W.T., yang sentiasa bersifat dengan sifat taqwa dan sentiasa mendapat perlindungan daripada Allah S.W.T. Hal ini telah dinyatakan oleh Allah S.W.T. dengan firmanNya :إِنَّ وَلِيِّي اللَّهُ الَّذِي نَزَّلَ الْكِتَابَ وَهُوَ يَتَوَلَّى الصَّالِحِينَ Maksudnya:"Sesungguhnya Pelindungku adalah Allah S.W.T. yang telah menurunkan Kitab (al-Qur’an) dan Allah S.W.T. lah yang mengurus dan melindungi orang-orang yang salih".
5. Kedudukan syeikh dari sudut ketakwaan mereka adalah merupakan orang yang benar-benar mencapai taraf ulu al-albāb iaitu orang yang disebutkan oleh Allah S.W.T. dalam firmanNya:الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالاَْرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلاً سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّار Maksudnya:"Mereka itulah orang-orang yang berdhikrullah dalam keadaan berbaring dan mereka itu sentiasa memikirkan (bukti-bukti kewujudan dan kekuasaan Allah S.W.T.) di dalam ciptaanNya yang di langit dan yang di bumi, seraya berkata: Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan (semua ciptaan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari seksa api neraka."Dari keterangan ayat di atas menunjukkan bahawa orang yang bertaraf ulu al-bāb itu ialah orang yang mukmin dan sentiasa berzikrullah dan bermurāqabah terhadap Allah S.W.T. sehingga mereka mencapai hakikat kekurangan, jahil, lemah dan sebagainya lagi. Ciri-ciri ketakwaan tersebut ada dijelaskan oleh Allah S.W.T dalam firmanNya yang antara lain menyebutkan:الَّذِينَ يُوفُونَ بِعَهْدِ اللَّهِ وَلاَ يَنقُضُونَ الْمِيثَاقَ وَالَّذِينَ يَصِلُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ وَيَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ وَيَخَافُونَ سُوءَ الْحِسَابِ وَالَّذِينَ صَبَرُوا ابْتِغَاءَ وَجْهِ رَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلاَةَ وَأَنفَقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلاَنِيَةً وَيَدْرَءُونَ بِالْحَسَنَةِ السَّيِّئَةَ أُوْلَئِكَ لَهُمْ عُقْبَى الدَّار Maksudnya:" (Ulu al-albāb itu) ialah orang-orang yang memenuhi janji Allah S.W.T. dan tidak merosakkan perjanjian itu; dan orang-orang yang menghubungkan apa yang Allah S.W.T. perintah supaya dihubungkan (tali persaudaraan dan silat al-rahim) dan mereka itu takut kepada Tuhan mereka dan takut terhadap hisab yang buruk; dan orang-orang yang sabar kerana mencari keredaan Tuhan mereka, mereka mendirikan sembahyang dan membelanjakan sebahagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi ataupun terus terang dan mereka itu menolak kejahatan dengan kebaikan; mereka itulah yang mendapat tempat kesudahan(yang baik). "Dari ayat-ayat al-Qur’an di atas Prof Madya Dr. Jahid Sidek seterusnya menyenaraikan sifat-sifat taqwa orang-orang yang ulu al-albāb itu sebagai:a) Golongan ini sentiasa bertaqwa, melakukan apa sahaja yang diperintahkan dan menjauhkan segala larangan Allah S.W.T. dalam erti kata yang sebenar sama ada yang zahir mahu pun yang batin. Tegasnya mereka itu benar-benar menjadi orang-orang yang bersifat dengan sifat taqwa. b) Para mashā’ikh itu memiliki akhlak yang mulia di samping menjaga hubungan sosial mereka, selaras dengan firman Allah S.W.T: ضُرِبَتْ عَلَيْهِمْ الذِّلَّةُ أَيْنَ مَا ثُقِفُوا إِلا بِحَبْلٍ مِنْ اللَّهِ وَحَبْلٍ مِنْ النَّاسِ وَبَاءُوا بِغَضَبٍ مِنْ اللَّهِ وَضُرِبَتْ عَلَيْهِمْ الْمَسْكَنَةُ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَانُوا يَكْفُرُونَ بِآيَاتِ اللَّهِ وَيَقْتُلُونَ الاَْنبِيَاءَ بِغَيْرِ حَقٍّ ذَلِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا يَعْتَدُونَ Maksudnya: "Mereka ditimpakan kehinaan (dari segala jurusan) di mana sahaja mereka berada, kecuali dengan adanya sebab daripada Allah S.W.T. dan adanya sebab daripada manusia. Dan sudah sepatutnya mereka beroleh kemurkaan daripada Allah S.W.T., dan mereka ditimpakan kemiskinan dari segala jurusan. Yang demikian itu, mereka sentiasa kufur ingkar akan ayat-ayat Allah S.W.T. (perintah-perintahNya) dan mereka membunuh Nabi-nabi dengan tiada alasan yang benar. Semuanya itu disebabkan mereka derhaka dan mereka sentiasa mencerobohi (hukum-hukum Allah S.W.T.)." Tegasnya mereka adalah orang yang benar-benar berpegang teguh dengan pengertian ayat di atas yang terangkum dalam makna hablun min al-nās dan hablun min Allah seperti yang ditunjukkan oleh Baginda s.a.w dan para sahabatnya. Allah S.W.T menceritakan kedudukan mereka seperti yang difirmankanNya: وَعِبَادُ الرَّحْمَانِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الاَْرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمْ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلاَمًا Maksudnya: "Dan hamba-hamba (Allah S.W.T.) al-Rahman (yang diredai Nya), ialah mereeka yang berjalan di bumi dengan sopan santun, dan apabila orang-orang yang berkelakuan kurang adab, hadapkan kata-kata kata-kata kepada mereka, mereka menjawab dengan perkataan yang selamat dari perkara yang tidak diingini. " c) Orang-orang yang bersifat ulu al-albāb itu ialah mereka yang hanya takut kepada Allah S.W.T. Sifat ini lahir pada diri mereka kerana mereka telah shuhud terhadap hakikat keagungan dan kesempurnaan Allah S.W.T, dalam ertikata yang lain ialah shuhud terhadap uluhiyyah dan rububiyyah Allah S.W.T. Di samping itu mereka juga bimbang terhadap perbicaraan di padang mahsyar jikalau amalan yang jahat itu lebih banyak dari yang baik. Atau khuatir jika amalan yang baik itu tidak diterima oleh Allah S.W.T. Mereka juga bersifat bimbang jika kesudahan hidup mereka disudahi dengan su’ al-khātimah, lantaran itu mereka sentiasa memiliki sifat orang-orang yang ikhlas takutkan Allah S.W.T. d) Orang-orang yang bersifat ulu al-albāb itu ialah mereka yang sentiasa bersifat sabar dalam menghadapi semua ujian dan dugaan yang Allah S.W.T berikan kepada mereka pada setiap masa dan keadaan, kerana mereka ingin mendapat keredaan daripada Allah S.W.T semata-mata. Mereka digambarkan oleh Allah S.W.T. dalam firmanNya: الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ. Maksudnya: "(Orang-orang yang bersabar itu) ialah orang-orang yang apabila ditimpa sesuatu musibah, mereka mengucapkan: Sesungguhnya kami adalah kepunyaan Allah S.W.T. dan sesungguhnya kepada Nyalah kami kembali. " e) Orang-orang yang bersifat ulu al-albāb itu menggunakan harta dan kekayaan yang mereka miliki hanya untuk tujuan mendapatkan keredaan dari Allah S.W.T. Sama sekali tidak akan membelanjakan harta tersebut ke jalan yang dimurkai oleh Allah S.W.T. Dengan harta tersebut mereka tidak bersifat riyā’ dan ‘ujub terhadap pengorbanan yang mereka lakukan terhadap harta mereka. Keikhlasan adalah asas di dalam menginfakkan harta tersebut,sama ada secara terang atau secara rahsia, bagi mereka adalah sama sahaja, kerana yang mereka pandang hanya Allah S.W.T. sahaja.f) Orang-orang yang bersifat ulu al-albāb itu ialah orang yang boleh bertindak dengan sebaik-baiknya di dalam menghadapi sebarang kejahatan yang dilemparkan kepada mereka. Di antara kemuliaan yang dimiliki oleh mereka ialah membalas kejahatan dengan kebaikan. Ini menunjukkan wujudnya kemuliaan hati dan keteguhan iman yang dimiliki oleh mereka. Justeru mereka adalah tergolong di kalangan orang-orang yang ‘ārif bi Allah yang sentiasa shuhud terhadap Allah S.W.T. g) Orang-orang yang bersifat ulu al-albāb itu ialah mereka yang mendirikan solat dengan penuh khusyu’ dan tawādu‘ dengan sentiasa mengingati keagungan dan kesempurnaan Allah S.W.T. Mereka itu adalah merupakan orang-orang mukmin yang beroleh kejayaan di sisi Allah S.W.T. seperti yang disebutkan oleh Allah S.W.T. dalam firmanNya:قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ . الَّذِينَ هُمْ فِي صَلاَتِهِمْ خَاشِعُونَ. Maksudnya:" Sesungguhnya telah berjayalah orang-orang yang beriman iaitu orang-orang yang khusyu’ dalam sembahyang mereka." Dari fakta yang terkandung dalam ayat 20-22 surah al-Ra’d tersebut dapatlah kita membuat kesimpulan bahawa sifat-sifat taqwa golongan ulu al-albāb itu adalah yang paling sempurna dan istimewa. Justeru kerana itu sifat-sifat tersebut sewajarnya wujud di kalangan para mashā’ikh seperti yang telah diterangkan di atas.
6. Di kalangan ulama tasawwuf, syeikh merupakan orang yang mempunyai kedudukan dan status yang istimewa di sisi Allah S.W.T, kerana mereka dianggap sebagai salah satu pintu dari berbagai pintu rahmat Allah S.W.T. yang sentiasa menyeru manusia untuk menghampirkan diri kepadaNya dan mendapatkan keredaanNya. Mengenai hal ini Allah S.W.T menjelaskan dengan firmanNya: قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنْ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنْ الْمُشْرِكِينَ . Maksudnya:"Katakanlah (wahai Muhammad):Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang menurutiku, menyeru manusia umumnya kepada agama Allah S.W.T. dengan berdasarkan keterangan dan bukti yang jelas nyata. Dan aku menegaskan: Maha Suci Allah S.W.T. (dari segala iktikad dan perbuatan syirik) dan bukanlah aku dari golongan yang mempersekutukan Allah S.W.T. dengan sesuatu yang lain." Dari maksud firman Allah S.W.T dalam ayat di atas jelas menunjukkan bahawa Rasulullah s.a.w itu merupakan pintu berbagai rahmat Allah S.W.T. seperti ilmu, iman, ma‘rifah dan sebagainya lagi. Demikian juga bagi umatnya yang mengikuti dan menghayati ajaran-ajarannya, sama ada yang zahir mahupun yang batin adalah juga sebagai pintu berbagai rahmat Allah S.W.T. tersebut. Seorang syeikh sepertimana yang telah dihuraikan di atas adalah merupakan pewaris Rasulullah s.a.w, khalifahnya dan orang yang paling hampir dengannya. Dengan kedudukan ini tentulah seorang syeikh itu tergolong di kalangan orang-orang yang mengikuti sunnahnya yang zahir dan yang batin. Dari sini dapat kita lihat bahawa syeikh itu adalah di antara salah satu pintu dari pintu-pintu rahmat Allah S.W.T. Sebagai seorang murid yang sentiasa belajar dan berdampingan dengan syeikh itu tentulah ia berada di hadapan pintu rahmat Allah S.W.T. Dalam disiplin ilmu dan amalan tasawwuf, seorang murid dikehendaki supaya seboleh-bolehnya sentiasa berdampingan dengan syeikhnya dan sentiasa taatkannya. Perhubungan yang rapat dalam kehidupan sehari-hari di antara seorang murid dengan syeikhnya adalah dituntut dalam Islam seperti yang difirmankan oleh Allah S.W.T:يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ. Maksudnya:"Wahai orang-orang yang beriman! Bertaqwalah kamu kepada Allah S.W.T., dan hendaklah kamu berada bersama-sama orang-orang benar. "Tujuan dari perintah supaya sentiasa bersama-sama dengan orang-orang yang bertaraf al-siddiqin itu ialah supaya kita sentiasa mendapat keberkatan dan berbagai rahmat daripada Allah S.W.T. menerusi mereka. Dengan taraf mereka sebagai al-siddiqin tentulah ia mempunyai kedudukan yang tinggi di sisi Allah S.W.T. selepas kedudukan para Anbiyā` dan Rasul, sebab itu Allah S.W.T. memberi pengakuanNya terhadap mereka ini dengan firmanNya:وَمِنْ النَّاسِ وَالدَّوَابِّ وَالاَْنْعَامِ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ كَذَلِكَ إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ. Maksudnya:"Dan demikian pula di antara manusia dan binatang-binatang yang melata serta binatang-binatang ternak, ada yang berlainan jenis dan warnanya. Sebenarnya yang menaruh bimbang dan takut (melanggar perintah) Allah S.W.T. dari kalangan hambaNya hanyalah orang-orang yang bergelar ulama. Sesungguhnya Allah S.W.T. Maha Kuasa, lagi Maha Pengampun." Dengan kedudukan mereka selepas para Anbiyā` dan Rasul, maka tidak hairanlah kalau Allah S.W.T. telah menjanjikan tempat di dalam syurga bagi mereka seperti yang terdapat dalam firmanNya:وَمَنْ يُطِعْ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُوْلَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنْ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُوْلَئِكَ رَفِيقًا. Maksudnya:"Dan sesiapa yang taat kepada Allah S.W.T. dan RasulNya, maka mereka akan ditempatkan di dalam syurga bersama orang-orang yang telah dikurniakan nikmat oleh Allah S.W.T. kepada mereka, iaitu Nabi-nabi dan orang-orang al-siddiqin dan orang-orang al-shāhidin, serta orang-orang yang soleh. Dan amatlah eloknya mereka itu menjadi teman rakan (kepada orang-orang yang taat)."Dari keterangan kedua-dua ayat al-Qur’an yang tersebut di atas tadi dapatlah dilihat kedudukan seorang yang bertaraf syeikh amat tinggi di sisi Allah S.W.T. Sekalipun ia tidak mencapai taraf al-siddiqin, sudah pasti mereka ini menduduki taraf al-shuhadā’ atau al-sālihin seperti yang termuat dalam ayat tersebut. Justeru kerana itu, dalam disiplin ilmu dan amalan tasawwuf, seorang murid dikehendaki supaya sentiasa berdampingan dengan syeikhnya, jika tidak dapat berbuat demikian maka hendaklah ia membayangkan wajah syeikhnya itu. Dari sini maka timbullah istilah yang dikenali di kalangan disiplin ilmu dan amalan tasawwuf sebagai al-rābitah.
7. Dalam disiplin ilmu dan amalan tasawwuf seorang yang bergelar syeikh itu dianggap sebagai seorang mukmin yang telah mencapai taraf al-muhsinin. Kenyataan ini adalah berdasarkan kepada firman Allah S.W.T. dalam al-Qur’an yang rahmat Allah S.W.T. itu sentiasa hampir (sentiasa diberikan) kepada orang yang al-muhsinin seperti yang telah dijelaskan olehNya:وَلاَ تُفْسِدُوا فِي الاَْرْضِ بَعْدَ إِصْلاَحِهَا وَادْعُوهُ خَوْفًا وَطَمَعًا إِنَّ رَحْمَةَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِنْ الْمُحْسِنِينَ. Maksudnya:"Dan janganlah kamu berbuat kerosakan di bumi sesudah Allah S.W.T. menyediakan segala yang membawa kebaikan padanya dan berdoalah kepadaNya dengan perasaan bimbang (kalau-kalau tidak diterima) dan juga dengan perasaan terharap-harap (supaya makbul). Sesungguhnya rahmat Allah S.W.T. itu dekat kepada orang-orang yang memperbaiki amalannya (muhsinin)."Seperti yang telah kita huraikan di atas tadi bahawa seorang syeikh itu merupakan salah satu dari pintu dari berbagai pintu rahmat Allah S.W.T., oleh itu boleh kita katakan bahawa syeikh itu adalah golongan yang hampir kepada rahmat Allah S.W.T. Orang yang sentiasa hampir dengan rahmat Allah S.W.T. itu adalah orang yang bergelar al-muhsinin. Kesimpulannya, seorang syeikh itu adalah bertaraf al-muhsinin. Jika kita tinjau dari sudut hadis pula kita akan dapati bahawa syeikh itu adalah antara orang yang sudah mencapai martabat ihsān seperti yang disabdakan oleh Baginda s.a.w di dalam sebuah hadisnya: الإحسان أن تعبد الله كأنك تراه , فان لم تكن تراه فإنه يراك . Maksudnya:" Ihsān itu ialah anda beribadat kepada Allah seolah-olah anda melihatNya. Jika anda tidak (terasa) melihatnya, maka sesungguhnya Allah melihat anda. "Dengan berbagai fakta yang telah dihuraikan di atas berhubung dengan status dan kedudukan seorang syeikh menurut disiplin ilmu dan amalan tasawwuf, dapatlah kita membuat kesimpulan yang tepat bahawa seorang yang bergelar syeikh yang sebenar atau yang memenuhi semua syarat-syarat dan adab-adab syeikh yang telah ditentukan adalah seorang mukmin yang mempunyai status dan kedudukan yang paling istimewa sekali. Keadaan ini disebabkan kerana seorang syeikh itu mempunyai nasab ma‘nawi yang rapat hubungan dengan Rasulullah s.a.w di samping mewarisi sifat-sifat ketakwaan, keilmuan, ma‘rifat dan sebagainya lagi. Dengan sifat yang dimiliki oleh mereka ini sudah tentu mereka dapat menegakkan kebenaran seperti yang diperintahkan oleh Allah S.W.T. tanpa menghiraukan segala rintangan, halangan dan penghinaan demi menegakkan kebenaran tersebut, sesuai dengan sabda Rasulullah s.a.w:لا تزال طائفة من أمتي ظاهرين على الحق لا يضرهم من خذلهم حتى يأتى أمر الله وهم كذلك . Maksudnya:" Akan sentiasa wujud satu golongan dari umatku itu yang tetap menegakkan kebenaran, tanpa memperdulikan orang yang menghinakan mereka, sehingga datang urusan Allah S.W.T. (kematian atau sebagainya) mereka tetap berkeadaan demikian itu."
3.6.2 Kedudukan al-Sālik
3.6.2 Kedudukan al-SālikSeperti yang telah dinyatakan di atas tadi bahawa perkataan atau istilah al-rābitah itu sukar untuk diperjelaskan jika tidak kita bincangkan terlebih dahulu beberapa aspek yang mempunyai hubungan yang begitu rapat dengan penggunaan istilah ini. Antaranya ialah syeikh yang telah kita hurai dan bincangkan di atas tadi. Selanjutnya kita cuba pula menghurai dan membincangkan topik kedua yang sangat penting dan berkait rapat dengan istilah al-rābitah itu. Persoalan yang kita maksudkan di sini ialah al-sālik.Dalam institusi sebuah perkumpulan tariqat atau tasawwuf, selain daripada seorang yang bertaraf al-syeikh al-murshid, terdapat satu kumpulan lain bertaraf pengikut yang dikenali sebagai al-sālik atau al-murid atau al-sā’ir. Semua istilah-istilah ini membawa maksud yang sama, iaitu pengikut kepada sesuatu aliran tariqat atau tasawwuf. Mereka ini adalah satu kumpulan yang memerlukan ilmu pengetahuan, petunjuk dan bimbingan dalam segala amal ibadatnya. Mereka terdiri dari kalangan lelaki dan perempuan, sama ada yang belum dewasa ataupun yang sudah lanjut usianya. Kumpulan yang dikenali sebagai al-sālik ini bukan hanya terbatas kewajipannya mempelajari segala sesuatu yang diajarkan atau melaksanakan segala sesuatu yang dilatih guru kepadanya , namun dari segi kedudukan mereka sebagai seorang al-sālik, mereka dikehendaki mematuhi beberapa adab dan akhlak yang ditentukan ke atasnya. Sama ada adab terhadap syeikh, mahupun terhadap dirinya dan adab serta akhlak terhadap rakan-rakan setariqat dan sesama mukmin yang lainnya. Semua yang berkaitan dengan adab ini akan diperhatikan oleh seorang syeikh kerana dengan keperibadian al-sālik tersebut akan menentukan kejayaan atau sebaliknya perjalanan tariqat yang dilaluinya. Pelajaran-pelajaran sufi dan latihan-latihan dalam disiplin tariqat akan kurang faedahnya, jika pelajaran dan latihan itu tidak berkesan kepada perubahan akhlak dan budi pekerti al-sālik itu. Oleh yang demikian kita sering menemukan beberapa judul kitab yang dikarang oleh tokoh-tokoh pengamal disiplin ilmu dan amalan tasawwuf dengan menggunakan istilah-istilah seperti Siyar al-Sālikin, Hidāyat al-Sālikin yang kedua-duanya ditulis oleh ‘Abd al-Samad al-Palimbāni. Begitu juga dengan kitab Diyā’al-Murid dan sebagainya lagi. Semua kitab-kitab ini menggunakan istilah-istilah di atas sebagai judul karangan mereka, tentunya pemilihan judul ini adalah bertepatan dengan isi kandungan kitab-kitab tersebut yang mengolah dan mengatur kehidupan seorang yang al-sālik dalam menjalani suluknya.Apabila kita membicarakan soal kedudukan seseorang yang al-sālik di hadapan seseorang yang bertaraf syeikh, secara langsung tentu sahaja akan melibatkan soal adab seorang al-sālik terhadap gurunya yang bergelar syeikh itu. Justeru sering kita dengar dan kita lihat kumpulan yang dinamakan al-sālik ini benar-benar menyanjung tinggi martabat serta kehormatan seorang syeikhnya. Mereka benar-benar takut dan taat terhadap syeikh, sama ada di hadapan mahupun di belakangnya. Bagi seorang yang al-sālik, mengkhianati atau membantah seorang guru yang memberikan pelajaran dan petunjuk adalah tindakan yang tercela dan dosa. Justeru dengan kerananya akan menghalang perjalanan seorang yang al-sālik ke hadirat Allah S.W.T.Dengan keterangan di atas dapat kita katakan bahawa antara tujuan disiplin ilmu dan amalan tasawwuf itu ialah untuk menanamkan penghayatan syariat ke dalam diri seorang yang sālik dengan pemerhatian oleh seorang yang bergelar syeikh. Dalam konteks ini peranan syeikh adalah bertujuan untuk memantau agar hasil dari didikan itu berkesan dalam jiwa para al-sālikin. Antara ukuran yang digunakan sama ada didikan itu berkesan atau sebaliknya dapat dinilai melalui keluhuran akhlak dan budi pekerti serta adab kesopanan dalam kehidupan harian terhadap syeikh, diri, para sahabat setariqat dan seterusnya adab sesama umat Islam seluruhnya.
3.6.2.1 Adab-adab al-sālik terhadap syeikh.
3.6.2.1 Adab-adab al-sālik terhadap syeikh.Menurut keterangan yang diberikan oleh Syeikh Muhammad Amin al-Kurdi dalam kitabnya yang berjudul Tanwir al-Qulub Fi Mu‘āmalat ‘Allām al-Ghuyub menyebutkan bahawa adab-adab yang perlu diperhatikan dan dijaga oleh seorang yang sālik terhadap syeikhnya adalah banyak , namun yang terpenting ialah seorang yang al-sālik tidak boleh sesekali menentang syeikhnya, sebaliknya ia membesarkan kedudukan syeikhnya itu lahir dan batin. Seterusnya ia tidak boleh memperkecilkan kedudukan syeikh, apalagi mencemuhnya di hadapan atau di belakangnya. Salah satu yang mesti diyakini oleh seorang yang al-sālik ialah segala maksud dalam suluknya hanya akan tercapai kerana didikan dan asuhan daripada syeikhnya. Oleh sebab itu, jika ia terpengaruh dengan pandangan guru-guru yang lain selain daripada syeikhnya menyebabkan ia akan jauh daripada syeikhnya dan akan gagal menerima limpahan cahaya daripada syeikhnya. Maka sebagai seorang yang bertaraf al-sālik sewajarnya ia memerhatikan dengan bersungguh-sungguh tentang beberapa adab terhadap syeikhnya. Keadaan ini telah dikemukakan oleh Syeikh Muhammad Amin al-Kurdi seperti di bawah ini: a) Seorang yang al-sālik hendaklah menghormati dan menyanjung tinggi syeikhnya pada yang zahir dan yang batin, dengan satu keyakinan bahawa dirinya tidak akan berjaya untuk mencapai cita-cita kerohaniannya kecuali berada di bawah asuhan dan didikan serta pimpinan daripada syeikhnya. Apabila seorang yang al-sālik itu tertarik hati kepada seorang syeikh yang lain maka terhalanglah dirinya itu daripada syeikhnya dan terhentilah limpahan nur ilāhi daripada syeikh tersebut ke atas dirinya. b) Seorang yang al-sālik hendaklah sentisa menyerahkan diri sepenuhnya zahir dan batin kepada syeikhnya. Sentiasa bersifat taat dan menurut perintah di samping reda terhadap segala apa yang dibuat oleh syeikhnya. Seorang yang al-sālik hendaklah bersedia untuk berkhidmat kepada syeikhnya baik dengan harta mahupun dengan jiwa raga. Semua hal tersebut adalah disebabkan oleh kemahuan yang murni dan perasaan kasih sayang sebenar yang tidak dapat dinyatakan dengan jelas kecuali dengan cara yang tersebut. Malahan niat yang benar dan ikhlas itu tidak akan dapat dicapai kecuali dengan jalan yang demikian itu. Seorang al-sālik mestilah mempunyai keikhlasan hati di samping kerelaan jiwa demi pengorbanan kepada syeikhnya. Selepas itu barulah ia akan mendapat barakah irādah yang murni dan muhibbah. Semua ini akan dianggap sebagai penggerak dalam kehidupan seorang yang al-sālik. c) Seorang yang al-sālik tidak boleh sama sekali menentang, menolak atau menghalang apa saja yang dibuat oleh syeikhnya, sekalipun perbuatan tersebut pada zahirnya bertentangan dengan hukum syarak yang membawa hukum haram. Sebagai contoh, seorang al-sālik tidak boleh berkata terhadap syeikhnya: Mengapakah tuan guru berbuat demikian? Jika seorang al-sālik berkata demikian terhadap syeikhnya maka ia tidak akan mencapai maksudnya (wusul kepada Allah S.W.T.) untuk selama-lamanya. Penentangan merupakan sikap dan akhlak yang tercela, lebih-lebih lagi apabila diperintahkan oleh syeikhnya. Dalam dispilin ilmu dan amalan tasawwuf ketaatan itu sudah dibaiahkan ketika seorang al-sālik mengambil amalan tersebut daripada syeikhnya. Dengan peraturan dan baiah yang demikian barangkali ramai orang termasuk pemerintah menaruh prasangka dan curiga di samping mengawasi ajaran tasawwuf dan tariqat di negara ini. Kadang-kadang berlaku pada seseorang syeikh itu perkara yang tercela nampak pada zahirnya, tetapi pada batinnya adalah baik, seperti yang berlaku kepada Nabi Khidir a.s ketika bersama-sama dengan Nabi Musa a.s . Kerana itulah setengah ahli tasawwuf bersya’ir seperti berikut:وكن عنده كالميت عند المغسل يقلبه ما شاء وهو مطاوعولا تعترض فيما جهلت من أمره عليه فإن الأعتراض تنازعوسلم له فيما تراه ولو يكن على غير مشروع فثم مخادعوفى قصة الخضر الكريم كفاية بقتل غلام والكليم يدافعفلما أبان الصبح عن ليل سره وسل حسام للمحاجج قاطعأقام له العذر الكليم وأنه كذلك علم القوم فيه بدائعMaksudnya:Engkau di hadapan syeikh seperti mayat di depan orang yang memandikannya.Sentiasa taat dibalik-balikkan mengikut sekehendak hatinya.Jangan engkau menentang perintahnya yang engkau tidak mengetahuinya.Sebab,menentang begitu bererti engkau mencabarnya.Biarkanlah segala perbuatannya yang engkau lihat.Meskipun berlainan dengan syariat.Cukuplah sebagai contoh kisah Khidir membunuh anak desa.Bagaimana Musa bersungguh-sungguh menghalangnya.Bila rahsia Khidir jelas terbongkar.Musa tidak dapat berkata lagi.Dan cuba meminta maaf daripada Khidir.Begitulah ada yang menakjubkan ilmu orang sufi.
d) Seorang yang al-sālik tidak boleh mempunyai sebarang keinginan untuk bergaul rapat dengan syeikhnya untuk tujuan dunia ataupun akhirat. Oleh itu pergaulan dengan syeikhnya hanyalah semat-mata untuk menghampirkan dirinya kepada Allah S.W.T.e) Seorang yang al-sālik hendaklah menghilangkan segala ikhtiarnya kerana berasa cukup dengan ikhtiar syeikhnya, sebahagiannya atau keseluruhannya yang menyangkut soal ibadat ataupun adat kebiasaan hidup. Oleh itu antara tanda-tanda yang menunjukkan seorang yang al-sālik itu bersifat benar ialah jika syeikhnya menyuruhnya masuk ke dalam dapur api nescaya dilakukannya. Walau apapun yang berlaku seorang yang al-sālik tetap memegang teguh ikhtiar syeikhnya. Ia mesti mengakui seorang syeikh itu mempunyai kelebihan tersendiri dalam berikhtiar jika dibandingkan dengan ikhtiar seorang yang al-sālik.f) Seorang yang al-sālik tidak boleh dengan sengaja mencari-cari rahsia hal keadaan syeikhnya sama sekali. Perbuatan yang sedemikian boleh menyebabkan kecelakaan dan padah pada diri seorang yang al-sālik itu sendiri. Sebagai seorang yang al-sālik seharusnya bersangka baik dengan syeikhnya dalam semua hal dan keadaan.g) Sebagai seorang yang al-sālik, dia hendaklah sentiasa ingatkan kepada syeikhnya ketika ia berjauhan daripadanya (syeikh). Begitu juga jika syeikhnya itu ada bersama-samanya maka hendaklah ia sentiasa ingatkan dan membayangkan syeikhnya itu dalam hatinya ketika melakukan semua urusannya, baik ketika musafir mahupun tidak, supaya mendapat keberkatan daripada syeikhnya itu.h) Sebagai seorang yang al-sālik ia hendaklah merasakan bahawa setiap keberkatan yang telah didapatinya, baik keberkatan di dunia mahupun di akhirat adalah kerana syeikhnya itu. Sebagai contoh seorang yang al-sālik telah mendapat kelebihan daripada Allah S.W.T., atau pertunjuk berupa ilhām atau keistimewaan ijābah, maka tidak boleh mengatakan atau menganggap hal itu disebabkan oleh keupayaan dan barakah daripada dirinya sendiri yang dekat dengan Allah S.W.T. Sebagai menghormati gurunya ia mestilah berkeyakinan bahawa ilhām dan anugerah daripada Allah S.W.T. itu adalah disebabkan oleh keberkatan dan kelebihan daripada syeikhnya itu.i) Sebagai seorang yang al-sālik, ia tidak boleh merahsiakan atau menyembunyikan daripada syeikhnya sesuatu yang bersifat hāl, lintasan-lintasan hati, kejadian-kejadian, perkara-perkara yang dikashafkan dan kekeramatan yang telah dikurniakan oleh Allah S.W.T. semasa di bawah pimpinan daripada syeikhnya itu. Segala sesuatu yang berkait dengan kehidupan seorang yang al-sālik tidak boleh dirahsiakan daripada syeikhnya. Ini merupakan satu adab dan peraturan yang mesti ditaati oleh seorang yang al-sālik.j) Seorang yang al-sālik itu tidak boleh sengaja menunjuk-nunjuk atau mencari-cari ta‘bir berbagai-bagai kejadian, mimpi dan perkara-perkara yang dikashafkan ke atasnya. Walaupun ia mengetahui dengan jelas ta‘bir perkara-perkara yang tersebut itu, maka tidaklah boleh ia berpegang teguh terhadapnya. Apabila seorang yang al-sālik itu bertanyakan sesuatu kepada syeikhnya maka hendaklah ia bersabar menanti jawapan daripada syeikhnya itu dengan tidak mendesak agar syeikhnya memberikan jawapan yang segera. Begitu juga jika ada seseorang yang bertanyakan sesuatu kepada syeikhnya itu, maka janganlah sekali-kali al-sālik itu memberikan jawapan soalan orang yang tersebut di hadapan syeikhnya.k) Seorang yang al-sālik tidak boleh menyebar dan menyiarkan rahsia-rahsia syeikhnya, walau dengan apa cara sekalipun.l) Seorang yang al-sālik tidak boleh mengahwini perempuan yang sudah diketahuinya bahawa syeikhnya sendiri ada hati mahu mengahwininya. Seorang yang al-sālik juga tidak boleh mengahwini bekas isteri syeikhnya, sama ada bercerai hidup atau cerai mati. m) Seorang yang al-sālik tidak boleh memberikan nasihat dan tunjuk ajar kepada syeikhnya, sekalipun syeikhnya meminta buah fikirannya dalam sesuatu perkara yang mahu dibuat atau ditinggalkannya. Dalam keadaan itu seorang yang al-sālik hendaklah menyerahkan masalah yang dihadapi itu kepada syeikhnya sahaja dengan penuh keyakinan bahawa syeikhnya itu lebih tahu daripada dirinya dalam masalah tersebut dan syeikhnya itu sebenarnya tidak perlu meminta buah fikirannya. Sebenarnya perbuatan syeikh meminta buah fikiran al-sālik itu hanyalah sebagai satu polisi syeikhnya supaya dapat ia menunjukkan rasa kasih dan sayang terhadap para al-sālikin itu sahaja. Bagaimanapun jika ada tanda-tanda bahawa syeikhnya itu memang benar-benar mahukan buah fikiran al-sālik itu maka bolehlah ia memberikan buah fikirannya kepada syeikhnya dengan penuh kesopanan dan ketertiban.n) Seorang yang al-sālik hendaklah menjaga, mengambil berat terhadap keluarga syeikh sepanjang pemergiannya. Seorang yang al-sālik hendaklah sentiasa berkhidmat dan berbuat baik dengan mengunjungi dan berkhidmat kepada keluarganya. Langkah seorang al-sālik ini merupakan perkara-perkara yang boleh menambahkan lagi kasih sayang syeikh kepada diri al-sālik. Tegasnya dalam hal ini, kedudukan syeikh itu samalah dengan kedudukan para saudara dan kawan atau sahabat. Perlu diingat bahawa seluruh kerja yang dilakukan mesti dengan keikhlasan agar ia akan mendapat limpahan hidayat dan rahmat syeikhnya.o) Seorang yang al-sālik apabila merasakan dirinya ada sifat ‘ujub dan riyā’ maka hendaklah ia segera berjumpa dan memberitahu kepada syeikhnya hal keadaan tersebut. Dengan berbuat demikian seorang syeikh akan dapat menunjukkan bagaimana cara untuk mengubati penyakit tersebut. Jika hal tersebut disembunyikan maka penyakit yang terdapat pada seorang yang al-sālik seperti al-riyā’ dan al-‘ujub itu akan bertambah subur dan sulit untuk dibuang daripada dirinya.p) Sebagai seorang al-sālik, hendaklah menghargai setiap pemberian daripada syeikhnya. Setiap barang yang diberikan oleh syeikh kepada seorang yang al-sālik hendaklah dijaga dengan sebaiknya, bahkan jangan sekali-kali ia menjualkan barang pemberian tersebut kepada orang yang lain. Mungkin ada rahsia di sebalik pemberian tersebut yang berupa manfaat di dunia atau di akhirat di samping dapat menghampirkan dirinya kepada Allah S.W.T. di sebalik pemberian tersebut. q) Seorang al-sālik hendaklah menjaga sifat benar (al-sidq) dalam kesungguhannya mentaati syeikhnya itu. Dalam konteks ini, para mashā’ikh tariqat bersepakat bahawa seorang al-sālik yang benar-benar sempurna ketaatannya kepada syeikh akan mencapai kemanisan ma‘rifatullah dalam dhawqnya, walaupun hanya berada dalam satu majlis sahaja di awal pergaulannya dengan syeikh tersebut.
r) Apabila seorang yang al-sālik menemui dan melihat beberapa kekurangan yang terdapat pada diri syeikh seperti banyak tidur di waktu mendekati subuh atau kurang wara‘nya dan sebagainya lagi maka sesungguhnya terkadang Allah S.W.T. sengaja menjadikan kekurangan tersebut pada diri seorang wali, iaitu ketika seorang wali itu berada dalam keadaan yang ghaflah. Bagaimanapun, selepas itu ia akan ingat dari kelalaiannya dan segera berusaha bersungguh-sungguh untuk mencapai dan mendapatkan apa yang sepatutnya ia capai. Hal ini ada diungkapkan oleh Ibn ‘Atāi’illah al- Iskandari dalam kata-kata hikmahnya yang antara lain menyebutkan:سبحان من ستر سر الخصوصية بظهور وصف البشرية وظهر بعظمة الربوبية في إظهار العبودية . Maksudnya: Maha suci Tuhan yang telah menutup rahsia khususiyyah dengan kelihatan sifat-sifat kemanusiaan. Dan Maha Suci Tuhan yang telah memperlihatkan (kepada hamba-hambaNya) dengan kebesaran ketuhanan dalam memperlihatkan (bekas-bekas) kehambaan manusia. Semua yang berlaku pada diri syeikh itu adalah dari kehendak dan ketentuan daripada Allah S.W.T. yang bertujuan untuk mendidik dan menunjuk ajar di samping mengasuh para al-sālikin. Dengan pengalaman tersebut, para al-sālikin akan dapat melihat dan menyaksikan kekurangan-kekurangan seperti yang berlaku kepada syeikhnya itu. Dengan demikian tentulah mereka akan dapat melepaskan diri dari kekurangan-kekurangan tersebut pada diri mereka. Kadang-kadang Allah S.W.T memberitahu seorang wali itu menerusi kekurangan-kekurangan yang berlaku pada dirinya, disebabkan kuatnya sifat benar (al-sidq) dalam maqām al-ridā terhadap qadā’ dan qadarnya, atau pun disebabkan oleh lemahnya sifat benar (al-sidq) tersebut. Dengan cara tersebut Allah S.W.T akan memberikan kefahaman kepada para waliNya tentang perubahan ahwāl sifat benar mereka atau sifat dusta mereka kepada Allah S.W.T., agar para awliyā’ itu dapat bersyukur kepadaNya ataupun meminta keampunan daripadaNya apabila mereka menyedari kesalahan tersebut. Oleh itu sebagai seorang yang al-sālik wajiblah ke atasnya menjaga kepercayaannya terhadap kewibawaan syeikhnya itu. Oleh sebab itu sering kita dengar dari kalangan ahli-ahli tasawwuf satu ungkapan tentang hal ini dengan kata mereka:زلات المقربين رفعة لمقامتهم واستدلوا على ذلك بالاكل من الشجرة Maksudnya: Kesilapan dan kegelinciran orang-orang ‘ārifin (kerana melakukan sesuatu kesalahan) itu adalah peningkatan maqam mereka. Hal ini disandarkan kepada peristiwa Adam memakan buah khuldi.Pandangan dan pendapat ini disandarkan kepada peristiwa yang berlaku ke atas Nabi Adam a.s. dan isterinya Hawa dengan memakan buah larangan. Namun kesalahan tersebut telah diampunkan oleh Allah S.W.T dan disucikan keduanya dari segala dosa.s) Sebagai seorang yang al-sālik janganlah membanyakkan percakapannya ketika berada di hadapan syeikhnya itu, sekalipun ia dibenarkan berbuat demikian. Sebagai seorang yang al-sālik dia seharusnya mengetahui bilakah waktu yang sesuai untuk dia bercakap-cakap dengan syeikhnya. Oleh itu janganlah ia bercakap dengan syeikhnya kecuali setelah mendapat keizinan daripadanya. Dengan keizinan itupun mestilah dilakukan dengan penuh beradab sopan, khusyuk dan tawādu‘’ tanpa melebih-lebihkan percakapannya tetapi cukup hanya sekadar yang diperlukan sahaja. Jika tidak beradab sopan seperti yang telah dijelaskan di atas, maka seorang yang al-sālik itu diharamkan dari mendapat kurnia dengan terbuka hijāb hatinya. Apabila seorang yang al-sālik itu telah diharamkan dengan yang demikian itu maka ia tidak akan mendapat untuk kali keduanya kecuali hanya segelintir yang memperolehinya.t) Sebagai seorang yang al-sālik, janganlah ia meninggikan suaranya apabila berada di hadapan syeikhnya. Kerana dengan berbuat demikian, menurut anggapan ulama tasawwuf merupakan adab yang buruk. Tentu kita masih ingat satu peringatan daripada Allah S.W.T tentang hal ini seperti firmanNya:وَاقْصِدْ فِي مَشْيِكَ وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَ إِنَّ أَنكَرَ الاَْصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ . Maksudnya:Dan sederhanakanlah langkahmu semasa berjalan, juga rendahkanlah suaramu (semasa berkata-kata), sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keldai.
u) Sebagai seorang yang al-sālik, janganlah duduk dengan cara yang tidak beradab sopan di hadapan syeikhnya dan tidak duduk di atas sajadah yang diduduki oleh syeikhnya itu. Seorang yang al-sālik hendaklah ketika bersama-sama dengan syeikhnya dalam keadaan merendah dan menghinakan dirinya dan sentiasa sibuk untuk berkhidmat dengan syeikhnya itu. Setengah dari kalangan ahli tasawwuf mengatakan berkhidmat dengan syeikh itu sebagai satu amal soleh yang paling afdal. v) Sebagai seorang yang al-sālik hendaklah bersegera melaksanakan segala apa yang diperintahkan oleh syeikh ke atas dirinya. Sesuatu perintah hendaklah dilaksanakan tanpa menunggu atau menangguh-nangguhkan atau mencuaikannya dengan berehat-rehat atau merasa tenteram sebelum menyelesaikan segala perintah dan arahan daripada syeikhnya.w) Sebagai seorang yang al-sālik ia hendaklah berusaha untuk menjauhkan segala perkara yang tidak disukai dan digemari oleh syeikhnya. Seorang al-sālik juga tidak boleh melakukan sesuatu yang merendah dan menjatuhkan akhlaknya yang terpuji.x) Sebagai seorang yang al-sālik, janganlah ia berdamping dengan orang yang tidak disukai oleh syeikhnya di samping mengasihi orang yang dikasihi oleh syeikhnya.y) Sebagai seorang yang al-sālik hendak sentiasa bersabar apabila tidak dihiraukan oleh syeikhnya. Perlu diingat seorang al-sālik tidak boleh berkata seumpama: Mengapakah syeikh melayan si polan itu begini, sedangkan aku tidak dilayan dengan sedemikian itu?z) Seorang yang al-sālik tidak boleh menyebarkan kata-kata syeikhnya kecuali setakat yang boleh difahami oleh orang ramai.
3.6.2.2 Adab-adab al-sālik ke atas dirinya.
Adab-adab al-sālik ke atas dirinya. Dari kedudukan seorang yang sālik di hadapan syeikhnya yang dilihat dari sudut adab-adab, jelas kepada kita bahawa seorang yang sālik itu sebenarnya memerlukan banyak perkara yang berkait rapat dengan bimbingan dan asuhan daripada seorang yang bergelar syeikh dalam disiplin ilmu dan amalan tasawwuf. Kita juga dapat melihat bagaimana seorang al-sālik itu sebenarnya mempunyai banyak kekurangan dan kelemahan yang menyulitkan untuk dia sampai kepada Allah S.W.T dalam erti kata wusul ilā Allah S.W.T. Dengan membincangkan kedudukan seorang yang sālik dalam hal ini akan dapat memperjelaskan kepada kita tentang peranan yang perlu dimainkan oleh kedua-dua pihak (syeikh dan al-sālik) yang terlibat dalam perjalanan ini (al-sā’ir ilā Allah S.W.T.). Daripada huraian di atas, kita juga diperlihatkan bagaimana konsep al-rābitah itu muncul dalam beberapa situasi ketika seorang al-sālik melaksanakan adab-adab yang telah ditentukan ke atas dirinya terhadap syeikh. Untuk menjelaskan lagi kedudukan dan peranan al-rābitah dalam ilmu dan amalan tasawwuf kita tinjau pula adab-adab seorang yang sālik terhadap dirinya ketika menjalani al-suluk ini.a) Sebagai seorang yang al-sālik hendaklah sentiasa merasakan bahawa seluruh ingatan dan hatinya meyakini bahawa Allah S.W.T sentiasa melihat dan mengetahui semua keadaannya. Oleh itu, seorang yang al-sālik hendaklah sentiasa menumpukan usaha untuk zikrullah di dalam hati, baik semasa berjalan, duduk dan berbaring. Atau dalam ertikata yang lain, dalam seluruh kegiatan hidup kita hendaklah tertumpu kepada Allah S.W.T. Sebagai ikutan Nabi Muhammad s.a.w berzikir ketika Baginda s.a.w sedang tidur. Oleh itu tidak ada sesuatu keadaan pun yang boleh menghalang seorang yang al-sālik itu untuk berzikrullah. Dengan demikian, hati seorang yang al-sālik itu hanya dipenuhi dengan lafaz “Allah” yang dengannya mengatur segala gerak dan diam seorang yang al-sālik.b) Seorang yang al-sālik harus menjauhkan diri dari bersahabat dengan orang-orang yang jahat, sebaliknya hendaklah mencari teman dan rakan di kalangan orang-orang yang baik dan soleh. Dengan bersama-sama orang yang soleh itu akan membantu melembutkan hati seorang yang al-sālik. Kenyataan ini berdasarkan kepada sabda Rasulullah s.a.w:Kawan yang soleh itu seperti seorang yang mempunyai kasturi, boleh jadi ia akan memberikan kasturi itu kepada engkau,atau engkau membelinya daripadanya atau engkau mendapatkan bau wanginya. Hadis di atas membawa maksud adanya kesan yang bersifat rohaniah kepada seseorang yang menjadikan orang yang soleh sebagai sahabat, pembimbing dan pengasuh dalam kehidupan hariannya.
c) Sebagai seorang yang al-sālik apabila mahu melakukan zikir hendaklah ia menutup pintu agar tidak dapat dilihat oleh anak dan isterinya. Apabila tempat berzikir itu sempit dan gelap, maka akan lebih memudahkan hatinya merasakan hudur dan menjauhkan dari lintasan-lintasan yang jahat, jika dibandingkan dengan tempat yang luas dan terang. Orang-orang lain selain daripada isteri dan anak-anak yang menentang ilmu dan amalan tasawwuf juga hendaklah dihalang dari melihat seorang yang al-sālik itu melakukan zikir. Larangan ini adalah disebabkan mungkin mereka yang menentang itu akan mengejek dan memperolok-olok seorang yang al-sālik menutup kepala ketika mereka berzikir. Mungkin juga dengan sebab diejek dan dipermainkan menyebabkan seorang yang al-sālik akan lemah semangat dan terus meninggalkan amalan ilmu tasawwuf ini. d) Sebagai seorang yang al-sālik hendaklah bersederhana dalam kehidupan harian. Memadailah dengan sekadar yang mencukupi untuk dia hidup sahaja. Imam al-Ghazāli berkata:جعل الله فضول المطعم والمشرب فى الدنيا سببا لقسوة القلب وابطأ الجوارح عن الطاعة والصمم عن السماع الموعظة . Maksudnya:Allah telah menjadikan berlebih-lebihan makan dan minum di dunia ini sebagai satu sebab timbulnya keras hati, melambatkan anggota tubuh badan untuk taat, tuli untuk mendengar nasihat-nasihat yang baik. e) Seorang yang al-sālik hendaklah berusaha menghindarkan diri dari sifat cintakan dunia di samping menumpukan perhatiannya kepada kehidupan akhirat. Justeru Allah S.W.T.menjelaskan kepada kita dengan firmanNya:بَلْ تُؤْثِرُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا . وَالاْخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَى . Maksudnya:"Tetapi kebanyakan kamu tidak melakukan yang demikian),bahkan kamu utamakan kehidupan dunia. Padahal kehidupan akhirat lebih baik dan lebih kekal." Perasaan kasih dan cinta kepada Allah S.W.T. dan hari akhirat itu tidak akan masuk ke dalam hati orang yang cinta kepada dunia. Hal ini ada dijelaskan oleh Rasulullah s.a.w seperti yang disabdakan dalam sebuah hadisnya yang diriwayatkan al-Tabrāni dan al-Baihaqi: حسب ابن آدم من الشرإلا من عصمه الله تعالى أن يشار إليه بالاصابع فى دينه أو دنياه . Maksudnya:Seorang itu sudah cukup dikira sebagai jahat bila ia jadi terkenal kerana agamanya atau dunianya kecuali orang yang dipelihara oleh Allah.f) Sebagai seorang al-sālik ia tidak boleh tidur dalam keadaan berhadas dan hendaklah ia suci dari hadas dan najis. g) Sebagai seorang al-sālik jangan sekali-kali mahukan apa yang ada di tangan orang lain. Tidak merasa hairan dengan kedudukan, kemewahan dan kekayaan mereka. Sebaliknya hendaklah menaruh segala keyakinan dan harapan hanya kepada Allah S.W.T. h) Seorang yang al-sālik apabila berhadapan dengan suasana masyarakat yang keras hatinya maka hendaklah ia bersabar dan jangan sekali-kali ia mengeluh. Seorang yang al-sālik yang menjalani kehidupan bertariqat secara umumnya akan mengalami perubahan keadaan kehidupan keduniaannya, sehingga mungkin akan mendorong seorang yang al-sālik supaya meninggalkan tariqatnya. Jika hal ini berlaku bererti ia telah membatalkan perjanjiannya sendiri dan ia tidak akan berjaya buat selama-lamanya. Oleh yang demikian perlu diingatkan kepada setiap al-sālik supaya menyedari bahawa dengan kesukaran dan kesusahan itu adalah sebab di mana Allah S.W.T. memelihara dan membuka mata hatinya (al-basirah).
i) Sebagai seorang yang al-sālik hendaklah berterusan melakukan muhāsabah terhadap diri untuk berjalan terus di jalan Allah S.W.T. Apabila terasa bahawa perjalanannya terhenti maka hendaklah ia membisikkan kepada dirinya dengan berkata: Sabarlah engkau kerana masa berehat-rehat untukmu itu adalah di masa hadapan, kesusahan dan kepenatanmu sekarang ini adalah untuk engkau berihat di akhirat kelak. j) Sebagai seorang yang al-sālik hendaklah mengurangkan tidur, terutamanya apabila di waktu menjelang subuh, kerana waktu itu adalah waktu yang paling mudah permohonan dan doa dimakbulkan oleh Allah S.W.T. k) Dari sudut makan seorang yang al-sālik hendaklah sentiasa memastikan makanan yang dimakannya dari yang halal dan bersumberkan dari sumber yang halal. Dia juga harus berusaha agar mengurangkan makan. Menjamah makanan ketika sedang lapar dan apabila ia makan tidak sampai kenyang seperti yang diberitahu oleh Rasulullah s.a.w kepada kita dengan sabadanya yang bermaksud:Kami satu kaum yang kami tidak akan makan kecuali kami telah lapar dan apabila kami makan,kami akan berhenti sebelum kami kenyang.l) Sebagai seorang yang al-sālik hendaklah menjaga lidahnya dari bercakap dengan perkara-perkara yang sia-sia dan yang melalaikan. Dia juga harus berusaha menjaga hatinya dari segala lintasan-lintasan yang tidak baik. Seorang yang al-sālik yang berjaya menjaga lidah dan hatinya akan mudah baginya terbuka hijab berbagai rahsia yang ghaib. Dalam hal ini Rasulullah s.a.w ada menjelaskan dengan sabdanya:Barang siapa yang beriman dengan Allah dan hari qiamat maka berkatalah dengan perkataan yang baik atau pun dia diam. m) Sebagai seorang yang al-sālik hendaklah sentiasa menjaga pandangan matanya dari perkara-perkara yang diharamkan oleh hukum syarak. Pandangan mata terhadap perkara-perkara yang diharamkan itu adalah umpama racun yang membunuh, terutamanya apabila pandangan itu dengan penuh nafsu syahwat. Justeru seorang yang al-sālik mestilah menjauhkan diri dari sebarang kegiatan yang melibatkan pergaulan yang bebas terutamanya di tempat-tempat yang sunyi. n) Seorang yang al-sālik hendaklah sentisa menjauhkan diri dari perbuatan bergurau senda, kerana perbuatan tersebut boleh mematikan hati dan jiwa yang membawa kepada kegelapan batin seorang yang al-sālik. Hal ini ada dijelaskan oleh Baginda s.a.w dengan sabdanya yang bermaksud:Janganlah anda mengganggu dan janganlah anda bergurau-senda dengan saudara anda.Yang paling utama dalam hal ini, seorang yang al-sālik hendaklah meninggalkan perbuatan bergurau senda, kecuali pada sesetengah waktu yang tertentu seperti ketika berasa sempit dada dan ketika menghadapi sesuatu cubaan daripada Allah S.W.T.o) Seorang yang al-sālik hendaklah berusaha meninggalkan perbuatan berbahas, berdebat, bertikam lidah dan pertengkaran dalam sesuatu usaha untuk mencari ilmu pengetahuan. Dengan berbuat demikian akan mewarisi perbuatan lalai, lupa dan meninggalkan kekotoran dalam hati seorang yang al-sālik. Jika hal ini berlaku ke atas seorang yang al-sālik maka hendaklah segera bertaubat kepada Allah S.W.T. Di samping memohon kemaafan daripada orang yang diajak berdebat itu, jika disedari kebenaran memihak kepada orang itu. p) Seorang yang al-sālik hendak mendampingi sahabat, saudara-mara ketika ia berada dalam keadaan sempit dada atau susah hati. Di samping itu dia hendaklah membincangkan mengenai adab-adab perjalanan kepada Allah S.W.T sehinggalah ia merasa lapang dadanya. q) Seorang yang al-sālik hendaklah menghindarkan diri dari ketawa dengan berdekah-dekah, kerana perbuatan seperti itu mematikan hati. Berdasarkan sejarah Rasulullah s.a.w., Nabi kita tidak pernah ketawa dengan sedemikian rupa kecuali senyuman yang hanya memperlihatkan giginya.
r) Seorang yang al-sālik hendaklah berusaha menghindarkan diri dari sifat cintakan kebesaran dan pangkat kemuliaan. Sifat ini boleh memutuskan perjalanan kepada Allah S.W.T. Dalam hal ini Nabi Muhammad s.a.w ada bersabda:Tidaklah dua ekor serigala yang lapar dan ganas dan kedua-duanya tinggal di dalam kandang seekor kambing itu lebih membahayakannya daripada (bahaya) cinta seseorang itu kepada kemuliaan dan harta lebih dari agamanya. s) Sebagai seorang yang al-sālik hendaklah bersifat dengan sifat yang al-tawādu‘, dikenali juga di kalangan masyarakat kita sebagai merendah diri. Dengan sifat ini seorang yang al-sālik itu boleh mengangkat darjatnya di sisi Allah S.W.T. Ibn ‘Atā’illah tidak ketinggalan menjelaskan hal ini dengan kata-kata hikmahnya:ادفن وجودك في أرض الخمول , فما نبت مما لم يدفن, لا يتم نتاجه .Maksudnya:Tanamkanlah kewujudanmu di dalam bumi yang sunyi sepi,kerana sesuatu yang tumbuh dari benda yang tidak ditanam maka tidak sempurna hasilnya. Sebagai seorang al-sālik yang sedang berjalan menuju Allah S.W.T dengan amal ibadatnya untuk menghampiri Allah S.W.T. dengan ma‘rifah kepadaNya, antara syarat yang perlu ada ialah al-tawādu‘. Iaitu tidak bermaksud apa lagi berusaha untuk masyhur dikenal orang dan disebut orang namanya di mana-mana. Dalam hal ini ia wajib menguburkan dirinya dalam bumi yang sunyi sepi. Maksudnya ialah seorang yang al-sālik itu wajib tidak menonjolkan dirinya untuk tujuan tersebut. Ditahannya diri dari mencapai pangkat dan kedudukan, kerusi dan jabatan dan lain-lain sebagainya yang boleh membawa tersiar namanya di mana-mana.t) Seorang al-sālik mestilah memiliki sifat al-taqwā dan sentiasa mengharapkan keampunan daripada Alah S.W.T. Dia mestilah merasakan bahawa segala ibadatnya itu tidak mempunyai sebarang makna di hadapan Allah S.W.T., malahan Allah S.W.T. boleh memasukkannya ke dalam neraka dengan amal ibadatnya itu, jika sekiranya ia tidak mendapat rahmat dan kemurahan daripadaNya. u) Seorang yang al-sālik hendaklah sentiasa berkeyakinan bahawa segala gerak-geri, perbuatan dan perkataannya adalah menurut kehendak dan kekuasaan Allah S.W.T. Apabila dia hendak melakukan sesuatu perbuatan atau tidak melakukannya maka hendaklah mengatakan dengan ucapan in shā’ Allah. v) Sebagai seorang yang al-sālik pada umumnya akan didatangi dengan berbagai-bagai rahsia baik semasa ia jaga atau semasa ia tidur. Oleh itu dia hendaklah merahsiakan hal tersebut daripada sesiapa juapun kecuali kepada syeikhnya sahaja. Perbuatan suka menceritakan rahsia ghaib yang telah dilihat seperti itu adalah menyebabkan kebencian daripada Allah S.W.T dan menutup perjalanan seorang yang al-sālik itu sendiri. Hal ini ada disebutkan oleh Ibn ‘Atā’illah al-Iskandari dalam kata-kata hikmahnya yang antara lain menyatakan:من رأيته مجيبا عن كل ما يسئل ومعبرا عن كل ما شهد وذاكرا لكل ما علم فاستدل بذلك على وجود جهله .Maksudnya:Barangsiapa yang anda lihat dia itu menjawab setiap pertanyaan dan menerangkan setiap penglihatan (perasaannya) dan menyebut setiap yang ia ketahui. Maka membuktikan seseorang itu dengan demikian atas ada kebodohannya (kejahilannya). Apabila seseorang telah dinaikkan darjat oleh Allah S.W.T ke tingkat al-sālikun iaitu satu tingkatan di mana seorang hamba Allah S.W.T. itu telah dinaikkan darjat ilmu dan amalannya pada mengharap supaya Allah S.W.T. membukakan pintu hatinya agar dapat mengenal Allah S.W.T, atau jika seseorang hamba Allah S.W.T. itu telah dinaikkan martabatnya dengan sedemikian rupa, adalah merupakan tingkatan yang tinggi dalam disiplin ilmu dan amalan tasawwuf. Maka orang-orang yang telah sampai ke taraf karam dalam lautan al-ridā dan qadar ilāhiy itu sehingga hati dan seluruh lahiriyyah dan batiniyyahnya telah tertuju kepada Allah S.W.T. Justeru hamba-hamba Allah S.W.T. yang sedemikian bererti mereka telah mendapat limpahan kurnia berupa ilmu ma‘rifat daripada Allah S.W.T. Ilmu-ilmu yang mereka perolehi itu seperti hati mereka dibukakan oleh Allah S.W.T. bahkan mereka melihat dan merasakan pemberian Allah S.W.T. tersebut. Seorang al-sālik yang menerima kurnia daripada Allah S.W.T. tersebut akan terjadilah salah satu dari perkara ini:i- Membawa kepada kebaikan kerana mereka tidak menceritakan kepada orang lain kecuali syeikhnya.ii- Membawa kepada keburukan dan kerendahan disebabkan kerana mereka itu dayus atau mempermudahkan sesuatu yang telah dikurniakan oleh Allah S.W.T. kepadanya. Mereka ini juga tergolong di kalangan orang-orang yang tidak memegang amanah Allah S.W.T ke atas dirinya.Samalah juga kedudukannya seperti orang yang mengaku dan mendakwa sampai ke satu maqām tertentu, sedangkan ia masih belum sampai lagi ke maqām tersebut seperti yang didakwanya. Sebagai balasan mereka tidak akan sampai ke maqām yang mereka dakwa telah sampai kepadanya. Sekiranya ia terpaksa menceritakan hal tersebut atas kepentingan ilmu maka hendaklah ia mengaitkan cerita tersebut atau pengalaman itu dengan seorang alim yang lain sekira-kira orang yang mendengar tidak mengetahui bahawa pengalaman atau cerita tersebut adalah berkaitan dengan diri al-sālik itu. Dalam kata-kata hikmahnya yang lain, Ibn‘Atā`illah ada menyatakan:لا ينبغى للسالك أن يعبر عن وارداته فإن ذلك مما يقلل عملها في قلبه ويمنعه وجود الصدق فيها مع ربه . Maksudnya: Tidaklah wajar bagi seorang yang al-sālik bahawa ia mengungkapkan pemberian Allah terhadapnya, kerana yang demikian itu betul-betul mendatangkan nilai yang sedikit pada amalnya dalam hatinya (sendiri) dan mencegahnya pada wujud kebenaran beserta Tuhannya. w) Sebagai seorang al-sālik dia hendaklah menetapkan satu waktu yang tertentu untuk melakukan zikir seperti yang telah diajarkan oleh syeikhnya tanpa mengurang atau melebihkan amalan tersebut. x) Seorang yang al-sālik janganlah ia melambat-lambatkan beribadat kerana menanti-nantikan kurnia terbukanya hijāb daripada Allah S.W.T terlebih dahulu, sebaliknya ia hendaklah terus dan segera beribadat untuk mendapatkan keredaanNya sama ada telah terbuka hijābnya atupun tidak. Ibn ‘Atā`illah ada menyatakan dengan kata-kata hikmahnya yang antara lain menyebutkan: لا تستبطىء النوال ولكن استبطىء من نفسك وجود الاستقبال .Maksudnya:Janganlah anda anggap lambat kurnia Allah S.W.T., tetapi hendaklah anda anggap pada diri anda adanya kelambatan menghadap kepadaNya. Demikianlah perbincangan kita tentang kedudukan seorang al-sālik dengan seorang yang bergelar syeikh dalam disiplin ilmu dan amalan tasawwuf. Dari perbincangan di atas tadi kita dapati kedudukan seorang yang al-sālik itu nampaknya sangat memerlukan kehadiran seorang syeikh untuk memimpin, mengasuh dan menunjuk ajar di samping keberkatan dan hampirnya seorang syeikh itu dengan Tuhannya akan membolehkan seorang al-sālik itu wusul kepada Allah S.W.T dalam perjalanannya itu. Dalam perjalanan ini, seorang yang al-sālik sebenarnya sangat-sangat memerlukan kehadiran seorang syeikh sama ada secara zahir ataupun secara ma‘nawi. Dari sini muncullah istilah al-rābitah dalam kehidupan seorang al-sālik yang sedang menjalani suluknya itu .
4.KEDUDUKAN, PERANAN DAN KEPENTINGAN AL-RĀBITAH DALAM DISIPLIN ILMU DAN AMALAN TASAWWUF
4.1 PENGENALANDalam bab keempat, perbincangan akan menjurus kepada beberapa aspek yang berkaitan dengan al-rābitah. Antaranya kita cuba melihat kedudukan al-rābitah dari sudut ilmu dan amalan tasawwuf khasnya dan dalam Islam umumnya. Begitu juga akan dihuraikan beberapa dalil yang berkaitan dengan keharusan amalan al-rābitah dalam Islam di samping akan membicarakan juga beberapa bentuk dan bahagian al-rābitah. Tidak ketinggalan juga perbincangan akan menyentuh aspek kepentingan al-rābitah dalam ilmu dan amalan tasawwuf. Di samping itu terdapat beberapa perkara lain yang berkaitan juga akan cuba diketengahkan dalam perbahasan ini agar dapat membantu dan memperjelaskan lagi fakta-fakta yang cuba dihuraikan kelak. Dengan wujudnya beberapa fakta dan huraiannya tentang kedudukan al-rābitah, dalil-dalil yang melibatkan pro dan kontra terhadap al-rābitah, bentuk-bentuk al-rābitah dan kepentingannya dalam disiplin ilmu tasawwuf yang akan dipersembahkan nanti diharap dapat membantu dan memperjelaskan lagi terhadap bentuk, corak, warna serta gambaran yang jelas dan sebenar yang telahpun disentuh dalam bab ketiga yang lalu.
4.2 KEDUDUKAN AL-RĀBITAH
4.2 KEDUDUKAN AL-RĀBITAHUntuk melihat dengan lebih jelas kedudukan al-rābitah menurut perspektif Islam dan disiplin ilmu tasawwuf yang sebenar, kita hendaklah memberikan tumpuan dan penelitian yang serius lagi mendalam terhadap berbagai definisi al-rābitah, sama ada dilihat dari sudut bahasa mahupun dari sudut istilah. Seperti yang telah dihuraikan dalam bab yang ketiga dahulu. Demikian juga dengan fakta-fakta serta huraiannya yang berhubung dengan kedudukan seorang syeikh dan kedudukan seorang yang al-sālik, serba sedikit akan membantu memperjelaskan lagi makna dan kedudukan al-rābitah yang diamalkan di dalam disiplin ilmu dan amalan tasawwuf. Di samping itu kita juga telah melihat kalimah al-rābitah itu melalui penjelasan dari al-Qur’an dan al-Sunnah, sejarah kehidupan manusia dan agama, di samping pandangan ulamak tasawwuf dan sebagainya lagi. Berdasarkan kepada sumber maklumat tersebut, maka dapatlah kita katakan bahawa kedudukan al-rābitah dalam Islam dan disiplin ilmu dan amalan tasawwuf itu adalah seperti berikut:
4.2.1 Al-Rābitah sebagai sumber pendidikan.
4.2.1 Al-Rābitah sebagai sumber pendidikan.Seperti yang kita sedia maklum bahawa manusia itu dijadikan oleh Allah S.W.T. daripada dua unsur, iaitu unsur jasmani dan unsur rohani. Kedua-dua unsur ini akan mengalami perubahan ke arah yang lebih baik atau sebaliknya. Hal ini bergantung kepada sejauhmana manusia itu berusaha untuk memperbaiki dirinya seperti yang telah digambarkan oleh Allah S.W.T. dalam firmanNya:وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا . فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا . قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا . وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا . Maksudnya:"Demi diri manusia dan yang menyempurnakan kejadiannya (dengan kelengkapan yang sesuai dengannya), serta mengilhamkan (untuk mengamal) jalan yang membawanya kepada kejahatan dan yang membawanya kepada taqwa. Sesungguhnya berjayalah orang yang menjadikan dirinya yang sedia bersih - bertambah-tambah bersih (dengan iman dan amal kebajikan). Dan sesungguhnya hampalah orang yang menjadikan dirinya yang sedia bersih - itu susut dan terbenam kebersihannya (dengan sebab kekotoran maksiat)." Ayat di atas memberikan gambaran bahawa manusia itu sebenarnya diperintahkan oleh Allah S.W.T. supaya berusaha dengan bersungguh-sungguh untuk mencapai kesempurnaan di sisi Tuhannya dengan membersihkan jiwa rohaninya. Dengan kesempurnaan itu nanti akan membawa manusia ke arah kejayaan seperti yang tersebut dalam ayat di atas. Dari kenyataan ayat di atas juga dapat kita memahami bahawa terdapat unsur-unsur pendidikan terhadap rohani manusia bagi mencapai tahap bersih. Dalam konteks ini, bagaimana boleh kita kaitkan aspek pendidikan tersebut dengan apa yang cuba ditonjolkan dalam ayat di atas tadi dengan al-rābitah? Dalam dunia pendidikan dan pengajaran, seorang murid (yang dalam istilah tasawwuf dikenali sebagai al-sālik) semestinya berusaha mewujudkan hubungan yang baik dengan seorang guru (dalam istilah tasawwuf ia disebut sebagai syeikh), di samping murid itu harus tunduk dan patuh terhadap semua peraturan yang dibuat oleh gurunya di sekolah. Sedangkan peraturan yang dibuat oleh guru itu sendiri harus sesuai dengan norma-norma pendidikan sehingga dengan demikian apa yang menjadi tujuan dan matlamat pendidikan dan pengajaran akan tercapai seperti yang telah dirancangkan. Iaitu berjaya dalam membentuk manusia yang cekap dan berbudi luhur sesuai dengan kehendak daripada Allah S.W.T. dan RasulNya. Seandainya hubungan yang tidak harmoni terjadi antara seorang murid dengan gurunya, maka keberkatan ilmu daripada seorang guru dalam usaha mendidik dan membimbing perjalanan rohani akan gagal sampai kepada si murid. Hasilnya seorang murid akan selalu bersikap dan bertindak melawan semua peraturan guru, sama ada di waktu pembelajaran ataupun di luar waktu pembelajaran. Oleh sebab itu situasi yang dapat menciptakan hubungan antara murid dengan gurunya mempunyai peranan yang sangat penting. Sudah barang tentu hal seumpama ini harus didokong oleh beberapa faktor pendidikan yang diperlukan. Hubungan inilah yang dikenali dalam disiplin ilmu dan amalan tasawwuf sebagai al-rābitah. Apabila ditinjau tentang fungsi dan peranan seorang guru dalam dunia pendidikan, dia berada pada posisi orang tua kepada seorang murid di saat-saat seorang murid berada dalam asuhan dan bimbingan guru tersebut. Sedangkan peranan seorang guru itu pula sebagai orang yang bertanggungjawab terhadap pendidikan si murid seperti yang diberikan oleh kedua orang tuanya dalam lingkungan keluarganya sendiri. Oleh itu tidak ada bezanya antara seorang bapa dengan seorang guru dalam konteks pendidikan. Guru pada hakikatnya adalah termasuk dalam pengertian orang tua yang setaraf dengan bapa jika dilihat hubungannya dengan dunia pendidikan, khususnya dalam pendidikan Islam. Untuk itu sewajarnya seorang guru mendapat tempat dan penghormatan daripada seorang murid dengan bergaul mesra dan menghormatinya, sedang menghormati dan menyayangi seorang guru dari sudut yang batin, ialah dengan melakukan amalan al-rābitah. Hal ini sewajarnya dilakukan oleh si murid bagi menjamin tercapainya tujuan serta maksud pendidikan dan pengajaran yang bersifat zahir dan batin.
Namun suatu yang agak malang dalam dunia pendidikan hari ini hubungan yang sewajarnya wujud dan menjadi syarat untuk mencapai kejayaan dan kebahagiaan itu tercemar dengan sebab keingkaran dan kedurjanaan yang dilakukan oleh pihak murid atau mereka yang ada kaitan dengannya.[/color] Seperti yang kita telah jelaskan di atas tadi bahawa manusia itu terjadi dari dua unsur terpenting, iaitu unsur jasmani dan unsur rohani, oleh itu pendidikan juga haruslah merangkumi kedua-dua aspek tersebut, pendidikan yang bersifat jasmani dan pendidikan yang bersifat rohani. Mungkin sebahagian orang menganggap pengajaran dan pembelajaran itu hanya berkait dengan soal-soal penyampaian ilmu pengetahuan semata-mata dan tidak lebih dari itu. Jika demikianlah tanggapan masyarakat umum terhadap dunia pendidikan, maka itu merupakan satu kesilapan yang amat besar dan tidak hairanlah kalau selama ini kita telah melahirkan ramai cendekiawan terpelajar dan mempunyai kedudukan yang tinggi dalam masyarakat tetapi mereka terlibat dengan berbagai skandal, rasuah, pecah amanah dan sebagainya. Perlakuan mereka jelas bertentangan dengan hukum syarak. Mungkin kita boleh bertanya: Apakah mereka itu tidak berilmu dan tidak mempunyai pendidikan? Jawapannya tentu tidak. Kerana mereka yang terlibat ini bukan di kalangan mereka yang gagal dalam peperiksaan UPSR, PMR atau SRP di peringkat rendah, SPM dan STPM di peringkat menengah, ataupun B.A., M.A. dan Ph.D di peringkat pengajian tinggi. Jawapan yang kita dapati tentu tidak, malahan mereka memiliki semua itu bahkan mereka lebih cemerlang dalam hal ini. Persoalannya kenapa masih terjadi hal yang seumpama itu? Di sinilah titik pemisah yang begitu jelas dan ketara di antara sistem pendidikan sekular yang hanya mementingkan pencapaian akademik semata-mata tanpa melihat kepada aspek-aspek yang bersifat kerohanian dan spritual dengan sistem pendidikan anjuran Rasulullah s.a.w. yang memberikan keseimbangan di antara rohani dan jasmani. Penekanan yang diberikan oleh Baginda s.a.w. ialah pembentukan sistem pendidikan yang seimbang antara keperluan jasmani dan rohani berdasarkan kepada keimanan kepada S.W.T. Dalam hal ini Allah S.W.T berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِي لِلصَّلاَةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنتُمْ تَعْلَمُونَ. فَإِذَا قُضِيَتْ الصَّلاَةُ فَانتَشِرُوا فِي الاَْرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ . Maksudnya:"Wahai orang-orang yang beriman! Apabila diserukan azan untuk mengerjakan sembahyang pada hari jumaat, maka segeralah kamu ke masjid untuk mengingati Allah S.W.T. dengan mengerjakan sembahyang jumaat dan tinggalkanlah berjual beli pada saat itu yang demikian adalah baik bagi kamu, jika kamu mengetahui hakikat yang sebenarnya. Dan apabila telah selesai menunaikan sembahyang, maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah kurnia Allah S.W.T. dan ingatlah akan Allah S.W.T. banyak-banyak supaya kamu berjaya."
Oleh sebab itu kita harus menyingkap semula sejarah awal yang dilakukan oleh Baginda s.a.w. dalam menjalankan usaha mendidik umat manusia ke arah kesempurnaan dan kejayaan dari sudut jasmani dan rohani. Persoalan pertama yang boleh kita kemukakan di sini ialah kesungguhan para sahabat yang dianggap sebagai al-sālik untuk menerima segala tunjuk ajar, asuhan dan bimbingan daripada Rasulullah s.a.w. yang dianggap sebagai murshid dalam dunia pendidikan pada ketika itu. Belum pernah kita temui dalam sejarah tercatat sebarang perselisihan, keingkaran atau lebih jauh dari itu sehingga membawa permusuhan dan persengketaan di kalangan para sahabat dengan Rasulullah s.a.w. ketika mereka diasuh, dibimbing dan diajar oleh Baginda s.a.w. Mereka menerima sepenuhnya ajaran dan asuhan tersebut dengan hati yang penuh keikhlasan walaupun dirasakan bertentangan dengan kehendak diri mereka. Dalam hal ini nampaknya para sahabat lebih mementingkan Allah S.W.T. dan RasulNya lebih dari kepentingan dan kehendak peribadi mereka. Gambaran ini jelas dari firman Allah S.W.T:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلاَ مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمْ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلاَلاً مُبِينًا . Maksudnya:"Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak pula bagi perempuan yang mukminah, apabila Allah S.W.T. dan RasulNya telah menetapkan sesuata ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa menderhakai Allah S.W.T. dan RasulNya maka sesungguhnya ia telah sesat dengan kesesatan yang nyata." Dari keterangan ayat di atas ternyata Allah S.W.T. cuba memberikan satu gambaran tentang bentuk penyerahan secara mutlak seorang yang bergelar al-sālik (para sahabat) kepada syeikh atau guru yang murshid (Rasulullah s.a.w.) bagi memenuhi syarat yang paling utama untuk mencapai kesempurnaan rohani. Dengan berbuat demikian membolehkan seorang yang bergelar al-sālik itu menerima pancaran cahaya iman dan keberkatan daripada orang yang bergelar syeikh itu. Faktor ini adalah antara ciri terpenting yang terdapat dalam sistem pendidikan yang wujud pada ketika itu. Hubungan kasih sayang dan ketergantungan hati terhadap syeikh (Rasulullah s.a.w.) yang begitu kuat sehingga membolehkan para sahabat itu mencapai tahap kesempurnaan yang paling tinggi dari sudut jasmani dan rohaninya. Sehingga ada di kalangan mereka yang sudah diberitakan sebagai penghuni syurga walaupun mereka masih berada di atas muka bumi ini lagi. Di bawah sistem ini juga telah lahirlah beberapa individu yang berjiwa mulia dan bersih hatinya dari sebarang kekotoran. Apa yang ada di dalam jiwa mereka hanyalah Allah S.W.T. dan Rasul sehingga diriwayatkan bahawa Abu Bakr al-Siddiq tidak dapat melupakan Rasulullah s.a.w. walaupun ketika beliau berada di dalam bilik air. Dari keterangan dan fakta yang telah dikemukakan di atas tadi jelas kepada kita bahawa pengaruh seorang syeikh terhadap sālik itu sangat besar. Manakala hubungan di antara kedua-duanya mestilah sentiasa terjalin. Kegagalan untuk berbuat demikian bererti telah menutup sebahagian daripada pintu keberkatan. Justeru dalam disiplin ilmu tasawwuf hal tersebut terpelihara melalui kaedah dan konsep al-rābitah. Dengan menggunakan kaedah dan amalan al-rābitah ini akan membolehkan seorang yang sālik itu menerima pendidikan daripada seorang syeikh. Walaupun seorang sālik tidak berada di hadapan syeikh pada ketika itu, namun proses pendidikan dan pembelajaran itu tetap berlaku dan berjalan seperti yang berlaku ke atas Saidina Abu Bakr al-Siddiq di atas tadi. Oleh itu dapat dikatakan di sini bahawa al-rābitah menurut disiplin ilmu dan amalan tasawwuf merupakan salah satu sumber pendidikan yang sangat penting terhadap rohaniah seorang yang al-sālik. Kerana dengan al-rābitah, rohaniah seorang yang sālik akan berupaya mencapai keredaan Allah S.W.T. dengan melalui ketinggian dan keberkatan daripada syeikhnya.
Al-Qur’an tidak ketinggalan memberikan penjelasan terhadap ketinggian dan kebersihan jiwa mereka yang telah dididik dengan sistem Baginda Rasulullah s.a.w., sehingga Allah S.W.T. menurunkan satu ayat memperihalkan tentang keadaan tersebut dengan firmanNya: إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آياتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًَا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ . Maksudnya:"Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut Allah S.W.T. gementar hati mereka dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayatNya, bertambahlah iman mereka (kerananya) dan kepada Tuhanlah mereka bertawakkal." Seperti yang banyak kita temui dalam catatan sejarah, bahawa para sahabat r.a. itu sering meniru dan membayangkan rupa dan keadaan Rasulullah s.a.w. Keadaan ini mereka lakukan bagi memudahkan mereka mencontohi segala yang berlaku ke atas diri Rasulullah s.a.w. Disebabkan pentingnya menjaga dan mengingati seluruh keadaan yang terdapat pada diri Rasul s.a.w. itu, maka Imam al-Tirmidhi telah berusaha mengumpulkan seberapa banyak maklumat yang terdapat pada diri peribadi Baginda s.a.w. lalu beliau muatkan dalam sebuah kitabnya yang berjudul al-Shamā`il al-Muhammadiyyah. Apa yang dimuatkan oleh Imam al-Tirmidhi dalam kitabnya yang tersebut itu jelas mengandungi berbagai gambaran dan keadaan sifat serta bentuk fizikal yang terdapat pada diri Rasulullah s.a.w. Semua gambaran tersebut sebenarnya adalah untuk dijadikan ikutan serta panduan bagi kita yang telah jauh ditinggalkan oleh Baginda s.a.w. Dengan peninggalan tersebut boleh kita jadikan sebagai sumber pendidikan bagi membentuk, mendidik dan mengasuh rohaniah manusia bagi mencapai kesempurnaan dan kejayaan di sisi Allah S.W.T. Dengan sifat dan keadaan yang tersebut itu menyebabkan Baginda s.a.w. mencapai tahap kesempurnaan dan makhluk yang paling sempurna di sisi Tuhannya.Persoalannya di sini ialah bagaimana hal keadaan tersebut boleh dijadikan sebagai ikutan dan sumber pendidikan seperti yang telah dijelaskan oleh Allah S.W.T di dalam firmanNya:لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيهِمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُوا اللَّهَ وَالْيَوْمَ الاْخِرَ وَمَن يَتَوَلَّ فَإِنَّ اللَّهَ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ . Maksudnya:"Sesungguhnya ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (iaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah S.W.T. dan (kedatangan) hari kiamat dan banyak menyebut Allah S.W.T."Bagaimana boleh kita mencapai maksud uswah daripada diri Rasulullah s.a.w. seperti yang dituntut oleh ayat di atas? Sedangkan Nabi Muhammad s.a.w. telah jauh meninggalkan kita ke belakang, sudah hampir melangkah kelima belas abad yang lalu. Di sinilah kedudukan al-rābitah yang berperanan untuk mencapai maksud tersebut. Konsep keterikatan, ketergantungan dan hubungan kasih sayang seperti yang terdapat dalam lingkungan makna al-rābitah itu, akan menjadi sumber pendidikan yang sangat penting bagi mengikat dan menggantungkan hati seorang yang al-sālik dengan sifat-sifat kesempurnaan yang telah dimiliki oleh Baginda s.a.w. Sedangkan sifat-sifat tersebut hanya diketahui dan diperolehi melalui catatan-catatan mereka yang terdahulu seperti yang termuat dalam al-Shamā`il. Justeru itu, apa yang boleh kita lakukan dalam konteks merealisasikan seluruh isi kandungan aI-Shamā`il dan yang lainnya dalam diri dan jiwa kita? Dengan melalui amalan al-rābitah itu kita akan dapat merasa-rasakan dan membayang-bayangkan keadaan diri dan sifat peribadi Rasulullah s.a.w. itu benar-benar berada pada diri kita. Dengan melalui kaedah al-rābitah ini juga dapat dilihat dengan jelas mengandungi unsur-unsur pendidikan yang dapat diterapkan ke dalam jiwa seorang yang al-sālik bagi mencapai maksud wusul ilā Allah S.W.T.AI-Rābitah juga dapat dilihat dalam bentuk al-qudwah. Dengan qudwah ini, proses pendidikan boleh berlaku di antara seorang al-sālik dengan syeikhnya. Kita merujuk kepada firman Allah S.W.T.قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمْ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ . Maksudnya:"Katakanlah (wahai Muhammad): Jika benar kamu mengasihi Allah S.W.T. maka ikutilah daku nescaya Allah S.W.T. mengasihi kamu serta mengampunkan dosa-dosa kamu. Dan (ingatlah), Allah S.W.T. Maha Pengampun, lagi Maha Mengasihani. "Muhammad ibn ‘Abdillah al-Khāni memberikan ulasan yang menarik terhadap ayat al-Qur’an di atas dengan katanya:ففيه اشار الى الرابطة لان الاتباع يقتضى رؤية المتبوع حسا أو تخيله . معنى وهو غرضنا من الرابطة .والا فلا يعد اتباعا. Maksudnya:"Dalam ayat di atas mengisyaratkan kepada makna al-rābitah, kerana istilah al-ittibā‘ (mengikut) di dalam ayat tersebut merujuk kepada makna ru’yat al-matbu‘ (melihat kepada yang diikut), samada dengan cara yang dapat dirasa atau dengan cara mengkhayalkannya, itulah yang kami maksudkan dengan istilah al-rābitah. Kalau tidak demikian maka ia tidak dikira sebagai ittibā‘. "
4.2.2 AI-Rābitah sebagai sumber pengawasan diri.
AI-Rābitah sebagai sumber pengawasan diri.Untuk menjelaskan kedudukan al-rābitah dalam konteks di atas, ada baiknya jika kita merujuk kepada firman Allah S.W.T. yang ada kaitannya dengan perbincangan ini. Allah S.W.T. menjelaskan dengan firman Nya: يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ . Maksudnya:"Wahai orang-orang yang beriman! Bertaqwalah kamu kepada Allah S.W.T. dan carilah wasilah (jalan yang boleh menyampaikannya) dan berjuanglah pada jalan Allah S.W.T. (untuk menegakkan Islam) supaya kamu beroleh kejayaan." Ayat di atas mengandungi tiga arahan dan perintah daripada Allah S.W.T. kepada seluruh umat Islam, antaranya:1- Arahan supaya bertaqwa kepada Allah S.W.T.Dari sudut istilah syarak, al-taqwā membawa pengertian:حفظ النفس عما يشينها ويعرضها للملام أو العذاب . Maksudnya:Memelihara jiwa dari sesuatu yang boleh membawa keaiban yang menyebabkan penderitaan dan balasan. Menurut keterangan daripada al-Sharbasi antara cara untuk mencapai ke maqām al-taqwā itu ialah:وذلك بترك أسباب السخط والعقوبة , وفعل الفرائض المنجية المؤدية إلى النعيم والثواب, وانما يكمل ذلك ويتم بترك بعض المباحات . Maksudnya:Untuk mencapai ke maqām tersebut ialah dengan cara meninggalkan segala punca yang menyebabkan kemurkaan dan pembalasan, di samping melaksanakan segala kewajipan yang akan membawa kepada kejayaan, kenikmatan dan pahala. Untuk lebih sempurna lagi ketakwaannya ialah dengan cara meninggalkan sesuatu yang diharuskan. Untuk memperjelaskan lagi konsep untuk meninggalkan sesuatu yang diharuskan oleh hukum syarak sehingga boleh mempertingkatkan lagi kedudukan al-taqwā, maka kita lihat sebuah hadis Rasulullah s.a.w. yang berkaitan dengan perbincangan ini. Daripada Abi ‘Abdillah al-Nu‘mān ibn Bashir r.a. telah berkata: Aku telah mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda:الحلال بين والحرام بين وبينهما أمور متشابهات لا يعلمهن كثير من الناس , فمن التقى الشبهات فقد استبراء لدينه وعرضه ومن واقع الشبهات وقع فى الحرام , كالراعى يرعى حول الحمى يوشك أن يقع فيه , ألا وإن لكل ملك حمى , ألا وإن حمى الله محارمه , ألا وإن في الجسد مضغة إذا صلحت صلح الجسد كله , واذا فسدت فسد الجسد كله , ألا وهى القلب .Maksudnya:Sesunggahnya sesuatu yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas dan di antara keduanya ada perkara yang samar-samar yang kebanyakan manusia tidak mengetahuinya. Maka barangsiapa yang menjaga dirinya dari barang-barang (perkara) yang samar itu maka ia telah membersihkan agama dan kehormatannya, dan barang siapa yang jatuh dalam melakukan perkara yang samar-samar itu, maka ia telah jatuh dalam perkara yang haram seperti pengembala di sekeliling tanah larangan (halaman orang), lambat-laun ia akan masuk ke dalamnya. Ingatlah bahawa setiap raja ada larangannya. Ingatlah bahawa larangan Allah S.W.T. adalah apa-apa yang diharamkannya. Ingatlah bahawa di dalam jasad itu ada sekerat daging, jika ia baik, baik jasad seluruhnya, dan jika ia rosak, rosaklah jasad seluruhnya. Ingatlah, daging itu adalah hati. Dari keterangan hadis di atas, menunjukkan kepada kita bahawa kesempurnaan al-taqwā itu ialah yang terkandung dalam makna kalimat ittaqi al-shubuhāt yang membawa maksud menjaga, memelihara, dan mengawasi dari segala sesuatu yang bercirikan shubhāt, walaupun pada dasarnya shubhāt itu masih tergolong dalam kategori yang mubāhāt. Kerana kemungkinan untuk terjerumus ke lembah yang diharamkan oleh Allah S.W.T. dengan melalui shubhāt itu adalah besar. Dari sini dapat kita membuat kesimpulan bahawa makna yang terkandung dalam kalimah al-taqwā itu membawa kepada tiga makna iaitu:a) Membawa makna aI-quwwah.laitu kekuatan yang bersifat benda (māddi) dan yang bersifat ma‘nawiyyah. Ini dapat kita lihat dari firman Allah S.W.T.يَايَحْيَى خُذْ الْكِتَابَ بِقُوَّةٍ وَآتَيْنَاهُ الْحُكْمَ صَبِيًّا . Maksudnya: Wahai Yahya, terimalah kitab itu (serta amalkan) dengan bersungguh-sungguh! Dan Kami berikan kepadanya hikmat kebijaksanaan semasa ia masih kanak-kanak. b) Membawa makna al-wiqāyah. Iaitu pemeliharaan bagi tujuan keamanan dan kesejahteraan. Ini dapat kita lihat dari maksud firman Allah S.W.T:فَمَنَّ اللَّهُ عَلَيْنَا وَوَقَانَا عَذَابَ السَّمُومِ . Maksudnya:Maka Allah S.W.T. mengurniakan kami (rahmat dan tawfiqNya), serta memelihara kami dari azab api neraka. c) Membawa makna al-ittiqā`. Yang membawa maksud al-tabā'ud dan al-ijtināb. Dari keterangan di atas, dapat kita mengambil kesimpulan bahawa kalimah al-taqwā itu membawa kepada pengertian memelihara, menjaga, menjauhkan dan menghindarkan. Keseluruhan makna al-taqwā ini merujuk kepada maksud kesejahteraan dan ketenangan bagi sesiapa yang memilikinya. Di sinilah fokus perbincangan yang cuba kita kaitkan dengan al-rābitah, kerana makna-makna tersebut akan cuba diperjelaskan lagi dengan membincangkan makna al-wasilah dalam ayat yang seterusnya di bawah ini.
AI-Rābitah sebagai sumber pengawasan diri.
2- Arahan supaya mencari wasilahPerintah kedua yang terkandung dalam Surah al-Ma`idah, ayat yang ke 35 di atas adalah arahan supaya mencari jalan wasilah bagi menuju kepada Allah S.W.T. Persepsi ini dilihat dari sudut pengertian ilmu dan amalan tasawwuf dikenali juga dengan istilah al-sā’ir atau al-sālik. Perintah untuk mencari jalan atau wasilah tersebut begitu jelas dalam ayat di atas tadi, persoalannya yang timbul di sini apakah bentuk jalan atau wasilah yang dituntut dalam ayat tersebut? Apakah jalan atau wasilah itu hanya terbatas kepada makna amal-amal soleh sahaja seperti yang telah didakwa! atau ia membawa kepada makna yang lebih luas dari itu. Untuk tujuan ini ada baiknya jika kita bincangkan tentang wasilah dan beberapa perkara yang ada kaitan dengannya.Dalam ayat di atas, perintah untuk mencari jalan atau wasilah itu berbunyi وابتغوا إليه الوسيلة. Jika sekiranya yang dimaksudkan dengan wasilah dalam ayat tersebut hanya terbatas dalam pengertian iman dan amal soleh sahaja, maka apakah perlunya ungkapan وابتغوا إليه الوسيلة Dan carilah jalan atau wasilah untuk menuju kepadaNya. Dalam ayat tersebut, jelas adanya kata kerja amr yang menunjukkan kepada suatu perintah untuk mencari wasilah. Jika sekiranya yang dimaksudkan dengan wasilah dalam ayat tersebut hanya terbatas dengan iman dan amal soleh, rasanya sudah cukup untuk menyatakannya dengan ungkapan yang terkandung dalam kalimat yang pertama يا أيها الذين آمنوا اتقوا الله Wahai orang-orang yang beriman bertaqwalah kamu kepada Allah. Kerana arahan bertakwa dalam ayat di atas sudah merangkumi makna iman dan amal soleh, kerana istilah al-taqwā dalam ayat di atas membawa maksud melakukan segala yang diperintahkan oleh Allah S.W.T.dan menjauhi segala yang dilarang. Jika demikian, tentu sahaja kalimah yang kedua berbunyi وابتغوا إليه الوسيلة itu tidak lagi memberikan apa-apa maksud, kerana apa yang diperintahkan itu sudah terkandung dalam perintah اتقوا الله tersebut. Oleh yang demikian perlu dijelaskan di sini bahawa huruf و yang terdapat pada kalimah وابتغوا itu jelas bukan واو التأكيد (waw penguat) malahan ia adalahواو المغيرة iaitu waw yang menunjukkan kepada perubahan atau penggantian. Perubahan dari satu isu kepada isu yang lain. Hal ini cukup jelas kerana huruf waw di sini terletak di antara dua kata kerja suruh (fi‘1 al-amr)واتقوا الله danوابتغوا . Kedua-dua kata kerja suruh ini membawa makna yang berlainan.Sebahagian berpendapat bahawa kalimah al-wasilah dalam ayat di atas hanya menunjukkan kepada satu jenis wasilah sahaja, pendapat ini berasaskan kepada perkataan wasilah dalam ayat tersebut adalah dalam bentuk mufrad (yang menunjukkan kepada satu jenis). Fahaman seumpama ini jelas keliru dengan kaedah bahasa Arab, walaupun kalimah wasilah dalam ayat di atas tadi jelas menunjukkan kepada makna mufrad, namun apa yang perlu kita perhatikan di sini ialah kedudukan huruf alif dan lam yang mendahului kalimah wasilah tersebut, jelas kedua-dua huruf tersebut (alif dan lam) merupakan lām al-ta'rif. Lām seperti ini akan membawa kepada maksud yang umum dan bukan hanya semata-mata kepada satu bentuk wasilah sahaja. Jika tidak terdapat huruf alif dan lam dalam kata wasilah tersebut, memanglah ia menunjukkan kepada satu jenis, asalkan saja kata tersebut tidak menunjukkan kepada kata jamak. Untuk memperjelaskan lagi kedudukan al-wasilah (samada ia terbatas hanya kepada amal-amal soleh atau lebih luas dari itu), kita kemukakan satu peristiwa sejarah yang berlaku ke atas Nabi Adam a.s. yang telah dirakamkan oleh Allah S.W.T. dalam al-Qur’an dengan firmanNya:فَتَلَقَّى آدَمُ مِنْ رَبِّهِ كَلِمَاتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ . Maksudnya:Kemudian Nabi Adam menerima daripada Tuhannya beberapa kalimat (kata-kata pengakuan taubat yang diamalkannya) lalu Allah S.W.T. menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah S.W.T. Dialah yang Maha Pengampun lagi (Penerima taubat), lagi Maha Mengasihani. Sebabagian daripada mufassir dan muhaddith ketika memberikan keterangan dan tafsiran ke atas kata kalimāt yang terdapat dalam ayat di atas adalah bersandarkan kepada riwayat berikut dengan memerhatikan matannya. Dengan demikian tentu akan lebih memperjelaskan lagi maksud dan tujuan kata kalimāt itu kepada kita. Antara mereka ialah al-Tabrāni dalam al-Mu‘jam al-Saghir, al-Hākim al-Naysaburi dalam al-Mustadrak, Abu Nu‘aym dan al-Bayhaqi pula memuatkannya dalam Dalā`il al-Nubuwwah, ‘Isā ‘Asākir al-Shāmi dalam Tārikh, manakala al-Suyuti dalam al-Durr al-Manthur dan al-Ālusi dalam tafsirnya Ruh al-Ma‘āni dengan sanad daripada Sayyidina ‘Umar ibn al-Khattāb, menukilkan bahawa Nabi Muhammad s. a. w. bersabda yang antara lain:لما أذنب آدم الذى أذنبه, رفع رأسه إلى السمآ فقال : أسالك بحق محمد الا غفرت لى . فأوحى الله إليه: ومن محمد؟ فقال : تبارك اسمك , لما خلقت رفعت رأسى إلى عرشك فإذا فيه مكتوب: لا إله إلا الله ومحمد رسول الله. فقلت: إنه ليس احد أعظم عندك قدرا ممن جعلت اسمه مع اسمك, فأوحى إليه: إنه آخر النبيين من ذريتك, ولو لا هو لما خلقتك Maksudnya:Ketika mana Adam melakukan kesalahan dosa, ia mengadahkan kepalanya ke langit seraya berkata: (Wahai Tuhan), aku memohon kepadamu dengan hak Muhammad agar Engkau mengampuni aku. Lalu Allah S.W.T. mewahyukan kepadanya: Siapakah Muhammad? Adam menjawab: Ketika Engkau menciptakanku, aku mengangkat kepala ke arah ’arasyMu, dan aku melihat, di sana tertulis: Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah S.W.T. dan Muhammad adalah utusan Allah S.W.T. Aku pun berkata pada diriku, bahawa tidak ada seseorang pun yang lebih agung dari orang yang namanya Engkau tuliskan di samping NamaMu. Ketika itu Allah S.W.T. mewahyukan kepadanya: Dialah Nabi yang terakhir dari keturunanmu, dan jika tidak kerana dia nescaya Aku tidak akan menciptakanmu. Dari keterangan hadis di atas jelas menunjukkan kepada kita bahawa wasilah itu sebenarnya membawa kepada pengertian yang lebih luas dan tidak hanya terbatas kepada makna iman dan amal soleh seperti yang telah didakwa di atas tadi. Malahan lebih dari itu, wasilah juga merujuk kepada pengertian zat dan peribadi seperti yang terdapat dalam ayat yang mengandungi kata kalimāt itu tadi. Al-Sāwi tidak ketinggalan memberikan keterangan dalam tafsirnya tentang hal ini dengan katanya: وابتغاء الوسيلة ما يقرب به إليه مطلقا ومن جملة ذلك محبة أنبيأ الله وأوليائه والصدقات وزيارة أحباب الله وكثرة الدعاء وصلة الرحم وكثرة الذكر وغير ذلك .Maksudnya:Mencari wasilah: ialah sesuatu yang boleh mendekatkan dengannya (wasilah) kepadaNya secara mutlak, termasuk dalamnya (wasilah) mengasihi para Nabi Allah, para awliyā`Nya, sedekah, ziarah ke kuburan kekasihnya, memperbanyakkan doa, menghubungkan silaturrahim dan memperbanyakkan zikir kepadanya dan sebagainya lagi.
Dalam konteks yang lain, wasilah juga nampaknya membawa maksud al-rābitah. Kenyataan ini dapat dilihat dengan jelas dari keterangan yang telah diberikan oleh al-Tabātabā’i dalam tafsirnya al-Mizān, beliau menjelaskan bahawa wasilah dalam ayat di atas menunjukkan kepada wasilat al-rābitah. Beliau menerangkan ketika mengulas ayat dalam surah al-Ma’idah ayat 35 dengan katanya:واذ كانت نوعا من التوصل وليس الا توصلا واتصالا معنويا بما يوصل بين العبد وربه ويربط هذا بذاك , ولا رابط يربط العبد بربه الا ذلة العبودية , فالوسلية هي التحقق بحقيقة العبودية وتوجيه وجه المسكنة والفقر إلى جنابه تعالى , فهذه هى الوسيلة الرابطة . Maksudnya:Oleh yang demikian wasilah ialah sebahagian daripada al-tawassul dan tidak dinamakan sebagai tawassul kecuali adanya hubungan yang bersifat ma‘nawiyyah di antara seorang hamba dengan Tuhannya yang mengikat di antara keduanya. Dan tidak ada pengikat yang mengikat di antara seorang hamba dengan Tuhannya kecuali dengan sifat dhillat al-‘ubudiyyah. Oleh itu wasilah ialah untuk merealisasikan hakikat al-'ubudiyyah, al-miskin dan al-faqr di sisi Tuhannya. Semuanya ini ialah wasilat al-rābitah. Antara ayat al-Qur’an yang merujuk kepada maksud wasilah dan mengandungi makna al-rābitah ialah seperti yang terkandung dalam firman Allah S.W.T. yang menceritakan peristiwa Nabi Yusuf dan Zulaykha, Allah S.W.T. berfirman:وَلَقَدْ هَمَّتْ بِهِ وَهَمَّ بِهَا لَوْلاَ أَنْ رَأَى بُرْهَانَ رَبِّهِ كَذَلِكَ لِنَصْرِفَ عَنْهُ السُّوءَ وَالْفَحْشَاءَ إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُخْلَصِينَ . Maksudnya:Dan sebenarnya perempuan itu telah berkeinginan sangat kepadanya, dan Yusuf pula (mungkin timbul) keinginannya kepada perempuan itu kalaulah ia tidak menyedari kenyataan Tuhannya (tentang kejinya perbuatan zina itu). Demikianlah, agar Kami memalingkan daripadanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba Kami yang ikhlas. Ayat di atas membawa pengertian yang mengisyaratkan kepada makna wasilah. Kalimah “Burhāna Rabbihi” sebenarnya mengandungi makna wasilah yang akan membawa seorang ke arah al-taqwā dan terhindar dari perbuatan dosa dan maksiat. Untuk memberikan penjelasan yang lebih sempurna terhadap fakta ini kita kemukakan pandangan daripada mufassirin terhadap kalimah “Burhāna Rabbihi” tersebut. Sebahagian besar daripada mufassirin seperti al-Qurtubi dalam tafsirnya al-Jāmi‘ li Ahkām al-Qur’ān, Ibn Kathir dalam Tafsir Ibn Kathir, al-Zamakhshari dalam al-Kashshāf, al-Fakhr al-Rāzi dalam al-Tafsir al-Kabir dan Sa‘id Hawwā dalam al-Asās fi al-Tafsir, telah meriwayatkan hal tersebut. Di sini kita hanya menukil dari keterangan yang diriwayatkan oleh Ibn Kathir melalui Ibn ‘Abbās dalam tafsirnya Tafsir Ibn Kathir bahawa yang dimaksudkan dengan “Burhāna Rabbihi” itu ialah rupa ayahandanya, Nabi Ya‘qub a.s. atau rupa raja yang menjadi tuan kepada Nabi Yusuf a.s. Tentang hal ini Ibn Kathir menegaskan dalam tafsir beliau dengan katanya:وأما البرهان الذي رأه ففيه أقوال أيضا: عن ابن عباس وسعيد ومجاهد وسعيد بن جبير ومحمد بن سيرين والحسن وقتادة وأبى صالح والضحاك ومحمد بن اسحاق وغيرهم رأى صورة أبيه يعقوب غاضبا على أصبعه بفمه وقيل عنه في رواية فضرب في صدر يوسف وقال العوفى عن ابن عباس رأى خيال الملك يعنى سيده . Maksudnya:Dan adapun maksud Burhāna Rabbihi yang telah dilihat oleh Nabi Yusuf itu terdapat beberapa pendapat di kalangan ahli tafsir. Menurut ‘Abdullah ibn‘Abbās, Sa‘id, Mujāhid, Sa‘id ibn Jubayr, Muhammad ibn Sirin, Hasan, Qatādah, Ibn Salih, al-Dahhāk, Muhammad ibn Ishāq dan lain-lain, yakni Yusuf telah melihat bayangan ayahnya (Ya‘qub), yang seakan-akan marahkan Yusuf dengan menggigit jari-jari tangannya. Menurut sebahagian riwayat ayahnya memukul dada Yusuf. Sedang al-'Awfi pula berpendapat daripada Ibn ‘Abbās, maksud perkataan itu ialah Yusuf teringat kepada bayangan suami Zulaykha iaitu Raja Qitfir yang seolah-olah ada di rumah dan mengetahui apa yang akan diperbuat oleh Yusuf. Demikian juga dengan Muhammad ibn Ishāq yang berpendapat demikian.
Dari keterangan yang telah diberikan oleh Ibn Kathir terhadap ayat 24 dari surah Yusuf ini, mengukuhkan lagi tanggapan bahawa yang dimaksudkan dengan ungkapan Burhāna Rabbihi dalam firman Allah S.W.T. di atas tadi adalah merujuk kepada makna al-rābitah yang berlaku di antara Nabi Yusuf a.s. dengan ayahnya Nabi Ya‘qub a.s. Dalam situasi yang sedemikian Nabi Yusuf terbayang wajah dan seluruh tubuh ayahnya yang seakan-akan marah kepada dirinya ketika hendak menuruti kemahuan nafsu terkutuk Zulaykha itu. Atau dapat juga diertikan, bahawa pada waktu itu Yusuf terbayang suami Zulaykhā yang bernama Qitfir seolah-olah mengetahui apa yang dilakukannya. Akibatnya Nabi Yusuf segera keluar dari biliknya sehingga ia terhindar dari perbuatan yang keji itu.Berdasarkan kepada penjelasan di atas dapat kita mengetahui bahawa apa yang berlaku ke atas Nabi Yusuf membayangkan dan menggambarkan ayahnya atau suami Zulaykha yang sedang marah (menurut disiplin ilmu dan amalan tasawwuf dikenali sebagai al-rābitah) kerana perbuatan tersebut, hanyalah sebagai wasilah untuk memudahkan bagi Yusuf menghindarkan dirinya dan menghilangkan godaan hawa nafsu kesyaitanan yang menguasai dirinya pada ketika itu.Dari peristiwa tersebut juga, jelas kepada kita bahawa ciri-ciri dan sifat peribadi seorang syeikh yang sebenar itu akan memberikan kesan dan pengaruh yang kuat terhadap diri al-sālik sehingga berupaya mentarbiyah rohaniah seorang murid. Keadaan ini boleh terjadi akibat dari pergaulan dan perhubungan yang rapat dan erat di antara seorang yang sālik dengan syeikhnya. Pengaruh dan kesan ini tetap akan berlaku sekalipun kedua-duanya berada berjauhan di antara satu sama lain. Kesan dari perhubungan tersebut tetap akan berlaku apabila seorang yang al-sālik itu mengingat dan mengkhayalkan syeikhnya dalam khayalan serta ingatannya. Apalagi jika khayalan tersebut mencapai ke tahap seolah-olah syeikhnya berada di hadapan murid itu sendiri seperti yang berlaku ke atas diri Nabi Yusuf tersebut. Dari sini dapat kita lihat dengan jelas bahawa al-rābitah itu mempunyai kedudukan sebagai sumber pengawasan diri yang sangat penting untuk menghindarkan diri dari terjerumus ke dalam maksiat yang dilarang oleh Allah S.W.T. Kaedah ini adalah sebahagian daripada jalan untuk mencapai ke maqām al-taqwā seperti yang dituntut oleh ayat dalam surah al-Ma`idah ayat ke 35 tersebut.Seterusnya mari kita perhatikan hubungan yang dapat dikaitkan di antara perintah bertakwa dengan perintah mencari wasilah dalam ayat di atas tadi. Seperti yang telah diterangkan di atas, kalimah al-taqwā itu membawa maksud al-wiqāyah, al-hasanah, al-amn, al-tabā‘ud dan al-ijtināb, oleh itu apa yang cuba kita telitikan di sini ialah kalimah wasilah yang membawa kepada beberapa makna dan maksud itu sebenarnya adalah merupakan salah satu cara untuk mencapai ke maqām al-taqwā. Di sinilah hubungan yang paling ketara antara kalimah al-taqwā dan perintah untuk mencari wasilah itu. Al-Sāwi menegaskan dalam tafsirnya dengan ungkapan berikut: فالتقوى هنا ترك المخالفات وابتغاء الوسيلة فعل المأمورات ويصح أن المراد بالتقوى امتثالا المأمورات الواجبة وترك المنهيات المحرمة وابتغأ الوسيلة ما يقرب به إليه مطلقا. Maksudnya: Takwa di sini membawa maksud meninggalkan sesuatu yang menyalahi perintah Allah S.W.T.,sedang maksud menuntut wasilah pula adalah suatu perbuatan yang dituntut oleh syarak, justeru kerana itu boleh dikatakan yang dimaksudkan dengan takwa di sini ialah menjunjung segala perintah yang diwajibkan dan meninggalkan segala tegahan yang bersifat haram dan mencari wasilah pula ialah sesuatu yang boleh mendekatkan dengannya kepada Allah S.W.T. semata-mata.
Dengan fakta-fakta yang telah dihuraikan di atas tadi dapatlah kita membuat beberapa kesimpulan antaranya:a) Wasilah yang mengandungi makna dan maksud amal soleh itu sebenarnya boleh menghindarkan seseorang dari melakukan keburukan dan maksiat terhadap Allah S.W.T. seterusnya akan mencapai ke maqām al-taqwā.b) Wasilah yang diertikan dengan maksud doa daripada orang yang soleh boleh juga mencapai maksud al-wiqāyah, al-hasanah, al-amn, al- tabā‘ud dan al-ijtināb. Oleh kerana itu Allah S.W.T. menuntut agar mencari wasilah bagi tujuan mencapai maqām al-taqwā tersebut. Dengan keberkatan dan ketinggian martabat para solehin itu menyebabkan mereka dikasihi juga oleh Allah S.W.T.c) Wasilah yang mengandungi makna serta pengertian al-rābitah juga akan mencapai maksud ayat tersebut, hal ini disebabkan al-rābitah merupakan sebaik-baik wasilah, sama ada wasilah dengan Nabi s.a.w., atau orang yang menggantikan tempat baginda sebagai pewarisnya. Kerana Allah S.W.T. memerintahkan kepada kita agar mengikut dan mencontohi baginda Rasulullah s.a.w.seperti yang dijelaskan oleh Allah S.W.T. dalam firmanNya:قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمْ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ . Maksudnya:Katakanlah: (Wahai Muhammad):Jika kamu benar-benar mencintai Allah S.W.T., ikutilah aku, nescaya Allah S.W.T. mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah S.W.T. Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.Ayat di atas tentu sahaja membawa maksud al-rābitah, kerana istilah mengikut (ittibā‘) di sini berkonsepkan kepada ru`yat al-matbu‘ (melihat kepada yang diikut). Justeru kerana itu melihat di sini boleh diertikan kepada melihat yang bersifat hissiyyah atau yang bersifat ma‘nawiyyah. Kerana tidak dianggap sebagai ittibā‘ kalau tidak dengan melihat orang yang diikuti. Sedang melihat secara ma‘nawiyyah itulah yang diertikan sebagai al-rābitah dalam disiplin ilmu dan amalan tasawwuf. Fakta ini tentu lebih jelas dengan keterangan yang diberikan oleh al-Janābidhi dalam tafsirnya Bayān al-Sa‘ādah yang antara lain menyebutkan bahawa untuk merealisasikan persahabatan secara ma‘nawiyyah berserta hakikat mereka yang bersifat malakutiyyah itu hanya dapat diiktibarkan melalui tasawwur al-shaykh (al-rābitah), al-sakinah al-qalbiyyah, al-fikr, al-rahmah dan al-ni‘mah.
4.2.3 AI-Rābitah Sebagai Sumber Perpaduan.
4.2.3 AI-Rābitah Sebagai Sumber Perpaduan.Apabila kita membicarakan soalan perpaduan, apa yang terlintas dalam fikiran kita ialah persoalan; Apakah bentuk perpaduan yang boleh dikaitkan dengan al-rābitah? Untuk menjelaskan persoalan ini kita kemukakan sebahagian daripada ayat al-Qur’an yang mempunyai hubungan rapat dengan perbincangan ini, Allah S.W.T. berfirman:يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اصْبِرُوا وَصَابِرُوا وَرَابِطُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ . Maksudnya:"Wahai orang-orang yang beriman! Bersabarlah kamu (menghadapi segala kesukaran dalam mengerjakan perkara¬-perkara kebajikan) dan kuatkanlah kesabaran kamu (lebih dari kesabaran musuh di medan perjuangan) dan bersedialah (dengan kekuatan pertahanan di daerah-daerah sempadan) serta bertakwalah kamu kepada Allah S.W.T. supaya kamu berjaya mencapai kemenangan."Menurut pandangan beberapa ahli mufassir yang terdapat dalam kitab-kitab tafsir mereka, bahawa perkataan rābitu dalam ayat di atas meliputi kedua-dua aspek al-rābitah; Iaitu rābitah zahir dan rābitah batin. Antara beberapa bentuk al-rābitah zahir yang membawa maksud perpaduan berdasarkan ayat di atas ialah:1. Perpaduan dalam peperangan a) Menurut keterangan daripada al-Tusi dalam tafsirnya al-Tibyān, dinukil daripada al-Hasan, Qatādah, Ibn Jurayj dan al-Dahhāk, maksud dari kalimah rābitu dalam ayat di atas ialah memperkuatkan semangat jihad fi sabilillah. Untuk mencapai semangat jihad fi sabilillah tentulah memerlukan kesabaran dan perpaduan di kalangan pasukan tentera tersebut. Oleh yang demikian dapat kita katakan bahawa perkataan rābitudalam ayat di atas jelas membawa kepada maknanya yang zahir.b) Memperkuat dan memperkemas persediaan ketenteraan untuk menghadapi peperangan. Fakta ini dikutip dari keterangan yang diberikan oleh al-‘Ajili dalam tafsirnya al-Futuhāt al-Ilāhiyyah yang antara lain beliau menjelaskan ketika mentafsirkan perkataan rābitu tersebut dengan katanya:أصل المرابطة أن يربط هؤلأ خيولهم وهؤلأ خيولهم بحيث يكون كل من الخصمين مستعدا لقتال الآخر ثم قيل لكل مقيم ثغر يدفع عمن ورأه مرابط وإن لم يكن له مركوب مربوط. Maksudnya:"Asal perkataan al-murābitah itu ialah bahawa mereka mengikat akan kuda masing-masing, sekira-kira kedua-dua pihak bersedia untuk memerangi antara satu dengan yang lain. Kemudian dikatakan kepada setiap orang mestilah berada dalam kubu masing-masing untuk mempertahankan mereka yang berada di belakang mereka supaya berada dalam keadaan tetap. Sekalipun mereka tidak mempunyai tunggangan untuk mempertahankan."Keterangan ini menunjukkan bahawa perkataan rābitu dalam ayat tersebut juga membawa maksud perpaduan dari sudutnya yang zahir, kerana mustahil satu ketumbukan ketenteraan yang kuat dapat diwujudkan jika faktor perpaduan diabaikan. Dalam ayat yang lain Allah S.W.T. menjelaskan kedudukan ini dengan firmanNya: إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِهِ صَفًّا كَأَنَّهُمْ بُنيَانٌ مَرْصُوصٌ . Maksudnya:"Sesungguhnya Allah S.W.T. mengasihi orang-orang yang berperang untuk membela agamanya, dalam barisan yang tersusun rapi, seolah-olah mereka seperti sebuah bangunan yang tersusun kukuh." Mengutip dari keterangan al-Ālusi yang terdapat dalam tafsirnya Ruh al-Ma‘āni antara lain beliau menjelaskan berhubung dengan kalimah marsus dengan katanya:والظاهر أن المراد تشبيههم فى التخام بعضهم ببعض بالبنيان المرصوص من حيث إنهم لا فرجة بينهم ولا خلل. Maksudnya:"Yang jelas dari penggunaan perumpamaan kepada mereka tentang bersatu antara satu dengan yang lain dengan istilah "marsus" ialah sekira-kira perpaduan mereka itu tidak ada ruang dan pemisah yang memisahkan barisan dan perpaduan mereka."Sehubungan dengan ini Nabi Muhammad s.a.w. ada menjelaskan dengan sabdanya:المؤمن للمؤمن كالبنيان يشد بعضهم بعضا Maksudnya:"Seorang mukmin bagi seorang mukmin yang lain seperti satu bahan binaan yang menguatkan antara satu dengan yang lain."Secara umumnya ayat al-Qur’an dan hadis di atas memberikan satu gambaran bahawa perpaduan antara setiap individu muslim itu satu kewajipan semasa dalam peperangan atau sebaliknya. Setiap individu muslim itu sebenarnya berperanan menyumbang kepada kekuatan dan perpaduan dalam sesebuah masyarakat. Dalam konteks ini dapat kita lihat penggunaan istilah rābitu lebih merujuk kepada makna yang bersifat zahir.
c) Perkataan al-rābit digunakan juga untuk makna sentiasa menanti atau menunggu kedatangan waktu solat. Sebagai contoh, selepas menunaikan solat maghrib, terus duduk berwirid dan berzikir untuk menanti waktu solat yang berikutnya. Fakta ini dapat diperjelaskan lagi dengan melihat sebuah hadis Rasulullah s. a. w. yang antara lain menyebutkan: ألا أدلكم على ما يمحو الله به الخطايا ويرفع به الدرجات قالوا بلى يا رسول الله قال أسبغ الوضوء على المكاره وكثرة الخطأ إلى المساجد وانتظار الصلاة بعد الصلاة فذلكم الرباط فذلكم الرباط فذلكم الرباط Maksudnya:"Telah bersabda Rasulullah (s.a.w.): Adakah tidak mahu aku tunjukkan kepada kamu tentang sesuatu yang boleh menghapuskan kesalahan-kesalahan di samping mengangkat darjat kamu. Mereka menjawab: Bahkan wahai Rasulullah! Baginda (s.a.w.) menjawab dengan sabdanya: Sempurnakanlah wuduk walau dalam keadaan yang susah (yakni di waktu sakit dan sejuk) dan perbanyakkanlah langkah untuk menuju ke masjid dan menanti-nanti waktu solat selepas waktu solat. Demikian itulah al-ribāt, demikian itulah al-ribāt, demikian itulah al-ribāt. "Perkataan al-ribāt dalam hadis di atas jelas menunjukkan kepada makna yang zahir, iaitu menyempurnakan wuduk, memperbanyakkan langkah ke masjid di samping menanti-nanti dari satu waktu solat ke waktu solat yang berikutnya. Dari penjelasan di atas menunjukkan bahawa al-rābitah itu boleh terjadi dalam bentuknya yang zahir. Seperti al-rābitah ketika menghadapi peperangan, sedang al-rābitah zahir seumpama ini melambangkan kepada satu bentuk perpaduan dan persatuan yang juga bersifat zahir. Begitu juga dengan al-rābitah di antara waktu solat ke satu solat yang lain, juga melambangkan hubungan yang zahir antara dua waktu solat tersebut. Seterusnya mari kita lihat pentafsiran al-rābitah dari sudut batin atau rohani yang menepati dengan asas-asas perpaduan yang juga bersifat rohaniah. d) Sepertimana perkataan al-ribāt yang terkandung dalam hadis di atas, ditafsirkan dengan makna lazamtu, yang membawa maksud melazimkan diri dengan sesuatu pekerjaan yang diperintahkan oleh hukum syarak, maka dari sini akan lahirlah rohani yang berpadu dengan keimanan sehingga menghilangkan sifat al-ghaflah ketika berjalan menuju kepada Allah S.W.T. Oleh yang demikian al-Ālusi menjelaskan dalam tafsirnya Ruh al-Ma‘āni tentang bagaimana perkataan wa rābitu tersebut berkait rapat dengan ruhani seseorang insan yang sālik. Antaranya beliau menerangkan:(اصبروا) في مقام النفس بالمجاهدة (وصابروا) فى مقام القلب مع التجليات (ورابطوا) في مقام الروح ذواتكم حتى تعتريكم فترة أو غفلة واتقوا الله عن المخالفة والأعراض والجفأ Maksudnya:(Isbiru( pada maqām al-nafs ialah dengan bermujahadah.)Wa sābiru) pada maqām al-qalb ialah al-tajalliyāt, manakala (wa rābitu) pada maqām al-ruh pula ialah berābitah diri kamu (hati dan sirr kamu) sehingga kamu tidak ditimpa lemah (jiwa) dan kelalaian dan bertakwalah kamu kepada Allah S.W.T. (dengan menjaga diri) dari (sifat) menentang Allah S.W.T., membelakangkan Allah S.W.T. dan membenci Allah S.W.T.Tentu sahaja pentafsiran kalimah wa rābitu oleh al-Ālusi tersebut adalah merujuk kepada aspek yang batin atau rohani. Begitu juga dengan pandangan Syeikh al-Fakhr al-Rāzi dalam kitab tafsirnya Mafātih al-Ghayb ketika memberikan penjelasan tentang kalimah wa rābitu dalam ayat tersebut di atas adalah meliputi kedua-dua aspek zahir dan batin. Oleh yang demikian kalimah wa rābitu tersebut adalah merujuk kepada makna yang batin iaitu membawa maksud rābitah hati seperti bersabar, tetap iman, gigih dan sebagainya lagi. Hal ini disebabkan berlaku di dalam hati, baik ketika berjihad atau mengerjakan ibadat seperti solat dan sebagainya lagi. Dari keterangan yang telah diberikan oleh para mufassirin di atas tadi, dapatlah kita mengetahui bahawa maksud dari kalimah wa rābitu tersebut tidaklah hanya terbatas kepada makna yang zahir, malahan kalimah tersebut melewati batas maknanya di atas, malahan merangkumi aspek yang batin atau rohani. Manakala berābitah dalam hati yang bersifat batin itu tentu lebih dituntut dan dititikberatkan kerana ia lebih penting untuk dijadikan asas bagi yang zahir. Jika aspek batinnya kukuh maka sudah pasti aspek zahirnya juga akan kukuh dan kuat, tahan diuji seperti yang dapat kita lihat pada diri Bilāl ibn Rabāh.
2) Perpaduan Dalam Konteks Jamaah.
2) Perpaduan Dalam Konteks Jamaah Al-Rābitah dari sudut rohaniah yang membawa maksud perpaduan dalam jamaah. Bagi mencapai satu bentuk perpaduan yang kuat dan kukuh dari sudut rohaniah sesebuah jamaah, maka hendaklah setiap anggota jamaah melakukan amalan al-rābitah bagi mencapai kejayaan di samping mendapat keredaan daripada Allah S.W.T. Untuk menjelaskan lagi kedudukan fakta ini cuba kita perhatikan amalan wirid yang telah diamalkan oleh Ikhwan al-Muslimin yang dipimpin oleh Hasan al-Bannā yang terkenal dengan wirid al-rābitah. Antara tujuan yang boleh diperolehi ketika mengamalkan wirid tersebut ialah memperatkan hubungan dan perpaduan rohaniah antara para ahli jamaah sekaliannya. Sama ada yang dekat ataupun yang jauh, yang dikenali ataupun yang tidak dikenali, semuanya dapat dihubungeratkan melalui kaedah wirid rābitah ini. Cuba kita perhatikan dengan membuat penelitian atas kalimah dan maksud yang terkandung dalam wirid tersebut:ورد الرابطة:ثمم يتلو الدعأ المأثور بعد ذلك:اللهم إن هذا إقبال ليلك وإدبار نهارك واصوات دعائك فاغفرلي . ثم يستحضر صورة من يعرف من إخوانه فى ذهنه ويستشعر الصلة الروحية بينه وبين من لم يعرفه منهم . ثم يدعولهم : اللهم إنك تعلم أن هذه القلوب قد اجتمعت على محبتك والتقت على طاعتك وتوحدت على دعوتك وتعاهدت على نصرة شريعتك فوثق اللهم رابطتها وادم ودها. Maksudnya:"Kemudian selepas (membaca ayat-ayat al-Qur’an itu) hendaklak ia membaca doa yang ma'thur ini: Ya Allah ya Tuhanku, sesungguhnya datangnya waktu malam dan perginya waktu siang adalah (bersama) suara-suara berdoa kepada Engkau, maka ampunilah (dosa-dosaku). Kemudian hendaklah ia menghadirkan (membayangkan) rupa orang-orang yang dikenali daripada kalangan rakan-rakan (seperjuangan) dalam ingatannya dan juga merasa-rasakan (adanya) hubungan rohaniah antaranya dengan orang-orang yang ia tidak kenali di kalangan mereka itu. Kemudian ia mendoakan mereka: Ya Allah ya Tuhanku sesungguhnya Engkau mengetahui bahawa hati-hati ini telah berkumpul untuk mencintai Engkau, telah bertemu untuk mentaati Engkau, telah bersatu untuk meminta kepada Engkau, telah berjanji setia untuk membantu menegakkan syariatmu, maka teguhkanlah ya Allah ikatannya (rābitah dalam pengertian perpaduan) dan kasib sayang." Jika kita perhatikan kalimah, isi kandungan dan uslub wirid al-rābitah tersebut, nescaya kita akan menemui gesaan oleh al-Syahid Hasan al-Bannā agar orang yang berdoa mengamalkan al-rābitah. Dari amalan tersebut, dapat kita fahami bahawa al-rābitah membawa maksud al-rābitah al-ruhāniyyah, seterusnya akan membawa kepada perpaduan dalam bentuknya yang zahir.
3) Perpaduan Dalam Sembahyang.
3) Perpaduan Dalam Sembahyang.AI-Rābitah yang membawa maksud perpaduan secara rohaniah dalam solat. Ketika mendirikan solat, al-rābitah memainkan peranan yang sangat penting. Ketika ini al-rābitah terjadi antara imam dan makmum. Dalam konteks ini solat seorang makmum itu boleh terbatal jika ia membiarkan solatnya tanpa al-rābitah antara dirinya dengan imam. Kenyataan ini telah dijelaskan oleh Syeikh Muhammad Amin al-Kurdi dalam kitabnya, Tanwir al-Qulub. Beliau menghuraikan fakta ini apabila membicarakan syarat-syarat iqtidā` dalam solat berjamaah. Beliau menjelaskan: (الاول) نية الاقتدأ أو نحوها فإن ترك هذه النية أو شك فيها وتابعه في فعل أو السلام بعد انتظار كثير عرفا للمتابعة بطلت صلاته لأنه وقفها على صلاة غيره بلا رابطة بينهما . Maksudnya:"(Pertama). Niat al-iqtidā` atau seumpamanya, jika ia meninggalkan niat tersebut atau ragu padanya dalam masa yang panjang menurut adat untuk dia (makmum) mengikut (iqtidā’) sedang ia masih mengikut imam dalam perbuatan solatnya atau salam, maka batallah solatnya. Kerana dia telah meletakkan kedudukan niatnya kepada solat orang lain, dengan tidak ada rābitah antara keduanya (imam dan makmum). "AI-Rābitah dalam konteks ini dapat dilihat apabila seorang makmum yang mendirikan solat dengan imam, dapat memenuhi segala syarat iqtidā` imam secara penuh. Apabila makmum gagal berbuat demikian maka tidak sah solatnya itu. Ini kerana iqtidā` makmum atas imamnya adalah wajib selama mana dia (imam) tidak melakukan sesuatu yang membatalkan solatnya. Dalam hal ini Rasulullah s.a.w. ada menjelaskan dengan sebuah hadisnya yang telah diriwayatkan oleh Aisyah r.a.عن عائشة أم المؤمنين إنها قالت : صلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فى بيته وهو شاك : فصلى جالسا, وصلى وراءه قوم قياما , فأشار إليهم : أن اجلسوا. فلما انصرف قال: ( إنما جعل الإمام ليؤتم به , فإذا ركع فاركعوا , وإذا رفع فارفعوا, وإذا صلى جالسا فصلوا جلوسا . Maksudnya:"Daripada Aisyah r.a. sesungguhnya ia berkata: Telah solat Rasulullah s.a.w. di rumahnya dalam keadaan duduk, sedang ia sakit pada ketika itu. Para sahabat bersolat di belakang Baginda s.a.w. dalam keadaan berdiri. Pada ketika itu Rasulullah s.a.w. mengisyaratkan kepada mereka agar semuanya duduk. Setelah selesai mendirikan solat Baginda s.a.w. bersabda: Sesungguhnya imam itu didirikan adalah untuk diikuti, bukan untuk diingkari. Apabila ia (imam) rukuk maka hendaklah kamu semua rukuk, apabila imam itu bangun, maka hendak kamu semua bangun dan apabila dia (imam) solat secara duduk maka hendaklah kamu semua solat secara duduk ." Dari keterangan hadis di atas memberikan gambaran kepada kita bahawa seandainya makmum tidak bersedia untuk melakukan al-rābitah dengan imamya, ini bermakna makmum telah menyalahi imamnya dari sudut perbuatan yang dilakukan oleh imam dalam solatnya. Sebagai contoh, imam masih berdiri, sedang makmum sudah sujud atau sudah membaca tashahhud dan sebagainya lagi. Dalam keadaan ini jelas solat seorang yang bergelar makmum itu menjadi tidak sah dan tidak seorang dari kalangan ulamak mazhab manapun yang berani menghukum sah solat makmum yang tersebut tadi.Dari sini dapatlah kita membuat kesimpulan bahawa al-rābitah dalam solat itu merupakan salah satu gagasan perpaduan rohaniah yang tergambar dalam bentuk kesatuan untuk mengadap Allah S.W.T. Al-Rābitah di sini merupakan lambang perpaduan umat manusia yang ditunjukkan di hadapan Allah S.W.T. ketika mendirikan solat. Bukankah Allah S.W.T. telah menceritakan kepada kita bahawa umat manusia itu sebenarnya adalah satu dalam erti keyakinan dan keimanannya kepada Allah S.W.T. Kenyataan ini dapat kita lihat firman Allah S.W.T. yang antara lain menyebutkan:كَانَ النَّاسُ أُمَّةً وَاحِدَةً فَبَعَثَ اللَّهُ النَّبِيِّينَ مُبَشِّرِينَ وَمُنذِرِينَ وَأَنزَلَ مَعَهُمْ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِيَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ فِيمَا اخْتَلَفُوا فِيهِ وَمَا اخْتَلَفَ فِيهِ إِلاّ الَّذِينَ أُوتُوهُ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَتْهُمْ الْبَيِّنَاتُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ فَهَدَى اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا لِمَا اخْتَلَفُوا فِيهِ مِنْ الْحَقِّ بِإِذْنِهِ وَاللَّهُ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ . Maksudnya:"Pada mulanya manusia itu ialah umat yang satu (menurut agama A1lah S.W.T. yang satu, tetapi setelah mereka berselisih). Maka Allah S.W.T. mengutuskan Nabi-nabi sebagai memberi khabar gembira (kepada orang-orang yang beriman dengan balasan syurga) dan pemberi amaran (kepada orang-orang yang ingkar dengan balasan azab neraka), dan Allah S.W.T. menurunkan bersama Nabi-nabi itu Kitab-kitab Suci yang (mengandungi keterangan-keterangan yang) benar, untuk menjalankan hukum antara manusia mengenai apa yang mereka perselisihkan." Menurut keterangan ayat di atas, menunjukkan kepada kita bahawa umat manusia itu sepatutnya menjadi umat yang satu dalam semua keadaan, zahir mahupun yang batin, satu tujuan dan cita-cita dalam melaksanakan hukum, satu matlamat dan tujuan dalam bidang ekonomi demi mencapai keredaan daripada Allah S.W.T., satu tujuan dalam bertindak menyelesaikan masalah kehidupan dengan mengikut garis panduan yang telah ditetapkan oleh Islam, bersatu dan bersatu seterusnya dalam semua situasi dan kondisi. Bersatu dalam erti bertindak tunduk serta patuh kepada segala ketetapan dan peraturan daripada Allah S.W.T. dalam menjalankan segala urusan kehidupan. Tetapi realiti yang berlaku pada hari ini tidak seperti yang dikehendaki oleh Allah S.W.T. dalam konteks ummatan wāhidah. Tidak terdapat sebarang bentuk perpaduan dan kesatuan dalam cita-cita untuk menegakkan hukum dan peraturan Allah S.W.T. seperti yang diperintahkan itu. Pelanggaran demi pelanggaran terhadap hukum dan peraturan Allah S.W.T. dilakukan dengan penuh kesombongan dan keangkuhan. Tidak lahir di hati manusia perasaan bersalah dan keinsafan tentang betapa besar akibat perbuatan tersebut terhadap jiwa dan perjalanan mereka menuju Allah S.W.T. Begitulah keadaan umat manusia hari ini yang digambarkan oleh Allah S.W.T. pada satu ketika dahulu sebagai ummatan wāhidah tetapi sudah tidak menggambarkan hal yang sebenar lagi. Justeru apa yang tinggal kepada kita umat manusia yang diberikan oleh Allah S.W.T. gelaran sebagai ummatan wāhidah tersebut? Kerana semuanya sudah tidak melambangkan ummatan wāhidah dari segi kepatuhan, ketaatan dan ketundukan terhadap Allah S.W.T. seperti yang dikehendaki dalam ayat di atas. Hanya yang tinggal konsep ummatan wāhidah itu barangkali terdapat dalam solat sahaja.Untuk melihat dengan lebih jelas bagaimana konsep ummatan wāhidah itu dapat dicapai melalui al-rābitah ketika melaksanakan kepatuhan, ketaatan dan ketundukan terhadapNya, dapat dilihat melalui ungkapan seorang hamba ketika mendirikan solat dengan mengungkapkan:اياك نعبد واياك نستعين .Persoalannya di sini ialah, kenapa Allah S.W.T. menggunakan huruf nun pada kalimah na‘bud dan kalimah nasta‘in? Sedang huruf nun di sini tentu sahaja membawa maksud al-jam'. Dalam waktu yang sama Allah S.W.T. meletakkan taraf manusia itu di maqām al-tadhallul dan inkisār, tidak di maqām ta‘zim dan istikbār. Sedang yang mengucapkan kalimah tersebut ketika mendirikan solat hanya seorang, tentu lebih baik dan tepat jika dia mengungkapkan.إياك أعبد وإيك أستعين kerana ucapan dan ungkapan seumpama ini tidak melibatkan orang lain dalam solat tersebut. Untuk memberikan penjelasan terhadap fakta ini mari kita lihat dan telitikan pandangan mufassir terhadap ayat tersebut. Menurut keterangan daripada al-Fakhr al-Rāzi dalam tafsirya Mafātih al-Ghayb antara lain menghuraikan dengan panjang lebar berhubung dengan ayat إياك نعبد dalam surah al-Fatihah tersebut. Antaranya beliau menjelaskan dengan katanya:وتاسعها : لو قال إياك أعبد لكان ذلك تكبرا ومعناه إني انا العابد . لما قال إياك نعبد كان معناه إني واحد من عبيدك , فالأول تكبر , والثاني تواضع Maksudnya:"Kesembilan: Jika sekiranya ia berkata iyyāka a‘bud, maka yang demikian itu adalah takabbur. Kerana perkataan tersebut membawa maksud: Sesunggahnya aku seorang sahaja yang ‘ābid. Sebaliknya jika ia berkata iyyāka na'bud. Perkataan ini akan membawa maksud: Sesungguhnya aku adalah salah seorang daripada hamba-hambaMu yang menyembahMu. Yang pertama membawa maksud al-takabbur, sedang yang kedua pula membawa maksud al-tawādu‘ "
Dari keterangan yang diberikan oleh al-Fakr al-Rāzi itu tadi, menjelaskan kepada kita bahawa umat manusia sebenarnya diciptakan oleh Allah S.W.T. dengan sifatnya saling perlu memerlukan antara satu dengan yang lain. Antara manusia dengan Tuhannya, antara manusia dengan manusia dan antara manusia dengan makhluk seluruhnya. Semua ini melambangkan satu bentuk perpaduan dan persatuan dari sudut zahir mahupun yang batin. Dengan adanya bentuk perpaduan dan persatuan antara makhluk seluruhnya tentu akan melahirkan satu bentuk kehidupan yang aman dan sejahtera. Seperti yang digambarkan oleh Allah S.W.T. dengan firmanNya:لَقَدْ كَانَ لِسَبَإٍ فِي مَسْكَنِهِمْ آيَةٌ جَنَّتَانِ عَنْ يَمِينٍ وَشِمَالٍ كُلُوا مِنْ رِزْقِ رَبِّكُمْ وَاشْكُرُوا لَهُ بَلْدَةٌ طَيِّبَةٌ وَرَبٌّ غَفُورٌ Maksudnya:"Demi sesungguhnya, adalah bagi penduduk negeri Saba', satu tanda (yang membuktikan kemurahan Allah S.W.T.) yang terdapat pada tempat tinggal mereka, iaitu: dua kebun (yang luas lagi subur), yang terletak di sebelah kanan dan di sebelah kiri (kariah mereka). (Lalu dikatakan kepada mereka): Makanlah dari rezeki pemberian Tuhan kamu dan bersyukurlah kepadaNya; (negeri kamu ini adalah) negeri yang baik (aman dan makmur), dan (Tuhan kamu adalah) Tuhan Yang Maha Pengampun."Di sinilah rahsia kejayaan umat manusia dahulu dan sekarang dalam mencapai kejayaan. Bukan yang dimaksudkan dengan kejayaan tersebut hanya terbatas dengan kejayaan yang bersifat fizikal semata-mata. Malahan kejayaan yang dimaksudkan di sini adalah kejayaan yang membawa ke arah keredaan daripada Allah S.W.T., sama ada kejayaan yang bersifat lahiriyyah mahupun kejayaan yang bersifat rohaniah. Pada saat itu barulah Allah S.W.T. akan mengiktiraf umat manusia seperti yang telah diceritakan kepada kita dalam ayat di atas tadi. Untuk melihat perpaduan tersebut, al-Imam al-Fakhr al-Rāzi seterusnya menghuraikan kalimah اياك نعبد tersebut dengan katanya:إن المؤمن إخوة فلو قال إياك أعبد لكان قد ذكر عبادة نفسه ولم يذكر عبادة غيره أما لما قال إياك نعبد كان قد ذكر عبادة نفسه وعبادة جميع المؤمنين شرقا وغربا فكانه سعى في إصلاح مهمات سائر المؤمنين وإذا فعل ذلك قضى الله مهماته لقوله صلى الله عليه وسلم : من قضى لمسلم حا جة قضى الله له جميع حا جته . Maksudnya:"Sesungguhnya orang yang beriman itu adalah bersaudara, jika sekiranya ia berkata iyyaka a'bud, maka ia hanya menyebut ibadah untuk dirinya dan tidak menyebut ibadah saudara (seiman) yang lain. Adapun apabila ia mengatakan iyyaka na'bud maka sesungguhnya ia telah menyebutkan ibadah untuk dirinya dan ibadah saudara (seaqidah) yang lain, di timur mahupun di barat. Seolah-olah dia telah berusaha untuk memperbaiki segala keperluan seluruh orang yang beriman. Dan apabila dia telah melakukan demikian, maka Allah S.W.T. akan menunaikan segala keperluannya. Hal ini berdasarkan kepada hadis Baginda (s.a.w.): Sesiapa yang menunaikan keperluan saudaranya dengan suatu hajat, maka Allah S.W.T. akan menunaikan kepadanya seluruh hajatnya ."Dari keterangan yang telah diberikan oleh Imam al-Fakhr al-Rāzi di atas tadi, dapat kita menyimpulkan di sini bahawa ayat al-Qur’anإياك نعبد وإياك نستعين itu sebenarnya membawa pengertian al-rābitah. Berdasarkan kepada ayat ini juga, dapat kita fahami bahawa umat manusia yang disebutkan oleh Allah S.W.T. sebagai ummatan wāhidah itu sebenarnya bersatu dalam semua aspek, lahiriyyah mahupun bāiiniyyah. Keadaan bersatu dan bersama itu berlaku ketika melaksanakan urusan dunyawiyyah mahupun ukhrawiyyah. Kita bersatu dan bersama apabila kita mendirikan solat, dalam keadaan begini kita bersatu dan bersama dari sudut fizikal mahupun dari sudut spiritual . Bersama dari sudut fizikal dengan mendirikan solat berjamaah, sedang bersatu dari sudut rohaniah pula ialah melalui amalan al-rābitah seperti arahan yang terkandung dalam ayat di atas tadi. Dalam keadaan demikian barulah kita dianggap sebagai bersatu dan bersama dalam erti kata yang sebenar, berpadu dari sudut zahir dan batin. Malahan perpaduan ini tidak hanya terbatas kepada sesama manusia, tetapi lebih dari itu, perpaduan ini melewati batas antara manusia dengan manusia seperti yang dijelaskan oleh al-Rāzi dengan katanya:: الوجه الثانيإن الرجل إذا كان يصلى بالجماعة فيقول نعبد , والمراد ذلك الجمع , وإن كان يصلى وحده كان المراد إني أعبد والملائكة معي في العبادة. فكان المراد يقول نعبد هو وجميع الملائكة الذين يعبدون الله . Maksudnya:"Pandangan kedua: Sesungguhnya seorang lelaki apabila ia bersolat (bersembahyang) dengan berjamaah maka ia akan berkata: Na‘bud, yang dimaksudkan dengan demikian itu ialah al-jam‘, (kata jamak) dan jika sekiranya ia bersembahyang dengan bersendirian, maka maksud dari ucapan na'bud itu ialah: Sesungguhnya aku dan malaikat bersama menyembahMu wahai Allah S.W.T. ketika melakukan ibadah." Dari berbagai fakta yang telah dihuraikan di atas, dapat kita lihat dengan jelas bagaimana hubungan tersebut boleh terjalin dengan berkonsepkan al-rābitah. Keadaan tersebut boleh berlaku dan terjadi dalam kehidupan manusia. Sehingga Allah S.W.T. menjadikan solat para ‘ābid yang berlandaskan kepada amalan al-rābitah itu sebagai wasilah yang menampung segala kekurangan dan kecacatan yang terjadi dalam solat berjamaah tersebut. Kebersamaan dalam erti rohaniah itu terkandung dalam ungkapan إياك نعبد وإياك نستعين tersebut. Kenyataan ini tentu sahaja membawa maksud; segala yang berlaku di kalangan orang-orang yang beriman itu, khususnya dalam solat akan dihadapi secara bersama. Jika terdapat sebarang kekurangan dan keaiban dalam solat salah seorang daripada mereka, maka ia akan ditampung dengan kelebihan dari solat para Anbiyā’, malaikat, para sālihin dan seluruh ‘ābid al-mu'min. Selepas itu solat akan dipersembahkan kepada Allah S.W.T. secara bersama-sama, dengan harapan akan diterima oleh Allah S.W.T. Semua hal tersebut dapat digambarkan dari ungkapan إياك نعبد وإياك نستعين ketika mendirikan solat. Dari sini jelas kepada kita bahawa orang yang beriman itu sebenarnya tidak bersendirian dari sudut ruhiyyah apabila ia berhadapan dengan Allah S.W.T., malah para Anbiyā`, para Rasul dan para sālihin semuanya bersama-sama dalam pengertian al-rābitah itu tadi.
4.2.4 AI-Rābitah sebagai sumber al-mahabbah .
4.2.4 AI-Rābitah sebagai sumber al-mahabbah .Dalam disiplin ilmu dan amalan tasawwuf, al-mahabbah, kasih mengasihi dan sayang menyayangi antara seorang murid dengan gurunya, antara seorang murid dengan rakan setariqatnya dan seterusnya antara seorang murid dengan masyarakatnya amat dituntut dan diberatkan. Perkara ini menjadi asas yang sangat penting bagi seorang murid atau sālik ketika menjalani suluk. Ini kerana dalam disiplin ilmu dan amalan tasawwuf hubungan yang erat antara murid, guru dan rakan-rakan setariqat adalah ukuran bagi menentukan berjaya atau gagalnya seseorang yang sālik untuk mencapai wusul ilā Allah. Mahabbah di sini merangkumi aspek zahir dan batin bagi seorang yang sālik. Dari sudut zahirnya, tuntutan untuk berkasih sayang itu jelas dapat dilihat seperti yang dituntut oleh hadis baginda s.a.w. yang antara lain menyatakan:مثل المؤمنين في توادهم وتراحمهم وتعاطفهم كالجسد الواحد إذا اشتكى منه عضو واحد تداعى له سائر الجسد بالهر والحمى Maksudnya:"Perumpamaan bagi seorang muslim dari sudut kasih, sayang dan lemah lembutnya mereka sesama mereka ialah seperti satu jasad, apabila mengadu salah satu anggota dengan satu kesakitan maka seluruh anggota badannya akan berjaga dan menanggung penderitaan tersebut. "Manakala mahabbah dari sudutnya yang batin bagi seorang yang sālik itu dapat dilihat dari firman Allah S.W.T. yang antara lain:يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ . Maksudnya:"Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kamu kepada Allah S.W.T. dan hendaklah kamu berada bersama-sama orang-orang yang benar. "Ayat di atas jelas membawa maksud perintah supaya setiap mukmin itu bersama-sama dengan orang-orang yang bersifat al-sādiqin. Untuk menyahut seruan tersebut adalah wajar bagi seorang yang mukmin merasa-rasakan diri mereka bersama-sama dengan orang-orang yang al-sādiqin. Kebersamaan tersebut terjelma dalam semua aspek kehidupan mereka, sama ada dari sudut keimanan seperti berpegang kepada janji, taubat, inābah dan sebagainya. Malahan bagi mereka yang berkesempatan untuk bertemu dengan mereka, maka hendaklah bersama-sama bergaul dan berdampingan dengan orang-orang al-sādiqin tersebut. Sebaliknya jika tidak berkesempatan untuk berbuat demikian maka cukup sekadar dengan roh melalui kaedah dan amalan al-rābitah. Ini kerana menurut Ibrāhim Hilmi al-Qādiri, terdapat ramai orang yang bersama-sama dengan orang-orang yang bersifat al-sādiqin dari sudut zahirnya, tetapi pada hakikatnya mereka itu tidak bersama-sama dengan golongan al-siddiqin tersebut dari sudut al-hāl. Sedangkan di sana terdapat golongan yang berjauhan dengan orang-orang yang bersifat al-siddiqin dari sudut zahirnya, tetapi sebenarnya mereka bersama-sama dengan golongan al-siddiqin itu dari sudut rohnya. Fakta di atas dapat dibuktikan dengan melihat kepada konsep al-kaynunah yang terdapat dalam ayat di atas tadi. Konsep al-kaynunah yang terkandung dalam perkataan kunu tidak akan sempurna dan berlaku dalam perintah ayat di atas jika tidak wujud suatu keadaan irtibāt antara kedua belah pihak, iaitu antara orang-orang yang bersifat al-siddiqin dan orang-orang yang beriman. Oleh yang demikian al-rābitah itu berfungsi sebagai penghubung antara kedua-dua golongan ini dengan satu landasan mahabbah yang berdasarkan kepada hubungan al-ruhi. Dalam konteks ilmu dan amalan tasawwuf seorang yang sālik dianggap gagal dalam usahanya mencapai tahap al-taraqi dalam perjalanannya menuju Allah S.W.T., melainkan dengan menjaga adab-adab al-mahabbah dan ikhlas terhadap gurunya. Apabila terdapat pada diri seorang murid atau salik sifat su’ al-zann terhadap gurunya atau ustaz yang mengajarnya di samping melupakan kelebihan-kelebihan mereka ke atas dirinya (lebih tepat jika dikatakan di sini mereka yang angkuh dengan ilmu pengetahuan yang diperolehi sehingga mereka sanggup mengenepi dan mengecilkan kedudukan guru-guru yang pernah mengajar dan membimbing mereka). Atau dalam erti kata lain mereka bersifat biadab terhadap guru mereka lantaran itu maka tertutuplah pintu-pintu al-fuyudāt yang bersifat al-hāl ke atas dirinya.
4.2.4 AI-Rābitah sebagai sumber al-mahabbah .Terdapat suatu kisah yang telah dinukil oleh al-Qādiri dan beliau muatkan kisah tersebut dalam kitabnya yang berjudul Madārij al-Haqiqah antara lain beliau menyebutkan kisah tersebut dengan katanya: حكى أن سلطان الغزنوى دخل على الشيخ أبى الحسن الخرقانى قدس سره وجلس ساعة ثم قال للشيخ ماذا تقول فى حق أبى يزيد البسطامى فقال هو رجل من رآه اهتدى فقال السلطان وكيف ذلك وأن أبا جهل رأى رسول الله صلى الله عليه وسلم ولم يخلص من الضلالة قال الشيخ فى جوابه انه ما رأى رسول الله صلى الله عليه وسلم وانما رأى محمد بن عبدالله يتيم أبى طالب لو كان رأى رسول الله صلى الله عليه وسلم لدخل فى السعادة .أى لو رآه عليه الصلاة والسلام من حيث أنه رسول الله معلم هاد وأذعن. كما قال الله تعالى : وَتَرَاهُمْ يَنظُرُونَ إِلَيْكَ وَهُمْ لاَ يُبْصِرُون .َ Maksudnya:"Diceritakan bahawa Sultan Mahmud al-Ghaznawi telah berjumpa dengan Syeikh Abu al-Hasan al-Kharqāni dan ia bertanya kepada Syeikh al-Kharqāni tentang pandangannya terhadap Syeikh al-Bistāmi. Maka berkata Syeikh al-Kharqāni bahawa dia (Syeikh al-Bistāmi) ialah seorang yang sesiapa memandangnya akan diberikan pertunjuk dan hidayat. Berkata Sultan Mahmud seterusnya: Bagaimana halnya dengan Abu Jahl, ia melihat Rasulullah (s.a.w.) sedang ia tidak dapat melepaskan dirinya dari belenggu kesesatan? Syeikh al-Kharqāni menjawab: Sesungguhnya Abu Jahl itu tidak melihat Rasulullah s.a.w. tetapi yang dilihatnya hanyalah Muhammad ibn ‘Abdillah seorang yang yatim dari keturunan Abu Tālib. Jika sekiranya Abu Jahl itu melihat bahawa Muhammad itu sebagai seorang Rasul yang bersifat mu'allim dan bersamanya terdapat hidayat serta pertunjuk pastilah dia akan beroleh kebahagiaan. Allah S.W.T. berfirman yang bermaksud: Dan engkau nampak benda-benda itu memandangmu padahal mereka tidak melihat. "Dari gambaran kisah yang telah disebutkan, jelas kepada kita bahawa hubungan yang bersifat ruhiyyah itu sangat penting bagi seseorang untuk mencapai tahap keredaan daripada Allah S.W.T. Hubungan yang bersifat ruhiyyah inilah yang dikenali dalam disiplin ilmu dan amalan tasawwuf sebagai al-rābitah, hubungan yang berlandaskan kepada kasih sayang. Menjaga adab sopan antara murid dengan guru semasa bergaul dan menjaga hubungan tersebut ketika seorang murid berjauhan melalui amalan al-rābitah. Keadaan ini menurut disiplin ilmu dan amalan tasawwuf adalah asas bagi seorang yang sālik untuk mencapai wusul ilā Allah. Oleh sebab itu dalam ajaran tasawwuf, seorang sālik yang tidak melihat guru atau syeikhnya dengan selayaknya, di samping menjaga adab yang sewajarnya terhadap guru atau syeikh, maka sukar baginya untuk mencapai matlamat wusul tersebut. la tidak akan mendapat keberkatan dari tunjuk ajar yang telah diberikan oleh syeikh atau gurunya itu sekalipun ia bersahabat dan berguru dalam masa yang lama.Begitu juga dengan penggunaan kalimah السلام عليك أيها النبي jika dilihat dari sudut amalan dan penghayatannya dapat kita jadikan dalil dan bukti tentang wujud makna dan amalan al-rābitah dalam kehidupan harian dan amalan kita. Apabila kita membaca tashahhud ketika mendirikan solat, ia mengandungi makna dan pengajaran yang jelas bahawa seseorang itu mestilah mengingati Allah S.W.T. dan merasakan dirinya hampir kepada Allah S.W.T., namun dalam waktu yang sama dia juga harus mengingati Nabi Muhammad s.a.w. dalam erti menyayangi dan mengasihinya. Keadaan ini disebabkan oleh perutusan Nabi Muhammad s.a.w. kepada kita dan dengan itu kita telah dapat mendirikan solat dengan betul seperti yang telah ditetapkan oleh hukum syarak. Dengan mengucapkan doa السلام عليك أيها النبي yang membawa maksud: Selamat sejahtera ke atas kamu wahai Nabi, jelas dengan penggunaan istilah kamu wahai Nabi itu memperlihatkan seolah-olah solat itu didirikan secara bersama dengan Rasulullah s.a.w. Ini kerana menurut al-Ghazāli, apabila seseorang mendirikan solat dan sebelum ia mengucapkan kalimah السلام عليك أيها النبي hendaklah ia menghadirkan Nabi s.a.w. dalam hatinya.
Dalam ilmu psikologi ia disebut sebagai tajrid yang membawa maksud mengosongkan hatinya dari segala sesuatu bagi memberi ruang untuk mengingati sesuatu yang lebih penting. Walaupun Nabi Muhammad s.a.w. telah wafat dan disemadikan di Madinah dengan jarak ribuan kilometer dari kita, namun ia tidak menjadi halangan untuk seseorang itu merasa hampir, kasih dan sayang terhadap Nabi s.a.w. Sebagai contoh, walaupun seseorang itu berada jauh dari kampung halamannya, tetapi dia boleh mengingat dalam hatinya tentang rumah dan tempat tinggal serta kaum keluarga yang menghuninya. Dalam hal ini jarak antara satu dengan yang lain tidak menghalang ingatan seseorang.Bacaan tashahhud akhir adalah bacaan yang termasuk dalam rukun solat, tanpanya solat dikira batal. Manakala dalam tashahhud itu pula terkandung kalimah السلام عليك أيها النبي . Ungkapan ini bukan sahaja wajib disebut atau dibaca, tetapi sewajarnya dihayati menurut makna dan maksud sebenar yang terkandung dalamnya. Ucapan; Selamat sejahtera ke atas engkau wahai Nabi merupakan ucapan yang membawa maksud للمخاطب , iaitu ucapan yang menggunakan ganti nama yang pertama. Penggunaan kalimah عليك yang bermaksud ke atasmu tidak memberi sebarang makna jika tidak dihayati dan dirasakan bahawa orang yang menerima ucapan itu sedang berada hampir dengannya. Kerana dengan melihat zahir ayat ia menggambarkan satu dialog antara orang yang pertama dan yang kedua. Penggunaan istilah; Selamat sejahtera atas engkau wahai Nabi merupakan ucapan yang tepat dari sudut rasionalnya, kerana dengan pengorbanan besar yang telah dilakukan oleh Nabi Muhammad s.a.w. memberikan kesejahteraan dan kebahagiaan kepada umat manusia dan seluruh alam ini. Ucapan terima kasih juga kerana Nabi s.a.w. telah membawa obor hidayat ketika manusia meraba-raba dalam kesesatan jahiliyah. Melalui Baginda Rasulullah s.a.w. manusia dapat menerima ajaran wahyu Allah S.W.T. seterusnya menyelamatkan manusia dari segala kesengsaraan dunia mahupun akhirat. Walaupun manusia boleh mengucapkan salawat atas Nabi sebanyak yang mungkin di luar solat, namun dalam bacaan tashahhud Allah S.W.T. menghendaki manusia mengucapkannya dalam solat, sebagai lambang mengenang jasa bagi seluruh umat manusia atas pengorbanan yang telah dilakukan oleh Rasulullah s.a.w. Dengan berselawat juga manusia dapat merasai keakraban dan rasa kasih sayang terhadap Baginda Rasulullah s.a.w yang menjadi kesayangan dan kecintaan umat manusia seluruhnya.Selain dari itu seorang yang sālik hendaklah mengucapkan salam itu dengan penuh keyakinan bahawa salamnya itu didengar oleh Nabi s.a.w., selain dari itu ia mestilah menaruh keyakinan penuh bahawa salamnya telah dijawab oleh Nabi s.a.w. Dengan keyakinan seperti itu dia tidak merasakan dirinya bercakap secara bersendirian kerana apalah ertinya jika kita mengucapkan sesuatu kepada seseorang sedangkan ia tidak mendengar ucapan tersebut.
Oleh yang demikian, untuk menjadikan seseorang itu lebih seronok dan dapat merasakan kemanisan ketika mendirikan solatnya, hendaklah dia merasakan dan meyakini sungguh-sungguh pada setiap kali ia mengucapkan selawat ke atas Nabi. Pada ketika itu hendaklah dirasa-rasakan secara dhawqiyyah bahawa Nabi telah mendengar dan menjawab salam tersebut. Alangkah bahagianya seseorang itu jika ia tahu bahawa ucapan selawatnya telah dijawab oleh Baginda s.a.w. dengan sebaik mungkin.Oleh yang demikian, untuk melahirkan rasa kasih dan sayang terhadap Nabi s.a.w. seorang yang sālik hendaklah dia bersegera mendirikan solat, kerana dalam solat tersebut dia boleh berbalas-balas salam dengan Baginda s.a.w. dan boleh berjumpa dan bertemu dengannya. Keyakinan yang demikian akan melahirkan rasa motivasi untuk segera melakukan solat apabila telah tiba waktunya, selain ditambah dengan solat-solat yang sunat, kerana dalam tashahhud sahajalah ia akan dapat melepaskan rasa kasih sayang dan rindunya terhadap Allah S.W.T. dan RasulNya.Dari berbagai fakta yang telah diterangkan di atas dapat kita lihat dengan jelas bagaimana kedudukan al-rābitah itu sebagai salah satu dari sumber al-mahabbah yang telah diamalkan dalam disiplin ilmu dan amalan tasawwuf.

4.3 DALIL KEHARUSAN AMALAN AL-RĀBITAH MENGIKUT DISIPLIN ILMU TASAWWUF.
DALIL KEHARUSAN AMALAN AL-RĀBITAH MENGIKUT DISIPLIN ILMU TASAWWUFApabila kita membicarakan soal al-rābitah dan mentalaah kitab-kitab tasawwuf tentangnya, maka antara dalil-dalil yang telah digunakan oleh para ulamak tasawwuf dahulu dan sekarang ialah seperti berikut:4.3.1 Firman Allah S.W.T:يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ . Maksudnya:"Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kamu kepada Allah S.W.T. dan hendaklah kamu berada bersama-sama orang-orang yang benar."Dalam ayat di atas terdapat dua fi‘il al-amr yang membawa maksud perintah. Perintah pertama agar bertakwa kepada Allah S.W.T., sedang yang kedua pula perintah agar bersama-sama dengan orang-orang yang bersifat sādiqin. Justeru menurut ayat di atas kita diperintahkan oleh Allah S.W.T. agar bersama-sama dengan mereka dari semua aspek kehidupan. Kita dituntut supaya bersifat sabar seperti sabarnya golongan tersebut, kita diperintahkan bersifat dengan sifat mukmin, solehin dan sebagainya seperti yang mereka miliki. Lantaran itu kita diperintahkan memohon kepada Allah S.W.T. agar dikurniakan dengan nikmat-nikmat seperti yang telah Allah S.W.T. kurniakan kepada golongan tersebut. Keadaan ini telah dirakamkan oleh Allah S.W.T. dalam firmanNya:صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ. Maksudnya:"Iaitu jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan ni’mat kepada mereka, bukan jalan mereka yang dumurkai dan bukan pula jalan mereka yang sesat. "Persoalannya di sini ialah bagaimana perintah supaya bersama-sama itu dapat dilaksanakan dengan sebaik yang mungkin. Di sinilah titik permulaan untuk kita membicarakan masalah al-rābitah dalam disiplin ilmu dan amalan tasawwuf dengan bersandar kepada dalil di atas. Kerana terdapat berbagai pendapat serta pandangan yang telah dikemukakan terhadap persoalan ini. Namun bagi para ulamak tasawwuf, secara umumnya mereka berpendapat ayat tersebut membawa maksud al-rābitah. Pendapat tersebut adalah didasarkan kepada beberapa fakta berikut:1- Menurut al-Khāni seperti yang terdapat dalam kitabnya berjudul al-Haqā`iq al-Wardiyyah, yang beliau nukil dari keterangan Syeikh ‘Ubaydullah bahawa al-kaynunah, (iaitu perkataan kunu) dalam ayat di atas merupakan perintah Allah S.W.T. agar manusia sentiasa bersama-sama dengan golongan al-siddiqin seperti yang disebutkan dalam surah al-Taubah tersebut, arahan supaya bersama-sama ini merangkumi aspek zahir dan batin. Menurut ‘Ubaydullah lagi, al-kaynunah al-ma‘nawiyyah itulah yang dimaksudkan oleh golongan tasawwuf dengan al-rābitah. Oleh yang demikian dapat kita fahamkan di sini bahawa al-kaynunah tersebut boleh terjadi dalam dua bentuk, pertama al-kaynunah yang bersifat zahir dan kedua pula ialah al-kaynunah dari sudut ma‘nawiyyah atau yang batin.
2- AI-Kaynunah dalam ayat tersebut juga tidak boleh terjadi sama sekali kecuali setelah berlaku irtibāt yang sempurna antara kedua belah pihak. Oleh yang demikian perintah Allah S.W.T. supaya sentiasa bersama dengan golongan al-siddiqin itu tidak akan terjadi tanpa adanya suatu bentuk irtibāt antara kedua-dua golongan tersebut. Dalam mewujudkan situasi irtibāt antara kedua-dua golongan ini maka amalan al-rābitah berperanan sangat penting bagi mewujudkan irtibāt tersebut. Dari kedua-dua fakta di atas memperjelaskan lagi di sini bagaimana ulamak tasawwuf menggunakan ayat al-Qur’an surah al-Taubah ayat 119 tersebut sebagai dalil yang menunjukkan keharusan amalan al-rābitah yang diamalkan dalam disiplin ilmu dan amalan tasawwuf. Walaupun demikian, pengambilan ayat ke119 dalam surah al-Taubah itu dibantah oleh ulamak bukan tasawwuf, seperti Syeikh Ahmad Khātib. Beliau membantah keras penggunaan ayat tersebut dengan membuat beberapa ulasan antaranya beliau menyebutkan:Mereka mentafsir; orang-orang yang benar dengan guru-guru. Dan; serta mereka, dengan menghadirkan mereka ketika berzikir, kerana hendak memelihara rupa itu dan beradab kepadanya serta meminta limpahan daripadanya supaya dengan menghadirkannya, sempurna hadir hati kepada Allah Ta'ala dan turun cahaya. Dan dengan melihat rupa itu terhalang tiap-tiap pekerjaan yang bersifat kekurangan. Dari keterangan di atas Syeikh Ahmad Khātib mengemukakan bantahan beliau dengan pandangannya:Dalil itu adalah batal dan mentafsirkan al-Qur’an dengan fikiran semata-mata yang terlarang. Sabda Nabi kita (s.a.w.):Bermaksud:“Barangsiapa mengatakan sesuatu tentang al-Qur’an dengan fikirannya semata-mata atau dengan kejahilan, maka sediakanlah tempat tinggalnya di dalam api neraka.” Orang tersebut telah termasuk dalam umum hadis ini kerana ia telah mentafsirkan al-Qur’an dengan fikirannya. Adapun makna:Jadilah engkau seperti mereka itu tentang benarnya.Dan seperti itu pula diriwayatkan Bayhaqi dan lain-lain dari Ibn Mas‘ud. Maka yang dikehendaki dengan sādiqin (orang-orang yang benar), ialah segala orang yang benar agama, niat, perkataan dan amalannya.Maka dari tafsir di atas nyatalah bahawa ayat tersebut tidak boleh dijadikan dalil bagi menghadirkan guru ketika berzikir, iaitu makna rābitah. Dan jika kita umpamakan makna:Jadilah kamu berserta orang-orang yang benar.Maka ia juga tidak menunjukkan kepada makna menghadirkan rupa guru ketika berzikir. Kerana orang yang menghadirkan rupa guru itu tidaklah ia berserta orang yang benar. Kerana orang yang benar ialah anak Adam (manusia) yang amat benar dalam agama, niat dan ibadatnya. Sedang rupa guru itu bukan ia diri guru. Dan makna berserta suatu dengan suatu ialah bersama-sama dengan dia dan bergaul dengan dia. Bukan makna berserta itu menghadirkan rupanya. Maka antara dalil dan madlul berjauhan seperti antara bumi dengan langit.Adapun katanya beradab dengan rupa guru meminta limpahan daripadanya, maka telah lalu bahawa ia terlarang menurut nas Qur’an yang telah diterangkan, kerana dia beradab terhadap bayang-bayang guru dan meminta kepadanya. Maka yang demikian menyampaikan kepada mensekutukan Tuhan dan mengiktikadkan yang lain dari Allah Ta'ala mempunyai bekas.
Penjelasan:Seperti yang telah kita bincangkan, pengambilan ayat ke119 dalam surah al-Taubah ini adalah merujuk kepada makna yang batin atau ma‘nawi. Justeru, konsep bersama-sama yang cuba diutarakan dalam disiplin ilmu dan amalan tasawwuf yang terdapat dalam ayat di atas ialah bersama-sama dari sudut maknanya yang batin atau ma‘nawiyyah itu. Hal ini jelas terbukti dari keterangan yang diberikan oleh al-Ālusi dalam tafsirnya Ruh al-Ma‘āni seperti yang beliau jelaskan وجوز أن يكون عاما لهم ولغيرهم فيكون المراد بالصادقين الذين صدقوا فى الدين نية وقولا وعملا, وأن يكون خاصا بمن تخلف وربط نفسه بالسوارى. Maksudnya:"Boleh juga diertikan bahawa al-sadiqin itu dengan makna yang am bagi mereka dan selain mereka, maka yang dimaksudkan dengan al-sadiqin itu ialah mereka yang benar dalam agama dari sudut niat, perkataan dan perbuatan. Dan boleh juga diertikan al-sadiqin itu secara khusus kepada mereka yang terdahulu dengan berabitah dirinya atas kemuliaan dan darjah mereka."Jelas dari keterangan al-Ālusi ke atas ayat 119 surah al-Taubah itu tadi, menunjukkan bahawa al-siddiqin itu adalah merujuk kepada orang-orang yang terdahulu, sama ada mereka itu dari kalangan ahli kitab, Rasulullah s.a.w. mahupun para sahabat Baginda Rasulullah s.a.w. Fakta ini beliau jelaskan dengan menukil keterangan yang diriwayatkan oleh Ibn al-Mundhir daripada Jarir daripada Nāfi‘, beliau menyebutkan:أن الاية نزلت فى الثلاثة الذين خلفوا , والمراد بالصادقين محمد صلى الله عليه وسلم وأصحابه , وبذلك فسره ابن عمر كما أخرجه أبى خاتم . Maksudnya:"Sesungguhnya ayat tersebut diturunkan kepada golongan yang terdahulu, sedangkan maksud al-sādiqin pula ialah Nabi Muhammad s.a.w. dan para sahabatnya. Demikian penafsiran Ibn ‘Umar seperti yang dikeluarkan oleh Abu Khātim. "Oleh yang demikian, dapat kita membuat tanggapan di sini bahawa pandangan Syeikh Ahmad Khatib ketika menghuraikan makna berserta atau bersama itu hanya terbatas kepada makna yang zahir dengan merujuk kepada pergaulan secara fizikal, pandangan tersebut tentu sahaja menyalahi kaedah pentafsiran yang telah dikemukakan oleh al-Ālusi tersebut. Kerana menurut al-Ālusi, yang dimaksudkan dengan al-sādiqin itu ialah mereka yang terdahulu yang sezaman dengan Nabi s.a.w., atau yang sebelum itu lagi. Jika demikian, bagaimana pandangan Syeikh Ahmad Khatib dalam menjelaskan bersama-sama dengan orang al-sādiqin itu boleh dipraktikkan, kerana zaman mereka telah berlalu sekian lama. Dalam konteks ini apakah boleh kita mengabaikan sahaja perintah Allah S.W.T. agar kita bersama dengan orang yang al-sādiqin tersebut? Di sinilah timbulnya pandangan ulama-ulama tasawwuf yang mentafsirkan bersama-sama itu dalam pengertiannya yang ma‘nawiyyah. Menurut al-Khāni bersama-sama dari sudut ma‘nawiyyah itulah yang dimaksudkan dengan al-rābitah dalam disiplin ilmu dan amalan tasawwuf.
Kesimpulan:Dari perbincangan di atas, dapat kita mengambil beberapa kesimpulan yang menyebabkan timbulnya kekeliruan ketika memahami maksud ayat 119 dalam surah al-Taubah tersebut adalah seperti berikut:a) Tidak memahami dan menerima bentuk pentafsiran yang bersifat ma‘nawiyyah terhadap ayat-ayat al-Qur’an.b) Pentafsiran yang dilakukan mestilah memahami secara bahasa dan istilah terhadap makna al-rābitah tersebut, kerana makna dan konsep al-rābitah itu tidak hanya terbatas kepada amalan menghadirkan rupa guru ketika hendak berzikir semata-mata, tetapi lebih luas dan lebih umum dari itu. Dalam sebuah hadis Rasulullah s.a.w. menyebutkan:عن أسماء بنت يزيد, انها سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : ألا أنبئكم بخياركم؟ قالوا: بلى يا رسول الله! قال : خياركم الذين اذا رؤا , ذكر الله عز وجل . Maksudnya:"Daripada Asmā` binti Yazid, bahawa dia telah mendengar Rasulullah s.a.w bersabda. Adakah tidak mahu aku khabarkan kepada kamu orang yang paling baik di kalangan kamu? Mereka menjawab : Bahkan Ya Rasulullah! Mereka yang apabila dilihat mengingatkan orang yang melihat itu kepada Allah S.W.T. "Hadis di atas memberikan penjelasan kepada kita bahawa dengan melihat seseorang yang berada pada maqāmnya yang hampir dengan Allah S.W.T., akan memberikan keberkatan terhadap orang yang melihatnya. Bagi seorang yang sālik, hal tersebut merupakan wasilah yang boleh mempercepatkan bagi dirinya untuk berada pada tahap wusul kepada Allah S.W.T. Oleh sebab itu, dalam menjalani suluk, seorang yang sālik amat dituntut untuk menghadirkan rābitah sebagai memenuhi maksud hadis di atas. Jika sekiranya yang dimaksudkan dengan ru’yah itu hanya terbatas kepada pandangan yang zahir sahaja, bagaimana dengan orang-orang terkemudian yang tidak pernah berjumpa dan bertemu dengan Rasulullah s.a.w., para sahabat, tābi‘ al-tābi‘in dan seterusnya? Tentu sahaja kita tidak dapat mencapai maksud dan tujuan dari hadis di atas. Dalam konteks Malaysia hari ini, siapa agaknya yang boleh menepati kehendak dari hadis di atas? Sukar untuk kita mencari seorang guru yang menepati ciri-ciri seperti generasi awal zaman Rasul s.a.w. Jika adapun terlalu kecil bilangannya dan sukar pula untuk berjumpa dan melihatnya bagi mencapai maksud dan tujuan dari hadis di atas. Oleh itu, menurut disiplin ilmu dan amalan tasawwaf, ru'yah dalam hadis di atas merangkumi kedua-dua maksud, iaitu penglihatan yang zahir dan yang kedua ialah penglihatan yang batin. Melihat dengan mata hati yang bersifat sanubari itu sebenarnya adalah lebih berkesan dan memberikan manfaat bagi seorang yang sālik ketika menjalani al-suluk.
4.3.2 Firman Allah S.W.T.:يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اصْبِرُوا وَصَابِرُوا وَرَابِطُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ . Maksudnya:"Wahai orang-orang yang beriman! Bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap sedia (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kamu kepada Allah S.W.T. supaya kamu beroleh kejayaan." Seperti yang telah kita jelaskan, ketika menghuraikan dalil yang pertama, pengertian batin atau ma‘nawiyyah terhadap ayat ini diambil kira dalam menjelaskan peranan dan kedudukan al-rābitah. Bagi menjelaskan fakta ini dapat kita lihat keterangan yang diberikan oleh ahli tafsir tentangnya. Sebagai contoh seperti keterangan yang telah dikemukakan oleh Syeikh al-Ālusi dalam tafsirnya yang terkenal, Ruh al-Ma‘āni antara lain menyebutkan:(ورابطوا) فى مقام الروح ذواتكم حتى لا تعتريكم فترة أو غفلة واتقوا الله عن المخالفة والاعراض والجفاء Maksudnya:"Dan berābitahlah kamu pada tingkat roh itu ialah diri kamu (hati dan sirr kamu) sehingga kamu tidak ditimpa lemah (iman) dan kelalaian dan bertakwalah kepada Allah S.W.T. (dengan menjaga diri) dari (sifat) menentang Allah S.W.T., membelakangkan Allah S.W.T. dan membenci Allah S.W.T. "Syeikh al-Fakhr al-Rāzi tidak ketinggalan memberikan keterangannya dalam tafsirnya Mafātih al-Ghayb, bahawa perkataan rābitu dalam ayat di atas adalah merujuk kepada makna yang zahir dan batin. Antara maksud yang termasuk dalam pengertian batin itu ialah seperti sifat sabar, tetap iman, gigih dan sebagainya lagi. Situasi seumpama ini memang boleh terjadi dalam hati seseorang, baik ketika berjihad atau mengerjakan ibadat seperti sembahyang dan sebagainya. Ini bererti bahawa sifat-sifat batiniah seperti di atas amat dituntut sebagai satu landasan kepada aspek yang zahir.Dari keterangan yang telah diberikan oleh para mufassir di atas, dapat kita menyimpulkan di sini bahawa istilah rābitu yang digunakan dalam ayat di atas adalah merujuk kepada maksud zahir dan batin. Sedang yang batin itu lebih ditekankan kerana ia sebagai dasar dan asas tiap-tiap yang zahir. Oleh yang demikian jika teguh aspek yang batin, maka sudah pasti akan teguh pula aspek zahir itu. Sebagai contoh; jika rābitah yang zahir itu ialah sentiasa bersiap sedia atau waspada di tempat ibadah atau dengan makna menanti-nanti waktu solat selepas menunaikan solat, bersiap sedia atau waspada dengan kekuatan tentera di perbatasan negara untuk memerangi musuh atau seumpamanya, maka rābitah yang bersifat batin atau ma‘nawiyyah pula bolehlah kita katakan sebagai perkara-perkara yang bersifat ruhāniyyah yang menyumbang kepada kekuatan keimanan kepada Allah S.W.T. dan akhirnya akan membawa seseorang itu mencapai kejayaan seperti yang telah dijelaskan oleh Allah S.W.T. dalam ayat di atas tadi. Antaranya ialah rābitah al-syeikh seperti yang terdapat dalam disiplin ilmu dan amalan tasawwuf. Menurut Prof. Madya Dr. Jahid Sidek, huraian seperti yang tersebut berhubung dengan perintah rābitah dalam kalimah wa rābitu itu sebenarnya tidak menyalahi kaedah merumuskan kefahaman hukum dari ayat tersebut. Hal ini disebabkan, perintah daripada Allah S.W.T. itu sebenarnya merangkumi aspeknya yang zahir dan batin. Beliau seterusnya membuatkan kronologi terhadap kewajipan berpuasa yang merangkumi puasa zahir dan yang batin. Jika dari sudutnya yang zahir, puasa itu tidak boleh makan, minum dan apa juga yang boleh membatalkan puasa tersebut dari terbit fajar hingga terbenam matahari, maka begitu juga dengan puasa jika dilihat dari sudutnya yang batin hendaklah menjaga hati dan semua anggota dari berbagai pekerjaan yang membawa akibat kepada dosa. Malahan puasa yang batin itulah yang lebih penting seperti yang pernah dijelaskan oleh Rasulullah s.a.w. bahawa ramai orang yang berpuasa itu hanya merasai lapar dan dahaga sahaja tanpa mendapat pahala dan hikmat yang sebenar dari puasa tersebut. Demikian juga dengan tuntutan berābitah dalam ayat di atas, jika kita hanya berābitah dari sudutnya yang zahir, bererti kita akan penat berada di tempat ibadat itu sahaja tanpa mendapat hikmatnya yang sebenar.
KesimpulanDari keterangan dan perbincangan di atas, maka dapatlah kita tegaskan sekali lagi bahawa amalan rābitat al-syeikh dalam disiplin ilmu dan amalan tasawwuf seperti yang telah diterangkan definisi dan konsepnya, begitu juga dengan kedudukan dan cara mengamalkannya merupakan salah satu dari berbagai bentuk wasilah yang dituntut oleh Allah S.W.T. Amalan tersebut tentu sahaja boleh menyampaikan seseorang yang sālik kepada hakikat mengenal Allah S.W.T., sama seperti kita berwasilah dan berwāsitah dengan segala ciptaan sama ada di langit dan di bumi seperti yang telah diterangkan oleh Allah S.W.T. dalam firmanNya:أَفَلاَ يَنْظُرُونَ إِلَى الاِْبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ . وَإِلَى السَّمَاءِ كَيْفَ رُفِعَتْ . وَإِلَى الْجِبَالِ كَيْفَ نُصِبَتْ . وَإِلَى الاَْرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْ . Maksudnya:"Maka apakah mereka tidak memerhatikan atau melihat bagaimana dunia diciptakan . Dan kepada langit bagaimana ia ditinggikan. Dan bukit-bukit bagaimana ia ditegakkan. Dan bumi bagaimana ia dihamparkan ". Bagaimana keadaan dan perasaan kita ketika sedang merenung, memandang dan memikirkan tentang ciptaan Allah S.W.T. tersebut? Tentu sahaja pandangan dan renungan itu bukan kepada Zat Allah S.W.T., sebaliknya melihat dan memikirkan tentang berbagai kesan kewujudanNya, keagunganNya, kesempurnaanNya dan sebagainya lagi. Maka begitulah juga dalam ajaran tasawwuf, rābitah dengan syeikh al-murshid itu bukanlah zat syeikh itu yang menjadi tumpuan dan matlamat akhirannya, tetapi ialah wujudnya Allah S.W.T., keagunganNya, kehebatanNya, kesempurnaanNya dan sebagainya lagi. Akhirnya akan melahirkan seorang mukmin yang bersifat dengan sifat orang-orang yang mutawakkilin seperti yang disebutkan oleh Allah S.W.T. dalam firmanNya:إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آياتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًَا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ . Maksudnya:"Sesungguhnya orang-orang beriman itu (yang sempurna imannya) ialah mereka yang apabila disebut nama Allah S.W.T.(dan sifat-sifatNya) gementarlah hati-hati mereka dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayatNya, menjadikan mereka bertambah iman, dan kepada Tuhan mereka jualah mereka berserah . "

4.3.3 Firman Allah S.W.T.:
DALIL KEHARUSAN AMALAN AL-RĀBITAH MENGIKUT DISIPLIN ILMU TASAWWUF
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ . Maksudnya:"Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah S.W.T. dan carilah jalan yang boleh menyampaikan kepadanya (dengan mematuhi dan meninggalkan laranganNya), dan berjuanglah pada jalan Allah S.W.T. (untuk menegakkan Islam) supaya kamu beroleh kejayaan. "Dari keterangan yang berdasarkan kepada ayat 35 surah al-Maidah di atas, jelas menunjukkan adanya perintah untuk mencari wasilah seperti yang terkandung dalam ungkapan وابتغوا إليه الوسيلة . Tujuan serta matlamat berbuat demikian juga telah dijelaskan oleh Allah S.W.T. dalam ayat tersebut dengan ungkapan لعلكم تفلحون . Dari keterangan yang diberikan dari dua ungkapan tersebut menunjukkan bahawa amalan mencari wasilah itu merupakan suatu yang sangat penting kerana tanpanya kejayaan yang dicari tidak akan kunjung tiba seperti yang telah diterangkan oleh struktur ayat tersebut. Masalahnya sekarang ialah, apakah yang dimaksudkan oleh Allah S.W.T. dengan ungkapan وابتغوا إليه الوسيلة tersebut. Apakah ia hanya terbatas kepada amal soleh atau apa juga bentuk wasilah selain dari amal soleh. Di sinilah titik perselisihan yang timbul sehingga ada yang mengatakan bahawa wasilah selain amal soleh adalah bersifat bidaah dan tidak ada dalam syariat Islam. Kita berpendapat, oleh kerana ayat al-Qur’an tersebut tidak memberikan penjelasan yang tepat terhadap maksud wasilah yang sebenar, maka di sini ada ruang yang diberikan oleh syariat Islam untuk mentafsirkan ayat tersebut kepada makna-makna yang tertentu berdasarkan kepada faktor-faktor tertentu. Dalam hal ini ulamak tasawwuf berpendapat bahawa al-wasilah itu adalah bersifat umum, ia merangkumi semua bentuk tawassul sama ada kepada zat-zat yang mempunyai kelebihan dan kemuliaan di sisi Allah S.W.T semasa hidup atau sesudah matinya, begitu juga tawassul dengan amal-amal soleh. Untuk membatasi tujuan al-wasilah dalam ayat di atas hanya kepada amal-amal soleh ternyata agak sukar, kerana selain bermaksud umum, kalimah tersebut juga dari sudut kaedah bahasa Arab berada pada posisi ism al-ma‘rifah bukan ism al-nakirah sekalipun kalimah al-wasilah itu dalam bentuknya yang mufrad tidak jamak. Namun ulamak yang tidak terlibat secara langsung dengan disiplin ilmu dan amalan tasawwuf, secara umumnya menolak penggunaan ayat 35 dalam surah al-Ma`idah ini sebagai dalil keharusan untuk mengamalkan al-rābitah. Seperti Syeikh Ahmad Khātib menganggap wasilah selain daripada amal soleh itu adalah perbuatan bidaah dan terlarang dalam syariat Islam. Menurut beliau perbuatan berwasilah kepada selain dari amal soleh seperti berwasilah kepada zat-zat yang mulia yang mempunyai kelebihan serta ketinggian martabah di sisi Allah S.W.T. adalah permohonan dan permintaan kepada selain daripada Allah S.W.T. Beliau beranggapan perbuatan berwasilah tersebut adalah bertentangan dengan hadis Rasullah s.a.w. yang bermaksud:Apabila kamu hendak meminta tolong maka pintalah pertolongan itu daripada Allah. Sebenarnya, penggunaan ayat 35 surah al-Ma`idah dalam disiplin ilmu dan amalan tasawwuf adalah bagi tujuan mensabitkan keharusan al-rābitah itu. Kerana amalan rābitah merupakan salah satu dari berbagai cara untuk berwasilah seperti yang dituntut dalam ayat di atas.

4.3.4 Firman Allah S.W.T.:
DALIL KEHARUSAN AMALAN AL-RĀBITAH MENGIKUT DISIPLIN ILMU TASAWWUF
وَلَقَدْ هَمَّتْ بِهِ وَهَمَّ بِهَا لَوْلاَ أَنْ رَأَى بُرْهَانَ رَبِّهِ كَذَلِكَ لِنَصْرِفَ عَنْهُ السُّوءَ وَالْفَحْشَاءَ إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُخْلَصِينَ . Maksudnya:"Dan sebenarnya perempuan itu telah berkeinginan sangat kepadanya, dan Yusuf pula (mungkin timbul) keinginannya kepada perempuan itu kalaulah dia tidak menyedari kenyataan TuhanNya (tentang kejinya perbuatan zina itu) Demikianlah agar Kami memalingkan daripadanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih ." Berdasarkan kepada ayat di atas para mufassirin telah berselisih pendapat tentang maksud burhāna rabbihi. Kerana ungkapan ini telah ditafsirkan kepada berbagai maksud dan tujuan. Walau bagaimanapun, mengikut pandangan dan keyakinan ulamak tasawwuf dan tariqat, yang dimaksudkan dengan burhāna rabbihi dalam ayat di atas adalah merujuk kepada maksud al-rābitah. Keyakinan ini disandarkan kepada kebiasaan yang terdapat dalam disiplin ilmu dan amalan tasawwuf yang sangat menekankan hubungan yang erat antara seorang murid dengan syeikhnya. Hasil dan kesan dari hubungan yang erat dan kukuh ini akan melahirkan satu sifat yang sentiasa ingat kepada guru atau syeikhnya. Ingatan tersebut akan berlaku ketika hendak melakukan perintah Allah S.W.T. seperti yang telah diterima ketika waktu pengajian yang diberikan oleh gurunya. Begitu juga apabila hendak melakukan sesuatu kemaksiatan dia akan terbayang guru murshidnya seakan-akan marah terhadap dirinya dengan memperingatkan supaya jangan melakukan maksiat tersebut. Hal ini menyebabkan hawa nafsunya terhenti dan tidak jadi untuk meneruskan perbuatan yang diruntun oleh nafsu syahwat tersebut. Keadaan ini telah menjadi satu disiplin dan kaedah bagi seorang yang sālik dalam amalan tariqat. Kaedah ini dilakukan untuk mengawal diri dari terjerumus ke lembah maksiat yang boleh menggagalkan seorang yang sālik untuk wusul ilā Allah S.W.T.Justeru kerana itu, jika seorang Islam yang mengambil sesuatu ilmu dengan tidak menggunakan perantaraan seorang guru murshid atau syeikh, maka kemungkinan untuk terjadinya penyelewengan terhadap nilai-nilai agama Islam adalah besar. Hal ini disebabkan seseorang itu merasakan dirinya tidak berada dalam lingkaran kesesatan. Dalam hal ini, yang paling jelas, ia tidak mendapat keberkatan dari kedudukan seorang guru yang murshid itu ketika mendapatkan ilmu yang tersebut. Dalam konteks ini perlu diingatkan bahawa Nabi Muhammad s.a.w. sendiripun diajarkan oleh Allah S.W.T. melalui perantaraan Malaikat Jibril dalam mendapatkan ilmu pengetahuan.Oleh yang demikian, rābitah yang dilakukan oleh pengamal tariqat khasnya dan dalam disiplin ilmu dan amalan tasawwuf amnya adalah semata-mata kerana Allah S.W.T. Tidak terdapat sedikitpun unsur-unsur penyembahan kepada guru murshid. Jangan disamakan amalan rābitah ini dengan perbuatan orang-orang yang musyrik, jika tidak memahami konsep serta tujuan amalan ini dilakukan. Orang-orang musyrik itu memang dengan sengaja menjadikan berhala-berhala mereka sebagai tempat melakukan perantaraan untuk mendekatkan diri kepada Allah S.W.T., mereka beriktikad bahawa berbagai bentuk berhala tersebut mempunyai status sebagai oknom yang dipertuhankan lantaran kekuasaan yang dimiliki sama dengan kekuasaan Allah S.W.T. Keadaan ini tidak berlaku dalam disiplin ilmu dan amalan tasawwuf, walaupun terdapat amalan rābitah dalamnya, tetapi ia mempunyai konsepnya yang tersendiri. Murshid hanya sebagai orang tua yang mengandungi makna barakah yang dijadikan wasilah seperti yang dituntut dalam ayat di atas. Tidak ada keyakinan bahawa guru atau syeikh itu memberikan bekas terhadap keyakinan dan iktikad yang dituju, iaitu Zat Allah S.W.T. Hanya Allah S.W.T. sebagai tempat pengharapan dan sembahan, tidak ada iktikad mempertuhankan guru murshid. Seperti yang telah dijelaskan di atas tadi, bahawa guru itu berada pada posisinya sebagai orang tua yang sewajarnya diikuti dan dipatuhi segala perintah dan anjurannya selama mana dia tidak bercanggah dengan hukum Allah S.W.T.dan RasulNya, sebaliknya apa juga bentuk larangan yang dibenci hendaklah segera dijauhi dan ditinggalkan. Mereka yang berada dan beramal dalam disiplin ilmu dan amalan tasawwuf merasa takut dan khuatir apabila hendak meninggalkan perintah agama dan melanggar apa yang dilarang lantaran teringatkan atau terbayang wajah guru murshid berada di hadapannya dalam keadaan marah terhadapnya.Dari penjelasan yang telah diberikan di atas tadi, dapat dinyatakan di sini bahawa disiplin ilmu dan amalan tasawwuf menjadikan ayat 24 dalam surah Yusuf tersebut sebagai sandaran bagi keharusan amalan rābitah. Satu hal yang perlu difahamkan di sini ialah firman Allah S.W.T. yang tersebut dalam ayat 24 surah Yusuf itu adalah jelas dari syariat yang terdahulu, (yakni syariat Nabi Yusuf) namun perlu diingatkan bahawa hukum syariat itu masih muhkamah (berjalan atau berlaku) bagi umat Muhammad s.a.w., tidak terdapat satu keterangan pun yang membatalkan atau membatasi syariat tersebut. Atau hanya terbatas dengan tamatnya tempoh kerasulan Nabi Yusuf a.s. Untuk itu ada kebenarannya menurut pandangan Islam jika ahli tariqat dalam disiplin ilmu dan amalan tasawwuf mengamalkan al-rābitah dengan para guru murshid mereka.
4.3.5 Firman Allah S.W.T.:
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمْ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ . Maksudnya:"Katakanlah wahai Muhammad! Jika sekiranya kamu mengasihi Allah S.W.T., maka hendaklah kamu ikut aku, nescaya Allah S.W.T. akan mengasihi kamu." Ayat di atas secara umumnya dikaitkan oleh ulamak tasawwuf dengan amalan al-rābitah. Malahan ayat tersebut dijadikan sandaran terhadap keharusan amalan al-rābitah dalam disiplin ilmu dan amalan tasawwuf. Antara beberapa sebab yang dikira wajar oleh ulamak tasawwuf untuk menyandarkan keharusan amalan al-rābitah dengan ayat di atas sebagai berikut:1- Merujuk Kepada Konsep Fattabi‘uni. Ayat di atas mengandungi perintah dari Allah S.W.T., melalui lisan Nabi Muhammad s.aw. dengan ungkapan Fattabi‘uni bermaksud: Ikutilah akan daku yang ditafsirkan oleh al-Ālusi dengan katanya:
أو من مجاز النقص أى إن كنتم تحبون طاعة الله تعالى أو ثوابه فاتبعونى فيما آمركم به عنه. كذا قيل. Maksudnya:Atau dari bab majāz al-Naqs iaitu: Jika sekiranya cintakan ketaatan kepada Allah S.W.T., atau pahala daripadaNya, maka hendaklah kamu sekalian mengikuti daku dari apa yang diperintahkan oleh Allah S.W.T. kepada kamu dan meninggalkan apa sahaja yang dilarang olehNya. Demikian apa yang telah dikatakan.Dari keterangan yang diberikan oleh al-Ālusi di atas tadi, jelas kepada kita bahawa, untuk mendapat dan merasakan mahabbah terhadap Allah S.W.T. itu mestilah dengan cara mengikuti Nabi s.a.w. dalam segala urusan yang berkaitan dengan suruhan dan larangan daripada Allah S.W.T. Persoalannya di sini ialah bagaimana kita hendak merealisasikan konsep ittibā‘ tersebut. Dari ungkapan fattabi‘uni, sebahagian besar ulamak tasawwuf mentafsirkan kalimah tersebut kepada maksud al-rābitah. Fakta ini berdasarkan kepada suatu keyakinan bahawa konsep al-ititbā‘ dalam ayat tersebut membawa pengertian ru`yat al-matbu‘ iaitu melihat kepada yang diikuti secara zahir mahupun batin. Hal ini telah diterangkan oleh al-Khāni dalam kitabnya al-Bahjah al-Saniyyah dengan katanya:
ففيه اشارة الى الرابطة لأن الأتباع يقتضى رؤية المتبوع حسا أو تخيله معنى وهو غرضنا من الرابطة. Maksudnya:Maka dalamnya mengisyaratkan kepada makna al-rābitah, kalimah ittibā‘ itu sendiri membawa pengertian ru`yat al-matbu‘ (melihat yang diikuti) sama ada secara zahir mahupun dengan cara menghadirkan makna (batin). Dan inilah yang kami maksudkan dengan al-rābitah itu. Jika tidak demikian maka ia tidak dikira sebagai matbu‘ . Berdasarkan kepada kenyataan al-Khāni di atas, menunjukkan kepada kita bahawa hubungan yang bersifat ruhāniyyah itu nampaknya begitu penting dan sangat berperanan dalam membimbing seorang yang sālik menuju hadirat Allah S.W.T. Dengan menggunakan kaedah yang berkonsepkan al-rābitah tersebut, hubungan ruhāniyyah ini akan dapat dilaksanakan dengan sempurna mengikut disiplin ilmu dan amalan tasawwuf. Dengan demikian perintah fattabi‘uni itu secara langsung dapat disempurnakan dari sudut zahirnya dengan mengikut dan melaksanakan segala suruhan dan larangan, manakala dari sudutnya yang batin pula dapat dilaksanakan dengan melakukan al-rābitah.
Tajuk Buku : PENGANTAR ILMU TASAWUF
Pengarang Buku : OTHMAN BIN NAPIAH
Penerbit : PENERBIT UTM, SKUDAI, JOHOR
Tahun Terbit : 2001Nombor ISBN : 983980541X